COLD WATER
Chapter 1
.
M
.
New York.
Biasanya Chanyeol akan mengurangi satu sendok gula untuk satu cangkir kopi paginya. Rasa pahit nyatanya lebih cepat menaikkan adrenalin ketimbang manis yang terkecap di sekitar lidah dan bibirnya. Tapi itu bukanlah satu penggambaran kepribadian yang bisa dipatenkan hanya karena berkurangnya satu sendok gula. Orang berkata, kepribadian itu tidak bergantung dari apapun dan tidak bisa diubah oleh apapun. Semua sudah diatur dengan pas dan terlalu sulit jika mengharapkan sebuah situasi untuk mengubah.
Layaknya selera seseorang tentang mengecap nikmat cairan hitam bernama kopi itu. Chanyeol memiliki selera lelaki dewasa pada umumnya. Tidak ada yang salah dengan dirinya yang 6 tahun belakangan selalu mengecap segala bentuk sandang dan pangan di New York. Taste-nya cukup rasional dan dia tidak butuh merefleksikan apapun selama dollar dalam sakunya bisa merubah sesuai sekali lagi, itu bukan tentang kepribadian.
Sepagi ini di salah satu hunian vertikal termahal di New York, Chanyeol baru saja selesai dengan satu berkas terakhir. Kehidupan kerja membuat Chanyeol harus puas tidur dalam waktu tak sampai 3 jam lalu kembali bergelut dengan batang saham naik-turun dari perkembangan bisnisnya. Tapi sebenarnya itu bukan masalah besar ketika hasil yang di dapat bahkan lebih dari pengorbanan waktu yang Chanyeol lakukan.
Park Chanyeol menjadi satu trending topik belakangan ini di sebuah majalah bisnis New York. Keberhasilannya memenangkan tender di Rusia bersama perusahaan besar asal China menjadi buah bibir menyenangkan dan reputasi lelaki itu mendadak melebihi artis manapun. Dieluh-eluhkan banyak wanita, mendapat keistimewaan dari rekan sejawat bisnisnya yang lain, menjadi nilai lebih lainnya setelah jutaan dollar tertampung di rekening,
"Dasi hitam itu terlalu buruk, hyung."
Namanya Oh Sehun, satu-satunya yang bisa berkomentar dipagi yang masih berliput kantuk untuk Chanyeol.
Sehun sudah 3 tahun ini menempati salah satu kamar di apartemen mewah Chanyeol. Nasibnya sebagai mahasiswa tak kunjung lulus sudah ia ratapi dua tahun belakangan. Dia tahu ini begitu terlambat. Selain biaya kuliah yang terus menerus terbayar, Sehun sadar satu hal; waktunya untuk menikah muda terus terulur. Untuk itu, dengan segala tekad yang tersisa dalam otaknya, Sehun menerima tawaran Chanyeol untuk tinggal bersama di apartemennya sekaligus memberi bimbingan langsung menyelesaikan skripsi. Sehun mengambil jurusan International Bussiness dan Chanyeol mengatakan siap menjadi tempat berkonsultasi untuk setiap bahan skripsi Sehun.
Selain sama-sama berkebangsaan Korea, dua lelaki berbeda usia itu memiliki perawakan sedikit mirip. Mungkin gen kakek mereka cukup bagus hingga Sehun dan Chanyeol memiliki kesempurnaan fisik yang bisa membuat wanita mengemis cinta. Keduanya sadar, semua itu menjadi kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk sekedar bersenang-senang atau kepuasan di pangkal paha.
"Dasi tidak menjadi tolak ukur untuk berbisnis. Catat itu untuk bahan skripsimu."
Sehun memiliki dengusan kecil, berjalan mendekati saudara sepupunya itu dan mengendus aroma yang ada. "Mandi kilat, ya? Atau kau menumpahkan banyak parfum di tubuhmu?"
Chanyeol hanya memberi senyum dari salah satu sudut bibirnya, mengusak rambut Sehun yang kecoklatan lalu melihat Rolex mewah yang melingkar di pergelangan tangan. "Nanti sore ibumu datang. Sambut dia dengan baik, ya?"
"Apa? Ibu datang? Oh my God!" Sehun menambah usakan kasar pada rambutnya untuk sesuatu yang mendadak menghilangkan kantuknya. "Kenapa kau bisa sesantai itu, hyung, mengatakannya?"
"Lalu aku harus bagaimana? Itu kan ibumu."
"Justru karena yang datang ini ibuku, kita harus khawatir. Ibu pasti menagih jadwal sidangku! Shit!"
"Tidak boleh mengumpati orang tua."
"Dan orang tua ini bibimu. Wanita penggila Guess yang selalu menanyakan hal jorok padaku,"
"Hal..jorok? Maksudnya?"
"Kau tau, hyung, terkadang aku lebih suka menyebut skripsiku ini sebagai hal jorok dari pada tugas akhir."
Lipatan dasi hitam itu sudah selesai Chanyeol urus. Dia kembali mengusak puncak kepala Sehun yang nampak buruk untuk kedatangan ibunya. "Aku pergi. Sepertinya akan pulang malam. Kalau ibumu datang, lakukan apa yang membuatnya senang. Aku tidak begitu suka saat pulang bekerja ada keluhan tentang apapun dari ibumu karena ulah anaknya yang sedikit nakal."
"Aku akan menghubungimu untuk meminta bantuan, hyung."
"Jangan sekali-kali melakukan hal itu atau aku dengan senang hati bercerita tentang pacarmu yang masih berusia 19 tahun."
"Shit! You got my weakness!"
"Bingo!"
.
