A/N: Disini kumpulan side story DC, dan tentunya ceritanya akan erat hubungannya dengan DC. Bedanya, rata-rata story disini alurnya lebih ringan, dan lebih berpusat pada cerita masa lalu para chara-chara DC. Jadi, format cerita ini adalah kumpulan oneshot! Itu artinya, takkan ada cerita yang bersambung. Dan cerita di tiap chapter takkan selalu ada hubungannya dengan chap sebelumnya. Nah, pertama adalah kisah pertemuan pertama Yuuto dengan Shuuya... XD
Disclaimer: Inazuma Eleven is belong to level-5
Warning: OOC, Au, full hint of ShuuyaxYuuto, Yaoi, stories are related with 'Death Chorus' fanfic.
Happy reading, minna-san! XD
Death Chorus, Side Stories
Song of Destiny
(Shuuya and Yuuto's past)
Yuuto's POV
Millenium Century, ga-tahu-tahun-berapa (author dihajar)
"Yuuto, hari ini kau akan menghadiri pesta ulang tahun ke-7 dari putra keluarga Goenji, jadi tunjukkanlah loyalitasmu dan jangan sampai berbuat kesalahan."
ayahku memberi sebuah titah di hari itu. Hari ini adalah hari pertama kalinya aku akan berinteraksi dengan keluarga Goenji. Aku? Oh, maaf. Aku lupa mengenalkan diri. Namaku Yuuto Kidou, usia 7 tahun. Putra tertua dari keluarga Kidou. Keluarga kami memiliki hubungan darah yang cukup kental dengan keluarga Goenji. Namun di keluarga besar ini, keluarga Kidou berstatus dibawah keluarga Goenji. Daripada terlihat seperti keluarga, kami lebih terlihat seperti pelayan dari keluarga Goenji. Naas sekali, kami seharusnya dianggap setara. Tapi kenapa status keluarga Kidou dianggap lebih rendah?
Aku benci keluarga Goenji, meski tak pernah bertatap muka. Kenapa? Karena mereka, kami jadi dianggap rendah. Karena mereka, ayahku menjadi bersikap keras. Mendidikku dan adikku supaya suatu saat nanti dapat menyaingi keluarga Goenji, untuk menjadi musuh dalam selimut. Mungkin, seandainya aku dapat menjatuhkan keluarga Goenji ayahku akan kembali menjadi ayah yang baik seperti dulu... Ya.
Demi keluargaku, akan kuhancurkan keluarga Goenji...
(tralala, pembatas cerita)
Aku dan ayahku berangkat dengan limousine classic hitam yang panjang. Kadang aku berpikir, mengapa sih di millenium century ini gaya hidup masyarakat malah kembali seperti jaman foreign century? Bahkan budaya abad ini terlalu klasik, bahkan bila dibandingkan dengan 21 century. Alasannya? Entahlah, yang jelas ini diatur oleh pemerintahan dunia. Merupakan hal yang sangat buang-buang waktu bagi otak pandaiku ini bila memikirkan hal seperti itu.
Akhirnya kami sampai di depan sebuah mansion berukuran raksasa. Warna putih bersih berpadu dengan warna mutiara tampak mendominasi warna gedung ini. Dipadu dengan sedikit polesan emas di beberapa bagian mansion. Indah, terlalu indah untuk menjadi kediaman utama keluarga Goenji. Memuakkan! ...Baiklah, mungkin tak pantas bila anak kecil sepertiku menyimpan kebencian pada sekelompok orang yang belum pernah kutemui, tapi...
Hanya dengan adanya eksistensi mereka, membuat hidupku tak bahagia...
Ayahku berjalan memimpinku masuk ke mansion indah itu. Kami langsung disambut oleh puluhan pelayan keluarga itu. Ball tempat pesta masih sangat sepi. Kurasa kami memang datang terlalu cepat. Ayolah, kau pikir akan ada orang yang memulai pesta jam 4 sore?
