Warning: Omegaverse!AU—AR, A/B/O Dynamics, BoysxBoys, Mature Content—Implisit, twoshoot. Dan tidak perlu memaksakan membaca jika tidak berkenan. Tidak terdapat keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini.

.

.

0~o~0

.

Natural Sense

by Rinfuka

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

.

AkashixFurihata—AkaFuri's Fanfiction.

.

.

0~o~0

1/2

Dia bukan individu yang lepas dari jerat naluri.

Sejenis entitas yang sudi mengabdikan diri pada secuil afeksi walau rasanya seolah mati.

Tetapi siapa yang peduli, jika—

sensualitas, manifestasi nafsu, atau apalah lagi jenisnya,

sanggup membuatnya terjerat dengan begitu memabukan.

Meski akhirnya hati itu terpelintir hingga nyaris hancur berkeping.

.

.

.

.

Sentuhan membakar masih berlanjut. Deru napas tersendat masih menyapa. Hangat menjalar mengunjungi sekujur tubuhnya. Furihata masih kepayahan menandingi gelegak nafsu yang berkobar. Sekali lagi erangan lepas dari bibirnya yang sudah membengkak. Tiap sentuh raba menjelma panas yang nikmat. Memabukan. Mengikatnya pada keadaan bahwa dia ingin dipuaskan.

"Ngh—ah!"

Kentalnya logika menguap mengenai kesadaran nyata bahwa ini bukanlah tindakan tepat. Dimana seharusnya Furihata sadar pada eksistensi yang terus menggerus titik puasnya ialah sosok asing. Yang mana bahkan selalu lupa membawa semua jejak hangatnya ketika dirinya menghilang. Selalu acuh untuk tidak meninggalkan bayangnya yang mendekam dalam sudut ruang ingatan yang Furihata punya.

Bongkah terpenjara yang justru memenjaranya. Baik jiwa mau pun raganya. Hidupnya. Untuk sebuah hal seberharga hatinya yang pula direnggut paksa.

"Ahh—nghh~"

Sekali lagi dalam kurun waktu yang tidak lagi sudi terhitung di kepalanya, Furihata pasrah. Untuk sekali lagi melayani keinginannya. Menelan mentah batas logikanya yang berhamburan. Tenggelam dalam tumpahan ego yang mengungkungnya.

Bahwa sekali lagi saja Furihata ingin menggenggam entitas itu sebagai miliknya. Meski dalam jalan paling kotor dan menjijikan dengan pertaruhan menghancurkan tubuhnya sendiri. Bahwa relasi terjadi tidak pernah lebih dari kontak fisik. Hingga fakta bahwa hatinya tidak pernah diberi sedikit atensi olehnya.

"—ngh~ ha—ahh!"

Furihata menyerah. Sekali lagi pada situasi yang menyeretnya dalam keadaan gila. Bahwa dia bercinta dengan bayangan kelabu seseorang yang justru tidak peduli pada keberadaannya.

Sekali lagi kesadarannya timbul tenggelam. Ketika Furihata mencapai puncak dalam terawangan putih yang menyendat. Dia sadar. Lagi. Bahwa nyeri serongga dadanya bukan semata pada kebutuhan oksigen tetapi pada sakit tak kasatmata yang menjerat.

Menguncinya dalam konklusi sialan disebut cinta. Yang mana untuk kesekian kali Furihata kehilangan hitungan, logika tetap memberinya sebuah realita. Bahwa apa yang mungkin ada di depan mata ialah ilusi semata.

Tidak mungkin ada kesempatan.

Tidak dengan kenyataan yang ada. Bahwa dia hanya menjadi tempat berpulang untuk sebuah pelampiasan.

Tidak lebih. Tidak kurang.

"Kau tahu, ini menjengkelkan." Furihata berkata lirih. Jemari bergerak mengusap kepala seseorang yang begitu tidak berdosa tertidur begitu saja. "Menjadikanku bantalmu seenaknya itu tidak sopan. Seharusnya kau tidur dengan benar atau tubuhmu akan sakit nantinya."

Dengkuran halus dengan napas membentur tulang selangka yang menyahutnya. Furihata masih membiarkan sementara kedua matanya menerawang di balik jendela yang tirainya berkibar. Objek tatapnya kemudian memburam. Lapisan kaca siap pecah membalut pupil serupa pucuk pinusnya.

"Apa berharap menjadikan seseorang begitu lemah? Apakah menerima sedikit rasa bahagia itu salah?" Furihata bertanya dalam kesadaran penuh nihilnya sebuah jawaban. "Apa berperan jadi bajingan sebegini sampah?"

Ada tawa menyendu yang mengalun. Lemah beriring serak. Lantas mengutuk sendiri dirinya yang mengharapkan hal sia-sia. "Bicara apa kau Kouki? Sadar diri."

Lirih menyuara. Ada secuil suku terakhir sebuah nama yang menyelip di sela tidurnya. Furihata tidak tahu bagaimana hatinya memecah dalam satu rambat pendengaran. Tubuhnya berkhianat hanya dengan beralih memeluk sosok paling dikutuknya ke dalam dekapan. Bahwa tangisannya yang pecah harus diredam dengan wajahnya yang menyusruk helaian magis dalam pelukan.

"Bahwa aku memang sosok bayangan, bukan begitu?"

.

.