Setapak kaki Chanyeol mulai membelah kesibukan New York yang tak pernah sepi. Setelan kemeja serta jas-nya yang terpasang pas ditubuh atletis Chanyeol menambah sederet kekaguman para karyawan yang pagi itu berpapasan dengannya. Chanyeol selalu memberi senyum penuh kebijakan, menyapa dalam konteks atasan yang ramah tapi tetap menjaga karisma sebagai seorang pemimpin.
Ada sedikit lingkar hitam di matanya, menghiasi wajah tampan yang terpahat sempurna guna menunjukkan kerja keras yang selalu menjadi patokan. Chanyeol tidak bisa menghindari hal itu, dia hanya berusaha menutupi semampunya meski di mata orang lain itu cukup kentara.
Ponselnya berdering kala menunggu benda kotak panjang terbuka dan membawanya pada lantai paling atas.
Darlene Stelle tertulis sebagai sebuah panggilan masuk. "Hai,"
"Where are you?"
"Office for work."
"Don't you miss me?"
"Em?"
"I miss you so bad, darl."
"Yeah."
"When we will meet, darl?"
"Tonight? At Pleasure Bar after some meeting."
"Okay. See you, darl!"
"Hm."
Tepat saat panggilan dari Darlene Stelle berakhir, pintu lift terbuka dan Chanyeol masuk untuk menekan angka yang membawanya ke lantai teratas.
Darlene Stelle, seorang wanita yang ia kenal dari bar cukup ternama di pusat kota dan belakangan menjadi teman minum cukup menyenangkan. Penat di kantor membawa Chanyeol pada hobi baru untuk menikmati wine kualitas terbaik di Pleasure Bar dan memanfaatkan pesonanya untuk menarik perhatian lawan jenis. Dan salah satunya adalah Darlene Stelle.
Semua hanya terjadi berdasar pada keinginan Chanyeol melepas penat, bukan untuk terlalu serius pada sebuah hubungan di usia 30-an. Darlene Stelle memberi apa yang Chanyeol butuhkan dan wanita itu mendapat imbalan yang sepantasnya. Such a whore!
Chanyeol bukan tak berminat untuk memiliki hubungan yang serius. Dia cukup sadar jika usia akan semakin bertambah dan pendamping hidup menjadi pertimbangan untuk menemani masa tua. Keluarga besar Chanyeol mungkin sudah berbusa dalam melakukan sindiran halus maupun kasar. Ayah Chanyeol bahkan terang-terangan mengatakan ingin memiliki seorang cucu dan Chanyeol harus memenuhi. Bagaimana bisa? Chanyeol adalah lelaki tulen yang hanya memiliki persediaan sperma, bukan sel telur.
Terkadang Chanyeol berpikir jika keluarganya terlalu lucu dalam menuntut seorang keturunan sedang Chanyeol masih nyaman hidup seorang diri.
Lalu Darlene Stelle?
Chanyeol tidak ingin keturunannya lahir dari seorang pelacur.
.
Sesuai apa yang Chanyeol katakan, setelah urusan kantor selesai dia akan pergi ke Pleasure Bar dan bertemu Darlene. Sebenarnya acara menemui Darlene hanya sampingan karena tujuan utamanya adalah mengacap nikmatnya wine setelah seharian penuh banyak rapat mencekik.
Seperti biasa, Darlene akan meliuk-liuk di sekitar Chanyeol dengan caranya yang sensual serta bebera cumbuan bibirnya. Chanyeol tak begitu merespon mengingat Darlene sama sekali tak pernah mampu membuatnya ereksi. Alhasil, Chanyeol akan duduk diam dengan wine di goblet yang ia pegang sedang Darlene mulai melacurkan dirinya sendiri.
Mungkin sekitar 2 jam Chanyeol berada di Pleasure Bar, karena setelah itu dia akan undur diri dengan mengatakan penatnya cukup terselesaikan dengan wine favoritnya.
Chanyeol itu memiliki toleransi alkohol cukup baik. Disaat wine memiliki kesempatan merecoki kesadarannya, Chanyeol justru biasa saja dan tidak memiliki kendala apapun melajukan mobilnya untuk pulang.
"Aku punya dua kabar. Kau mau pilih yang baik atau yang buruk terlebih dahulu?" adalah hal pertama yang Sehun katakan ketika Chanyeol baru saja turun dari mobilnya. Waktu sudah melewati pukul 1 petang tapi anak itu seperti sengaja menunggu kedatangan Chanyeol di tempat parkir mobil.
Raut wajah Sehun sedikit kusut. Bahkan kali ini lebih kusut saat dia harus mengulang bab 5 dari perjalanan skripsinya karena kesalahan perhitungan data.
"Ada apa?" Chanyeol terlalu santai dengan wajahnya yang cukup lelah beserta simpulan dasi di leher yang mulai menyiksa. "Ibumu minta dibelikan bulan?"
"Bahkan lebih parah."
Sehun mulai mengimbangi langkah Chanyeol masuk kedalam gedung dengan sesekali mengusak kasar rambutnya.
"Ada apa?" tanya Chanyeol ketika mereka berdua sudah memasuki lift yang membawa ke lantai apartemen Chanyeol. "Sehun, berhentilah menunjukkan aktingmu karena kau mahasiswa bisnis. Tidak cocok, jika aku boleh berkomentar."
"Pilih dulu. Mau yang baik apa yang buruk dulu."
"Oke, aku pilih yang baik dulu."
Sehun menghela napas lebih panjang, memutar tubuh untuk menghadap pada Chanyeol yang sibuk dengan ponselnya lalu memberi seraut wajahnya yang terlalu serius untuk keseharian Sehun yang konyol. "Kau dijodohkan."
Jodohkan?
"Kau dijodohkan, hyung. Ku ulangi sekali lagi, di-jo-doh-kan."
"Gila!"
"Ku kira orang tua zaman sekarang memang memiliki pikiran gila seperti yang kau katakan."