"Selamat datang.." Terdengar suara yang berat, melebihi beratnya suara ayahku. Kudongakkan kepalaku untuk menatap sosok yang tengah berdiri tegap dihadapanku dan ayahku.
"Jadi ini anakmu?" Pria itu menatap datar padaku sambil bicara pada ayahku. Hei, paling tidak kau harus menatap lawan bicaramu saat sedang mengajaknya bicara kan? Dasar tidak tahu tata krama...
Sayangnya aku harus menarik kembali pernyataan itu saat tahu siapa dia sebenarnya...
"Suatu kehormatan dapat bertemu dengan anda, Tuan besar Goenji..." Ucapan ayahku membuatku langsung tersentak. Kemudian aku bersembunyi di balik kaki ayahku sambil menatap tajam sosok pemimpin keluarga Goenji itu. Sosok itu menatapku datar, lalu tersenyum (yang kelihatannya hanya sebuah senyuman palsu) sambil menepuk kepalaku.
"Matanya indah sekali. Aku juga memiliki anak yang seumuran dengannya. Pasti dia senang sekali bila dapat bertemu si mata ruby ini..." Oh, jadi orang seperti itu bisa punya anak juga? Menarik, pasti anaknya juga seperti ayahnya. Penuh kepalsuan...
"Yah, sayangnya anak itu sedang menghilang..." Sang pemimpin keluarga Goenji itu tersenyum. Entah itu senyuman asli atau palsu. Aku sendiri tak begitu ingin peduli pada hal itu.
"Dia memang tak terlalu suka pesta, tapi bagaimanapun ini adalah pesta ulang tahunnya." Orang itu terlihat mengkhawatirkan anaknya. Aku baru tahu kalau masih ada yang namanya 'kasih sayang' di keluarga yang terkenal dalam dunia bisnis dan teknologi ini.
"...Akan kucari." Dan dengan spontannya, aku langsung mengucapkan kata-kata itu dengan sangat percaya diri. Ayahku langsung terbelalak kaget, setengah marah juga. Aku yang sadar diri langsung menutup mulutku dengan wajah horror.
"Ahahaha...! Kau anak yang penuh semangat. Baiklah, kalau begitu tolong ya?" Orang itu menepuk kepalaku, membuatku sedikit tersipu. Oh tidak! Harusnya aku benci pada orang yang secara tidak langsung telah menghancurkan keluargaku ini! Tapi... Bahkan orang yang kubenci itu sekalipun malah menepuk kepalaku, layaknya aku adalah anaknya sendiri. Dan ayahku yang sebenarnya malah tak pernah memperlakukaku dengan selembut ini...
"Ung... Aku... Permisi dulu!" Dan dengan bodohnya aku berlari meninggalkan tuan besarku dengan wajah yang merah merona. Baiklah, aku terlihat sangat konyol saat ini. Tertawakan saja sifatku yang pemalu dan mudah blushing ini! Aku tak peduli lagi! Yang penting, aku harus segera pergi dan...
Menemukan si tuan muda. Benar juga, tadi aku sudah berjanji pada si tuan besar Goenji itu. Baiklah! Aku akan mencari sang anak itu...
Kulangkahkan kakiku keluar mansion. Aku berjalan di taman dengan santai, namun penuh kewaspadaan. Sesekali kuhentikan langkahku, sekedar untuk mengagumi bunga-bunga langka yang entah kenapa bisa tumbuh disana. Bila dilihat, taman ini terlihat indah... Sangat indah malah. Berbagai macam bunga mekar dan menatap sang mentari dengan ceria. Beberapa kupu-kupu dan burung terbang membentuk sebuah pola ajaib. Anehnya, bahkan mereka tidak saling bertubrukan atau makan-memakan. Bukankah beberapa jenis burung memang memakan serangga? Kulihat pula beberapa pohon yang berayun serempak dengan damainya, membuat sang angin bergulir lembut menyusup ke tubuhku. Hewan-hewan kecil tampak beristirahat dan bermain dengan temannya. Oke, aku mulai ragu juga. Sebenarnya ini sebuah halaman rumah seseorang atau kebun binatang, atau lebihnya lagi apakah ini suaka marga satwa?