Furihata terduduk dengan kepala menyandar tungkai yang menekuk. Ditelungkup kedua lipatan lengan sekaligus. Dengusnya merambat, tidak sudi melirik sisi kosong ranjang tempatnya termangu.

Konyol. Sekali lagi Furihata memulai hari dengan pikiran menerawangi hal tidak berguna. Jemarinya kebas dibiarkan menggantung tanpa berpegang apa-apa. Sengaja. Tidak ingin saja merasakan hangat yang menghilang jika dia menyentuh sesuatu sekarang. Biarkan tangannya mendingin dalam udara bukan sentuhan.

Drrttt. Kring!

Getar ponsel, alarm berbunyi, menciptakan perpaduan bunyi gaduh yang nyata. Furihata mengerang malas untuk bergerak. Memilih untuk menggerakan sebelah tangan agar mencapai dua benda yang diliriknya sebal di atas meja sebelah ranjang.

Tidak sudi barang melihat identitas pemanggilnya Furihata menjawab. "Ya—"

"Furihata-kun? Kau … baik-baik saja?"

Ada nada gelisah menyisip ke telinga. Furihata membiarkan alisnya menanjak karena heran. Tidak seperti nada-nada monoton yang kerap menyapanya. Bergerak pelan turun dari ranjangnya dengan menyeret selimut yang membungkus seluruh badan.

"Kurasa. Ada apa?"

"Benarkah? Uhm, tidak. Aku hanya merasa tidak tenang mengenai—ah, sudah bangun Kagami-kun?" Telinganya masih menyimak meski Furihata mendesis kecil ketika telapak kakinya menginjak lantai dingin kamar mandi. Bertolak hebat dengan suhu tubuhnya yang panas. Mendengarkan sejenak interaksi sahabat sesama omega dengan alfa-nya sebelum suara penelepon kembali bertuju untuknya. "Kau bisa mengatakan apa pun padaku jika ada sesuatu yang buruk terjadi Furihata-kun."

"Ada yang lebih buruk dari semua hal yang terjadi? Aku ingin tahu." sahutannya tenang. Tetapi Furihata sadar ada baluran sarkasme dalam nadanya. Dibuangnya selimut yang penuh bercak noda ke keranjang pakaian kotor. Melotot kaget pada dua-tiga titik merah membiru berdekatan di pangkal bahu kanannya begitu melihat pantulan dirinya di cermin setengah badan. "Aah!—maaf, Kuroko, kurasa aku sedikit emosional tadi."

"Aku mengerti. Justru mengkhawatirkan jika kau tidak punya sedikit pun rasa kesal Furihata-kun."

Furihata memutuskan merespon dengan tawa kering. Menjepit ponselnya di bahu kiri sementara kedua tangannya mulai sibuk mencari plester di kotak dekat wastafel. Mengerang jengkel begitu plesternya meleset sedikit ketika ditempel.

"Ah ya, soal yang tadi. Furihata-kun, mungkin kau tahu sesuatu."

"Soal?"

"Kagami-kun memberitahuku pagi ini. Menurutnya ada yang aneh dengan—oh! Maaf, Furihata-kun, tunggu sebentar." Butuh lebih dari semenit untuk Furihata sadar kalau suara monoton Kuroko kembali menyapa. Terlalu sibuk menatap pantulan kacau dirinya di cermin. "Begini, Furihata-kun, kau tahu seorang alfa punya gelagat berbeda jika mereka sudah memiliki mate. Ada kecenderungan protektif dan posesif juga insting mereka yang lebih peka terhadap beta atau pun omeganya. Dan Kagami-kun melihat itu darinya belakangan ini."

"Lantas kenapa? Kalian berpikir kalau status kami berubah menjadi mate?" Furihata tahu batas sabarnya menipis. Tidak pantas baginya menyahut sesinis itu. Ada getir ketika dirinya bicara kembali. "Sedekar informasi jika kau melupakan hal krusial ini Kuroko, aku bukan mate-nya. Bisa saja dia memang sudah menemukan seorang beta atau omega untuk dijadikan mate—satu-satunya kesimpulan paling masuk akal sekarang. Kita berdua tahu hal ini."

Ada ekshalasi memberat yang Kuroko lepaskan. "Aku tahu dia alfa sialan yang membuat kau seperti ini Furihata-kun. Tetapi aku masih percaya bahwa bagaimana instingnya bekerja untuk memilihmu bukan suatu kebetulan."

Furihata menatap kosong pantulan dirinya yang kacau dengan hembusan napas lelah. "Aku tidak seyakin itu Kuroko. Setidaknya, aku tidak mencoba naif."

"Karena begitulah dirimu, Furihata-kun. Meski kami sudah puluhan kali memintamu lebih jujur kau tetap bersikeras menolaknya. Aku tahu ini pilihanmu tapi mencoba untuk lebih bahagia bukan suatu hal yang salah."

Tergugu dengan rupa kuyu Furihata tidak tahu sejak kapan dirinya membisu. Bagai ditusuk sembilu lidahnya seketika kelu. Dipelintir pemahaman, harapan, juga pembenaran paling disangkalnya di sudut tergelap dari Kuroko Tetsuya membuat hatinya merintih pilu. Bahkan Furihata tidak tahu bagaimana bisa sudut bibirnya berubah kaku.

"Furihata-kun, benar tidak apa-apa jika terus seperti ini saja? Tidakah kau juga—" Kuroko lantas mengakhiri. Seolah mengerti kondisinya yang terdiam tanpa sahutan. "—maafkan aku."

