Gelap
Hanya tersisa hitam
Tiada sinar
Tiada warna
Mampukah kelam menjadi berwarna?
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: romance/ tragedy
Pair: Hinata H X ...
.
.
Di sebuah gang yang sepi dan sempit terdengar derap langkah kaki seorang gadis menembus kegelapan. Peluh yang telah membanjiri tubuhnya, tak urung membuatnya berhenti. Tak pedulikan rasa sakit dan pegal yang menerpa dirinya. Yang ada dalam fikirannya adalah keselamatannya. Berkali-kali ia menoleh ke arah belakang, berharap agar sosok hitam yang sedari tadi mengejarnya tlah hilang.
Wajahnya memucat ketika ia melihat sosok itu makin mendekat, tubuhnya gemetar, nafasnya memburu. Ia mencoba berlari sekuat yang ia bisa.
"ahh" dan sialnya kenapa ia harus terjatuh di saat seperti ini? Ingin ia mengumpat pada batu yang menghalangi jalannya namun ia urungkan.
Wajahnya yang ayu kini benar-benar memucat layaknya zombie saat sosok itu telah berada tepat di hadapannya. Jantungnya berdegup begitu cepat. Gemetar di tubuhnya pun tak sanggup ia hentikan. Ia melihat sosok itu yang perlahan mendekatinya, membuat ia sedikit demi sedikit menyeret tubuhnya untuk mundur. Namun sayang, tangan kekar milik sosok itu lebih dulu menangkapnya. Ia berusaha memberontak disela-sela kelelahannya, meski ia tahu bahwa usahanya sia-sia.
Gadis itu membelalakan matanya saat merasakan sensasi dingin nan lembut di pipinya. Sungguh! Ketakutan kini tlah menguasai dirinya. Ia berteriak kencang berharap seseorang mendengarnya dan menolongnya. Namun sayang, tak ada seorang pun yang mendengarnya. Ia mengutuk dalam hati, "Kenapa gang ini begitu sepi dan tidak ada satu orang pun lewat?". Ia hendak berteriak kembali tapi bibirnya telah lebih dulu terkunci oleh bibir sosok itu. Ia hanya mampu menangis. Menagis dalam diam. Menangisi dirinya yang tiada berdaya di bawah gerayangan pemuda yang tak ia kenal.
.
"Tidaaaaakkkk hah...hah...hah," suara jeritan seorang gadis memecah kesunyian malam. Peluhnya bercucuran, nafasnya tersengal. Maniknya ia tolehkan ke seluruh penjuru ruangan. "Hah, ternyata hanya mimpi," gadis itu mengatupkan tanganya ke arah wajahnya. Hening dan sepi, perlahan terdengar isakan-isakan kecil yang keluar dari bibir gadis itu. Ia menggumam lirih.
"Kenapa Tuhan? Kenapa ini terjadi padaku?" hanya itu yang terus di kumandangkan bibir gadis itu. Berkali-kali bertanya lirih. Bertanya kenapa ia yang harus menerimanya? Dan kenapa ia yang harus seperti ini? Kejadian itu sangat menyiksa batinya. Kejadian itu membuat dunia damainya terasa jungkir balik. Dan karena kejadian itu pulalah, malam-malamnya laksana hendak menjemput ajal. Ini sudah 1 bulan berlalu sejak kejadian itu menimpanya, sejak harta yang ia jaga direnggut paksa oleh seseorang yang tidak ia kenal. Kejadian yang selalu menghantui mimpi-mimpinya. Kejadian yang membuat sosok gadis manis ini menjadi semakin tertutup. Beribu-ribu ia mengutuk jikalau ia bertemu lagi dengan sosok itu,ia akan membunuhnya, ia berjanji.
Gadis itu mencoba memejamkan manik ametysnya kembali. Berusaha menepis bayang kelam yang menghantui pikirannya. Namun sayang, usahanya tidak berhasil. Maniknya tidak mau terpejam, justru memaksa gadis itu tetap terjaga.
Menyerah dengan usahanya, gadis itu menoleh ke arah jam beker di meja dekat tempat tidurnya. Pukul 3 dini hari, gadis itu menghela nafas. Ia menyingkap selimutnya dan mulai beranjak. Berjalan pelan menuju balkon kamarnya. Ia singkap horden yang membatasi pandangannya ke arah luar rumah. Ia menatap langit yang masih berwarna kelam. Ia memejamkan mata, meresapi angin segar yang masuk melalui fentilasi udara. Ia membuka mata perlahan dan menatap kembali kelamnya angkasa.