Pikiran anehku tadi terlupakan saat aku menyadari bahwa hewan-hewan itu banyak yang berkumpul menuju satu tempat. Penasaran, kuikuti saja langkah mereka. Hewan-hewan itu seolah tersihir untuk datang ke suatu tempat. Aneh, memangnya hal apa yang menarik mereka?
Alunan nada mulai terdengar samar-samar ditelingaku. Mungkin ini suara biola. Jadi karena itu para hewan ini berkumpul? Dasar hewan-hewan aneh. Sama anehnya seperti aku yang ikut mencari asal suara tadi. Akupun terus berjalan saja mendekati asal suara itu, sampai akhirnya aku menemukannya...
Orang yang nantinya akan mengubah takdir hidupku...
Aku tertegun melihat pemandangan itu. Pohon-pohon disekitarku berjejer melingkar, seolah membentuk panggung. Ditengahnya berdiri sosok anak laki-laki yang memainkan biola dengan damainya. Hewan-hewan tertunduk dalam, mengagungkan sosok yang sedang terhanyut dalam melody buatannya itu. Kupandang lekat sosok anak laki-laki dalam balutan kemeja putih panjangnya. Rambut putihnya berkilau lembut saat diterpa sinar matahari yang sayup-sayup. Matanya tertutup dengan damai sambil memberi penghayatan pada lagu yang ia mainkan. Bibir tipisnya tersenyum lembut, seolah benar-benar menikmati apa yang ia mainkan.
Aku terpaku dalam bisu. Lagu yang kudengarkan itu terasa hangat, namun menyedihkan. Tapi sentuhan lembut sangat kental terasa dalam lagu yang indah ini. Lagu yang terdengar seperti lagu yang dinyanyikan untuk mengantar kepergian orang yang tersayang. Tiap melodynya sangat penuh makna dan penghayatan. Membuat air mataku menetes sendiri. Bukan karena sedih, mugkin seperti perasaan dimana aku bertemu sesosok malaikat...
"...?"
Anak laki-laki itu mulai menyadari keberadaanku. Dihentikanya permainan biola yang indah itu. Mata onyxnya menatapku lembut, lalu mulai berjalan mendekatiku dengan langkah yang sangat ringan. Tentu saja aku masih terpaku karena lagu tadi, jadi aku hanya terdiam bagaikan patung. Kutatap bocah manis yang sekarang tengah berdiri tepat dihadapanku itu. Dia merogoh saku celananya, namun sepertinya ia tak menemukann benda yang ia cari. Selanjutnya, anak itu mulai mengusap lembut air mata dari wajahku. Baiklah, tindakannya itu dengan sukses membuatku terlonjak kaget. Mendapati sikapku, anak itu malah tersenyum polos sambil tetap berusaha mengusap air mataku.
"Jangan menangis..." Ucapnya sambil tersenyum lembut padaku.
Air mataku langsung berhenti mengalir. Namun tetap saja aku masih terbengong-bengong dihadapan anak berambut putih tulang itu. Melihatku, dia hanya tertawa lepas. Kemudian membawaku untuk duduk di sebuah batu besar disampingnya, membiarkanku mengambil posisi duduk yang nyaman. Lalu anak itu mulai menanyaiku macam-macam hal...
"Tadi kenapa menangis?" Pertanyaan polos itu membuatku langsung tersentak. Mana mungkin aku bilang kalau aku menangis karena mendengar lagunya yang sangat 'awesome' itu? Oh tidak... Ayo pikirkan hal lain untuk menjadi alasan, Yuuto!
"A, aku... Aku bukan menangis karena mendengar lagu yang kau mainkan tahu!" Bagus. Aku malah membocorkannya dengan mulut payahku ini. Dasar aku memang tak pandai berbohong! Apanya yang bagus dari sifat seperti itu?
"Itu tadi lagu kesukaanku..." Jawabnya, yang sebenarnya cukup tidak nyambung dengan apa yang kuucapakan sebelumnya.
