Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

Lima Belas Menit

.

Don't Like, Don't Read

.

Enjoy

.

.

.

Ponselku berdering. Aku menutup buku yang sedang kubaca. Halaman empat puluh dua, aku menyelipkan pembatas buku tua, kenang kenangan dari seseorang bertahun tahun yang lalu. Di dering kedua aku mengambil ponselku dan terhubung di dering ketiga.

"Konnichiwa."Suara disana membuatku membatu. Ringan dan hangat, sama seperti bertahun tahun yang lalu.

"Konnichiwa." Aku memejamkan mata, ribuan kenangan datang menghantam kepalaku, tanpa jeda. Hanya sekilas, namun dapat jelas terlihat.

"Hyuga Hinata?" Sama, namun berbeda. Suara rendahnya, kehangatannya, semua terasa sama, sekaligus berbeda. Dia bukan pria pembatas buku yang aku tunggu beberapa tahun belakangan ini.

"Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Sasuke, dari ekspedisi, memberitahukan kalau ada paket atas nama Hyuga Hinata. Tapi disini hanya dicantumkan nomor ponsel tanpa alamat penerima.Jadi saya tidak tahu kemana harus mengantar paket ini."

"Ah, souka... Kalau boleh tahu, siapa pengirimnya?" Padahal aku berbohong. Aku yakin kalau paket itu dari kediaman Hyuga.

"Disini tertulis dari Hyuga Hanabi." Nah, kan? "Jadi, mau diantarkan atau diambil ke kantor kami saja?"

"Kalau.. kalau diantarkan, siapa yang akan datang?" pertanyaan konyol.

"Tentu saja saya sendiri." suara diseberang nampak menahan tawa, aku tersenyum.

"Maaf, aku.." gagal move on "tinggal sendiri.." baka, informasi tidak berguna "jadi agak membatasi pengunjung."

"Oh, jadi mau diambil ke kantor?"

"Dimana alamat kantornya?"

"Beberapa blok dari balai kota, hanya sepuluh menit berjalan kaki."

"Oh, jauh ya.. Bisakah.." kamu kembali ke hati ini "diantarkan saja?"

"Baiklah. Dimana alamatnya?"

"Kau tahu toko bunga Yamanaka?"

"Ya."

"Disitu.." dulu kau selalu membelikanku sebuket azalea segar "ada jalan kecil disebelahnya, rumahku diujung jalan itu."

"Ah, ya, baiklah, kebetulan saya tidak jauh dari situ. Mohon tunggu lima belas menit lagi."

"Baiklah."

Tut.

Sambungan diputuskan. Aku menyentuh tali merah pembatas buku dan menariknya, masa bodoh sampai mana tadi aku membaca. Enam puluh dua, atau dua puluh lima? Sejujurnya aku tidak peduli.

Aku duduk di kursi depan sambil terus menggenggam pembatas buku tua. Mungkin setelah ini ujungnya akan sedikit terlipat. Tidak apa apa.

Lima belas menit.

Kali ini aku akan menunggu lagi, seperti setiap harinya. Bedanya kali ini aku tahu lima belas menit lagi yang kutunggu akan datang, tidak seperti dia, yang berjanji akan datang, tapi tak kunjung kembali.

Lima belas menit.

Kecuali bannya mendadak bocor, mungkin bisa menjadi empat puluh menit.

Atau hujan lebat dan dia terjebak di rumah orang lain, mungkin bisa menjadi besok.

Atau dia tergelincir dan kecelakaan, mungkin bisa menjadi beberapa minggu.

Atau mungkin dia terkena bom atom dan mati,dan paketku hancur. Mungkin dia tak akan pernah datang, sama seperti dia.

Lima belas menit yang dijanjikannya dulu berubah menjadi lima belas jam, kemudian menjadi lima belas hari, kemudian menjadi lima belas bulan, kemudian menjadi lima belas tahun, dan akhirnya menjadi tidak pernah ada.

Air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Aku tak menghapusnya. Biarlah air mata ini menjadi saksi penantianku.

Lima belas menit lagi.

End