Namanya adalah Park Chanyeol.

Tak ada satupun yang bisa dibanggakan dari eksistensinya. Tipikal pelajar dengan IQ pas-pasan, wajah yang tidak begitu menawan dan bukanlah pemuda kaya dari kalangan bangsawan. Kehidupannya mengalir seperti air, berlalu begitu saja tanpa meninggalkan hal menarik dalam memori. Membosankan, menjemukan, melelahkan—tak ada yang spesial.

Meskipun begitu, ada sesuatu yang aneh dalam tubuhnya; sesuatu yang membuat logika mengalami kesulitan dalam menjabarkan. Seperti mulut yang dibekap oleh tangan, dipaksa untuk bungkam.

Park Chanyeol tak terlalu mempermasalahkannya, bahkan mungkin tak peduli sama sekali. Atau mungkin sebenarnya dia lari dan bersembunyi dari kenyataan? Entahlah. Baginya, kehidupan yang ia jalani adalah kehidupan pada masa sekarang, hari ini, detik ini. Bukan kepingan masa lalu

.

BRUUUG!

.

"Ah, maaf.."

"Tidak apa-apa, aku yang ceroboh, kok."

"Biar kubantu membereskan semuanya."

"Err, terima kasih."

(Mereka membereskan buku-buku tebal berdebu milik Chanyeol yang berloncatan keluar dari dalam tas kulit miliknya akibat dari kontak fisik yang baru saja terjadi.)

"Omong-omong, apakah kau selalu berjalan dengan kepala tertunduk seperti itu, hei, anak muda?"

.

"Ya, ada masa—

(Laki-laki berambut blonde menjulurkan kedua tangan, mengangkat kepala Chanyeol hingga sejajar dengan wajahnya. Membuat keping berwarna hitam syarat akan ketakutan bertatapan dengan keping coklat tua syarat akan keingintahuan.)

"Hentikan! Jangan tatap mataku, bodoh!"

"Kau tidak sedang sakit, kan? Kuperhatikan sejak tadi, sepertinya kau selalu tertunduk dan tertunduk. Bahaya untuk keselamatanmu. Kaupikir jalan ini punya nenekmu, apa—"

Meskipun seringkali jam tua yang bersembunyi dalam dirinya berderik, memaksa detik mengubak-ubak seluruh gang-gang kecil di dalam dimensi waktu. Membuat bayangan-bayangan yang terselip di sela-sela memori berhamburan, menyeruak keluar. Hanya dengan satu kali tatap, satu kali pandang, kemudian semua akan lari tunggang langgang, melarikan diri dari hitam yang menantang.

"—kan!"

Kemudian—

"-ngan! Jangan tatap mataku, brengsek!"

—film—

"Jangan tatap mataku!"

"Hei, ada apa denganmu, Nak?"

—diputar.

"AAAAAAAAAH!"

/

.

'zzzzztttttahzssszsstbzzzbungabzzztmawarbzzztwarnaputihbzzztssszzzakubzzzzttidakzzzssshhhhttsukabzzzzzzt'

'bzzzzthmmbzzzztjadibzzzsstwarnabzzztapabzzssttyangkaubzzzzssstsukaibzzzzt'

.

'bzzzzzztMERAHbzzzzt'

.

-kemudian wajah dengan seringai setajam belati bermain mendominasi layar. Menghampiri tubuh kecil yang mulai bergetar ketakutan.

'bzzztbaiklahbzzzsstakanbzzzztkuubahbzzzztwarnanyabzzzztjadibzzzztmerahbzzzt'

.

TREEEEEK

Blonde mulai berkelebat.

.

Ding dong ding dong ding dong ding dong ding

Pedang terayun sesuai irama denting jam dalam ruang.

CRAAAASH! CRAAAASH!

CRAAAASH—

"—ha

haha—

HAHAHAHAHAHAHAHA!"

"AAAAAAAAAAAAARGGGH!"

/

.