Detik kedua setelahnya ada suara lebih berat menyapa telinganya. "Hei, Furi, jangan menyangkal terus. Tidak baik untuk kondisimu. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari semua ini."

Furihata melukiskan senyum kecil. Terangguk lirih dengan gumaman kecil penanda dirinya masih mendengarkan.

"Kembali ke awal, ini mengenai keganjilan yang kumaksud. Ada yang ingin kutanyakan padamu."

Furihata menunggu.

"Apa dia tidak melakukan hal yang lebih dari sekadar patner seks denganmu?"

"—A-apa?!"

"Benarkah, kalian tidak … mating? Atau justru bonding?"

.

.

Tertidur di kelas bukanlah pemandangan tidak wajar. Tidak patut juga disebut lumrah. Furihata hanya tidak tahu bahwa tubuhnya bisa sebegitu tidak bertenaga ketika sampai di sekolah. Kepalanya masih tertopang pasrah di lekukan lengan yang bersandar meja. Momen menenangkan ketika seorang guru berhalangan hadir ialah dirinya bisa lebih leluasa bersantai.

Matanya terkatup lelah. Buaian mimpi tidak kunjung menyapa meski kantuk sudah menggelayuti pelupuknya sepuluh menit silam. Karena otaknya bahkan tidak mau berhenti bekerja.

Rekaman kejadian, suara pengingat, juga serenteran perih yang dirasa. Semuanya berputar ibarat kaset rusak setiap Furihata memutuskan diam. Bagaimana dirinya memandang sosok seseorang. Sosok yang merenggut nyaris seluruh dirinya. Menyisakan sedikit kewarasan yang Furihata tidak tahu kapan lagi dapat bertahan.

Selayaknya bom waktu. Siap sedia diledakan baik ada pemicu atau pun tidak.

Furihata bukanlah orang bebal ketika dia mengingat lagi ucapan Kuroko dan Kagami. Sebatas melihat segalanya berdasarkan realita. Mencoba percaya bahwa apa yang dilakukannya merupakan satu dari sekian solusi yang lebih baik daripada pengharapannya sendiri.

Untuk diam. Untuk menerima. Dan berlaku baik-baik saja.

Matanya memanas. Jauh lebih menyengat ketika Furihata masih membiarkannya mengatup. Ketika imajinya memaksa menampilkan wajah rupawan berekspresi hampa. Juntaian helai berkibar yang menginvasi ruang ingatan saat Furihata sanggup memetakan setiap teksturnya. Semerbak aroma yang memabukan begitu tubuh berpeluh itu disirami gairah. Menjeratnya pada ketidakberdayaan ketika sentuhan berkuasa atas tubuhnya.

Furihata mual. Tidak tahu harus menjabarkan kesan atas dirinya sendiri yang sanggup menjalani sebuah relasi timpang dengan seseorang yang tidak mengenalnya. Yang tidak mau melihat dirinya.

Sebatas gairah karnal? Sentilan naluri semata? Ataukah sebuah manifestasi kebutuhan alamiah hierarkinya?

Furihata masih punya sekian alasan atas perbuatan nekatnya. Menolak mentah-mentah asumsi paling rasional yang ada. Tidak. Bukan. Akalnya masih berjalan. Bahwa Furihata melakukan segalanya berdasarkan inti jiwanya yang kini tiap hari kian merintih pedih.

Untuk hatinya. Demi hatinya. Yang secara gamblang menyuarakan diri bahwa dia mencintai sosoknya. Yang secara nalar membuat Furihata bertanya, bagaimana bisa? Sejak kapan? Mengapa harus sosoknya?—ialah pertanyaan yang dikekang erat bahkan dalam benaknya. Karena Furihata tidak ingin menanyakannya. Bahkan pada dirinya sendiri yang mencinta.

"Furiii~"

Telinganya menangkap jelas kasak-kusuk dua sahabat setia di depannya. Napasnya jauh lebih ringan ketika segala pemikirannya buyar. Kawahara berbisik lagi untuk membangunkan. Mengguncang sekilas bahunya meski masih diabaikan. Furihata bahkan tidak bisa barang melukiskan sebuah senyuman hingga suara pun enggan mengudara.

"Bagaimana ini, Fuku?! Nanti kalau Kaichou tahu bisa habis Furihata."

Ahh, benar juga. Furihata lupa pada sosok paling disegani sebagai tampuk utama pemegang kedisplinan di kalangan para siswa. Terlalu letih jika harus menghadap Kaichou tersohor yang hobi memberinya hukuman meski pelanggarannya sekecil titikan noda. Sayang tubuhnya tidak mau beranjak hanya untuk memberi keduanya tanda bahwa dirinya tidak tidur sekarang.

"Mau bagaimana? Kau lihat sendiri betapa lelapnya dia. Sudah biarkan saja. Mungkin ia lelah, Kawa."

Apa sebegitu lelapnya ia terlihat? Mungkin tampang kacaunya sedari datang bisa dijadikan acuan. Bagaimana Furihata lupa menyisir rapi rambutnya alih-alih menatanya asal jadi menggunakan jemari. Berseragam asal ambil di lemari juga dasinya yang miring sekian derajat.

Termangu lebih lama di kamar mandi sementara waktu terus berputar menjadikan dirinya nyaris terlambat menginjakan kaki ke sekolah hari ini.

