Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

Niji © Haruno Aoi

Rated: M (untuk amannya)

Setting: AU

.

.

.

- NIJI -

.

.

.

###

1

###

Mata gadis itu berbinar saat memandang ke luar jendela. Ia sedang mengagumi keindahan yang dilukiskan Sang Pencipta. Langit yang biasanya menampakkan matahari terbit, kini menjadi kanvas busur cahaya. Rintik hujan masih menemani matahari yang hampir kembali ke peraduannya. Gadis itu ingin sedikit lebih lama berdiri di depan jendela rumahnya—setidaknya setelah pelangi mulai memudar.

Kini langit sudah gelap. Gadis berambut panjang itu menutup jendela, kemudian bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ternyata ia terlalu lama membuang waktu berharganya untuk memandang busur tujuh warna di langit—di samping mengkhayalkan hidup bahagia bersama seluruh anggota keluarganya.

Dalam beberapa menit, dua porsi makan malam sudah dihidangkan di meja makan yang mungil. Ruangan sempit yang semula kosong, kini dimasuki dua orang berlainan jenis kelamin. Dengan hati-hati, gadis bermata pucat mendorong kursi roda yang diduduki seorang pria—yang terlihat lebih tua daripada usianya.

Suapan demi suapan nasi masuk ke mulut pria berambut coklat dengan bantuan gadis yang bersimpuh di depannya. Pria yang tak lain adalah ayah si gadis, tidak mampu lagi menggunakan tangannya untuk memegang sendok dan benda lainnya. Ia lumpuh, setelah serangan jantung terhebat yang dialaminya. Berita kecelakaan dan kematian putra sulungnya yang menjadi penyebab dilarikannya ia ke rumah sakit dan akhirnya divonis menderita stroke oleh dokter. Saat ini, ia sudah seperti bayi yang selalu membutuhkan orang lain untuk mengurus segala keperluannya. Ia juga hampir kehilangan kemampuan bicara dan sebagian ingatannya—bahkan terkadang ia lupa kepada putrinya sendiri.

"Hinata."

Mata gadis yang bernama Hinata itu berkaca-kaca. Akhirnya setelah beberapa minggu ia bisa mendengar suara ayahnya lagi, walaupun terbata-bata. Andai saja ia punya lebih banyak uang, ia pasti akan memberikan pengobatan untuk ayahnya. Sayangnya hasil jerih payahnya hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Ya, Ayah?" jawabnya sambil mendekat dan mensejajarkan matanya dengan sang Ayah.

Ayahnya tidak mengatakan apapun lagi, namun airmata menetes di pipinya yang mulai berkeriput. Bibir Hinata bergetar untuk menahan tangisnya. Selama ini ia sangat jarang melihat airmata ayahnya. Bahkan saat ibu dan adik perempuannya menghadap Yang Maha Kuasa, ayahnya tak pernah menangis di depannya. Walaupun ia tahu, ayahnya sering menangis ketika menjelang tidur.

"Apa aku salah, Ayah? Apa aku yang menyebabkan tangisan Ayah?"

Jemari tangan kanan ayah Hinata tampak bergerak lemah. Hinata mengerti maksud ayahnya—ia tidak boleh menangis. Ia segera menghapus airmatanya dan mengembangkan senyum untuk sang Ayah yang selalu menjadi sosok mengagumkan baginya. Perlahan ia menghapuskan airmata yang membasahi wajah ayahnya, menggantinya dengan kecupan lembut di pipi sebelah kanan dan kiri.

Hinata berbalik menghadap meja makan hanya untuk mengambil sepiring makan malamnya. Ia duduk di depan ayahnya dan menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia makan dengan lahap dan tidak menyisakan sebutir nasi pun di piringnya. Airmata sudah tidak membendung di pelupuk mata ayahnya—sebagai gantinya, ia melihat bibir ayahnya yang sedikit melengkung.

Setelah membersihkan peralatan makan, Hinata mengantarkan ayahnya ke kamar. Ia membantu ayahnya berbaring di tempat tidur dan menyelimuti ayahnya. Belakangan ini udara di malam hari terasa sangat dingin, apalagi seusai turun hujan seperti hari ini.

"Aku akan pulang seperti biasanya. Ayah tidur yang nyenyak, ya."