Itulah kenapa Park Chanyeol tidak pernah mau bertatap mata dengan lawan bicara. Sekeras apapun orang lain meminta, merayu sampai habis kata, ataupun sembah sujud sampai dahi mengeluarkan tinta—

Tidak akan pernah. Tidak akan. Tidak akan. Tidak akan.

Semuanya ia lakukan demi kesehatan jiwa semata.

.

RIIIING RIIIIING

Klik.

.

"Ah, annyeonghaseyo. Sepertinya aku baru saja bertemu dengan Park Chanyeol, Master."

.


Characters © God

Story © sebaekai

Animus

PROLOGUE


.

.

"Hosh.. hosh.."

Deru napas terdengar membahana, memantul dari dinding-dinding sepi bangunan rumah di malam hari. Lampu jalan menyoroti sekitar dengan cahaya temaram, membuat kesan sepi makin tergambar jelas dalam kesunyian kota di malam itu. Suhu udara yang makin merendah membuat bulu-bulu roman berdiri akibat dingin yang menggigit kulit, walaupun hal itu tak menyurutkan derap langkah kaki pemuda berambut coklat. Ia tetap berlari syarat akan determinasi. Wajah pucat dengan peluh membanjir tak dapat digunakan sebagai alasan untuk menghentikannya, bahkan sekadar mengatur napas dan sekedar menenangkan jiwa pun ia abaikan. Ia justru melangkahkan kedua kaki panjang miliknya makin lebar, seperti kesetanan.

"Haaah... haaah!"

Anak lelaki itu bernama Park Chanyeol. Seperti yang sudah dikatakan, tak ada yang dapat dibanggakan dari eksistensinya. Pelajar kelas 2 SMA yang selalu memajang ekspresi bosan di permukaan, pelajar kelas 2 SMA yang selalu mengeluh akan tugas-tugas yang dijejalkan, dan pelajar kelas 2 SMA maniak es krim rasa pisang gila yang mau membahayakan hidup hanya untuk mengambil es krim yang terlempar di tengah jalan. Tanpa mempedulikan lampu mana yang menyala, tentu saja.

"Uhuk.. uhuk!"

Keinginannya saat ini hanyalah satu, segera sampai di apartment tempatnya tinggal. Jika sudah, ia akan meneggelamkan diri dari pandangan, kemudian melakukan ritual pembuang sial yang telah akrab ia tuntaskan.

KLEK!

... Ya, ritual pembuang sial—atau lebih tepatnya cara absurd untuk menenangkan diri ketika logika Park Chanyeol mulai menyatu dengan hal-hal di luar nalar.

Tangan sedingin es membuka kenop pintu dengan gerakan buru-buru. Dari jarak sepersekian meter masih terdengar jelas alunan napas yang terengah. Masih terlihat jelas wajah pucat bak tubuh tanpa jiwa. Masih terlihat jelas peluh membanjir di seluruh permukaan wajah. Dan masih terlihat jelas bahwa belah merah muda itu membuka dan menutup dan membuka dan menutup, seperti mencari jarum dalam jerami; menangkap udara seakan oksigen hanya tinggal satu hirupan napas.

Heck, cukup sudah dramatisasinya.

Chanyeol berjalan meninggalkan ambang pintu, melangkah dengan kaki masih bergetar. Jangan bayangkan ia berada dalam ruang apartment yang hangat, karena memang sekarang ini ia sedang tidak berada di dalam sana. Melainkan berada di atas atap apartment. Tenang, lantainya datar dan tempatnya cukup luas untuk sekadar melampiaskan kesal terhadap hal-hal gila perusak akal pikiran. Seperti berteriak layaknya orang kesetanan, mungkin.

"UWAAAAA!"

Dan memang Park Chanyeol sering melakukannya. Menghabiskan suara di tenggorokan hingga tak bersisa. Membiarkan paru-paru kering kehabisan oksigen. Membiarkan suaranya ditelan keheningan malam.

"UWAAAAA!"

NGIIIING! GEJEEES! GEJEEES! GEJEEES!