Fukuda masih bergumam lirih mengenai penampilannya. Kawahara hanya mengangguk membenarkan. Furihata bersyukur memiliki dua sahabat yang begitu mengerti untuk tidak memaksakan masuk dalam batas yang entah mengapa telah dibangunnya rapi.

Meski keduanya tahu Furihata berbohong. Menatap tidak percaya dan ingin menukas habis-habisan, keduanya sepakat tidak memaksa. Seolah mereka mengerti ada batas dimana Furihata tidak ingin mereka lewati, ketahui, karenanya mereka berlaku mengerti untuk tidak mengungkit lagi.

"Tertidur di kelas di tengah pelajaran itu melanggar aturan."

Furihata tercekat. Kaget mendengar suara rendah yang menginterupsi percakapan kedua sahabatnya. Hal serupa terjadi pada Fukuda dan Kawahawa ketika bunyi gaduh tabrakan lutut pada kaki meja terdengar begitu mereka memutar haluan badan menghadap lurus ke depan. Karenanya Furihata memilih diam seperti seharusnya orang yang terlelap.

"Ka-Kaichou?! Aha-haha. Begini, Furi—"

Furihata meringis. Sudah hafal mati kalau dia pasti kena hukuman lagi.

"Suruh dia ke ruanganku saat bel istirahat berbunyi."

Satu hembusan napas sekenanya. Tidak menyalahkan bagaimana Akashi Seijuurou menitahnya untuk menghadap dan diberi wejangan mengenai kepatuhan pada peraturan nantinya.

"Pastikan dia datang atau kalian menerima konsekuensi sepadan karena membiarkannya melanggar aturan. Tidak ada guru tidak menjadikan kalian bebas semaunya."

Fukuda sontak mencibir sebal. Kawahara meringis iba sambil meliriknya. Sementara Furihata sendiri sekadar menatap letih dengan pelupuk yang terangkat hanya sekian mili.

.

.

Furihata terduduk kaku menghadap si Ketua siswa. Menundukan kepala dengan denyutan di kepala. Merapal deretan permohonan untuk tidak dijadikan petugas sukarela kebersihan satu sekolah. Demi Kawahara yang rambutnya tidak juga bertambah bahkan Furihata pernah sekali melakukannya.

"Ini kali ketiga kau tertidur tidak pada tempat dan waktunya dalam dua minggu terakhir." Akashi menyuarakan kata dalam tujuh menit berselang sementara objek bicara tertawa sumbang. "Siswa tidak sepatutnya memiliki pekerjaan sambilan yang membebani statusnya sebagai pelajar yang seharusnya belajar."

Furihata seperti tenggiling yang siap bergelung karena serangan musuh. Tidak pernah siap ditatap tajam ketua kelasnya yang punya rumor fantastis sanggup membimbing preman sekolah menjadi anak teladan.

"Ah-haha, ma-maaf Kaichou. Sebenarnya … a-aku tidak memiliki pekerjaan sambilan."

Akashi mengerling tajam. "Lantas? Hal apa yang menjadikanmu kurang tidur semalaman dan berakhir menjadikan meja kelasmu sebagai pengganti ranjang?"

Furihata kicep, terlalu ditohok. Reflek tangannya menggaruk sisi kepala dengan kekehan garing. Bingung ingin beralasan. Tidak mungkin mengumbar perihal kegilaan paling sialan yang dikutuknya.

"Err–ya—"

Si Ketua mendengus. Jemarinya terampil berpindah dari meja ke balik laci dan mengeluarkan lembaran tipis ke hadapan Furihata. Kerjapan bingung menyambut. Tidak paham maksud Akashi yang memberinya plester.

Mirah itu masih menatap intens sebuah titik. Selintas terlihat risih. Ada kernyitan tidak suka di dahi. Furihata mengamati sejenak. Tersadar bahwa Akashi sedang menatap iritasi leher kirinya.

"Statusmu itu masih siswa dalam lingkup sekolah campuran. Suruh alfa-mu lebih peduli tanggapan publik dengan tidak mengumbar tanda dimana-mana. Aku tahu gairah karnal itu nyata tetapi setidaknya kau sudi memakai logika."

Furihata mengangga, hilang kata. Spontan menutup sisi lehernya yang dijadikan tatapan sinis seorang Akashi Seijuurou. Tertawa kering merambah satir. Tidak mengerti bagaimana bisa pandangannya tidak menemukan apapun itu yang jadi bahasan Akashi sekarang.

Terima kasih pada Kagami yang membuat otaknya berhenti bekerja dalam waktu yang terbilang lama hingga melupakan sekolahnya.

Furihata baru saja menyumpah dalam milisekon waktu dengan suara serak yang pelan. Mengutuki kecerobohan fatalnya sendiri. Walau masih sempat berpikir kenapa kedua sahabatnya tidak melihat tanda itu seperti Akashi.

"—Bi-bisa aku pinjam cermin?!" kalap Furihata lantas menarik kilat plester coklat sepanjang jari di meja. Matanya mengerling nanar setiap arah guna mencari. "Aa—juga, maafkan keteledoranku."

"Kupikir kau cukup hafal deretan benda dalam ruangan ini mengingat dari seberapa sering kau menginjakan kaki." jawaban Akashi menyindir lagi meski dagunya kemudian memberi arah.