"Kita hidup di New York dan ibumu masih berbicara soal perjodohan? Dan kenapa harus aku?"
"Bagaimana jika aku mengatakan ide konyol perjodohan ini dari Bibi Park dan ibuku bertugas sebagai pendukung?"
Dua mata Chanyeol yang sebelumnya masih terlihat biasa, kini memiliki diameter lebih untuk mengartikan dia berada dalam situasi penuh keterkejutan.
"B-bibi Park? M-maksudmu, i-ibuku?"
"Yeah. Aunty Park and Madam Oh. World must be crazy !" Sehun menggelengkan kepalanya, merasa dunia benar-benar kacau ketika ibu dan bibinya bersatu membentuk kesatuan yang menghebohkan.
Lalu ketika pintu lift terbuka dan Chanyeol terburu menuju pintu apartemennya, Sehun mencekal dengan wajahnya yang masih ia buat cukup serius. "Kau tidak ingin dengar kabar buruknya?"
"Hm?"
"Wanita itu ada di sini. Dan dia bersedia dinikahkan denganmu."
"WHAT?!"
.
Dibukaan pertama pintu apartemen itu Chanyeol mendapati seorang wanita tengah menangkup gagang cangkir putih. Sebelah tangan yang lain digunakan untuk membolak-balik sebuah majalah dalam duduknya yang tenang di kursi utama apartemen Chanyeol.
Langkah kaki Chanyeol terlihat terburu. "Aku sudah mendengarnya dari Sehun." Chanyeol membuka pembicaraan dan wanita itu mengangkat kepalanya, menatap dalam sayu matanya yang renta beserta satu senyum yang hangat. "Ku rasa ibu tidak perlu berbuat sejauh itu untuk masa depanku."
"Kenapa sambutan yang ibu peroleh seperti ini? Tidakkah seharusnya kau menanyakan kabar ibu terlebih dahulu?"
"Bu, jangan lupa jika aku sudah dewasa dan ibu tidak seharusnya mengadakan perjodohan ini." Chanyeol masih memburu ketika ibunya tampak tetap tenang. "Aku sudah cukup dewasa untuk mengatur kehidupanku di masa depan."
"Well," wanita itu mengedikkan bahu, meletakkan cangkirnya di atas meja lalu membuka tangannya lebar untuk memelung sang putra semata wayang. "Kedewasaan seorang anak terkadang masih menjadi perhatian orang tua. Ingatlah, kau satu-satunya yang kami miliki dan sudah seharusnya kami khawatir tentang pendamping yang tak kunjung datang."
"Aku akan mencarinya."
"Kau sudah mengatakan itu berulang kali dan tak ada satupun yang benar-benar terealisasi. Ayah dan ibu sudah terlalu tua jika harus dibuat menunggu lebih lama."
"Ibu.."
Pelukan itu dilepas, menyisakan tautan dua mata seorang ibu dan anak yang memiliki kehangatan lebih baik dari apapun. "Dia cukup cantik dan kalian bisa berkenalan terlebih dahulu. Dan satu hal lagi, Chanyeol, ini pesan dari ayahmu. Minggu depan kau akan pindah ke Korea dan menggantikan posisi ayah di sana."
"A-apa?
.
Kedatangan ibu benar-benar jackpot. Bukan hanya kabar perjodohan, tapi kepindahannya ke Korea yang terlalu tiba-tiba. Chanyeol masih memikul beban sebagai pemimpin dengan proyek sana-sini yang belum terselesaikan. Apa kata dunia jika dia tiba-tiba pindah ke Korea tanpa ada alasan yang masuk akal?
Dalam satu waktu Chanyeol mendapat dua bom yang cukup membuatnya tercengang. Apapun itu semua terlalu terburu. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut dan hanya berdasar pada keputusan sepihak orangtuanya, Chanyeol merasa dalam situasi genting untuk kebebasannya.
Kantuknya tak lagi berarti apa-apa. Sisa malam setelah obrolan dengan Ibu, Chanyeol habiskan dengan memikirkan kembali jackpot yang ia peroleh.
Paginya tak ada kopi dengan gula yang berkurang satu sendok. Chanyeol mengambil susu yang tersimpan dalam lemari es dan menenggaknya tanpa jeda. Di meja makan, ada seorang wanita tengah duduk dengan ibu dan Bibi Oh. Perawakannya kecil, matanya terlihat cantik sedang rambutnya berwarna keemasan.
"Chanyeol, sini sebentar." Ibu tampak sumringah, begitu juga dengan Bibi Oh. "Kalian belum berkenalan."
Chanyeol terbiasa bersikap bijak pada siapapun. Meski situasi ini mendadak membuatnya malas, tapi dia tetap mengulurkan tangan dengan satu senyum kecil di wajahnya. "Park Chanyeol."
"Luhan."
"Senang bertemu denganmu, Nona Luhan."
"Luhan, hari ini Chanyeol akan mengantarmu keliling kota." Ibu memberi sebuah jackpot baru yang sukses membuat Chanyeol membolakan matanya.
"Aku ada rapat penting, Ibu. Maaf."
"Tunda rapatmu dan temani Luhan."
"Investor baru dari Rusia meminta pertemuan untuk membahas final kerja sama kami dan akan sangat tidak bagus untuk perkembangan perusahaan jika tiba-tiba aku membatalkannya. Ibu sangat tahu kan berapa nilai proyeknya?"
Jika menyangkut keuntungan perusahaan, bisa dipastikan ibu akan bungkam seribu bahasa. "Setelah rapat?"
"Aku memiliki janji dengan Sehun untuk membantu skripsinya. Benar, kan, Sehun?"
Tidak ada janji seperti itu. Tapi melihat bagaimana Chanyeol melayangkan bendera SOS, Sehun-pun meng-iya-kan. "Ya, Bi. Hyung sudah janji denganku."