Atau mungkin ia harus bersyukur karena apartment tua tempat ia tinggal dekat dengan rel kereta api? Sehingga ia tak harus sendirian dalam memecah heningnya malam. Oh ya, yang barusan ia lakukan adalah hal yang ia sebut-sebut sebagai ritual.

"...Si-sial!" desisnya di tengah napas yang menderu terengah-engah. "Kenapa kenapa kenapa!" rutuknya, kemudian mulai mangacak-acak surai-surai coklat dengan gerakan tangan yang liar.

Sungguh langka melihat kontur ekspresi Chanyeol yang berubah drastis seperti ini. Biasanya topeng berjudul 'Bosan dan Memuakkan' lah yang selalu ia pajang pada dinding wajah. Topeng yang membuat ia tak dilirik gadis-gadis manis penghuni sekolah. Hey, lagipula bukankah ia tak pernah bertatap muka dengan orang? Satu kata: nerd—mengingat sikap dan sifat yang ia pelihara dalam raga. Tapi, hal itu ia lakukan untuk menjaga kesahatan jiwanya semata.

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang layak, menyenangkan, tidak merepotkan dan gampang dijalani. Dan hal itu tentu tak terlepas dari kata normal. Meskipun destinasi dan cara mereka mengarungi kehidupan berbeda-beda, tetap saja semua masih dibalut oleh kadar kenormalan yang wajar.

Chanyeol itu normal. Ia bernapas seperti manusia pada umumnya, ia makan, ia tidur, ia bersin dan ia melakukan hal-hal normal lainnya. Hanya satu yang membuatnya berbeda dengan orang lain:

Melihat kembali sesuatu yang telah terjadi bukanlah hal yang normal.

Ia tak pernah menginginkannya. Semua terjadi begitu saja tanpa kabar berita. Meskipun kekuatan itu sudah bersemayam dalam raganya sedari ia menghembuskan napas untuk pertama kalinya di dunia, ia baru menyadari hal ganjil ini ketika usianya menapaki angka tujuh. Sebelumnya ia hanya berpikir kalau semua yang ia lihat adalah potongan-potongan film lawas. Lama-kelamaan, ia sadar bahwa ada beberapa bagian dalam film yang tak pantas dipertontonkan untuk bocah seusianya (film dengan darah bermuncratan, kepala-kepala bergelindingan, ataupun ketika ia tahu bahwa penyebab kematian ibu adalah kebrutalan ayah, bukan karena kebakaran, tapi dibakar—).

Dan sejak saat itu kehidupannya mulai berubah, menjauhi batas normal yang digariskan.

Hanya dengan satu kali tatap, satu kali pandang, maka kewarasannya akan melayang-layang dalam dimensi kegilaan.

"Sialan!"

NGIIIIING! GEJEEEEES! GEJEEEES!

.


.

.

Minggu. Sebuah hari dimana semua orang dapat bersantai, meregangkan otot-otot mereka agar tak terlalu menegang. Saatnya melepas kepenatan selama beberapa hari lalu. Bermain game seharian, tidur seperti orang mati, ataupun pergi berpiknik dengan keluarga. Bagi Chanyeol, Minggu adalah hari yang sempurna. Bukan karena jadwal bertema 'Malas' yang membuatnya berseri-seri, menarik ujung-ujung bibir hingga membentuk senyum puas penuh kebebasan, melainkan..

"Yoho! Hari ini kami punya es krim rasa pisang dengan toping cokelat Belgia! Terbatas dan jangan sampai kehabisan! Hey! Kau yang di sana, jangan memotong antrian—!"

Seorang laki-laki bercelemek berteriak penuh semangat dari dalam mobil van bergambar es krim raksasa. Di luar mobil berdiri barisan manusia yang berteriak-teriak lantang sambil mengibarkan uang mereka di angkasa. Saling berebut bongkahan es rasa pisang dengan toping cokelat Belgia.

Chanyeol mendengus. Sepertinya kalah cepat. Ia menggerutu, menyalahkan jam weker miliknya yang tak berciap, menyalahkan kejadian kemarin yang membuatnya menghabiskan waktu sepanjang malam untuk menenangkan jiwa. Dan menyalahkan laki-laki goblok tak dikenal yang sudah membuat kewarasannya tenggelam di dasar kegilaan.