Furihata tersenyum kikuk. Menderap cepat menuju cermin besar di muka lemari pojok ruang dengan gugup. Ditatapnya linglung luka yang berada di lehernya.

Demi otaknya yang konslet semalam,

BAGAIMANA BISA DIA TIDAK MENGETAHUI HICKEY SENYATA INI?!

Tentu saja bisa, ketika dirinya justru menemukan luka lebih parah dari ini. Furihata ingin memukul kepalanya sendiri mengingat pertanyaan sialan Kagami dalam kondisi memalukan begini.

"Kuanggap tidak pernah melihatnya."

Suara si Ketua yang mengudara tidak mengurangi intensitas malu yang diindikasi dalam bentuk rambatan merah di kedua pipi. Meski sedikit lega karena Akashi sudah memaklumi hal ini. Jemarinya sampai gemetaran memasang plester menutupi bercak merah yang membiru. Tidak berharap ada acara meleset seperti tadi pagi.

Wajahnya panas. Ini memalukan. Andai saja Furihata lebih teliti memeriksa tubuhnya sendiri tadi pagi mungkin kejadian ini tidak perlu terjadi.

"Kurasa buku siswamu akan cepat berganti."

"Eh?"

Furihata yang telah selesai membenahi diri sontak menoleh. Melangkah kembali ke hadapan Akashi untuk menerima si buku saku yang kerjanya hanya berpindah di antara dua tangan. Ia dan Akashi.

"Terlalu banyak poin yang kutulis di sini sebulan terakhir. Aku mulai bosan, kau tahu."

"Maafkan aku yang kerap merepotkanmu Kaichou." Furihata menjulurkan tangan ketika Akashi memberi gestur memberikan. Tatapannya kelihangan reaksi. Lupa pada prediksi dirinya yang pasti kena hukuman lagi. "Mungkin ada baiknya Anda menyerahkan pelanggaranku selanjutnya kepada wakil Anda. O-oh … ti-tidak, bukan berarti a-aku berniat melanggar lagi."

Denting tawa garing. Yang sejatinya terdengar begitu getir.

Detikan selanjutnya Furihata memilih membungkuk sopan dan mengucapkan permisi. Akashi tidak menanggapi.

.

.

"Aku merevisi beberapa bagian yang kau kerjakan Akiyama. Perhitungan yang keliru di metode penyusutan yang kau pakai. Tidak sesuai dengan yang diminta."

Akashi tenang memaparkan hasil koreksinya di atas meja. Membuka lembaran kertas terjilid yang diisi sederet hasil perhitungan keuangan dalam suatu perusahaan. Sebenarnya Akashi ingin saja mengerjakan sendiri tetapi dua pemuda di hadapannya bersikeras untuk mengerjakan bersama.

"Benar." Pemuda berstatus beta itu mengangguk meski fokus matanya kerap memecah. Berpendar nanar serasa tidak nyaman. Seolah diusik oleh aroma memabukan yang hanya dapat dibaui oleh mereka yang satu komunitas hierarki. "Kuperbaiki sekarang."

Furihata sendiri masih bungkam. Menunduk tanpa berani memandang bahkan sekejap. Terlalu malu mengingat kondisinya tadi di ruangan si Ketua. Sontak kepalanya dibuat menurun. Menyembunyikan sederetan plester di sekitar leher dengan kerah seragam.

"Dan bagianmu salah di sini." Akashi menggeser kertas. Menunjuk beberapa akun dan nominal angka yang salah perhitungan. Furihata menyimak dalam diam. Jika tidak ingin dibilang salah berfokus pada telunjuk Akashi. "Seharusnya dua akun ini kau buat di jurnal pembalik bukan di jurnal penyesuaian."

"Aa—o-oke."

"Furihata-kun." Yang terpanggil menoleh. "Kau—uhh, baik-baik saja?"

Kerutan menganak di keningnya. "Ya. Kenapa memangnya?"

"Tetapi, kau—uhmm, ti-tidak."

Akiyama menatap nyalang sepintas sebelum fokus kembali dengan kertas dan pulpennya. Membatu sendiri dengan gerakan kaku menulis.

Furihata mengerjap bingung. Baru ingin buka mulut untuk balik bertanya pada pemuda tampan yang duduk di sebelahnya kenapa menanyakan hal aneh tiba-tiba ketika tatapannya menangkap kerlingan tajam di kedalaman mirah. Diseretnya cepat tatapannya berlainan arah. Kaget setengah mati juga ingin menyumpahi matanya sendiri yang terasa melihat tatapan meliar di manik merah Akashi.

Sepanjang waktu yang mereka habiskan untuk kembali berdiskusi. Furihata menyibukan diri untuk tidak peduli. Akashi tidak menyinggung sama sekali. Akiyama masih sering berdecak tidak nyaman sesekali.

.

.

Kakinya menekuk cemas. Menggeliat panas karena suhu yang luar biasa membakar. Furihata menggerang, tidak tahan pada gelegak hasrat yang menari di sekujur tubuhnya. Gairahnya meningkat tajam seusai dirinya sampai di rumah.

Lupa hitungan bahwa siklus in heat-nya datang sekarang. Mungkin ini yang dimaksudkan Akiyama. Furihata menggerung tidak suka. Wajahnya menyusruk bantal. Menutupi carut marut wajahnya yang dilibas gelagak ego nafsu juga merintih perih ketika rasionalitasnya masih meninggi. Otaknya masih sudi memberikannya pilihan berupa kerlingan mata menumbuk suppressant di meja. Sampai setengah menit lebih tangannya tidak bisa berpindah dari paha.