Gadis itu menangkupkan tangannya di depan dadanya. Menatap lekat pada langit malam.
"Tuhan...ku ikhlaskan segala yang telah menimpaku tapi setidaknya beri aku kekuatan untuk tersenyum di depan orang-orang yang ku sayang. Tuhan...aku segala sesuatu yang terjadi, hanya Engkaulah yang tahu. Untuk itu, lapangkan hati yang rapuh ini dalam menghadapi segala nikmatMu, Tuhan,".
.
.
Chimi wila chan
.
.
Cahaya mentari mulai mengintip dari ufuk timur. Menggantikan kegelapan malam. Burung-burung bernyanyi merdu menyambut datangnya sang surya. Titik-titik embun bertebaran pada dahan-dahan pohon. Sejuk dan segar itulah yang terasa.
Seorang gadis berambut indigo itu tengah menyisir rambut panjangnya yang indah. Jemarinya begitu lincah mengikat rambutnya menjadi sebuah gaya ponitail. Ia sisakan sedikit rambut panjangnya untuk membingkai wajah ayunya. Tersenyum tipis melihat hasil karya tanganya. Namun detik kemudian, senyum itu memudar dan tergantikan senyum miris. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menepis bayang-bayang yang selalu menghampirinya. Ia harus kuat, tekadnya sudah bulat. Ia raih tasnya yang ada di atas ranjang dan kemudian ia meninggalkan kamarnya.
"Selamat pagi Neji-nii," gadis itu menyapa kepada sesosok lelaki yang lebih tua 2th darinya.
Lelaki berambut coklat itu berbalik untuk melihat wajah adik yang menyapanya. Terlihat sebuah apron melekat pada tubuhnya, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah sendok sup. Ia tersenyum ke arah gadis itu."selamat pagi hinata." balasnya.
"Wah, ini menu sarapan kita niisan? Mmm baunya enak sekali,"puji Hinata. Ia menggeser bangkunya dan duduk dengan tenang. Masih dengan raut kekaguman, ia memandangi menu di hadapannya. Ada sup lobak, capcay seafood dan kentang goreng.
"Hmm, makanlah," jawab Neji melepas apronya dan ikut bergabung dengan Hinata.
"Niisan dengar kau menjerit semalam, ada apa Hinata?" tanya Neji sambil menikmati sarapanya.
"Tak apa niisan, hanya mimpi buruk," jawab Hinata mencoba menenangkan sang kakak.
"Benarkah? Tidak ada yang kau sembunyikan dariku, kan?" selidik Neji yang masih belum puas dengan jawaban Hinata.
"hah" Hinata menghela nafas sejenak. Benar-benar merepotkan mempunyai kakak genius macam Neji ini. Hinata tersenyum tipis, "Tentu saja tidak, niisan tak percaya padaku, oh teganya, aku ini kan adikmu, kenapa kau tak mempercayaiku? niisan kejam!" Hinata mulai mengeluarkan akting yang ia pelajari di klub drama yang ia ikuti.
"Huft" Neji hanya mendengus kesal pada Hinata yang menurutnya over akting. "Iya.. niisan percaya, tapi tidak bisakah kau untuk tidak mengeluarkan over aktingmu itu, Hinata?"
Hinata hanya tersenyum penuh kemenangan. "Apa ada surat dari ibu, nii?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak."
Hinata hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf o.
"Bekalmu sudah niisan siapkan, kau hanya tinggal membawanya," ucap Neji sembari mengangkat piring-piring kotor ke dalam bak cuci piring.
"Aissh niisan ini, aku kan sudah besar, aku bisa kok menyiapkannya sendiri," Hinata merengut dengan perlakuan Neji yang selalu memanjakanya.
Sedangkan Neji hanya terkekeh melihat ekspresi Hinata yang begitu menggemaskan. "Benarkah sudah besar? Lantas, siapa yang selalu membuang tas sekolah ke sembarang tempat, hmm? Apa itu tindakan gadis yang sudah besar hmm?" sepertinya kata-kata Neji tepat sasaran hingga membuat Hinata makin merengut kesal.
"Iyalah, Hinata tidak akan seperti itu lagi," ucap Hinata berjanji.
"Good.." sahut Neji.
