uaah... fic baru niii!! yeeii!! oh iya, ini bukan HitsuRuki ya, tapi 2 pair sekaligus; IchiRuki dan HitsuHina!! enjoy!
Insomia
Summary: Saat-saat curhat ditemani kopi dan teh, tengah malam, ngomongin Ichigo dan Hinamori, yang satu mengutuki hujan, yang satu memuji hujan, tapi keduanya sama-sama merindukan salju. Dan semuanya karena penyakit yang sama; Insomia!
Prolog:
Maaf… Aku harus pergi…
"Jadilah seperti matahari… yang menyinari bumi dengan sinarnya tanpa pamrih. Tetap menyinari dunia walaupun banyak manusia yang mengeluh akan panasnya. Yang selalu menyinari dunia dengan sinarnya yang terik namun menyejukkan. Jadilah seperti itu di lingkungan sekitarmu…, paling tidak di hadapanku, di hatiku. Yang selalu menyinariku dengan senyummu, yang mencairkan sebagian hatiku yang membeku…."
Dan maaf… karena tak bisa selalu menjadi mataharimu
"Hei, minum kopi juga ada seni tersendiri! Rasakan pahitnya kopi di lidah, pahit tapi enak. Rasakan kafeinnya, rasakan bubuk-bubuknya, hirup aromanya…. Rasakan hangatnya menjalar keseluruh tubuh…."
Saat aku minum teh… aku selalu ingat kopi…
"Kenapa benci hujan? Kau itu nggak bersyukur banget ya? Hujan kan salah satu daur air, kalo ga ada ujan, air mandek ga sampe-sampe sini. Kalo gitu kan kita yang repot."
Dan lagi, anehnya… hari ini… hujan…. Mungkin aku memang tak pantas menjadi mataharimu… tapi aku akan terus mencoba menjadi mataharimu… yang akan menghiburmu… seperti hujan menghiburku….
*
Maaf… tak jujur padamu… Aku tarik semua kata-kataku…
"Kalo gitu, Shiro-nii jadi bulan ya? Jadilah bulan yang selalu menyinari malam nan gelap dengan sinarnya walaupun redup. Walaupun cahayanya hanyalah pantulan sinar matahari…, tapi ia tetap setia menggantikan tugas Sang Surya, menjaga malam dengan sinarnya yang indah… terkadang di temani bintang dan gunung-gunung juga pohon tinggi atau gedung-gedung bertingkat dengan lampu-lampu silau dan gumpalan-gumpalan asap abu membuat bintang menghilang…. Jadilah bulanku, yang selalu menyinari hatiku walaupun cahanya redup… tapi sangat berarti di kelamnya hati ini…"
Aku akan jujur… aku… kangen dengan semua filosofi asal yang kita buat…
"Minum teh itu ada seninya…. Serupur teh itu pelan-pelan… rasakan panasnya mengaliri rongga mulut, menuruni kerongkongan, sampai ke lambung. Hmmm… rasanya anget banget di badan… kaya pake kayu putih tapi di dalem tubuh. Manis sedikit pahit, tapi enak…."
Dan juga… –mungkin aneh memang tapi—aku juga… rindu dengan aroma tehmu…
"Aku benci hujan…. Kenapa hujan harus ada?! Sensasi hujan selalu dingin…sepi… sendiri. Betapa bencinya aku pada hujan… tapi…, hujan selalu datang saat aku sedih..., seolah menghiburku. Hujan selalu turun saat aku menangis… seolah ikut berduka, menangis bersamaku. Hujan selalu datang saat aku sendiri dan hampir menangis kesepian…, seolah mengejekku. Kenapa? Padahal aku benci padamu! Tapi kenapa kau terus turun menggodaku? Kau pikir ini lucu? Tapi… aku menghargai hujan itu karena sudah berusaha menghiburku, walaupun tak bisa mengurangi rasa kesalku padanya…."
Ya… sekarang juga hujan… tapi aku tak benci hujan seperimu…, apakah sekarang kau masih benci hujan? Mungkin aku bukanlah bulan bagimu… tapi adalah… hujan…aku tersindir, kau tau? Tapi aku akan terus berusaha menjadi bulanmu… kalaupun tak bisa, aku akan menjadi hujanmu….
*
"Eh? Kau kena insomia juga??"
Walaupun hujan selalu pergi saat matahari datang… dan yang muncul adalah pelangi. Saat kesedihan merundung, datanglah cahaya, jalan keluar dari semua masalahmu… lalu dunia menjadi warna-warni—mejikuhibiniu—kebahagian…
"Aku suka saat-saat insomia seperti ini…."
"…Aku juga…."
Dan… aku rindu saat-saat tengah malam, saat kita tak bisa tidur—insomia—dan menghirup aroma minuman favorit kita masing-masing…
***