"Lagu tadi terlalu mengharukan untuk ukuran anak kecil sepertimu..." Komentarku dengan memasang wajah yang sok cool. Kulirik sang anak bermata onyx yang langsung cemberut sambil menggembungkan pipinya.
"Terlalu mengharukan bagi seorang anak yang menangis karenanya..." Tak kusangka anak ini pintar menyindir juga. Bahkan sindirannya tadi cukup menohok diriku.
"Iya, iya. Maafkan aku. Lagu tadi memang sangat indah..." Aku mulai tersenyum padanya, sebuah senyuman bisnis tentunya.
"...Tidak baik kalau menipu orang dengan senyuman palsu." Ucapnya dengan datar sambil menatap lurus ke mataku. Aku terhenyak saat mendengar pernyataannya itu. Ternyata anak ini menyadari bahwa senyuman yang tadi kuberikan adalah senyuman palsu.
"Wah! Ngomong-ngomong, matamu warnanya merah ya?" Anak itu mulai mendekatkan wajahnya padaku, bermaksud untuk mengamati mataku lebih jelas. Namun tentu saja aku merasa agak risih karena kedekatan itu.
"Jangan dekat-dekat, baka..." Aku mendorong pelan tubuhnya, namun kekuatanku seolah hilang ketika tangan lembutnya menyentuh kelopak mataku. Mata kiriku sedikit terpejam saat tangannya mengadakan kontak pada mata merahku. Anak itu memandang lekat pada kedua mataku, dengan tatapan polos dan penuh rasa ingin tahu tentunya. Alhasil, aku menjadi sedikit parno (paranoid). Kualihkan mataku dari tatapannya. Sepertinya wajahku juga makin memerah. Oh tidak, aku harus segera membuat anak ini berhenti menatapku seperti itu...!
"Apa sih lihat-lihat...!" Kudorong lemah wajahnya yang tadinya hanya berjarak lima senti dariku itu. Anak aneh itupun menurut saja pada tanganku.
"Matamu bagus sekali lho. Seperti batu ruby, sangat indah dan berkilau!" Dan dia mulai memuji mataku dengan wajah polosnya itu lagi, membuatku sedikit tertunduk malu. Ingin rasanya aku membalas pujiannya itu. Namun apa yang harus kukatakan?
"Terimakasih. Ngg... Matamu juga bagus kok. Penuh dengan aura kejujuran..." Ucapku sambil tertunduk malu. Sepertinya saat ini wajahku tengah merona merah. Aku terlalu sibuk untuk menyembungikan wajahku yang memerah, tanpa menyadari bahwa sang bocah itu sedang terdiam sambil menerawang...
"Kau takkan tahu apa seseorang itu jujur atau tidak hanya dari pertemuan pertama..."
"Eh? Kau bilang apa tadi?" Sayangnya aku tak mendengar ucapan anak itu karena terlalu sibuk untuk menenangkan diri.
"...Hei, kau bisa memainkan alat musik?" Tiba-tiba, anak itu mulai bertanya tentang suatu topik yang tidak nyambung dari pertanyaanku tadi. Anak ini aneh sekali sih? Ah, sudahlah...
"Saat ini aku masih menguasai piano saja." Ujarku datar.
"Ung... Di taman ini tak ada piano." Ucapnya dengan wajah kecut, "Kau bisa menyanyi?" Lalu ia mulai bertanya lagi
"Eh? Menyanyi... Sedikit sih..." Ujarku malu-malu, namun tetap saja gengsiku memerintah untuk tetap stay cool.
"Hehehe. Sudah kuduga kau memiliki kemampuan lebih di bidang musik. Kalau begitu, ayo kita duet!" Dan aku hanya cengo saat mendengar ajakan dari anak manis yang satu ini.
"Memangnya mau duet dengan lagu apa?" Tanyaku dengan nada yang penuh dengan ketidak–yakinan, yang dibalasnya dengan senyuman polos.