Kembali desah napas kecewa terdengar dari bibir Ibu, "Kalau begitu ajak Luhan ke kantor. Setelah selesai semua urusan, temani Luhan jalan-jalan."
Belum sempat Chanyeol mengelak, Ibu melirik dengan tatapan tajam beserta telunjuk peringatan yang mengacung.
"Dan Chanyeol," ibu menambahkan dengan dagu terangkat sedikit tinggi, "Dalam waktu 3 hari ini kau akan terbang ke Korea dengan ibu. Semua sudah ibu atur."
Ibu benar-benar penuh kejutan.
.
Seoul. 8 PM.
"Ja! Lipatan terakhir." Tumpukan baju itu sudah menggunung dengan rapi. Sejak dua jam lalu Baekhyun terlalu sibuk dengan baju-baju yang baru saja ia angkat dari jemuran dan melipatnya rapi.
Tubuhnya yang mungil ia rebahkan sebentar di lantai, meluruskan sisa punggung yang kaku hingga terasa sedikit lebih baik.
"Eonni! Eonni!" tubuh mungil lainnya menyeruak masuk dan membuat dua alis Baekhyun bertarung.
"Kyungsoo? Ada apa?"
"Ada kabar bagus!"
"Apa?"
"Oh Sehun akan sidang skripsi!"
Tautan alis itu Baekhyun kembalikan seperti semula. "Lalu?"
"Setelah itu dia akan segera kembali ke Korea!" senyum gadis berusia 19 tahun itu mengembang puas. "Aku sudah sangat merindukannya."
"Urusannya denganku apa?"
"Itu tandanya setelah ini kau akan kembali menjadi single karena aku akan menghabiskan waktu dengan Sehun."
"Selama ini aku memang seperti itu, Kyungsoo-ya."
"Oh iya, aku lupa." Kekehan Kyungsoo tak pelak membawa dampak bagi Baekhyun untuk turut mengembangkan senyum.
"Kau bahagia dengan Sehun, Kyungsoo-ya?"
"Tentu saja. Dia yang terbaik."
"Ku kira kau menyukai Jongin. Belakangan ku lihat kau sering curi pandang dengannya."
"Jongin? Mucikari itu?" mata Kyungsoo yang sudah lebar semakin membola tatkala nama Jongin serta kata 'curi pandang' terdengar di telinga dan menyinggung harga dirinya sebagai seorang gadis bermarga Do. "Jangan gila! Dia itu hanya lelaki tua tak tahu aturan! Aku membencinya!"
"Jangan terlalu benci," Baekhyun membuat tubuhnya bangun, mengambil tumpukan bajunya untuk di letakkan di lemari. "Nanti kalau berlebihan bisa jadi cinta."
"Ayolah. Realitanya saat ini aku hanya cinta dengan Sehun."
"Ingat," dua pundak Kyungsoo dicengkeram lemah, "perasaan manusia bisa berubah sewaktu-waktu. Kita tidak tau akan seperti apa akhir dari rasa cinta yang kita miliki. Saat ini memang kau bisa mengatakan jika Sehun yang kau cinta, tidak ada yang tahu kelak dia jodohmu atau bukan."
Baekhyun dan Kyungsoo terpaut usia 6 tahun. Perkenalan mereka terjadi ketika Baekhyun merasakan getir hancurnya sebuah keluarga. Saat itu Kyungsoo tengah duduk termenung di sebuah halte. Tubuh mungilnya cukup menggigil dengan beberapa tas besar di sekitar kakinya.
Sentuhan pertama Baekhyun letakkan di pundak Kyungsoo yang bergetar, menanyakan apakah ada sesuatu yang buruk hingga Kyungsoo menangis hebat.
Bibir pucat dan pipi basah air mata itu terlihat malang dan membuat Baekhyun yang malam itu meyimpan kesedihan karena perceraian orang tua kembali meluruhkan tangis. Singkatnya, Kyungsoo dan Baekhyun memiliki nasib yang sama sebagai seorang anak dengan derita hubungan keluarga yang memilkukan. Mereka berdua memiliki pemikiran yang sama jika melarikan diri bisa menyelamatkan sisa hidup dari luka yang dibuat orangtua masing-masing.
Akhir dari perkenalan itu membawa mereka pada suatu kesepakatan untuk saling bergantung. Baekhyun dan Kyungsoo memutuskan untuk tinggal di sebuah kamar sempit di lantai paling atas dan menyewa dengan sisa uang yang mereka miliki. Selanjutnya mereka akan mencari kerja, meluruhkan banyak peluh untuk lembaran uang yang bisa memenuhi segala kebutuhan. Harapannya mereka akan mendapat perkejaan cukup layak untuk ukuran seorang wanita di awal usia duapuluh tahun. Tapi ternyata takdir memiliki cerita lain dimana Baekhyun dan Kyungsoo harus puas dengan satu-satunya pekerjaan yang ada di bar.
Mereka tidak memiliki pilihan.
"Kyungsoo, sebaiknya kita cepat-cepat bersiap karena waktu bekerja segera tiba."
.
Dentum musik sudah terdengar meski pengunjung tak begitu banyak. Bartender sudah memulai dengan menata beberapa goblet dan bersiap dengan resep minuman baru untuk pelanggan. Baekhyun memulai langkah pertamanya dengan membuka loker kerjanya dan mengambil sebuah sepatu ber-hak tinggi. Sejujurnya sekarang yang melekat ditubuhnya terlalu berlebihan mengingat dia bukan kumpulan wanita malam yang merogoh isi dompet para pengunjung. Baekhyun hanya seorang pelayan, tapi kebijakan bar sedikit aneh dengan mengharuskan Baekhyun mengenakan pakaian sedikit terbuka.