"Terima kasih ya Neji-nii. Maaf, Hinata selalu merepotkan niisan, Hinata belum bisa bantu niisan," lirih Hinata yang membuat Neji yang tengah mencuci piring itu menghentikan aktifitasnya.
"Kau ini bicara apa? Kau kan adik niisan, sudah sepantasnya niisan melakukan ini semua," kata Neji dengan lembut.
"Tapi Niisan, demi membiayai sekolah Hinata, Niisan harus bekerja dan menolak untuk kuliah,"
Neji menghela nafas. Adiknya ini sebenarnya kenapa? Kenapa bisa bicara seperti itu? Sebagai kakak, ia tidak merasa terpaksa untuk merawat adik semata wayangnya ini, justru ia bersyukur memiliki Hinata. Ia merasa memiliki sahabat saat konflik yang terjadi di antara kedua orang tua mereka belum terselesaikan. Paling tidak, ia tidak menghadapinya sendirian. Karna ia memiliki sang adik. "Dengar ya Hinata, niisan sangat bersyukur memiliki adik sepertimu, setidaknya niisan tak merasa sendiri di dunia ini. Jadi wajar saja jika niisan melakukan ini semua demimu, ini tugas seorang kakak," ucap Neji meyakinkan Hinata.
"Terima kasih, niisan," Hinata menghambur ke pelukan sang kakak. Ia terharu dan ia bersyukur memiliki kakak di dunia ini. Setidaknya kakaknya itu takan meninggalkannya. "Seandainya saja... Kaasan dan Tousan ada di sini, tentu saja kita bisa lebih baik dari ini kan niisan?"
"Sudahlah, jangan sangkut pautkan mereka, mereka pun tengah berusaha untuk bisa bersama kita," jawab Neji membelai surai indigo Hinata. "Sekarang tugasmu hanya belajar yang rajin supaya pintar dan berguna, itu yang menjadi harapan kami semua, Hinata,".
"Baik niisan, Hinata mengerti,"
"Nah, sekarang berangkatlah,"
"Baiklah, Hinata pergi dulu ya?"
"Ya, hati-hati di jalan!" seru Neji melambaikan tanganya. Ia melihat Hinata telah berlalu hingga tak terlihat dari pandanganya. Ia pun menghela nafas. "Oh Tuhan, semoga Engkau lekas memberi jalan terbaik untuk kami semua, amin.".
.
.
Chimi Wila chan
.
.
Hinata melangkahkan kakinya di atas jalan setapak yang masih lembab. Ia menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya seakan ingin meraup semua udara ke dalam paru-parunya. Bibir mungilnya sesekali menyenandungkan nyanyian yang ia sukai. Rambut ponitailnya bergoyang mengikuti setiap gerakannya. Baginya, pagi hari adalah waktu favoritenya, dimana udara belum terlalu tercemari polusi yang mampu membuat nafasnya sesak.
Hinata tersenyum melihat kupu-kupu kuning terbang mengitarinya. Hatinya terasa bergolak untuk tetap mempertahankan senyum di wajahnya. Di lihatnya segerombol ibu-ibu tengah membeli sayur pada tukang sayur daerah kompleks perumahannya. Awalnya Hinata merasa ragu untuk menyapa mereka. Karena ia tahu apa yang akan menjadi jawabannya. Namun nuraninya berkata lain, dengan suara yang begitu lembut, Hinata menyapa mereka. Namun sayang, tak ada satupun yang membalas. Mereka hanya menatap Hinata sinis. Bagi Hinata sendiri, itu bukan hal langka karna hampir setiap hari mereka seperti itu pada Hinata. Tak mempedulikan, Hinata melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Walau jarak sudah lumayan jauh, Hinata masih bisa mendengar bisik-bisik mereka.
"Hei, lihat! Itukan anak Hotaru itu kan?"
"Hotaru yang seorang maid itu."
"Ah iya, anak pelacur itu, dia itu kan anak hasil hubungan gelap dengan putra majikannya itu lo."
"Ih murahan sekali, pasti anaknya sama seperti ibunya nantinya."