"Tentu saja lagu yang tadi kumainkan!" Jawabnya dengan enteng. What? Aku kan baru sekali mendengar lagu itu? Memangnya orang jenius macam apa yang bisa langsung menyanyi setelah mendengar lagunya hanya satu kali?
Seolah mengerti pikiranku yang memustahilkan hal itu, dia hanya tersenyum yakin. Ditepuknya kedua pundakku, tak lupa dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya...
"Aku percaya kalau kau bisa melakukannya..."
"Tapi..."
"Mau bertaruh?" Senyuman yakinnya membuat reaksi penolakanku terhenti. Mana ada orang yang bertaruh untuk keberhasilan seseorang yang sendirinya ragu akan kemampuannya? Kurasa kita harus meragukan kewarasan anak ini. Tapi, wajahnya itu seolah ia akan memenangkan taruhan ini dengan mutlak. Kepercayaan diri yang luar biasa sekali.
"Baiklah. Yang menang menuruti apapun permintaan yang kalah...!" Entah atas dasar apa, aku yang biasanya cukup hati-hati ini malah menyanggupi taruhannya. Anak itu tersenyum senang saat mengetahui jawabanku.
Kami berdua sama-sama menarik nafas panjang. Kemudian ia mulai memainkan intro dari lagu yang tadi ia mainkan dengan biolanya. Aku sempat berpikir, aku tak tahu lirik dari lagu ini. Mungkin baiknya aku bersuara secara asal atau se-vokal? Oh, mungkin lebih baik disuarakan dengan bunyi tangga nada saja...
Aku mulai memejamkan mataku sambil bernyanyi, mewujudkan sebuah paduan melody yang indah antara aku dan dirinya. Kami terus beradu dalam lagu yang tak kukenal itu. Sampai akhirnya ia ikut bernyanyi juga bersamaku, sambil tetap memainkan biolanya dengan lincah. Aku sempat terkejut, suara anak itu adalah suara terbaik yang pernah kudengarkan sepanjang hidupku yang baru berusia 7 tahun ini. Aku ternganga lebar, kuakui aku terkagum-kagum pada suara emasnya itu. Namun moment ke-cengoanku itu tak berlangsung terlalu lama karena ia memberiku isyarat untuk ikut bernyanyi kembali melalui senyumannya. Kali ini suara kami beradu, iringan biola yang dimainkannya benar-benar merasuk dalam jiwaku, seolah membuatku dapat mengeluarkan potensiku secara penuh.
Lagu itu kami akhiri dengan saling bertatap muka. Bedanya, Shuya menatapku dengan senyuman lembut, sedangkan aku menatapnya dengan segala ekspresi cengo dan kelemotan yang tersimpan di lubuk hatiku (?).
"Tuh, kan. Kau bisa melakukannya...!" Sayangnya aku tak mendengar pujian itu. Bukannya tidak mau, namun hatiku saat ini masih melayang dalam lagu itu. Jadinya tentu saja aku tak dapat mencerna apa yang dikatakan anak manis ini.
Kesadaranku mulai kembali saat tangan mungilnya mengelus kepalaku dengan lembut. Lagi-lagi ia tersenyum hangat padaku. Sosok aneh yang keberadaannya bagaikan malaikat. Siapa sebenarnya anak ini?
"Nah, aku menang taruhan lho!" Ucapnya riang sambil membentuk tanda peace dengan kedua jarinya. Aku sempat berdecak sebal, namun seorang gentleman harus mengakui kekalahannya bukan?
"Hn. Sekarang, kau ingin aku melakukan apa?" Tanyaku dengan ekspresi datar. Padahal batinku sudah komat-kamit. Berdoa agar anak yang satu ini tak menyuruhku melakukan hal aneh.
"Aku mau... Oh, ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diri padamu ya?" Sang anak itu teringat pada hal yang harusnya kami lakukan dari tadi. Berkenalan.
"Aku juga lupa. Namaku..." Sayangnya, ucapanku terpotong oleh suaranya yang penuh keyakinan dan percaya diri itu.