Hinata mencium kening ayahnya sebelum meninggalkan kamar ayahnya dengan lampu yang tetap bersinar. Ternyata ia tidak melihat airmata yang membasahi pelipis ayahnya setelah kepergiannya.

###

Jaket sudah melapisi tubuh bagian atas Hinata. Setelah mengeluarkan sepeda berkaratnya, Hinata menyangganya dan menutup pintu gerbang yang di sampingnya menempel papan bertuliskan "Hyuuga". Tepat saat bulan ditinggalkan awan tipis, Hinata mengayuh sepedanya menjauhi rumahnya yang terlihat hampir rubuh.

Jalanan di komplek perumahan Hinata tampak lengang malam ini. Sepertinya tetangganya malas keluar rumah karena suhu yang menjadi lebih dingin dibanding malam sebelumnya. Walaupun hanya diterangi lampu jalan yang sedikit redup, Hinata masih bisa melihat genangan air yang langsung dihindarinya agar tidak menciptakan noda pada pakaiannya. Maklum saja karena sepedanya hanya sepeda yang dibelinya dalam keadaan bekas dan memiliki banyak kekurangan.

Setelah mengayuh sepedanya sejauh satu kilometer, Hinata memarkirkannya di tempat biasa—di pojok tempat parkir bar yang lebih banyak diisi mobil mewah. Meskipun sepedanya tidak akan berharga bagi orang lain, ia tetap menganggapnya sebagai barang mewah yang sulit didapatkannya. Karena itu, Hinata menguncinya sebelum masuk melalui pintu belakang bar.

Salah satu teman perempuan yang berada di dapur menyapa Hinata. Ia tersenyum sebelum menuju lokernya untuk mengganti jaket dan celana panjangnya dengan kemeja putih berlengan panjang dan rok hitam selutut. Setelah ayahnya sakit, Hinata menghentikan mimpinya untuk belajar di perguruan tinggi dan lebih memilih bekerja di dapur bar yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Gaji yang didapatkannya bisa dibilang lumayan dibandingkan gaji bekerja di toko swalayan pada siang hari.

Pekerjaan Hinata di dapur bar hanya seputar memasak dan mencuci piring, tapi terkadang juga mengantarkan pesanan. Biasanya ia pulang ke rumah menjelang pagi dan akan menyiapkan sarapan untuk ayahnya sebelum mengistirahatkan dirinya. Di siang hari Hinata hanya akan menemani ayahnya jika tidak dimintai bantuan tetangganya untuk menjaga anak mereka. Hinata akan mendapatkan imbalan dari pekerjaan tidak tetapnya dan ia tidak pernah menolak.

Saat bekerja di bar, Hinata mengikat tinggi semua rambutnya. Poni tebalnya yang rata, masih setia menutupi keningnya. Senyum harus selalu menghiasi wajahnya jika bertemu dengan pengunjung bar, itu perintah. Kali ini pun Hinata meletakkan pesanan di meja pengunjung sambil tersenyum.

"Hinata."

Hinata merasa lega karena mendengar panggilan dari bosnya, yang menyelamatkannya dari masalah. Hampir saja pinggangnya menjadi sasaran tangan jahil pengunjung bar. Ia langsung bergegas menghampiri bosnya setelah membungkuk singkat ke arah pengunjung yang sedang tersenyum meremehkannya.

"Ya, Tuan," balas Hinata saat berdiri di depan bosnya sambil menunduk dan memeluk nampan yang dibawanya.

"Sampai kapan kau akan memanggil Bos dengan "Tuan"?" Seorang bartender bergigi taring runcing menimpali dari balik konter bar.

"Maaf," ucap Hinata sembari menunduk lebih dalam.

Sang Bos hanya tersenyum tipis melihat kejahilan pekerjanya yang berambut coklat kepada Hinata.

"Jangan ditanggapi dengan serius. Kiba hanya bercanda," ujar Bos sambil menepuk pelan salah satu lengan atas Hinata.

"Saya tahu," Hinata membalas sambil mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah bartender bernama Kiba yang sedang tersenyum lebar. Ia segera mengembalikan perhatian ke bosnya setelah mengingat penyebab ia menghampiri sang Bos bermarga Uchiha tersebut.

"Kau bisa pulang cepat, tapi bersediakah kau mengantarkan keponakanku ke apartemennya yang berada di seberang bar? Dia mabuk berat."