Rasa tak nyaman tentu ada, tapi Baekhyun harus melupakan itu sejenak agar tidak ada cercaan dari atasan karena Baekhyun melenceng dari kebijakan yang ada.
Semakin larut pengunjung mulai memenuhi. Beberapa di antara mereka memilih tempat sedikit redup dengan ditemani beberapa wanita berpakain lebih terbuka. Adegan seksual sudah lazim terjadi, pengunjung lainnya tak perlu merasa aneh dengan semua itu karena dunia malam memang identik dengan hal-hal berbau seks.
Alkohol menjadi teman pengiring yang setia. Semakin tinggi kandungannya dalam sebuah botol yang terjadi, semakin tinggi pula kenikmatan yang dirasakan. Beruntung Baekhyun hanya bertugas mengantarkan minuman-minuman yang dipesan. Dia sama sekali tidak mengizinkan jika ada yang memintanya menjadi penerima seks dari para pecandu kenikmatan di pangkal paha.
"Kyungsoo mana?" Baekhyun menoleh sebentar, mendapati seorang pria dengan kemeja terbuka yang menampilkan kebidangan dadanya.
"Di dapur." Jawab Baekhyun singkat. "Kyungsoo masih 19 tahun jadi sebaiknya cepat kau lupakan niatanmu untuk melakukan tindakan di luar nalar terhadapnya, Jongin."
"Kotor sekali pikiranmu." Jongin menggeleng dengan ekspresi tersinggung yang sengaja dibuat. "Aku hanya ingin menyapanya. Lagipula aku tidak berminat dengan anak kecil."
"Tidak berminat tapi setiap hari mencarinya. Lucu sekali lelaki ini."
"Hanya memastikan dia datang bekerja atau tidak. Bos besar tidak mau rugi kalau ada karyawan yang cuti tapi mendapat gaji penuh."
"Dasar pelit!"
"Begitulah manusia mencari keuntungan dalam bisnisnya."
"Kyungsoo sudah punya kekasih. Jadi jangan terlalu dekat dengannya."
"Masih kekasih, kan? Bukan suami?"
"Susah berbicara dengan gelas wine yang tak dicuci setahun sepertimu." Baekhyun mendengus kesal karena Jongin hanya terkekeh. "Kekasih ataupun suami, kau tidak bisa merusak hubungan mereka."
"Yang berkata akan merusak hubungan mereka, siapa? Kau terlalu sensitif, Baekhyun."
Oh ya? Sepertinya memang begitu.
"Aku butuh liburan." Baekhyun meregangkan kepenatan di sekitar lehernya, "Belakangan aku merasa sedikit lelah. Apa aku bisa cuti?"
Jongin mengedikkan bahu, "Entahlah. Sepertinya tidak."
"Hanya satu hari untuk membiarkanku tidur lebih lama."
"Kita lihat situasi besok saja. Karena dalam minggu ini akan ada sebuah perayaan di sini dan kami membutuhkan tenagamu untuk berjaga-jaga."
"Sial!"
.
Ibu tak pernah bermain-main dengan ucapannya. Ketika Ibu mengatakan Chanyeol harus pulang ke Korea, Ibu benar-benar melakukannya dan tidak ada penolakan yang bisa diterima. Chanyeol bukan lagi anak usia belasan yang akan merengek karena paksaan. Dia memilih dengan caranya sendiri; mendebat banyak hal sebagai pertimbangan agar tidak ada acara kepulangannya ke Korea. Tapi Ibunya terlalu keras kepala, karena pada akhirnya Chanyeol kalah dan dia menyerahkan diri sepenuhnya daripada jabatan itu berganti kepemilikan.
Korea bukan sesuatu yang baik untuk Chanyeol. Terlepas negeri ginseng itu menjadi tanah kelahiran, ada yang membuatnya sedikit pusing ketika berusaha untuk baik-baik saja pada kenangan di masa lalu. Setapak pertama dia menginjakkan kaki dari pesawat, Chanyeol tak banyak bicara. Dia diam membisu, tidak peduli pada Luhan yang sedari tadi berceloteh banyak hal. Dan sebenarnya keberadaan Luhan membuat Chanyeol bertambah pusing.
Tidak ada penyambutan khusus saat Chanyeol sampai di ayahnya saja yang tetap bijak seperti biasa dengan rambut yang mulai memutih.
Lalu ketika Chanyeol berhasil lepas dari celoteh Luhan dan merebahkan diri di kamar pribadinya, nama Sehun tercetak di layar ponsel sebagai panggilan masuk.
"Hyung,"
"Ya."
"Sudah sampai?"
"Hm. Baru saja."
"Kau baik, kan?"
"Hanya sedikit muak karena wanita itu tidak pernah berada di jarak 1 meter dariku."
"Pasti menjengkelkan." Sehun menggelak tawa sebentar, "Kau benar-benar baik, kan? Maksudku, bukan karena Luhan. Tapi karena kau datang ke Korea."
"Aku sedang berdoa untuk itu. Hahh.. New York jauh lebih baik untukku."
"Kau bisa meminta bantuan paman untuk mengembalikanmu ke Korea."
"Akan ku lakukan jika ayah beraliansi denganku. Tapi kenyataannya cinta ayah lebih banyak pada ibu jadi tanpa ada kesepakatan apapun mereka pasti memiliki suara yang sama."
"Bersabarlah. Sudah resikomu menjadi putra mahkota kesayangan."
"Pengumuman sidangmu bagaimana?"
"Aku tidak bisa..."
"Astaga! Kau gagal sidang lagi?!"
"...menahan diri untuk tidak tersenyum karena 3 hari lagi aku akan sidang."
"Benarkah?" Kabar gembira itu membuat Chanyeol bangun dari rebahan dirinya, "Congratulation, bro! I know you will get it!"