"Tak usah memperkenalkan diri, aku sudah tahu namamu... Yuuto Kidou..." Sosoknya saat ini terlihat penuh kewibawaan dan kekuatan, masih dengan pancaran aura lembut miliknya. Sinar mentari yang menyusup samar menerpa dirinya. Berkilau, bagaikan dewa yang tengah tebangun dari tidur panjangnya.
"Namaku Shuuya, Shuuya Goenji..." Aku terkesiap saat mendengar namanya. Jadi dia...
"Permintaanku, Jadilah pelayanku. Hiduplah sebagai sosok yang akan mendampingiku semumur hidupmu... Kau setuju?" Tentu saja tidak! Tidak, meski aku dituntut untuk mematuhi perintah keluarga Goenji, aku tak dapat menurut pada kalian yang telah membuat keluargaku hancur. Tidak akan, meski kau adalah sosok yang sama sekali tak mungkin kubenci...
"...Yuuto tidak mau ya?" Shuuya menatapku dengan wajah yang sedih, sambil mengeluarkan ekspresi harap-harap cemas. Oh, geez! Kau pikir aku akan tergerak dengan 'puppy eyes no jutsu' milikmu itu?
Aku hanya terdiam sambil memalingkan wajah. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa sebal padanya. Mungkin karena telah mengetahui siapa dia sebenarnya. Shuuya menatapku dengan ekspresi sedihnya, membuatku makin tertekan saja. Aku tetap keras kepala, sampai akhirnya ia mulai meneteskan air mata...
"Kenapa semua orang selalu menjauhiku...? Apa karena... Keluargaku?" Isakannya membuatku terkejut. Sosoknya yang tadi terlihat kuat kini mulai meredupkan sinarnya. Cahaya milik mata onyxnya mulai melemah karena terhalang air mata. Bagaimanapun, mana ada orang yang tega untuk membiarkan anak semanis ini menangis?
"...Jangan nangis, baka!" Aku hanya memasang wajah kusut sambil menghapus air matanya. Ia hanya membisu, sambil memejamkan sebelah matanya yang kuusap dengan jemariku. Tanganku mulai berpindah mengelus kepalanya, membuat tangisan Shuuya terhenti. Ia hanya tertunduk sambil masih memasang ekspresi sedih. Menatapku dengan segala aura-aura uke dari anak berumur 7 tahun (usia segitu lebih cocok jadi uke ketimbang seme kan?).
"Baiklah, baik! Aku akan jadi pelayanmu...! Tugas keluarga kami memang begitu kan?" Aku mulai membawa-bawa status keluarga kami. Hal itu langsung membuatnya cemberut seketika. Digembungkannya pipinya, membuatku ingin mencubitnya saking manisnya ekspresi wajah itu. Serius, memang dari tadi aku selalu bilang bahwa anak ini manis. Dan tentu saja hal itu benar, karena seumur hidupku aku belum pernah mengatakan seseorang itu 'manis', kecuali dalam kasus si tuan muda Goenji ini...
"Bukan hanya hubungan antara pelayan dengan majikan...!" Anak itu mulai berucap sebal sambil mendekatkan wajahnya padaku. Tentu saja hal ini membuatku memikirkan hal-hal aneh seketika. Apa maksudnya dengan bukan hanya hubungan antara pelayan dengan majikan? Mungkinkah itu...
"Jadilah sahabatku. Berbagilah denganku, dan aku juga akan membagi hal yang berharga milikku padamu seorang!" Shuuya tersenyum senang dan mengulurkan tangannya padaku. Mungkin dengan maksud untuk meminta persetujuan dariku. Ah, rugi aku tadi sempat berpikir yang aneh-aneh. Jadi, apa yang akan kukatakan untuk anak ini?
"Ijinkan aku mengabdi padamu, Tuanku..." Kuraih tangannya dengan perlahan, lalu kukecup lembut punggug tangannya. Sang Tuam mudaku hanya cengo dan sedikit merona pada wajahnya. Mungkin kalau dalam keadaan biasa aku sudah akan mentertawainya. Masalahnya, saat ini aku juga ber-blushing ria saat menyadari perbuatan yang telah kulakukan tadi.