Furihata menggeram. Ingin menyumpah serapah pada ketidakberdayaan masa in heat seperti sekarang. Dimana batas logikanya digempur sampai lenyap. Bahwa yang haruslah jadi kebutuhan mendasarnya ialah terpuaskan.

Napasnya menyendat begitu jemarinya gemetaran berusaha menggapai bagian selatan tubuhnya yang secara ganas diapit kedua kakinya yang sengaja digesekan. Dia butuh pelepasan. Sekarang.

Drrt. Drrt.

—yang justru diinterupsi panggilan sialan!

Getaran ponsel menjadi titik buram penglihatan. Furihata merasa telinganya sudah cukup disfungsi tetapi masih sanggup mendengar rupanya. Jemarinya awam bekerja. Menyentuh, menjauh, menyentuh lagi. Satu erangan lepas. Furihata didera frustasi seksual. Karena ini kali pertamanya in heat tanpa partner, rasanya luar biasa disiksa.

Bibirnya didekap erat telapak tangan kiri sementara tangan satunya berusaha keras di bawah. Memaksa pandangannya yang mengabur Furihata menggerakan tubuhnya untuk mencapai ponsel yang jatuhnya bahkan tidak sampai dua jengkal dari kepala. Salah terkaan tubuhnya justru menggelinjang ketika bergesek dengan selimut tebal yang menjadi landasan.

Terengah dengan tubuh panas tidak karuan Furihata menggunakan pipinya untuk menggeser tampilan hijau untuk menerima panggilan. Sebisa mungkin menutupi desah ketika jemarinya sibuk menelusup ke balik celananya yang dirasa menyempit.

Suara rendah menyapa. "Akiyama tidak bisa ikut. Kupikir tidak masalah karena hanya bagian terakhir yang perlu diselesaikan. Bahkan aku bisa mengerjakannya sendiri jika kau tidak memaksa mengerjakannya bersama."

Furihata sibuk membatu juga menggeliat tidak bisa diam. Pikirannya mengambang antara membutuhkan juga ingin segera memutus panggilan. Tetapi kedua tangannya terlalu sibuk untuk melakukan hal terakhir. Memuaskan diri sendiri juga menyekap suara dari mulutnya sebagai manifestasi kenikmatan yang menjalar sepenghujung tubuhnya.

"Hng? La-laluh?"

Detikan jeda yang panjang ketika suara itu kembali. "Hanya aku yang datang."

"Ja—ahh~! Ma-maaf … Ka-ngh~ Kaichou!" Furihata tersengal hebat ketika puncaknya semakin dekat. Diiringi imaji hembusan napas paling dekat, tatapan memerangkap, sentuhan nikmat dan getaran merambat geraman seorang alfa. Kesadarannya seketika di ambang batas. "Se-sepertinya … a-ahh~ a-aku tidak—"

"Aku mengerti."

Sambungan terputus seiring dengan Furihata yang mendesah keras dilimpahi klimaks. Tubuhnya masih panas kendati kewarasan kepalanya yang sekian detik menguap kembali bergerumul datang. Tangannya berpindah menutup mata. Ingin menangis rasanya toh kedua matanya juga sudah disengat panas.

Tidak tahu harus memasang muka bagaimana untuk menghadapi Akashi Seijuurou keesokan harinya. Dua kali momen memalukan dalam satu hari. Furihata ingin menghilang rasanya karena hal ini terlampau memalukan meski seharusnya Akashi memaklumi.

Tok. Tok.

Ketukan pintu utama flat berhasil menarik fokus Furihata. Beranjak sigap lantas menderap cekatan Furihata keluar dari kamarnya. Tidak peduli bagaimana penampilannya berantakan selain mengusap sekilas wajahnya. Meski tubuhnya masih didera efek parah in heat. Sakit dan panas.

Klik lirih. Daun pintu ditarik. Seulas senyuman mengerti melengkung di wajah Furihata Kouki ketika matanya menemukan sosoknya mematung. Lengannya terjulur, mengusap sayang helaian kuyup yang terkena rintik embun di udara malam hari.

Furihata tidak tahu pasti bagaimana bisa seuntai senyumnya melukis di tengah derai tawa miris menelusup relung hati.

"Kau datang lagi?"

.

.

Matahari bersinar terlampau terik. Penyulut panas dan keringat. Penyebab utama malas beraktivitas yang parahnya justru dihadapkan pada pelajaran olahraga di pelajaran kedua.

Furihata menggelepar panas di lantai kayu gimnasium setelah sepuluh menit pemanasan. Sekujur tubuhnya seperti dibakar. Semuanya disebabkan oleh pengaruh cuaca yang gila-gilaan dan aktivitas diluar kelas.

Pandangannya menerawang jajaran kayu yang menyusun atap. Kecoklatan tua dimakan waktu meski tetap terlihat kokoh. Mengingat sedikit keberuntungan karena tidak dihukum paska tertidur di kelas lagi—walau pelajaran sedang kosong saat itu. Juga dua kali kejadian memalukan.

Diperingati masalah hickey kemarin. Masturbasi di dengar rekan sekelas sendiri semalam. Parahnya seorang alfa yang bukan mate-nya. Parahnya lagi adalah seorang Akashi Seijuurou. Andai bisa Furihata tidak sudi masuk hari ini hanya untuk mengikuti ulangan yang jika dilakukan sendiri lebih mengintimidasi.

