Sampai Menutup Mata

Summary : Sumpahnya berkata, "Pasti! Aku pasti mencintaimu sampai menutup mata. Walau terpisahkan, jiwa dan raga kita tetaplah satu." Suaranya yang parau bergetar hebat. Aku bisa merasakan keseriusannya. Aku memahami perasaannya, yang sebentar lagi akan menghadapi ajal. Karena itulah, penuhi kaul tersebut di akhir hayatmu.

Rate : T

Chara : Natsu.D, Lucy.H

Genre : Romance, hurt/comfort

Warning : Typo, dll

Fairy Tail bukan punya author, tetapi punya Hiro Mashima.

Iris hitamnya memandang sayu pemandangan sebatas jendela. Dia bergumam tidak jelas, seakan mengutuk keadaannya sekarang ini. Surai salam itu berkibar pelan ditiup angin, lewat kaca yang sengaja dibuka untuknya mencari udara segar. Di luar sana, terlihat beberapa orang lansia tengah duduk di atas kursi roda, mengelilingi taman rumah sakit di situ-situ saja. Anak ini masih muda, namun naas garis takdir mengatakan, dia harus terjebak di bangunan itu, berada di tengah garis kematian dan kehidupan.

Bunyi jam menggema di ruangan nan sunyi tersebut. Deretan gigi putihnya mengigit bibir bawah gemas. Meremas kedua ujung selimut menggunakan tangannya yang dihubungan dengan alat infus. Dia bosan, dia sangat ingin keluar. Menjelajahi dunia, terutama ke negara matahari terbit, Jepang. Meski negara tempatnya tinggal dapat dikatakan mirip, tetap saja yang asli berpuluh kali lipat lebih bagus.

Namun kenyataan membuatnya sadar, pemuda sejuta mimpi itu tidaklah berguna tanpa bantuan orang-orang di sekitarnya. Dia sudah lama lumpuh. Tinggal di rumah sakit sejal menginjak awal usia remaja. Menghabiskan jutaan bahkan milyaran uang untuk operasi, rehabilitasi, kemoterapi, dan lain-lain. Ya, rumah sakit memang pemeras terhebat sejagat raya. Orang-orang sibuk mencari fasilitas terbaik demi kelangsungan hidup mereka. Biaya bukanlah kendala, asalkan nyawa tidak beradu dengan maut.

Tok…tok…tok….

CKLEK!

Seseorang membuka pintu perlahan. Pemuda bersurai hitam itu membawa sekeranjang buah yang diimport dari Crocus. Dia tersenyum, melihat lelaki salamnya telah menjadi anak baik setengah hari.

"Yo, Natsu. Kakak membawakan buah apel kesukaanmu, mau makan?" tawarnya dibalas gelengan kecil, yang menjadikan itu penolakan ke sepersekian kali. Suasana hening sejenak, hingga dia merogoh sesuatu dalam tas ranselnya. Sebuah album foto

"Lihat, ini namanya menara eiffle, letaknya di Paris. Kemarin kakak baru pulang dari sana. Jika Natsu sudah sembuh, kami akan menemanimu pergi. Oke?"

"Apa yang menarik memang? Aku hanya menganggapnya sebagai menara biasa" dia bukanlah anak kesenian seperti kakaknya. Lulus menyandang IPK terbaik membanggakan kampus, serta orang tua mereka. Dia cuman anak SMP biasa, yang sedang mencari apa itu jati diri

"Itukan menurutmu. Menara ini dibangun oleh seorang bernama Gustave Eiffle. Dengan menggunakan perhitungan matematika, menjadikannya menara yang tahan terhadap angin. Luar biasa, bukan? Meski sempat dikritik masyarakat karena bentuknya yang menantang. Menara eiffle masuk dalam salah satu struktur terkenal di dunia"

"Dulu saja, membuat menara kartu kamu gagal terus, yang pendek pun butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikannya"

"Jangan mengungkit cerita lama. Kami adalah dua Natsu yang berbeda! Di masa lalu, dia dikenal sehat walafiat. Suka bermain basket di lapangan dekat kompleks rumah. Memiliki banyak teman dan terkenal di sekolah, tetapi sekarang beda! Kini dia terbaring di rumah sakit. Berjalan saja butuh bantuan kakak atau ayah atau ibunya. Makan disuapi suster. Harus meminta dokter memeriksa keadaannya. Aku benci, benci, benci!"

"Mulutmu terlalu mudah mengatai hidup ini amat menjijikan. Mungkin jika pergi ke sana, kau bisa menemukan pasangan hidupmu. Ingatkan, Perancis dijuluki negara romantis, karena keberadaan menara eiffle di kota Paris?"

Pasangan hidup? Sisa umur yang terbilang sedikit membuatnya merasa ragu. Apa dia boleh, memimpikan hal besar semacam tadi? Jangankan keliling dunia, sembuh saja belum tentu kesampaian. Natsu membulak-balik isi album tersebut. Air mata berjatuhan, membasahi sampul plastik berisikan selembar foto. Ujung jemarinya mengelus lembut, dia larut dalam momentum indah sembilan tahun lalu. Penyesalannya tambah kuat setelah sinar X mendiagnosis, ada benjolan seukuran bola pingpong di otaknya.