"Keponakan?" Sebelumnya Hinata tidak pernah tahu kalau bosnya yang masih tampak muda memiliki keponakan yang sudah bisa mabuk-mabukan.

"Putra dari kakak perempuanku. Dia baru kembali dari luar negeri," jawab sang Bos dengan sabar. "Aku ingin menyuruh Kiba, tapi malam ini tidak ada yang menggantikannya di konter."

Hinata mengerti karena pekerja di dapur memang lebih banyak daripada bartender. Pekerja perempuan juga lebih banyak dibandingkan pekerja laki-laki yang kebanyakan menjadi pengracik minuman. Sepertinya akhir-akhir ini pekerja di bar tidak pernah lengkap karena mereka tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Bos mereka maklum karena kondisi cuaca yang tidak menentu mungkin menjadi penyebabnya. Dan malam ini, hanya ada Kiba di balik konter bar.

Bos pasti punya alasan untuk mengutusnya. Mungkin bosnya sibuk, sehingga tidak melakukannya sendiri. Hinata mencoba berpikir positif. Tapi sepertinya sang Bos menyuruhnya karena berada dalam kondisi yang kurang baik, bisa diketahui Hinata dari hidung merah bosnya serta suara yang terdengar sedikit aneh.

Karena segan untuk menolak, Hinata mengangguk pelan. Dengan ragu-ragu, ia menerima kunci yang diangsurkan bosnya. Di sana sudah tertulis nomor apartemen yang menjadi milik keponakan bosnya.

###

Hinata sudah mengganti seragam bar dengan pakaiannya sendiri sebelum mengantarkan keponakan sang Bos, yang bahkan belum diketahui namanya—tapi ia tahu kalau si pemuda bermarga Uchiha seperti bosnya.

Sepertinya tugas yang dilimpahkan kepada Hinata tidaklah cocok untuk dikerjakan oleh seorang perempuan. Hinata sedikit tertatih saat membopong laki-laki yang menurutnya sangat mirip dengan bosnya. Ia tidak heran karena mereka memiliki hubungan darah.

Sebelah tangan Hinata menahan tubuh kekar keponakan sang Bos, sedangkan pada tangan yang lain tersampir jas hitam laki-laki dalam bopongannya. Berkali-kali ia berhenti berjalan hanya untuk mengeratkan lengan yang melingkari lehernya agar si pemuda tidak limbung. Terkadang ia mendengar gumaman tidak jelas dari mulut si pemuda dan pada saat yang bersamaan bau alkohol menusuk hidungnya. Ia menjadi terbiasa dengan aroma yang menyengat itu setelah sekitar satu tahun bekerja di bar.

Saat keluar dari lift, Hinata melihat lagi nomor yang tercetak di kunci elektronik yang diberikan bosnya. Hinata tidak perlu waktu lama untuk menemukan pintu yang bernomor sama dengan kartu yang dipegangnya. Setelah membuka pintunya, Hinata memicingkan matanya untuk mencari sakelar. Ruangan yang dimasukinya menjadi diterangi lampu setelah ia menekan sakelar yang berada di dekat pintu. Dengan susah payah Hinata membopong si pemuda ke sofa terdekat dan menjatuhkannya di sana. Ia melihat ke sekeliling apartemen guna mencari kamar yang bisa digunakannya untuk menidurkan si pemuda.

Hinata kembali membopong si pemuda dan membawanya ke kamar yang didominasi warna putih. Dari ekor matanya, ia bisa melihat mata si pemuda yang setengah terbuka. Ia juga kembali mendengar gumaman yang tidak jelas dari bibir si pemuda.

Hinata tersentak saat tangan si pemuda menariknya hingga membuatnya ikut terjatuh ke tempat tidur.

"Maaf, Tuan," ucap Hinata terbata sambil mencoba melepas lengan yang melingkari pinggangnya. Setelah berhasil, Hinata bangkit namun si pemuda membalikkan tubuhnya dan langsung menindihnya. Jantungnya berdetak lebih cepat saat wajah si pemuda semakin mendekat. Yang terpikir oleh Hinata adalah mencari cara untuk melepaskan diri dari laki-laki yang kini menghambat pergerakannya. Sayangnya ia sudah tidak bisa berpikir dengan kepala dingin.