Furihata mengeluh panas lagi dan mengabaikan sikutan Kawahara untuk bergeser. Diliriknya sekumpulan siswa diselipi untaian helai merah menyala yang asik memainkan bola basket. Ia mengerang sekilas. Mempertanyakan bagaimana mereka sanggup bermain bersemangat di cuaca sepanas ini alih-alih tidak ingin menjumpai Akashi Seijuurou lagi.

Persentase diambang nol. Untuk tidak menemukan Akashi masuk sekolah ialah nihil. Asumsi dimana Furihata tidak pernah mendengar jika si Ketua pernah tidak berada di sekolah di waktu wajibnya dalam dua tahun belakangan. Ini bukan berarti dia menguntit atau jelas berita sesepele itu pasti sudah menyebar seantero sekolah jika memang ada. Kurang kerjaan memang tetapi itulah realita.

Satu sempritan dari pengajar. Fukuda menyeretnya berdiri untuk bergantian bermain basket. Furihata memberi raut memelas ketika merasa tubuhnya didera sakit. Tidak dipedulikan yang justru diberi delikan untuk bergerak lebih cepat. Berdiri dengan sungutan di penghujung bibir Furihata mengamati saja bagaimana lelaki memasuki paruh baya itu memberi intruksi. Membagi tim selanjutnya untuk bermain dalam sekali babak seperti dua tim sebelumnya.

Beruntung atau tidak Furihata bergabung dengan dua sahabatnya lagi.

Di menit pertama Furihata bahkan tidak bergerak lebih dari setengah lapangan. Fukuda meneriakinya sebal karena kecolongan enam angka dalam tiga tembakan berturut-turut sementara objeknya memberi cengiran tanpa dosa. Dua menit selanjutnya Furihata mulai bergerak seperti biasa. Konstan memperhatikan pergerakan lawan, mulai memberi arahan dan menggerakan laju permainan sembari menggiring bola.

"Yeah!" Kawahara meninju udara begitu berhasil membalik keadaan. Mengacak rambut Furihata kegirangan melihat sahabatnya yang berhasil menyumbang dua angka. "Hebat, Furi! Ayo menangkan mini game ini!"

Fukuda menyela dengan senyuman lebar. "Yosh!"

Furihata hanya tertawa riang. Mengabaikan geliatan tidak nyaman tubuhnya. Menyadari benar adanya tatapan menusuk untuknya. Panas dengan jilatan sensual. Furihata tersedak napasnya sendiri ketika tubuhnya merespon dengan sendirinya seraya meliarkan tatapan ke segala arah.

Dua detik setelahnya Furihata menciut takut mendapatkan tatapan dingin Kaichou tersohor yang seolah menunggu dirinya melanggar aturan untuk diberi hukuman.

"FURIIIIII?!"

"AWAS!"

Bruk.

Dan pandangan Furihata berkunang. Tidak perlu menunggu setengah menit untuk membuatnya tersungkur menabrak lantai dengan bola menggelinding tidak jauh darinya.

.

.

Yang pertama dirasanya ialah panas sekujur tubuh. Hembus hangat napas yang memberat. Detikan selanjutnya denyutan di kepala. Furihata lantas ingat kalau kepalanya telah dijadikan ranjang basket salah sasaran oleh seseorang.

"Sudah sadar?"

Pandangan Furihata masih buram ketika ia memaksa duduk. Menatap kabur juntaian helai merah yang berdiri menyilang tangan dan menjadikan pinggir ranjang sebagai sandaran.

"Aa—" Pupil kuaci itu menyelusur pandang. Cukup memberinya keterangan bahwa mereka tengah berada di ruang kesehatan. "… uhm."

"Ceroboh sekali sampai terkena lemparan salah sasaran."

"Ahh! Hahaha, memang." Furihata tidak nyaman begitu tahu mereka seruangan hanya berdua. Cukup dengan waktu-waktu mereka saling bicara hanya sebatas perantara diberi mandat untuk melakukan hukuman kejam si Ketua. Belum lagi fakta bahwa mereka satu komunitas sosial yang mana pasti sadar jika kondisi Furihata tidak dalam batas prima manusia pada umumnya. "Fuku, Kawa, me-mereka kemana?"

"Mengikuti pelajaran. Aku tidak sudi melihat mereka membolos pelajaran hanya untuk menjagamu di sini. Kau sudah cukup bisa menjaga dirimu sendiri, bukan begitu? Atau memang kau masih menuntut ditemani mereka sekarang?"

Furihata menggeleng pelan. Setidaknya dia butuh dukungan moral. Minimal mencegah keduanya dalam satu ruangan berdua. Mereka berbeda secara biologis meski satu komunitas. Dirinya seorang omega sementara Akashi seorang alfa. Belum lagi keinginan alamiah yang menggeroti akalnya sekarang. Furihata yakin ini berasal dari siklusnya yang masih berjalan. Tahu begini, lebih baik menuruti saran Kuroko tadi pagi untuk tidak pergi sekolah.

"Bu-bukan, a-aku hanya penasaran." sahutnya dengan tangan menyentuh sisi kepala. Dua usapan menjadikannya mengerti bahwa kepalanya benjol sebagai dampak. Tidak sadar bibirnya merintih lirih. "A-apa … a-aku harus kembali ke kelas sekarang?"