Sehun terdengar sedang tertawa di seberang sana, "Begitulah. Aku sudah mendapat acc dan bisa segera sidang. Setelah itu aku akan mengerjakan revisi dengan sepenuh hati dan menyusulmu pulang ke Korea. Ketahuilah hidup seorang diri di sini tidak begitu menyenangkan jika tidak ada kau, hyung."
"Sekali lagi selamat, ya? Cepat selesaikan urusanmu di sana dan bantu aku di kantor sini."
"Tidakkah aku mendapat kesempatan untuk sedikit bernafas setelah urusan kuliahku selesai?"
"Sayangnya tidak. Kau harus menjadi bagian dari perusahaan."
"Baiklah. Oh ya, hyung. Titipanku jangan lupa, ya?"
"Iya, aku ingat. Akan ku antar padanya besok. Sekarang aku ingin istirahat."
.
Tiga puluh tahun hidupnya, Chanyeol sudah memahami beberapa hal yang wajar dilakukan seorang lelaki dewasa. Ditambah sekian tahun masa tinggalnya di New York, banyak hal berkonten dewasa yang bisa dia peroleh dengan tingkatan yang berbeda.
Sekalipun Chanyeol akrab dengan kehidupan malam khas New York, tapi Chanyeol hanya sejauh mengonsumsi alkohol dengan kadar tinggi. Untuk urusan nafsu di pangkal paha belum ada satu cerita yang bisa dia ulang untuk menangkap kembali kenikmatan sebuah gairah. Bukan berarti Chanyeol tidak menginginkan, dia hanya kesulitan mengumpulkan libido untuk menuntuskan segala desahan yang memuaskan. Sejauh ini belum ada satupun lubang vagina yang mencicipi nikmat penisnya yang gagah.
Beberapa kali Chanyeol mencoba, tapi dia terlalu berpikir panjang membuat ereksinya berlabuh pada suatu lubang. Ada yang membayang buruk hingga akhirnya Chanyeol kembali menarik resleting celana dan memilih mengubur diri di bawah selimut.
Sempat ia berpikir jika ada masalah dengan ereksinya. Tapi ternyata tidak, yang bermasalah bukan pada ereksi, melainkan pada keinginan Chanyeol sendiri.
.
Jongin benar-benar tak bisa memberi hari libur itu pada Baekhyun. Pesta yang ia katakan beberapa hari lalu mendadak di adakan tanpa kesiapan apapun. Jadilah beberapa karyawan yang tersisa melakukan kerja lebih lama untuk menyiapkan semuanya.
Wanita dan lelaki memiliki tugas yang sama. Membersihkan bar, menata minuman, dan mengangkat meja menjadi pekerjaan umum yang harus dilakukan. Seperti Baekhyun yang tengah tergopoh dengan meja di tangannya. Dia mengerahkan segenap tenaga untuk memindahkan meja yang bos-nya katakan tidak layak itu ke sebuah gudang.
Definisi gudang adalah sebuah tempat kotor dengan barang-barang tergeletak tanpa tahu nasibnya. Sarang laba-laba sudah pasti ada dan debu-debu seperti menjadi pelengkap. Tidak ada yang betah dengan keadaan di dalam gudang, kecuali beberapa orang yang tengah melakukan gerak-gerik aneh di sebuah sudut.
Baekhyun tidak tuli untuk mendengar suatu erangan, dia juga tidak buta untuk menangkap kejadian yang membuatnya segera menutup mulut untuk mencegah pekikan.
Ada tiga orang lelaki di sana dan semuanya dalam keadaan tak berbusana. Dua orang berdiri saling berhadapan sedang seorang yang lain menungging diantara keduanya. Tubuh bagian belakang melekat pada sebuah keperkasaan sedang mulutnya mengulum keperkasaan yang lain. Dua orang yang berdiri itu saling bertukar saliva, hanyut dalam sebuah ciuman panjang dengan desah yang terdengar.
Ketiga orang itu saling berebut nafsu, saling menyentak tanpa peduli luka karena mereka hanya peduli dengan gairah.
Baekhyun mengambil langkah seribu, keluar dari gudang tanpa menimbulkan kebisingan apapun.
Kejadian itu kini berputar di otaknya, memanggil memori lain dari masa lalu tentang sebuah paksaan untuk melayani nafsu.
Sudah bertahun-tahun yang lalu saat Baekhyun berusia 14 tahun. Matanya melihat dengan jelas dan otaknya merekam sebagai ingatan menyeramkan. Seketika rasa bersalah menghujani karena saat itu Baekhyun hanya bisa lari meski seseorang meminta pertolongan dari matanya yang tak sengaja mengetahui keberadaan Baekhyun.
.
"Kau Do Kyungsoo?" mata Kyungsoo melebar melihat sosok tinggi yang berdiri di hadapannya.
"Aku Park Chanyeol." Kyungsoo mengernyitkan dua alisnya, "Saudara Sehun." Lalu melerai kernyitan alisnya dan membuat bibirnya tersenyum. "Sehun menitipkan ini untukmu."
Sebuah kotak berwarna pink dalam lipatan talipita putih, terselip sebuah kertas kecil dan ketika Kyungsoo membacanya, dia mengurai senyum lebih lebar.
"Sehun..tidak ikut pulang?"
"Dia akan pulang dua minggu lagi."
"Bagaimana kabarnya?"
"Dia baik. Sidangnya sudah semakin dekat dan dia bilang akan segera menyelesaikan semuanya lalu pulang."
Pipi Kyungsoo bersemu merah, "Aku tidak sabar segera bertemu dengannya."
Romansa anak muda, Chanyeol menjadi tertular senyum lebar Kyungsoo kala menyaksikan kisah backstreet Sehun dan Kyungsoo. "Kau.. masih bekerja di bar?"
"I-iya."