"Jangan meninggalkanku lagi," bisik si pemuda yang kini memandang Hinata dengan matanya yang tampak sayu, membuat Hinata merasa semakin ketakutan.

"Tuan, jangan." Hinata mendorong kedua pundak laki-laki bermata hitam itu. "Anda pasti salah orang!" pekiknya diselingi isak tangis saat si pemuda mulai menjamah beberapa bagian tubuhnya.

Pekikan ketakutan dan erangan kesakitan Hinata tidak dihiraukan oleh si pemuda. Ia seolah tuli, atau mungkin memang sengaja menulikan telinganya sendiri.

###

Hinata terisak di balik selimut yang menutupi tubuh polosnya. Kejadian yang semalam dialaminya kembali berputar-putar di benaknya. Malam di mana harga dirinya tercabik-cabik, meninggalkan luka mendalam di hatinya. Kepalanya terasa berat, teringat kebejatan laki-laki bernafsu hewani yang membuatnya merasa sangat terhina. Ia berharap hanya mengalami mimpi buruk dan akan segera terbangun setelah ini. Namun sakit yang dirasakannya sangat nyata. Walaupun ia tidak ingin mengingatnya, kejadian semalam terus menghantuinya dengan menyisakan perasaan jijik terhadap dirinya sendiri.

Hinata memaksa tangannya yang masih terasa lemas untuk mengambil pakaiannya yang terabaikan di lantai. Dengan tetap menyembunyikan dirinya di bawah selimut, Hinata mengenakan beberapa pelindung tubuhnya yang berada paling dekat dengan tempat tidur.

Bersamaan dengan Hinata yang menutup rapat resleting jaketnya, di sampingnya dijatuhi sejumlah uang—yang Hinata yakini tidak akan habis untuk mencukupi kebutuhannya selama satu tahun. Hinata mendecih di tengah tangisannya. Apa ia sudah sehina wanita harapan?

Rasa benci yang teramat besar sudah terpendam di hati Hinata. Ia tidak lagi merasa takut kepada laki-laki yang semalam telah merenggut kehormatannya secara paksa. Yang kini tersisa di hatinya yang hampa hanya amarah kepada laki-laki yang saat ini sedang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Jijik, Hinata sangat jijik melihatnya.

Si pemuda tersenyum angkuh karena tatapan tajam Hinata. Dengan santainya ia membetulkan ikatan jubah mandi putihnya, membuat Hinata memalingkan wajahnya setengah was-was.

"Jangan munafik. Kau juga menikmatinya."

"Bajingan!" umpat Hinata sambil melemparkan sejumlah uang ke wajah pemiliknya. Ia berlari dengan sedikit terseok, meninggalkan apartemen mewah itu sebelum keinginan untuk membunuh si pemuda kembali muncul.

Entah mengapa muncul perasaan bersalah di hati si pemuda saat melihat bercak yang kontras dengan warna putih sepreinya.

"Sial!"

###

Hinata menuntun sepedanya dengan pandangan hampa. Airmata membendung di pelupuk matanya yang sembab. Perasaannya bercampur aduk antara malu, sedih, sakit hati, takut, dan perasaan-perasaan yang membuatnya merasa semakin rendah diri.

"Ibu," lirihnya, "Kenapa harus aku yang mengalami takdir buruk ini?"

Pagi ini langit sangat mendung, seolah menemani kepedihan Hinata. Hujan memang tidak turun, namun angin yang berhembus terasa menusuk hingga ke tulang para pengguna jalan. Hinata memeluk dirinya sendiri dengan tangannya yang bebas. Ia sangat kedinginan sekaligus merasa harus menutupi tubuh kotornya dari semua pasang mata yang menurutnya sedang memandang jijik ke arahnya.

"Ayah," gumam Hinata bersamaan dengan airmata yang menetes di pipinya, "Maaf."

Andai Hinata tidak mengingat ayahnya, pasti ia sudah membunuh dirinya sendiri. Ia tidak mungkin meninggalkan ayahnya yang tak berdaya. Tapi, apa ia masih bisa bersikap seperti biasa di depan ayahnya dengan tubuh menjijikkannya?

Apa lagi yang bisa dibanggakan oleh Hinata sebagai seorang perempuan?

###

.

.

.

Review boleh berupa kritik, flame, caci maki, dan sejenisnya.