Cih, Hinata hanya mendecih. Tangannya terkepal erat. Ingin rasanya ia menyumpal mulut ibu-ibu tukang gosip itu dengan telur busuk. Tidak adakah kerjaan mereka selain menggosipi keluarganya? Hinata akui, yang mereka bicarakan separuhnya benar. Tapi ibunya bukanlah wanita murahan seperti yang mereka ucapkan. Apa salahnya bila seorang maid jatuh cinta dengan pangeran? Apa ada hukum untuk menyalahkan ibunya? Ia dan Neji-nii bukanlah anak haram hasil hubungan gelap, tapi ia dan Neji anak resmi yang belum direstui oleh keluarga ayahnya. Dan kini, Ibunya yang berada di Tokyo tengah berusaha membujuk ibu mertuanya untuk merestui dan mengijinkan pernikahannya. Uh, ingin sekali Hinata bertemu dengan nenek tua bangka sialan yang hanya bisa menghalangi kebahagiaanya. Namun sayangnya, ibunya tidak mengijinkannya ikut bersamanya.
Tanpa terasa kakinya telah sampai pada gerbang sekolahnya, KHS. Masih sepi, itulah yang terlihat oleh manik ametysnya. Ia menengok ke arah jam tangan yang melingkari tanganya. Pukul 06.30, pantas saja masih sepi. Kelas di mulai pukul 07.15, berarti ia berangkat sangat awal pagi ini. Karna kebiasaan siswa di sana berangkat 15 menit sebelum bel.
Langkah kakinya bergema di setiap koridor sekolah. Ia berjalan menuju kelasnya yang terletak di sebelah barat. Ia menengok ke setiap sisi koridor yang berhiaskan bermacam-macam bunga.
"Hinata..."
Hinata menoleh ke arah sumber suara, di lihatnya sahabatnya yang bercepol dua aka Tenten berlari ke arahnya. Hinata mengernyitkan dahinya. Kenapa Tenten berlari seperti itu? Tanyanya dalam hati.
"Selamat pagi tenten chan, kenapa kau berlari-lari sepagi ini Ten-chan, apa kau ingin menyamai Rock Lee itu?" tanya heran Hinata yang dihadiahi cubitan ringan dari Tenten.
"Bodoh, aku sedari tadi mengejarmu tapi kau sama sekali tidak mau berhenti, malah asyik melamun saja!" gerutu Tenten.
"Ups, benarkah, kalau begitu, aku minta maaf," ucap Hinata merasa sedikit bersalah.
"Ah sudahlah, ayo ke kelas, aku mau meminjam buku matematikamu, soalnya punyaku kurang lengkap, kau ingatkan hari ini pelajaran Anko sensei yang pertama,"
"Umm." Hinata mengangguk, membenarkan ucapan sahabatnya itu. Dan mereka pun berjalan beriringan menuju kelas mereka.
.
.
Chimi Wila chan
.
.
Hinata dan Tenten tengah duduk tenang di dalam kelasnya. Di hadapanya terbuka buku catatan milik mereka. Bibir mereka komat-kamit tanpa suara, menghapalkan rumus-rumus yang telah di pelajari. Suasana kelas XII-1 masih hening, belum banyak siswa yang datang.
"Selamat pagi Hinata chan..." suara melengking itu membelah keheningan.
Hinata menolehkan wajahnya dari buku catatanya. Ia melihat Ino dan Sakura baru saja memasuki ruangan.
"Hei, Ino-pig, pelankan suaramu!" gerutu Sakura yang dijawab kekehan Ino.
"Selamat pagi Hinata." sapa Sakura sembari tersenyum manis.
"Pagi juga, Ino-chan Sakura-chan." balas Hinata.
"Ehm,,"
Hinata, Ino dan Sakura menoleh ke arah Tenten yang berdehem keras.
"Kau kenapa Tenten? Pengin minum?" tanya Ino bingung.
Tenten mendengus kesal. "Aishh, kalian ini, padahal ada aku juga, kenapa kalian hanya menyapa Hinata-chan saja?" ucap kesal Tenten.
Oh ternyata, Tenten ingin disapa juga rupanya. Mereka bertiga berusaha menahan ketawa melihat wajah Tenten saat cemberut.
"Ahaha, ku kira kau sudah tenggelam dalam buku matematikamu," ledek Sakura.
"Hu-uh, hingga tidak menoleh sedikitpun pada kami,"tambah Ino.
"Ya sudah, kami ulang deh, selamat pagi Tenten-chan,"
"Sudah telat," sahut Tenten ketus.
"Ayolah Ten, janganlah marah, kita bercanda ja," rajuk Ino.