"Apa..sudah buka? Aku butuh segelas wine."
"Sudah. Tapi malam ini kami hanya membuka di kelas biasa karena yang VIP sedang digunakan untuk acara."
"Tidak masalah."
Kyungsoo lalu mengantar Chanyeol pada sebuah ruangan yang selalu di sebuah sebagai ruangan kelas bawah. Tidak ada jenis kehidupan malam yang mewah, hanya asap rokok yang bebas berkeliaran dan para pengunjung yang brutal menggerakkan tubuh seirama dengan musik.
"Kau mau minum apa?"
"Berikan aku wine terbaik di kelas ini."
"Okay."
Chanyeol tidak terlalu mempermasalahkan keadaan bar yang ramai dan penuh asap rokok meski saat di New York dia terbiasa dalam kelas yang VVIP. Baginya sama saja, bar menyimpan alkohol dan situasi penuh seksualitas untuk kepuasan manusia.
"Ini pesanan An—"
"Kau?"
.
Ada berjuta alasan mengapa manusia mudah menyimpan perasaan sakit. Alasan-alasan itu terkadang diperkuat sebuah kekecewaan yang mengakar hingga berakibar buruk bagi suatu ingatan. Chanyeol masih ingat betul kejadian beberapa tahun lalu dimana dia harus merobek semua rasa kecewa pada dirinya sendiri. Sangat terekam dengan kuat bagaimana dia harus mendesakkan semua itu ke dalam mulutnya, dipaksa menghisap dan mengecap gurih sebuah cairan dari keperkasaan lelaki.
Inilah yang Chanyeol takutkan ketika datang ke Korea. Kenangan buruk di gudang sekolah lamanya kembali membuatnya gelisah dengan kepalan tangan yang basah.
Wanita itu tertunduk, menarik jari-jarinya penuh kegelisahan.
Chanyeol lalu mengambil napas besar, menghembuskan perlahan dan berusahan untuk mengkondisikan dirinya.
"Senang bertemu denganmu lagi. Kapan terakhir kali kita bertemu?"
Baekhyun tak ingin mengingatnya. Dia ingin membuang kenangan yang membuat dirinya merasa bersalah selama ini karena hanya diam saat seseorang benar-benar membutuhkan pertolongannya.
"Kau bekerja di sini?"
Baekhyun mengangguk. "I-iya, T-tuan."
"Ah.. baiklah, selamat bekerja."
"M-maaf.." sekiranya Baekhyun bercicit kecil dan hentak musik yang ada menelan ucapan itu, tapi Chanyeol terlalu jeli untuk mendengar dan dia hanya tersenyum simpul dengan makna misterius.
"Ya?"
"T-tidak, aku pergi dulu—ah.."
Tubuh ringkih berbalut baju ketat itu tersungkur ketika akan berbalik pergi. Cairan keunguan membuat sebagian pakaiannya basah dan tak lama setelah itu banyak umpatan yang terdengar.
"Brengsek! Pelacur brengsek!" satu tamparan mengenai pipi Baekhyun. "Kau mengotori bajuku!"
Faktanya Baekhyun menerima kekotoran lebih banyak dari wanita yang menamparnya. "M-maaf, n-nona."
"Tck! Kau kira maaf bisa mengganti pakaian kotorku?! Sialan! Bahkan tubuhmu saja jika dijual tidak lebih mahal dari makanan anjingku!"
"M-maafkan aku, nona. Aku tidak sengaja."
"Brengsek!"
Satu tarikan penuh membuat Baekhyun mengerang karena rambutnya seperti akan terlepas semua. Dia memohon dengan segala kerendahan yang dia miliki tapi si wanita baru akan berhenti ketika memberi Baekhyun tamparan kedua.
Keadaan sekitar cukup ricuh dengan desas-desus tak beraturan. Yang bisa Baekhyun lakukan hanya mencoba menutup rasa sakit hati karena diperlakukan buruk oleh mereka yang merasa berkuasa karena uang.
"Bagaimana?" Baekhyun menoleh untuk laki-laki yang kini berjongkok di depannya. "Bagaimana rasanya terabaikan saat kau membutuhkan pertolongan? Sakit, bukan? Sekarang kita impas."
Dagu runcing Baekhyun ditarik dalam satu gerak penuh keagresifan. Matanya menelisik pada wajah Chanyeol yang terlihat tenang dan kejam dalam satu guratan. "Pelajaran untukmu." Lalu di akhir semua itu Chanyeol meraup tiba-tiba bibir Baekhyun dan mengecap cukup lama sebelum dia pergi tanpa hati.
.
"Hai,"
"T-tuan?"
"Aku datang." Senyum itu masih sama, masih tenang tapi terlihat kejam. "Bisa berikan aku wine?"
Dua sipit Baekhyun melebar sebentar, tak lama kemudian dia mengangguk dan berlalu untuk mengambilkan pesanan Chanyeol.
Masih teringat jelas kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika Baekhyun terpaksa merendahkan diri karena pelanggan tak tahu adab, dia bertemu pada korban dari kesalahannya beberapa tahun yang lalu.
Chanyeol seperti memburunya. Dia selalu datang dan akan berada di sana cukup lama sampai bar tutup. Sesekali dia akan melongok ke kanan-kiri, mencoba mencari satu eksistensi yang selalu bisa menunjukkan senyum tenang tapi kejam.
"Terima kasih...siapa namamu?"
"Baekhyun. Byun Baekhyun."
"Namamu cantik. Wajahmu juga."
Entah itu benar-benar sebuah pujian atau permulaan untuk sesuatu yang lebih buruk. "A-apa ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?"
"Sebenarnya ada. Tapi nanti saja."
"Kalau begitu saya permisi."
"Tunggu," pergelangan tangan Baekhyun di cengkeram, "apa bar ini memiliki fasilitas sewa kamar? Aku butuh satu untuk malam ini."