"Ma, maaf... Tadi aku terlalu terbawa suasana, jadi..." Aku hanya tergagap, berusaha menjelaskan semuanya. Namun tentu saja hasilnya nihil. Kami berdua hanya saling memalingkan wajah satu sama lain.
"Gayamu sok gentle amat..." Ejek Shuuya, yang masih sedikit terlihat rona merah di wajahnya. Ternyata, di keluarga Goenji yang kabarnya memiliki imej yang terkesan dingin itu masih ada anak sepolos dia. Aneh, apa anak ini benar-benar lahir di keluaraga ini ya?
"Yuuto, ayo kita kembali..." Sekali lagi, kutatap sosok dirinya yang sedang tersenyum hangat padaku sambil mengulurkan sebelah tangannya. Tanganku yang tadinya ragu mulai menyambut ulurannya dengan mantap. Rasa hangat tangannya mulai berpindah ke tanganku. Seiring dengan tumbuhnya sebatang bunga di dalam lubuk hatiku yang baru pertama merasakan musim semi ini...
Shuuya mulai membawaku sambil berlari kecil, childlish sekali. Mungkin disinilah awal dari perubahan kecil dalam hidup kami masing-masing. Atau mungkin ada awal lain yang mendahului kehidupannya? Entahlah, akupun masih belum terlalu mengenal tuan mudaku yang baru ini. Tapi, paling tidak sebuah takdir baru akan tercipta...
Takdir yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya...
FIN
Awawawaw!
Jadinya full ShuuyaxYuuto banget! 0_0
Ah, ada-ada saja imajinasi saia. Bahkan abstraknya melebihi bilangan imajiner sekalipun... (plak!)
Hmhm... Sedikit curhat tentang peristiwa yang mengilhami saia dalam menggunakan kata 'Parno' dalam fic ini.
One Day...
Hari sabtu yang damai, tepatnya pas 3 minggu yang lalu. Dika dan teman-temannya sedang mengerjakan soal fisika di lantai kelas yang entah kenapa ada karpetnya. Dengan gajenya, 2 teman yang menggaje tak mengerjakan soal itu, tapi malah menatap wajah konyol sanga author yang lagi sibuk mikirin rumus dasar (Dengan kata lain, author gak hapal rumus fisika di waktu itu).
Dika: (akhirnya nyadar kalau dilihatin) Ka, kalian...? Kok lihat-lihat mulu sih! (salah tingkah dan ekspresi horror. Iyalah, mereka cewek sih!)
Teman, inisial B: Wkokok! Sapa juga yang lagi liatin kamu?
Teman, inisial G: Wahaha! Betul itu! Jangan 'parno' Dik...!
Dika: (diem dan tertunduk... Mikir gaje)
Hening sesaat... teman-teman saia pada ngira kalau saia kembali konsen ke soal. Nggak tahunya...
Dika: Parno itu apaan sih? (Ekspresi serius)
Hening sesaat...
All: APAAA! Jadi kamu nggak tahu artinya parno?
Fin
Cih, jadinya saia diketawain anak satu kelas gara-gara nggak tahu arti parno (meski akhirnya diberitahu oleh B-chan dan R-chan)
Dan kenapa juga waktu itu saia segitunya mikirin arti dari kata nista itu sih? ="=
...Kok author malah curhat soal duniawi(?)?
Ah, sudahlah. Chapter depannya... Sebenarnya mau bahas tentang masa lalu Hiroto sih, tapi anaknya sendiri belum muncul (masa belum sih?), jadi yang cerita itu dipending dulu.
Nah, ada yang request cerita tentang masa lalu chara DC? (tapi jangan masa lalu Mamo, itu harus dirahasiakan dulu)
Kira-kira masa lalu siapa yang ingin kalian intip?
Nah, kalau belum ada request, maka rencananya saia mau curhat(?) tentang boneka buatan Ichi... ^^
Nah, at last R&R ya, minna;san... ^^
Arigato
The Fallen Kuriboh