"Hmm, baiklah, maaf diterima." Tenten pun tersenyum memeluk Ino dan Sakura bergantian. Hinata yang melihatnya ikut tersenyum, melihat keakraban sahabat-sahabatnya.
"Eh kalian belajar apa? Bukankah tIDak ada ulangan hari ini? Kenapa kalian belajar?" tanya Ino yang sepertinya tak mengingat jadwal pelajaran pertama. Tenten langsung tepuk jidat. Hinata masih tetap sibuk dengan bukunya, sedangkan Sakura hanya menghela nafas.
" Kau lupa yah, Ino-pig?" Ino hanya memasang wajah tanpa dosa mendengar pertanyaan Sakura. "Hari ini pelajaran matematika Inooo, Anko sensei." lanjut Sakura.
Ino hanya ber'oh'ria, belum memproses kata-kata sahabatnya itu.
10%
25%
50%
75%
100%
"APAAAA!" teriak Ino dengan suara yang tak bisa dibilang pelan sehingga membuat teman-temannya menutup telinga.
"Pelankan suaramu Ino-pig!" tegur Sakura.
"Gawat! Aku belum belajar," seru Ino dengan panik, menyambar buku yang sedang dibaca oleh Hinata. Teman-temanya hanya bersweatdrop ria dan geleng-geleng kepala menghadapi tingkah Ino itu.
"Kyaaa..."
"Prince of school"
"Kyaaa keren"
Hinata hanya mendengus. Ini adalah pemandangan yang menghiasi pagi hari di KHS. Setiap kali ada 4 siswa itu. Menurut Hinata, mereka hanya sekumpulan orang-orang menyebalkan yang suka narsis dan tebar pesona. Memang sih, ia dulu pernah menyukai salah satu dari mereka. Itupun dulu dan sekarang tidak lagi. Hinata merasa tak pantas untuk menyukainya.
"Sasuke-kun tampaan"
"Gaara-kun kereennn"
"Naruto-kun"
"Shika-kun"
Teriakan-teriakan itu kembali terdengar. Lagi-lagi Hinata mendengus kesal. Pagi harinya yang indah harus terusik oleh jeritan para siswi yang alay itu.
"Sampai kapan mereka seperti itu?" tanya Hinata, entah kepada siapa.
Tenten menoleh, " Tak usah heran, mereka hanya sekumpulan cewe-cewe bodoh yang kurang kerjaan," ucap Tenten.
"Ya mungkin saja, Mereka memang bodoh, meneriaki cowo-cowo yang tidak mungkin menggubrisnya," ucap Hinata.
"Aku setuju denganmu Hinata-chan. Mereka hanya sekumpulan cowo-cowo yang suka narsis dan tebar pesona," sahut Tenten.
" Woi tapi wajar saja kali, apalagi ada Sasuke-kun yang tampan itu," timpal Sakura dengan wajah yang bersemu merah.
"Dan juga ada my baby panda Gaara yang keren banget... kyaaa..." Ino ikut menyetujui ucapan Sakura, dan tiba-tiba ada background love dan blink-blink di sekitar Sakura dan Ino, membuat Hinata dan Tenten memutar bola mata mereka, bosan.
"Sakura chaaaann." barinton 10 megawatt memenuhi kelas yang mulai ramai. Terlihat seorang pemuda berambut kuning jabrik berlari dengan slowemotion buatan author, dengan langkah yang dramatis, pemuda itu mendekat ke arah Sakura dan langsung mendekap gadis musim semi itu.
Sedangkan sang korban tertunduk dengan wajah merah padam. Campuran antara malu dan kesal sekaligus. Urat-urat kemarahan menghiasi jidatnya yang selebar bandara #plakk
"Dugh"
"Ouughh" rintih pemuda jabrik itu, mengelus benjolan di kepalanya akibat keganasan tangan Sakura. "Sakit Sakura-chan, tega sekali kau padaku," rajuk pemuda itu.
" Itu salahmu sendiri, Naruto no baka. Yang seenaknya memeluku," jawab Sakura tak peduli.
Ketiga teman Sakura hanya menggeleng kepala. Bagi mereka, ini bukan hal pertama kali tp sudah sering terjadi. Mereka semua tahu, bahwa Sakura dan Naruto sudah sangat akrab. Tapi Hinata tahu, bahwa Naruto aka pemuda yang pernah ia sukai itu sesungguhnya memiliki perasaan khusus pada temannya itu. Hinata hanya bisa tersenyum, mungkin memang Sakuralah yang lebih baik darinya.