"Kak, apa sekolah itu menyenangkan?" tanya Natsu masih menundukkan kepala lesu. Kepalanya serasa ditusuk ribuan jarum dalam satu waktu. Berbicara saja membutuhkan banyak tenaga. Mengeluarkan sepatah kata pun sulit

"Pertanyaanmu aneh, kamu kan pernah sekolah dulu"

"Tapi sebatas tingkat menengah pertama. Seharusnya sekarang aku ikut ujian masuk SMA"

"Siapa yang berkata seperti itu padamu?" tersirat rasa penasaran dibalik onyx senada milik sang adik. Entah bagaimana hatinya bekerja sekarang, dia senang mendengar ucapan itu. Menunjukkan bahwa Natsu masih memiliki semangat untuk hidup dan berjuang

"Wendy-san. Kakak ingatkan? Dia meninggal dua tahun lalu. Umurnya baru saja menginjak sebelas tahun, tetapi dengan kejam Tuhan memberinya cobaan berat" dia memiliki hak mengutuk kehendak takdir yang semena-mena. Orang jahat selalu dibiarkan hidup lebih lama, sedangkan yang baik dipanggil terlebih dahulu. Benar-benar tidak adil!

"Natsu. Tuhan memiliki rencana tersendiri dibalik ujian tersebut. Buktinya, Wendy berhasil melewati semua itu, kan? Dia juga yang memberimu semangat, agar tidak mudah menyerah, tetap berkeinginan kuat untuk sembuh. Tanpanya, apa kamu bisa membayangkan, dirimu akan menjadi apa dan siapa?"

"Anak itu sering bercerita, dia suka pergi ke sekolah, bertemu teman-teman, guru. Belajar bersama di ruang kelas. Memakan bekal waktu istirahat tiba. Mengerjakan tugas kelompok prakarya. Terkadang jalan-jalan ke mall di saat langit cerah. Mendengarnya membuatku terkenang masa lalu. Aku sama sepertinya. Aku mengerti perasaannya yang terpukul, karena tidak berdaya melawan nasib"

"Lalu, apa yang ingin kamu jadikan tujuan hidup, Natsu?"

"Seperti kak Zeref yang kuliah di universitas terkenal, di sebrang kota Crocus. Tidak, aku hanya berharap bisa lulus SMA. Waktuku tinggal tiga tahun lagi, cukup kan untuk menamatkan pendidikan?"

"Bahkan lebih dari cukup, Natsu. Kakak bisa menolongmu agar masuk kelas akselerasi, mau?"

"Tentu, dengan begitu aku dapat menghemat satu tahun untuk kuliah"

Semangatnya bagai disulut api sehingga mempercepat kebangkitannya. Zeref mengukir seutas senyum penuh arti, dia rela melakukan apapun, bahkan jika diperbolehkan, memberi setengah umurnya kepada adik tercinta Natsu Dragneel, walau hanya setengah tahun, tiga bulan ataupun sehari, maka hal tersebut pasti diperbuat olehnya. Kasih seorang kakak mirip dengan ibu, tak terhingga sepanjang masa.

Lagi pula, menolong manusia yang sekarat bukanlah tindakan dosa, benar?

Hari demi hari Natsu habiskan untuk belajar, namun sesuai batasan tubuhnya yang sekarang rentan penyakit. Mulai dari jam sembilan pagi sampai sepuluh belajar bahasa Inggris, dilanjut matematika yang membutuhkan waktu lebih lama dibanding mata pelajaran lain. Dia tidak bodoh-bodoh amat untuk mencerna semua itu, lalu meminta penjelasan dua kali lipat terperinci dari sebelumnya. Kau boleh berkata, kemauan keras merubah tabiat buruknya yang gampang menyerah.

Dia memiliki waktu dua bulan satu minggu, mempersiapkan mental serta senjata utamanya, yakni pengetahuan.

Doa yang ia panjatkan tidaklah muluk. Natsu sebatas ingin, menjalani kehidupan normal seperti anak sebayanya, merasakan suka duka duduk di bangku SMA sebelum surat kematian dikirimkan malaikat maut.

Perihal cinta?

Natsu enggan mengharapkannya.

Satu kata sejuta makna itu tabu bagi kamus kehidupannya.

Terbesit pemikiran buruk yang mengentayangi dirinya selama beberapa waktu terakhir ini
"Bukankah jauh lebih baik, jika aku tidak dikenal siapa pun?"

Kau salah besar, Natsu Dragneel. Pasti, pasti seseorang akan mematahkan anggapanmu yang mencelakakan.

Bersambung….

A/N : Yuhuuuu halo semuanya! Saya balik lagi dengan fic baru pair NaLu. Karena ini masih prolog, mohon maaf ya apabila tidak seru. Mohon review dari kalian semua, apakah cerita ini memang pantas dilanjut atau tidak.