HEH.

Percuma saja ia tenggelam dalam dendam yang belum tentu terbalaskan. Pada akhirnya ia memutuskan untuk diam dan menerima keadaan.

Sayang, kan, kalau waktunya ia habiskan untuk memikirkan hal-hal di luar nalar—

"—jangan berebut—"

.

((—ding dong ding—

dong—))

.

TREEEEEK.

"—bisakah kau mengantri yang benar?"

"Iya, tapi orang-orang di belakang berdesakkan—APA ITU!"

CKIIIIITS!

"I-Itu cahaya apa—AH!"

Apa-apaan...

.

"—nduk! Merunduk semuanya!"

Apa-apaan ini—? Ap—

BLAAAAAAAAR!

.

ZAAAAAAASH!

.

.

"KYAAAAAAAAAA!"

.

tik tak tik —

tak

tik

Apa yang terjadi?

.

Chanyeol berusaha membuka kedua matanya di tengah angin yang masih berhembus kencang membawa serpihan-serpihan pasir, debu, dan benda-benda yang sudah remuk jadi seukuran kerikil. Tangan kanannya melindungi wajah agar tak ada benda tajam yang masuk ke mata, sedangkan mulutnya meringis menahan sakit akibat hantaman keras dari benda-benda kecil yang merobek kulitnya, meninggalkan luka-luka lecet yang mencubit syaraf, menimbulkan rasa perih luar biasa.

"Khh... di mana orangnya?"

Kelopak mata mulai bisa terbuka sedikit demi sedikit bersamaan dengan berhentinya sang angin. Dan bukannya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan, tapi langsung melebar dua kali lipat.

"Aku mencari Park Chanyeol!"

Chanyeol masih terpaku di tempat. Kedua mata tak berkedip menatap sosok laki-laki berambut ungu dengan baju tentara dan sebuah bazooka besar yang ia panggul pada bahu kanannya, sedang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman kota. Bahkan erangan kesakitan dari orang-orang di sekitar tak ia pedulikan, Chanyeol hanya bisa terpaku dalam diam.

"Ah, Yongguk~ sudah kukatakan, kan, jangan buat keributan yang mencolok seperti ini.."

Dan seorang laki-laki berambut blonde muncul dari balik punggung si laki-laki berpakaian tentara. Berhasil membuat sudut-sudut bibir Chanyeol berkedut.

.

Ah

.

Bukankah itu orang sialan yang kemarin?

Kemudian laki-laki itu tersenyum, bibir dan kedua matanya membentuk bulan sabit yang ganjil. Teramat ganjil.

"Ahe.. rasanya aku menemukannya, Gukkie.."

"PARK CHANYEOL!"

.

.

Park Chanyeol sungguh benci jika logikanya mulai menyatu dengan hal-hal di luar nalar. Dan—sialnya—hal itu dimulai dari saat ini, hari ini dan detik ini juga.

ding dong ding dong

.


See you later

to be continued


Note1: Yo 'sup! Ketemu lagi dengan saya, Sehun. Kali ini saya kembali dengan cerita bergenre action dan sci-fi. Dan ini juga adalah cerita lama saya yang saya modifikasi karena yang dulu masih berantakan dan berhenti di tengah jalan. Tapi sekarang (semoga) gak ada kesulitan dalam menyelesaikannya.

Oh iya, di sini saya memakai banyak karakter dari berbagai grup. Yang berarti nanti bakalan ada various characters dan various pairings. Yang pasti ada pairing straight dan ada yang yaoi pula.
Dan untuk info saja, saya payah nulis action, maaf kalau action-nya gak kerasa. Ahehehe. Masih belajar nulis.

Note2: saya juga mengucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah baca Don't Hate Me (ff baekyeol pertama ahihihi) serta yang sudah meninggalkan review. Terima kassssssiiiiiih banyak. Saya dapat banyak masukan dan pelajaran dari review2nya.

Note3: selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya.