"LIFE JOURNEY"


Sequel Love Scenario

Present by Ranflame


Main Cast

Park Chanyeol & Byun Baekhyun

Kim Taehyung a.k.a Park Taehyung (as their son)

Support Cast

EXO. iKON. GOT7. BTS. SEVENTEEN.

NCT. StrayKids. TheBoyz.

The supporting cast will increase with the story

Genre

Crime, Drama, Family, Angst

Leght

Chaptered

Diclaimer

Fanfiction ini murni dari pikiran saya, jika ada kesamaan alur cerita bukanlah kesengajaan. Cerita milik saya (Seluruh Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang), untuk kepentingan cerita karakter pemeran akan berubah sesuai alur.

Warning!

Boyslove! Typo bertebaran dimana – mana :"


ENJOY \^0^/


Ketika itu pukul sembilan malam hari, dimana beberapa orang lebih memilih terlelap di ranjang mereka ketimbang berkeliaran seperti yang dilakukan olehnya. Tanpa membawa kendaraan, ia berlari –mengabaikan setelan jas nya yang kian lusuh- menuju persimpangan jalan, berharap masih ada bus yang bisa ia tumpangi untuk mencapai tujuannya akhirnya.

"BAGAIMANA INI BISA TERJADI?!"

Seluruh penumpang bus terkejut bukan main, seseorang berteriak penuh amarah, wajahnya yang memerah serta geraman rendah yang sekali dua kali ia keluarkan membuat mereka nyaris tak berkutik.

Tubuhnya yang proposional tampak lelah, beberapa kali ia mendesah frustasi seraya mengotak – ngatik smartphonenya. Pria dewasa itu tampak telah memiliki umur yang cukup, mungkin empat puluh tahun? Atau lebih? Tetapi usia bukanlah penentu segalanya, karena ia masihlah sama.

Bisakah kau menerkanya?

Yeah.

Dialah Park Chanyeol. Ia masihlah Park Chanyeol yang akan selalu memiliki jiwa muda dalam dirinya, yang juga akan selalu membara kapanpun tersantik api. Park Chanyeol tak kunjung merubah sikapnya sekalipun ia telah menyaksikan putra semata wayangnya beranjak dewasa, iya, dia masihlah Park Chanyeol yang dulu, tak peduli berapa banyak waktu yang telah ia habiskan untuk memamerkan eksistensinya pada dunia.

"Bagaimana ini bisa terjadi?"

Ulangnya. Sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini ia melirih sembari menarik anak – anak rambutnya yang semakin terlihat berantakan. Beberapa kali terdengar gemeletuk giginya, seolah ia akan mengunyah siapapun itu yang tengah berbicara di seberang telepon.

"Aku tidak membawa kendaraan. Aku tidak ingin istriku terbangun karena mendengar bunyi deru mesin mobilku."

Chanyeol mengusap wajahnya kasar, seiring keluhan demi keluhan terlontar secara gamblang dari mulut licinnya.

"Aku tidak bisa membuatnya merasa khawatir, ia akan sedih jika tahu anak – anak kesayangannya kembali menjadi bahan penelitian. Aku yakin ia pasti akan hancur dan aku tak ingin itu terjadi."

Dengan mengabaikan bisikan – bisikan yang mulai mengganggu alat pendengarannya, Chanyeol kembali menghela napas, menerawang jauh –memutar memori usang tentang anak – anaknya tersebut. Ia ingin menertawakan dirinya sekali lagi, ketika ia sendiri tak lagi mengingat kapan senyuman anak – anaknya itu merekah dengan sempurna ataupun kapan mereka merengek penuh manja pada Baekhyunnya, Chanyeol juga lupa kapan terakhir kali ia menegur salah seorang diantara mereka ketika mereka melakukan suatu kesalahan.

Hampir belasan tahun berlalu, mereka tak kunjung pulang. Baekhyunnya benar, ternyata firasat seorang ibu tak pernah meleset barang seinchi pun. Rasanya Chanyeol ingin menampar dirinya sendiri kala memaksa Baekhyun mempercayai mereka, sekali lagi, ia melakukan sebuah kesalahan.

Tidak. Bukan karena mereka enggan pulang, tentu saja bukan perihal itu. Chanyeol acapkali mendengar kabar mereka, mengambil alih wilayah tanpa kuasa dan meletakkannya di bawah kerajaan Black Angel. Mereka sangat tangguh dan Chanyeol akui, ia sangat bangga terhadap hal tersebut.

Setiap kali Chanyeol meminta mereka pulang, selalu ada saja penghalang, dimana mereka memiliki segudang ambisi yang harus dikejar dan Chanyeol sekali lagi mengalah akan hal tersebut. Atau, ketika Chanyeol hendak membawa serta Baekhyun bersama putra semata wayang mereka untuk menemui anak – anaknya, mereka berkilah dengan mengatakan 'kami sering berpindah tempat, dad, jangan membuat mom lelah, apalagi taetae, kasihan dia.'

Baekhyun sering menangis di penghujung malam, seraya berdoa meminta Tuhan selalu mengiringi putra – putranya. Ia tahu betapa belahan jiwanya itu sangat merindukan mereka, tentu saja karena perasaannya sama besarnya.

Lalu kini, di tahun yang entah keberapa, Chanyeol mendapatkan kabar tak mengenakkan, dimana jantungnya hampir mencelos keluar saat itu juga. Dengan segenap emosi yang bercampur aduk ia segera bergegas menuju markas utama kebesaran Black Angel.

"Tuan. Tolong bayar ongkosnya."

Tegur sang supir bus, berusaha terlihat ramah meski ia sendiri berani bersumpah betapa menakutkannya penampilan Chanyeol kala itu.

"Tck."

''

''

''

"Sudah lama sekali kau tidak kemari."

Yifan –sang kakak- menyambut kehidarannya dengan sebuah tudingan, tak lupa salah satu sudut bibirnya terangkat hingga menciptakan smirk yang mirip sekali dengan ayah mereka.

Chanyeol hanya mendengus pelan sebagai jawaban. Ia menyeret kedua tungkai kakinya dengan berat, menuju salah satu kursi kebanggannya dahulu, dimana ia sering menghakimi seseorang dari sana.

Terhitung sejak selesainya masalah yang disebabkan oleh Sungcheol, Chanyeol tak lagi repot – repot mendudukinya dikarenakan Taeyong –dulunya,- yang rela menggantikan dirinya, ah itu sebelum pemuda yang ia akui sebagai putranya itu memutuskan pergi dan membawa serta saudara – saudaranya untuk mengelilingi dunia.

"Mereka menculik anak – anakku." Gumamnya, seraya meremat gumpalan kertas yang ia dapatkan sebagai laporan kasus tersebut.

"Tck. Kau bahkan tidak mengetahui mereka secara personal."

Chanyeol tersenyum miring ketika sang kakak mulai meremehkannya, mungkin benar adanya ia bukanlah orang tua yang baik tetapi ia tetaplah seorang ayah, ia menyaksikan bagaimana mereka beranjak remaja –walau tidak sedari bayi- dan mendampingi mereka sampai mereka siap untuk berbaur dengan kekejaman dunia.

"Aku mungkin tidak mengenal mereka dari hati ke hati, tetapi istriku –ibu mereka sangat mengetahui tentang itu bahkan sebutir debu yang tersembunyi dibalik jaket bersih putranya, ia mengetahui itu dengan pasti."

"Ku pikir kita harus berhenti. Kau harus tahu dimana batasanmu Richard."

"Demi Tuhan, Kris. Aku bisa saja membunuhmu jika kau terus memberi argumen menyedihkan seperti itu."

"Aku? Ck. Yang benar saja. Seharusnya aku menertawakanmu. Kau dengan tidak tahu dirinya terus menerus melibatkan Black Angel ke dalam masalah-"

"Aku adalah pimpinan mereka."

"Bukan berarti kau bisa berbuat semuamu!"

Sang kakak enggan mengalah untuk kali ini, ia menggulung kembali lembaran kertas yang diberikan secara khusus untuknya dari pemerintahan dunia. Yifan sebenarnya tidak terlalu peduli bagaimana negeri ini akan di putar balik oleh adiknya ketika mengetahui berita tersebut, tetapi yang lebih mengejutkan dimana pemerintahan dunia turut mendukung penelitian tersebut hingga Yifan akhirnya memutar otak dengan cepat.

Mereka harus berhenti. Black Angel tidak bisa terus memaksa untuk meringsek maju, dunia bisa saja ia bungkam, tetapi tidak dengan kaum adam maupun hawa yang mengisi belahan bumi ini. Mereka pasti akan dengan senang hati menghancurkan Black Angel dengan stigma miring mereka yang mengerikan. Ah. Membayangkannya saja Yifan sudah kembali diserang rasa pusing luar biasa.

"Mereka anak – anakku."

Tampaknya Chanyeol masih keukeuh untuk menyelamatkan anak – anak yang bahkan belum ia temui belasan tahun lamanya, entah mereka masih terlihat menggemaskan seperti dulu atau tidak.

"Mereka tidak membutuhkanmu-"

"Mereka tetaplah anak – anakku! Mereka membutuhkan ayah mereka untuk membela mereka. Akan ku hancurkan negeri ini jika anak – anakku terluka barang sesenti pun."

Yifan membeku, aura ini. Ia sangat mengenali aura kematian ini, walau sudah lama berlalu tetapi ini adalah aura kematian yang merembes dari tubuh Chanyeol. Yifan tertawa remeh, seraya menyesap minumannya yang tak lagi mengepulkan asap tipis pertanda bahwa secangkir teh nya sudah mendingin.

Sungguh, ia tak ingat kapan terakhir kali Chanyeol mengamuk dan mengeluarkan aura kematian yang pekat seperti ini. Adiknya itu mampu mengendalikan diri dengan baik sekalipun ia memiliki gelar sebagai dewa kematian, tak dapat ia pungkiri setelah sekian lamanya, ia masih tetap takut terhadap adiknya yang jiwa iblisnya telah terbangkitkan kembali.

"Dunia memantau perkembangan dari penelitian ini, kau tidak-"

"Maka sekalian saja ku buat dunia merengek minta ampun padaku."

Mungkin Yifan akan tertawa keras – keras jika saja yang mengucapkan kalimat penuh yakin tersebut bukan adiknya, Chanyeol.

Atau mungkin saja Yifan akan terpingkal – pingkal seraya memegangi perutnya yang terasa keram akibat tawa kencangnya, tetapi kembali ia simpan kemungkinan – kemungkinan tersebut, kerena untaian kalimat penuh makna itu telontar dari mulut Chanyeol –adiknya yang tidak pernah gagal mendapatkan keinginannya, sekalipun itu bertaruh nyawa maupun jiwa.

"Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu."

"Aku tidak memintamu atas itu pula."

"Tsk. Kau sedang memandang rendah ke arahku ternyata."

"Tentu saja, pengecut seperti mu tahu apa tentang menantang dunia dan seisinya."

Chanyeol tersungkur, satu tinju mentah telah di berikan oleh sang kakak kepadanya. Di salah satu sudut bibirnya terasa robek, tetapi ia enggan peduli atas hal tersebut.

"Tarik kembali ucapanmu, brengsek!"

Yifan menggeram tatkala ia kembali menarik kerah kemeja sang adik, sedang Chanyeol tertawa remeh. Bibirnya menyunggingkan seringaian tajam untuk sang kakak hingga Yifan semakin di butakan amarah.

Satu lagu. Satu lagi pukulan keras yang Chanyeol dapatkan ketika itu, lalu saat ia terjatuh pun Yifan tak segan – segan menendangnya dengan keras hingga ia harus memuntahkan cairan merah pekat –darah- dari dalam perutnya.

"Bangkitlah Richard, aku tahu kau tidak selemah ini."

"Aku tidak akan melawan saudaraku sendiri."

Chanyeol menyahut, disertai rintihan pilu ia berusaha bangkit dengan sekuat tenaga. Salahkan saja Yifan yang memukulinya tidak main – main. Sekujur tubuhnya terasa remuk dan ia tak mampu menahannya dalam diam.

"Tck. Saudara katamu?"

Yifan berdecih, melontarkan kalimat sarkas untuk sang adik lalu menyorotnya dengan tatapan membunuh. Senyum miring itu tak juga luntur dari wajah tampannya, kepalan tangannya kembali mengudara, hendak memberikan sekali lagi pelajaran untuk sang adik namun semua itu terhenti ketika Chanyeol kembali angkat suara.

"Aku adalah adikmu Yifan hyung, ya, aku adalah adik kecilmu yang dulunya kerap kali kau lindungi, aku masihlah adik kecilmu." Ucapannya terhenti sesaat, Chanyeol kembali terbatuk ketika tenggorokannya terasa berlendir –sisa darah yang ia muntahkan- "Pada siapa lagi aku mengadu jika bukan padamu? Aku lelah hyungie, beri aku ruang untuk bersandar barang sedetik saja. Ah. Aku takut hyung, bisakah kau menyiapkan ruang persembunyian ketika aku tak lagi mampu menakhlukkan dunia? Ah, tidak. Maukah kau berjanji padaku? Jika aku mati di peperangan, tolong jaga-"

"Brengsek!"

Yifan berteriak. Suara huskynya menggema di ruangan bergaya gothic tersebut, menambah kesan tak menyenangkan dari sana. Tidak. Kali ini Yifan tidak memukuli adiknya secara membabi buta selayaknya tadi.

"Kenapa tidak bilang dari awal, bodoh!"

Dengan terburu Yifan memapah Chanyeol, lalu mendudukkan sang adik yang tampak berantakan akibat ulahnya. Yifan baru saja menyadarinya, bagaimana kerasnya dunia mengubah dirinya menjadi monster tak berperasaan hingga membuatnya melupakan fakta bahwa ia juga seorang kakak yang seharusnya melindungi sang adik, bukannya bertindak bar – bar seperti ini.

"Kau baik?"

Pertanyaan bodoh memang, tetapi Yifan hanya ingin memastikan satu hal yaitu tak peduli berapa banyak usia mereka bertambah, Chanyeol masihlah sang adik yang manja pada dirinya –selaku kakak.

Tak peduli bagaimanapun mereka telah membangun rumah tangga masing – masing seta memilki keluarga kecil yang harmonis –kelihatannya begitu- , mereka tetaplah kakak – adik yang saling melindungi, seharusnya begitu, tetapi Yifan terlalu sibuk dengan urusan politik dunia -yang memang telah menjadi tanggung jawabnya setelah mendapatkan kedudukan sebagai pangeran Black Angel- membuat dirinya abai terhadap beberapa hal yang sensitif seperti itu.

Padahal, adiknya, Chanyeol kerapkali mengunjunginya dengan alasan – alasan konyol yang ia tak hiraukan, misalnya saja 'taetae bilang ia sangat merindukanmu' atau 'aku hanya ingin membagikan makanan yang baekhyunie masak terlalu banyak'.

"Aku baik."

"Sakit?"

"Sakit sekali."

"Benarkah? Beritahu aku, bagian mana yang sakit?"

Chanyeol tanpa ragu mengarahkan jari telunjuknya pada dadanya sendiri, tepat dimana ia masih merasakan debaran halus jantungnya yang menari seirama deru napasnya. "Disini sakit sekali." Begitu akunya.

"Jantungmu? Apa aku menghancurkan salah satu organmu?"

Chanyeol menggeleng perlahan, manik kelamnya telihat basah –dimana ia sendiri tidak paham bagaimana ia menjadi begitu emosional. "Hatiku yang sakit. Kau memukuliku seperti aku adalah orang asing."

Baik. Jangan tanyakan berapa usia mereka.

Yifan membeku, jantungnya berdenyut nyeri ketika Chanyeol mengatakan yang sejujurnya. Benar, Chanyeol barangkali benar akan hal itu, Yifan telah melupakan tali persaudaraan mereka karena ia harus bergelut dengan kerasnya dunia sedangkan Chanyeol hanya bertugas memimpin kerajaan bawah tanah mereka tanpa harus repot – repot menghadapi manusia bertopeng –penuh kemunafikan- selayaknya dirinya, karena yeah, ia telah menuntaskan permasalahan dunia luar agar jalan sang adik tak terhalangi oleh apapun.

"Padahal aku adalah adikmu."

Jika kau berpikir Yifan akan merengkuh Chanyeol lalu mengucapkan ribuan kata maaf setelahnya, maka kau salah besar. Yifan memilih untuk melangkah mundur, lalu mencari pelampiasan lainnya, seperti menghancurkan vas bunga kesayangan ibunya yang terpajang indah disudut ruangan. Ia merasa sangat kesal pada dirinya sendiri, hingga amukannya tak lagi terbendung.

"Wow. Wow. Kalian berdua benar – benar berbahaya. Apa yang terjadi disini?"

Yifan menoleh, begitu juga Chanyeol. Mereka mendapati sang ayah melangkah penuh arogansi guna mendekat kearah mereka, kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana bahannya, tak lupa setelan jas yang rapi telah membalut tubuhnya. Sangat – sangat berkelas dan berwibawa.

"Dulu, ketika kalian masih kecil, sering sekali aku mendengar pengaduan orang – orang yang dibuat babak belur oleh Yifan hanya karena mereka meledek Chanyeol. Ah. Sudah lama sekali, nyatanya saat ini, aku tak lagi melihat kedua putraku, aku hanya melihat seorang pangeran dan seorang putra mahkota dari Black Angel. Kemana perginya anak – anakku ya? Kalian melihat perginya mereka?"

Kyuhyun menyudahi diksi sarkastisnya, lalu melirik kedua putranya yang kini tertunduk dalam dihadapannya. Bisa ia lihat bagaimana berantakan putra bungsunya dan ia sangat yakin itu adalah ulah putra sulungnya.

Kyuhyun memilih mendudukan dirinya tepat di samping si bungsu, menyentuh luka – luka yang baru saja tercipta. Chanyeol meringis, tetapi ia kembali meredamnya tatkala sang ayah mengusap surainya penuh kasih. "Jika ibumu ada disini, ia pasti akan menangis melihat anak – anaknya saling menyakiti satu sama lain."

"Appa."

"Yifan-ya? Apakah dunia terlalu banyak meracunimu? Dia adikmu dan kau berusaha membunuhnya hanya karena ia ingin mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya?"

"Tapi appa, pemerintahan dunia tengah memusatkan perhatian mereka pada-"

"Lantas? Sejak kapan otakmu menjadi otak udang?"

"Appa, kau mulai memihak!"

"YIFAN!"

Yifan terkesiap, Kyuhyun yang mengamuk bukanlah hal mudah untuk dihadapi, sekalipun ayahnya telah berusia senja, hal itu tak membuatnya menjadi si renta yang lemah. Jiwa iblisnya masih membara, begitu pula raga manusianya yang masih kokoh.

"Jangan membangkitkan amarahku nak, aku tak ingin kelepasan dengan membantai anakku sendiri." Kyuhyun tersenyum miring lalu, "Ku harap kau tak lupa jika ayahmu ini adalah lucifer yang sesungguhnya."

"Aku ingin melihat kembali cucu – cucuku, maka dari itu Yifan, jangan melupakan jati dirimu nak. Kau seorang iblis, jangan terlalu sering bermain dengan manusia – manusia tak tahu diri yang memenuhi seisi bumi ini. Lihatlah dirimu, kau sangat – sangat manusiawi dan itu membuatku ingin muntah." Ucapnya kemudian.

"Appa, kau lah yang memberiku tugas sebagai pelindung dunia luar."

"Bukan berarti aku memerintahkanmu untuk berbaur nak. Sikap pengecut mereka telah menodai kemurnian hatimu."

"Appa, aku hanya takut jika dunia menyadari presensi Black Angel-"

"Cukup. Kumpulkan seluruh pimpinan utama dari setiap wilayah. Kita akan rapat besok, pukul 8 pagi. Chanyeol-ah, bawa serta Taehyung, aku ingin melihat seberapa pesat perkembangannya."

Chanyeol mengangguk, lalu menatap sang kakak yang beringsut ke salah satu kursi yang menjadi lambang atas tahtanya. Ia tampak sedang berpikir keras, hal itu dapat Chanyeol ketahui dengan mudahnya hanya melalui kerutan dalam yang tercipta di dahi sang kakak, lalu kedua alisnya yang saling bertaut juga jemarinya yang ia gunakan untuk mengurut pelipisnya yang barangkali tengah berkedut.

"Hng, bukan hanya itu. aku juga khawatir jika ini adalah jebakan dari mereka sendiri. Chanyeol-ah, bukankah kau sendiri yang bercerita tentang bagaimana tegasnya mereka saat menolak kehadiranmu ataupun enggan menemuimu setelah berkelana. Aku khawatir mereka sedang merencanakan kudeta-"

"Yifan-ya?" Panggil sang ayah, "Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?" Kembali ia menghela napas, "Kenapa kau melukai hati adikmu? Katakan padaku Yifan-ya, pernahkah terlintas di benakmu bahwa mereka juga bagian dari keluargamu?"

Sekali lagi, Yifan tercekat, tidak menyangka bagaimana sang ayah menebak pemikirannya selama ini. "Mereka tidak pantas untuk di perjuangkan-"

"Nana. Putraku yang bernama Na Jaemin adalah yang paling lemah, tetapi apa kah kau tahu bahwa ia menjadi sumber kekuatan bagi yang lainnya? Baekhyunie sangat menyayanginya melebihi apapun."

"Chanyeol-ah."

"Tidak apa hyung, jika tidak dengan Black Angel, maka aku akan maju sendirian-"

"JANGAN!" Yifan segera bangkit dari duduknya, suaranya menggelegar hingga mengejutkan beberapa pihak yang berjaga diluar ruangan, "Baiklah. Tetapi ku mohon jangan bergerak secara gegabah."

"Kita akan merundingkannya besok." –Kyuhyun

"Baik. Berjanjilah padaku, semua akan baik – baik saja." –Yifan

"Aku berjanji." –Chanyeol

"Jangan sampai terluka apalagi mati." –Yifan

"Tentu saja." –Chanyeol

"Ah. Chanyeol-ah, aku sampai lupa tujuan kedatanganku kemari."

Sang ayah kembali membuka suara setelah berteman sejenak dengan sang sunyi, kilatan di manik jelaganya masih terlihat kentara walau ia menyematkan seulas senyum teduh pada si bungsu, Chanyeol.

"Istrimu –Baekhyun- menelponku. Ia menangis tersedu – sedu, mengadukanmu padaku."

'Hiks. Appa. Yeollie hilang. Hiks. Hiks.'

'Bagaimana bisa? Baekhyunie, suamimu itu sudah tua –bau tanah pula- bagaimana mungkin ada yang mau menculiknya.'

'Tetapi dia tidak ada di sisiku saat aku terbangun dan semua kendaraannya masih lengkap di rumah appa. Hiks. Orang tega mana yang menculiknya?'

'Eung, begini saja, bagaimana jika appa yang mencarinya. Jangan menangis oke?'

'Hiks. Appa tolong ya hiks hiks. Chanyeollie yang malang, hiks hiks.'

Rasanya Kyuhyun ingin tertawa keras – keras ketika kembali mengingat hal tersebut, dimana Baekhyun tetaplah si polos yang murni, bahkan usianya yang cukup tak menjamin keluguannya yang menggemaskan itu.

"Dia menangis hebat Yeol-ah. Dia mengatakan padaku barangkali kau telah di culik oleh orang – orang jahat." Ucapnya, hingga kekehan halus terlepas dari dirinya. "Dia masih sangat lugu, padahal Taehyung sudah beranjak remaja."

Chanyeol menoleh, ikut tertawa pelan ketika membayangkan betapa paniknya Baekhyun saat ini, ah, ingin sekali Chanyeol melihatnya secara langsung lalu merengkuhnya kedalam dekapan hangat hingga tangis itu mereda dan digantikan senyum indah khasnya.

"Yifan-ah. Antar adikmu pulang, dan kunjungilah keponakanmu sesekali."

Yifan mendengus pelan, "Bertamu di tengah larut seperti ini?"

"Mengapa tidak?"

Dengan berat hati, akhirnya Yifan menyetujui perintah sang ayah. Demi hal apapun, sang ayah dengan dirinya tak pernah memiliki satu pemikiran yang sejalan. Tak lupa dengusan keras yang ia perdengarkan untuk sang ayah, menandakan seberapa kesal dirinya saat ini.

"Hey! Papah adikmu."

Baik. Yifan menyimpan segala sumpah serapahnya untuk sang ayah, mungkin ia akan meluapkan pada beberapa bawahannya –yang tak berdosa- dengan mengumpat atau menyalah – nyalahkan hasil laporan mereka tanpa alasan yang jelas.

"Dia bisa sendiri."

"Tidak. Setelah kau memukulinya seperti-"

"BAIK-BAIK."

''

''

''

"Baekhyunie? Sunshine?"

Agaknya ia merasa bingung, dimana tak ia temukan sosok Baekhyun menyambut kepulangannya, tidak juga berada di kamarnya. Setelah mengelilingi rumahnya sendiri, Chanyeol menepuk dahinya pelan, mengingat bahwa ia belum memeriksa kamar putra sematawayangnya.

Dan, benar saja. Baekhyun tengah terlelap disamping putra mereka. ah. Dengan terburu, Chanyeol mengambil smartphonenya lalu mengabadikan momen langka tersebut, hatinya menghangat, entah kemana perginya segala resah gelisah yang menghampiri dirinya tadi.

"Eh. Yeollie?"

Imutnya.

Entahlah. Chanyeol tidak pernah dapat mengetahui alasan mengapa Baekhyun selalu tampak sangat menggemaskan dimatanya untuk momen apapun, seperti saat ini, dimana Baekhyun dengan kelereng indahnya yang tampak sembab –Chanyeol dengan yakin, mengetahui bahwa itu sebabnya-

"Apa aku membangunkanmu?" Bisiknya seraya mengulas senyum tampan di paras eloknya, jemarinya berupaya menyugar surai Baekhyun yang berantakan, "Aku merindukanmu." Sebuah kecupan berhasil ia curi dari sang istri, lantas ia tekekeh pelan kemudian.

"Eung. Appa sudah pulang?"

"Eoh? Apakah appa mengganggumu?"

"Tidak."

"Maafkan appa ya,"

Taehyung lantas tertawa pelan, bagaimana tidak? Ibunya menangis terisak – isak hanya karena sang ayah pergi tanpa sepengetahuannya lalu mengadu pada dirinya, dan kini saat ayahnya telah pulang sang ibu pun melupakan alasan mengapa ia menangis tadi.

"Yifan samchon berada di ruang tamu."

"Di larut malam?" –Baekhyun

"Iya, ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada kalian." –Chanyeol

"Ugh, tidak tahu waktu." –Taehyung mulai mengumpat, berusaha menarik kembali selimut yang sempat ia sampirkan ke samping tubuhnya, namun sang ibu dengan cekatan menahan pergerakannya.

"Tidak boleh mengumpat, taetae." -Baekhyun mengerling tajam pada Taehyung, sedang Chanyeol terkekeh pelan.

"Ayo, Yifan samchon pasti menunggu lama sekali."

Dengan Taehyung yang mengekorinya, Baekhyun berjalan tepat disisi Chanyeol yang menggenggam hangat tangannya.

"Lama sekali."

Yifan mencibir, tanpa mengalihkan pandangannya pada selembar kertas yang nyatanya telah sampai ke rumah ini tanpa mereka sadari. Sesekali ia menahan napas, walau air mukanya tampak tenang, sejatinya ia tengah berjuang dalam pergelutan batin yang luar biasa hebatnya.

"Chanyeol-ah. Baekhyun harus mengetahui ini." Finalnya, menatap tajam Chanyeol.

"Ku pikir kau ingin menemui Taehyung, lihatlah dia, sangat tampan bukan?"

Yifan tahu, bagaimana kerasnya Chanyeol mencoba mengalihkan topik pembicaraan ini, maka dari itu ia menyempatkan diri menelaah visual yang dimiliki Taehyung –putra Chanyeol.

Taehyung mewarisi segala gen baik dari kedua orang tuanya, dimana ia memiliki kontur wajah sang ibu, dengan hidung mungil, sepasang netra hazel yang teduh, lalu bibir tipis sewarna persik yang ranum. Dan lagi, ia tampaknya mewarisi proporsi tubuh sang ayah, dengan tinggi yang dapat dikatakan menjulang untuk anak seumurannya, bahu yang cukup lebar, dan suara bervokal barintonnya yang rendah dan dalam –husky-

"Ah, apa benar dia anakmu?"

"Tck. Tidak. Aku mengutipnya di pinggir jalan."

Yifan tersenyum kecil ketika Chanyeol menyahut dengan asal lalu di beri jitakan penuh kasih sayang dari Baekhyun, sedang Taehyung sendiri tengah mati – matian menahan tawanya.

"Bagaimana dengan hyung - hyungnya?" –Yifan, mulai lelah bersandiwara.

Baekhyun menatap Yifan dengan berbinar, netra beriris hazelnya berkilat – kilat seiring mata sipitnya membulat sempurna, tak lupa senyum lebar yang terukir di paras manisnya.

"Mereka pulang? Taetae, hyung – hyungmu akan pulang."

Tak ingin menghentikan euforia yang dilakukan oleh Baekhyun, Chanyeol memilih diam dengan meremat jemarinya hingga buku – bukunya memutih. Perasaan cemas itu kembali menyeruak dalam dadanya, hingga ia berulang kali menggigit bibirnya dengan kuat, sedikit abai dengan darah segar yang mengalir setelahnya.

"Hyung? Aku punya?"

"Tentu saja. Mereka ada dua puluh satu."

"Benarkah?"

"Taetae tidak ingat?"

"Ku pikir aku-"

"Nana? Nono? Echan? Injun? Ichung? Lele? Markeu? Xuxi? Uwu?"

"Taetae? Nana akan pergi, jangan cengeng, eoh."

"Nono juga, kami akan pergi jauh sekali, jadi anak yang baik okay? Jaga mom untuk kami."

"Huaaa. Taetae, jangan nakal, oke? Echan sayang Taetae."

Taehyung menemukannya. Sekeping memori usang tentang mereka, dimana ia masih terlalu kecil untuk memahami mengapa hari itu semua orang tertawa lepas lalu setelahnya menangis penuh haru.

Ia ingat sekarang, dimana ia mulai merasa kesepian ketika para malaikat penjaganya pergi, entahlah, Taehyung tidak mengetahui kemana mereka pergi setelahnya. Sekarang ia paham, mengapa dahulu ia sering sekali menangis sembari menggaungkan nama – nama yang secara perlahan ia lupakan seiring ia beranjak remaja.

"Mereka pergi meninggalkanku." –Taehyung, sembari menatap sendu sang ibu yang di balas gelengan cepat darinya, Baekhyun turut pula mengibaskan kedua tangannya.

"Mereka berkelana sayang, sekarang mereka akan pulang. Ugh. Siapkan dirimu, rumah ini akan sangat ramai-"

"Baekhyunie."

Chanyeol merutuki mulut licinnya, suaranya mengalir begitu saja hingga Baekhyun pun menoleh dengan senyum sumringah yang masih setia terukir di paras indahnya.

"Mereka tidak akan pulang, lagi."

Jahat memang. Chanyeol dengan tidak tahu dirinya, menghancurkan kebahagiaan Baekhyun yang baru saja tercipta dengan untaian kata, yang dimana setiap suku katanya sangat terkutuk bahkan bagi dirinya sendiri.

"Apa maksudmu?"

Kembali ia menarik napas dalam – dalam, menyorot Baekhyung yang juga menatapnya tak percaya. Netra hazel kecintaannya itu tampak basah, serta pupilnya bergetar, menuntut Chanyeol mengatakan jika semua itu adalah tipu daya.

"Chan-"

"Maafkan aku."

Taehyung hanya diam, memperhatikan dalam heningnya walau ia sangat ingin tahu apa yang terjadi terhadap saudara – saudaranya itu, tetapi ia juga tak ingin memperkeruh segalanya dengan besikap egois.

"Pemerintahan telah melakukan operasi besar – besaran untuk menjaring kembali 'bekas penelitian' yang tak sengaja lolos, dan dalam operasi itu seluruh anak – anak kalian tertangkap dan saat ini mereka kembali menjadi bahan percobaan, karena mereka adalah 'hasil yang sukses'." –Yifan

Baekhyun hancur, ia meraung seiring tubuhnya merosot jatuh. Air matanya berjatuhan, menganak sungai di kedua pipi putih nan mulusnya. "Tidak! Mereka tidak boleh merebut mereka!"

"Eomma." –Taehyung, melirih pelan.

"Chanyeol-ah. Selamatkan mereka, hiks, aku mohon."

Baekhyun terisak, sembari berusaha menggenggam tangan Chanyeol seraya memohon seolah ia layak berbuat seperti itu. Chanyeol menggeleng, matanya terasa panas, namun ia tak ingin lebih menyakiti istrinya yang terpuruk.

"Aku ibu mereka, Yeol-ah, aku ibu mereka! Kembalikan anak – anakku!"

Kepalanya terteleng ke sisi lain, dimana ia bisa membuang pandangannya, Yifan tak ingin menyaksikan teriakan – teriakan memilukan Baekhyun. Sekarang ia paham, mengapa Chanyeol begitu keukeuh terhadap penyelamatan mereka, semua itu karena Baekhyun, tentu saja akan selalu begitu.

"Yeollo~"

Taehyung tidak mengerti mengapa ia merasa sangat tersakiti, menemukan dirinya begitu lemah hingga tak mampu berkutik walau hanya untuk sekedar menenangkan ibunya yang terpekur –dengan tubuhnya yang bergetar, tangisannya semakin pecah. Mengacaukan keheningan yang sebagai kodrat sang malam, vokal tenornya terlalu banyak menyiratkan kesedihan. Taehyung ingin memeluknya, berkata semua akan baik – baik saja.

Ibunya tidak pernah selemah itu. Taehyung tahu itu.

Ibunya selalu tertawa dan tersenyum di waktu yang bersamaan.

Ibunya yang selalu berada disisinya untuk kapanpun.

Ibunya yang siap siaga untuk momen apapun.

Ibunya sangat kuat. Taehyung tahu itu.

Tak pernah sekalipun Taehyung menemukan ibunya mengeluh, ataupun bercerita tentang berapa lelahnya ia dengan peluh yang mengiliri pelipisnya. Tidak. Bahkan ibunya tidak pernah berkata bahwa dengan melahirkan dirinya maka ibunya harus bertaruh nyawa. 'kau adalah alasan eomma hidup, tentu kelahiranmu adalah napas baru bagi eomma.'

"Kami akan menyelamatkan mereka Baekhyunie, tenanglah, tetapi-"

"Tidak. Aku tidak terima kata tetapi Yeollo, aku tidak terima. Hiks." Baekhyun menyahut, kalimatnya terputus sesekali, "Izinkan aku menjadi egois untuk kali ini Yeollo, aku ingin anak – anakku kembali."

"Benar Baekhyun. Kau berhak menjadi egois kali ini, maka dari itu, bersiaplah. Chanyeol akan memimpin kembali, disertai Taehyung disisinya. Black Angel akan turun tangan, sekali lagi, Black Angel akan mencampuri urusan dunia, dan kau? Tugasmu adalah, kuatkan mereka berdua. Aku tahu betapa kau sangat terluka, tetapi lihatlah Taehyung! Dia berhak untuk berdiri dengan kokoh, jangan beri dia beban seberat itu Baek." –Yifan.

"Tak apa. Aku mampu, samchon jangan tegur eomma seolah kau memahami perasaannya. Aku bisa, selama ini aku telah mendapatkan segalanya dari eomma, kedua kaki ku mampu berdiri dengan kokoh karena eomma dan appa. Jangan menyuruh eommaku untuk berpura – pura dihadapanku. Aku juga berhak mengetahuinya." –Taehyung.

"Taetae~"

"Taetae disini eomma, kami akan membawa pulang mereka. Percayalah pada Taetae." –Taehyung.

"Kalau begitu, bersiaplah, kita semua akan pergi ke wilayah pusat untuk menghadiri rapat antara anggota inti." –Yifan

Malam itu. Malam dimana Yifan melupakan komitmen yang telah ia buat, mengabaikan ribuan kemungkinan yang sangat mengerikan.

Ketika itu ia hanya ingin menjadi orang baik hati. Tidak. Tidak sesederhana itu. Yifan ingin berkorban kali ini, ia ingin mencicipi rasanya berjuang tanpa harus menggunakan topeng tebal –berperan selayaknya manusia yang hanya pandai berpolitik.

Yifan ingin ikut berperang, menumpahkan darahnya bersama Black Angel. Sudah cukup, puluhan waktu ia habiskan untuk bersembunyi, mengendalikan segalanya dari balik layar.

Untuk kali ini, ia ingin mengambil peran yang berpengaruh, menjadi salah satu pemeran utama dalam kisah ini.

'Mungkin dengan ini, aku akan kembali bertemu denganmu, Tao.'

''

''

''

To Be Continued(?)

''

''

''

Or

''

''

''

Unpublish (?)

''

''

''

Tinggalkan jejak membaca, jika berkenan *blue heart*

Aku membutuhkan apresiasi kalian yang membaca, untuk perbaikan kedepannya.

n/a "maafkeun saya, jika kali ini sangat – sangat mengecewakan, saya minta maaf. Terimakasih untuk kalian yang setia membaca serta selalu memberikan dukungan terhadap saya, itu sangat – sangat berarti. Sekali lagi saya meminta maaf juga berterima kasih secara bersamaan untuk yang sebesar – besarnya."

I LOVE YOU

''

''

''