Di belakang Naruto berdiri Sasuke, Gaara dan Shikamaru. Mereka berdiri angkuh tanpa suara. Jangankan menyapa, tersenyum saja tak pernah.
Hinata menatap mereka dari ekor matanya. Melihat saat Sakura dan Ino dengan genitnya berusaha mengajak bicara, yang hanya ditanggapi gumaman tak jelas. "hn" yang sampai saat ini, tak ada kamus yang mengartikan arti itu. Hinata mendengus kembali,"Huft, bad boy number one," gumam Hinata dalam hati, lalu ia mulai tenggelam dalam bukunya.
Kriiiiinggggg
Bel tanda masuk berbunyi. Seluruh murid segera berhamburan menuju bangku mereka masing-masing.
Tep
tep
tep
suara langkah kaki terdengar dan berhenti tepat di depan kelas 12-1.
Ckleek
"Gleekk" Semua penghuni kelas 12-1 meneguk ludah paksa.
"Hari ini kita akan adakan ulangan!" ucap Anko sensei. Bibirnya menyerigai puas melihat wajah muridnya yang pucat pasi. "khukhukhu hari ini akan dapat tangkapan besar." tawa evil Anko sensei.
.
.
Chimi Wila chan
.
.
Suasana kantin terasa begitu ramai dipenuhi oleh siswa-siswi yang hendak menghilangkan lapar dan dahaga. Setiap bel istirahat berbunyi, pasti kantin sekolah akan padat layaknya pasar tradisional.
Di sudut kantin, Hinata, Tenten, Ino dan Sakura tengah menikmati bekal mereka. Jus yang mereka pesan pun ikut meramaikan meja mereka.
"Huwaa, segarnya." ucap Ino setelah menyeruput jus lemon pesanannya. "hei, ulangan tadi benar-benar menguras otaku, Anko sensei benar-benar ingin membuatku jantungan, aku bersumpah tadi melihat tanduk evil di kepala guru killer itu." ucap Ino membuka pembicaraan. Memang sih, di antara berempat hanya Ino yang kurang pintar. Bukan! Bukannya Ino bodoh, hanya saja ia malas belajar. Waktu belajarnya ia habiskan untuk menonton gosip dan trend masa kini, kalau tidak, ia akan menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan. Benar-benar gadis yang tak patut dicontoh. Namun, kelebihan dari Ino selain cantik adalah kebaikan hatinya. Yang selalu perhatian dengan teman-temannya.
"Kau sangat berlebihan Ino-pig." sahut Sakura sambil memasukan tempura ke dalam mulutnya.
"Iya, makanya kau harus rajin belajar, dan tinggalkan kotak bersuara itu." imbuh Tenten.
"Huft, kalau saja, perbuatan semudah dengan pengucapan, tentu saja aku tak butuh saran kalian." dengus Ino. "Lagian, aku tak bisa lepas dari televisiku apalagi bila sudah mempertontonkan Taylor Swift, kyaaa uh cara berpakaiannya, pokoknya fashionable banget." celoteh Ino.
Teman-temannya sangat tahu bahwa Ino adalah fans berat Taylor Swift. Bahkan dengan gamblangnya Ino menyatakan bahwa dirinya Taylor Swift kedua. Mungkin karna rambut pirang mereka yang hampir sama. Ah, mereka pun tak tahu jalan pikiran Ino.
"Paling tidak sempatkan sebentar buat belajar, jika kau terus begitu, kau takan lulus dengan nilai burukmu itu." ucap Hinata ikut menasehati.
"Jangan menakutiku, hinata-chan!" rajuk Ino.
"Memang seperti itu,Ino. Makanya, mulai sekarang, belajarlah!" ucap Sakura.
"Hah, bagaimana aku bisa belajar, aku saja kurang mengerti, bagaimana bisa? Angka-angka itu di sandingkan dengan huruf x, y, z kemudian menjadi rumus, argh memikirkannya saja membuatku pusing." racau Ino.
"Semua bisa kalo kita belajar dan berlatih soal. Hei, memangnya selama ini kau bisa naik kelas dengan cara apa?" tanya Tenten bingung, setahunya rumus-rumus yang di pelajari itu merupakan rumus-rumus kelas junior yang di kembangkan. Bagaimana bisa Ino naik kelas, jika ia tak tahu rumus?