"Tidak. Kau tetap di sini. Ada beberapa hal yang ingin kupastikan darimu."

Pertanyaan muncul di kepala. Furihata tidak bisa menebak hal yang ingin dipastikan Akashi darinya. Terlalu fokus menahan gejolak yang dirasa makin meletup sepenjuru tubuhnya. Belum lagi feromon kuat yang dikeluarkan seorang alfa di dekatnya. Tidak perlu bertanya Furihata tahu Akashi sendiri tidak dalam kondisi normalnya dimana pemuda magenta tersebut tengah in rut meski tidak tampak meliar.

Jujur saja Furihata tidak perlu bertanya jika hidungnya dapat menangkap aroma alamiah seorang alfa in rut karena baunya lebih memabukan dan pekat. Juga kesahnya pelan ingin menerkam.

Ini gawat ketika mereka berada dalam siklusnya secara bersamaan dan berada dalam satu ruangan berdua saja. Lumrah saja jika mereka mate. Tetapi Furihata masih ingat terlalu jelas jika keduanya bahkan tidak benar-benar dekat lebih dari status teman satu kelas.

Bahkan meski Furihata pernah mendengar adanya satu sifat alamiah hierarki mereka pada pasangan sehidup semati; bahwa hanya kepada soul-mate saja mereka bereaksi. Walau dalam kasus alfa sendiri mereka sering gelap mata jika mengetahui adanya seorang omega in heat maka suatu hal mustahil terjadi jika mereka saling bereaksi karena Akashi saja tidak pernah memiliki atensi yang berujung afeksi untuknya.

Bukan berarti Furihata peduli. Ini semata agar logikanya masih berfungsi meski kian menipis. Perihal pandangan normal kenihilan relasi intim yang nyata ada diantara mereka.

Diliriknya Akashi yang menjauh. Menggerakan lihai jemari di atas ponsel pintarnya. Mungkin mengirimkan pesan sebelum terdengar bunyi getaran singkat penanda matinya daya ponsel.

"Koganei memohon maaf atas insiden ini."

"Oh, o-oke. Salahku juga tidak berhati-hati."

Akashi menatapnya intens ketika menjejak langkah mendekat kembali. Wajahnya melukiskan risau yang sekali ini baru Furihata lihat. Aneh. Lebih mengherankan lagi justru itu menggelitik perutnya. Furihata menyumpah karena merasakan hal tidak-tidak.

"Furihata Kouki."

Tatapan polos menyambut ucapan Akashi Seijuurou. Tidak mengerti kemungkinan aneh pada namanya sendiri sehingga perlu dipastikan—mengingat ucapan Akashi sebelumnya. Walau ini kali pertama Akashi memanggilnya dengan nada kelewat tenang. Tidak dingin emosional seperti saat dirinya memberikan sumbangan poin laknat di buku siswanya.

"I-iya?"

"Panggil aku."

Furihata melebarkan rekatan bibirnya. Terbengong dengan muka heran dan bingung tidak mengerti. "Ma-maksudnya?"

"Panggil saja."

Satu kerjapan polos. Furihata justru berpikir buruk soal Akashi yang mungkin kepalanya ikut terbentur bola. "Ka—Kaichou?"

"Bukan jabatanku tapi namaku."

"Eh? Huh—Kaichou, ti-tidak mungkin 'kan, kau … lupa namamu sendiri?" Furihata semakin yakin ada yang salah dengan kepala si pemuda merah. Tetapi hening sambutan membuatnya memaksakan diri menatap tepat iris merah Akashi Seijuurou. "Uhm … A—Akashi-san?"

Gelengan ringan. Hanya sebatas gerakan meski sorot merah masih terus mengunci pergerakan Furihata dalam fokusnya.

"La-lalu?"

"Namaku … Kouki."

Furihata tergugu. Diserang geletar menyengat sekujur tubuh begitu namanya dialunkan tenang dan merambati gendang telinga. Pelupuk matanya lupa fungsi untuk berkedip.

"Aa—" Timbul sendatan luar biasa bercokol di pangkal lidah. Tubuhnya mengigil tidak nyaman. Furihata tidak tahu kalau ada beban ribuan kilo hanya untuk mengucapkan sederet huruf. "S-Sei … juu-rou?"

Kilat menyala. Membakar serupa kobaran. Memercik cepat merambatkan jingga. Kemerlip di tempa sinar lampu di atas kepala. Furihata lantas sadar tubuhnya sudah sekaku batu begitu tahu ada heterokromik yang memaku tatapan buas untuknya.

.

.

.

To be Continue~

.

.

.

a/n:

Halo. Terima kasih yang bersedia membaca sampai sini. :)))

Berawal dari niatan memberi kado untuk ulang tahun Furihata Kouki dan Akashi Seijuurou. Tetapi berhubung saya ini bukan tipe manusia deadline jadilah fanfiksi ini beralih untuk memeriahkan AkaFuri Day yang pada akhirnya terlewat juga. Demi apalah saya ini ya, kekeke~~ x"D #ditampar #bows

Sengaja dibuat twoshoot dari sudut pandang Furihata Kouki dan Akashi Seijuurou. Chapter selanjutnya hadir dalam sudut pandang Akashi.

Bersedia memberikan kritik, saran, barangkali? :"))

Salam,

Rinfuka.