"Huft, dia sering mencontekku." sungut Sakura.
"Hehehe..." tawa Ino.
Hinata dan Tenten terbengong dan saling pandang, akhirnya mereka mengangkat kedua bahu masing-masing tanda tak mengerti.
"Oke, bagaimana misi kalo membuat Ino bisa matematika sebagai misi kita." usul Tenten.
"Ah, aku setuju sekali." jawab Sakura girang.
"Ide bagus tuh, bagaimana menurutmu Ino?" ucap Hinata. Ketiganya menatap Ino, menantikan jawaban dari teman pirangnya.
"Errrr... Ga apa-apa nih, aku ngrepotin kalian?" tanya ragu Ino.
"Ya ampun, Ino... Tentu saja tidak, membantu sesama teman itu kan dapat memper'erat persahabat, ya kan teman-teman?" jawab Sakura yang diangguki oleh Tenten dan Hinata.
"Em, kalo gitu. Aku mau deh." ucap Ino yakin membuat teman-temannya tersenyum puas.
Hening, hanya ada suara dentingan sendok dengan kotak bekal mereka. Masing-masing tenggelam dengan apa yang tengah dirasakan lidah mereka.
"Hei, kalian dengar gosip terbaru tidak." ucap Tenten yang sudah selesai memakan bentonya. Ketiga temannya saling pandang dan mengernyitkan alis tanda tak mengerti.
"Gosip apa? Ko aku tak tahu." tanya Ino penasaran.
" Hehe, tapi kau harus siap-siap patah hati, Ino!" kata Tenten yang semakin membuat Ino tak mengerti.
"Memangnya ada gosip apa?" Sakura ikut penasaran.
"Ku dengar Gaara sudah memiliki kekasih." ucap Tenten. Walau Tenten mengucapkanya dengan santai, entah bagaimana seperti terdengar lonceng kematian di telinga Ino, hingga membuat Ino yang tengah meminum jusnya hampir saja tersedak.
"Serius?" pekik Ino meminta kepastian sedangkan Sakura terkikik geli melihat wajah horor Ino.
"Iya, aku serius. Berita yang ku dengar ini dari sumber yang akurat." jawab Tenten.
Ino tiba-tiba saja sulit bernafas hingga membuat Sakura menepuk punggung Ino.
"Augh" rintih Ino."Sakit forehead, kau terlalu keras menepuknya." sungut Ino. Sedangkan Sakura semakin tertawa.
"Kau tahu darimana?" selidik Ino.
"Itu tak penting, kau lihat siswi yang berambut coklat pendek di sana, itulah kekasih Gaara." Tenten menunjuk ke seorang siswi yang tengah mengantri minuman.
Ino menoleh, melihat ke arah yang di tunjuk Tenten. Maniknya menangkap seorang gadis yang menurutnya manis dan lebih muda darinya. Entah mengapa, ia merasa bahwa gadis itu lebih cantik darinya hingga membuat Ino merengut sebal.
"Namanya Matsuri, siswi kelas 10."
Dan lebih parahnya lagi, ia kalah saing dengan kohainya. Uh menyebalkan.
Sakura masih saja tak dapat menghentikan tawanya.
"Hei, Sakura, aku juga punya berita untukmu."
Lantas, Sakura menghentikan tawanya dan menatap Tenten penuh tanya.
"Ku dengar, Sasuke-mu tengah dekat dengan Karin, anak kelas 12-3 itu loh yang terkenal sexy aduhai itu." ucap Tenten dengan penekanan di kata Sexy.
"APAA!" pekik Sakura. Kini giliran Ino yang tertawa melihat ekspresi Sakura.
"Gosip beredar mengatakan seperti itu." tambah Tenten.
"Hah" Sakura menghela nafas, kemudian ia mengepalkan tangannya. "berani sekali, badan plastik mendekati incaranku, awas saja kalau ketemu!" desis Sakura menggebu-gebu.
"Oi.. Oi, bersainglah secara sehat, jangan pake kekerasan," ucap Hinata yang sedari tadi diam. Hinata memang orang yang acuh terhadap gosip-gosip yang menurutnya tak penting. Tapi, ia suka sekali melihat sahabatnya yang heboh sendiri menceritakan apa yang didengar, dilihat, walaupun ia hanya bisa tersenyum dan menanggapi sekenanya.
To be continued