"Y-ya. A-ada."
"Bisa pesankan satu untukku? Bayar dengan kartu ini untuk semalam."
"Kamar apa yang ingin Tuan pesan?"
"VIP."
"Alex," Baekhyun beralih pada bartender yang sekaligus bertugas sebagai tangan pertama dalam menyewa kamar, "Satu VIP untuk Tuan.."
"Park Chanyeol." Chanyeol menyahut seraya menghabiskan sisa wine dalam gobletnya.
"Ya, Tuan Park."
"Okay. Silahkan Anda isi beberapa data, Tuan." Alex menyedorkan selembar kertas pada Chanyeol.
"Bisakahan nona manis ini yang menggantikanku mengisinya? Aku ingin segera ke kamar, well—aku ingin cepat merebahkan diri."
"S-saya?"
"Ya, kau, Byun Baekhyun." Alex lalu memberikan satu kunci dan sekali lagi, Chanyeol meraup dagu Baekhyun untuk ciuman tepat di bibir sebelum akhirnya ia pergi.
"Sial! Orang kaya sialan!" geram Baekhyun kala Chanyeol sudah menjauh.
.
Entahlah, kesialan apa yang sebenarnya sedang membayangi Baekhyun hingga dia harus berjalan menyusuri sebuah lorong di bangunan sebelah bar. Sepatu tingginya mengetuk pelan, jemarinya tercengkeram dengan sedikit keringat, serta matanya yang terlalu awas untuk keadaan di sekitar.
Sepi. Hanya jajaran kamar mirip yang ada di hotel tapi Baekhyun berani bertaru di dalam sana tidak sesepi keadaan luar.
Ini pertama kali Baekhyun berjalan di sini. Jika bukan karena kartu sialan di tangannya ini, Baekhyun lebih memilih mengantar banyak minuman pada pelanggan di bar. Tidak tau apa yang sebenarnya lelaki itu mau, dalam situasi ini Baekhyun memiliki satu bentuk kewaspadaan jika saja akan ada kejahatan yang tiba-tiba terjadi padanya.
"Tuan," Baekhyun mengetuk pintu itu, "Tuan Chanyeol?"
Tidak adanya jawaban membuat Baekhyun berani memutar knop pintu itu.
Ini benar kamar yang Chanyeol sewa, tapi di dalam seperti tak ada kehidupan karena sangat lengang.
"T-tuan—astaga!"
Kartu itu terjatuh. Baekhyun membekap mulutnya, dua matanya yang sipit melebar untuk seseorang yang tengah duduk di sofa kecil tanpa pelapis tubuh apapun.
Ada desahan dari bibir lelaki itu ketika tangannya menghentak benda kekar di pangkal paha. Matanya sesekali terpejam nikmat dengan peluh yang bercucuran di sekitar pelipis.
Menyadari situasi ini terlalu mengejutkan, Baekhyun berhasil menyadarkan dirinya dan berniat pergi. Tapi dia kalah cepat, sebuah tangan lembab mencengkeram tangannya dan seketika membuatnya terpojok di dinding. Bukan hanya itu, bibirnya kembali mendapat ciuman ketiga, namun kali ini terjadi lebih kasar dengan beberapa kali bibirnya di gigit.
"T-tuan C-chanyeol—mmpphh.."
Baekhyun tak memiliki kekuatan untuk memberontak ketika pangkal pahanya tengah di raba. Dia refleks mengapit, mencegah perjalanan lebih jauh dari sentuhan itu dengan sesekali menggelengkan kepala.
Mata yang Baekhyun katakan tenang tapi kejam itu kini berganti penuh. Tidak ada setitik kenormalan yang bisa Baekhyun lihat dari mata lelaki itu yang bisa menyadarkan agar tidak ada tindakan yang lebih dalam.
"T-tuan..lepaskan—mmphhh.." tapi Baekhyun selalu gagal mengelak, bibirnya akan kembali dipaksa beradu dalam sebuah ciuman kasar.
Tak lama setelah itu, tubuh polos Chanyeol berlutut dan menyentak pelapis berenda Baekhyun di bawah. Kepalanya memaksa masuk pada potongan pendek dan ketat dari baju Baekhyun, menjulurkan satu benda lunak pada kewanitaan yang sebelumnya direcoki oleh jemari kekar.
Sialnya, libido Baekhyun tidak pernah bisa selaras dengan keinginannya memberontak. Kakinya terlalu lemas merasakan semua ini dan tenaganya tak cukup lagi untuk memberontak.
Dentang petir di luar seperti tidak memberi sebuah efek yang berarti dalam kegelapan ini. Rintik hujan pun juga begitu, sama-sama tak bisa dijadikan suatu tiang penyangga untuk sekedar menjauhkan sebuah rasa panas yang sedang menganai seluruh darah Park Chanyeol.
Siapa yang bisa menyalahkan sebuah gairah? Siapa yang bisa membenarkan sebuah paksaan untuk pelepasan di sebuah kamar gelap ini? Chanyeol sebenarnya tak mengharapkan itu, tapi nyatanya dia tak memiliki jalan keluar lainnya kecuali menjejali setiap inci rasa panas itu dengan kenikmatan yang hakiki. Hasratnya terlalu jauh melanglang buana, membuatnya lepas kendali dan menyentak pelapis tubuh berwarna jingga itu hingga tercecer menyedihkan.
Ada yang lebih menyedihkan di sini. Sebuah isak tangis yang bercampur peluh pengelakan menjadi saksi bisu tentang sebuah kenyataan. Dalam hitungan detik, kesakitan di pangkal paha menyadarkan jika pertahanan terakhir seorang wanita telah terenggut tanpa ada sebuah status.
Wanita itu, Byun Baekhyun, tersudut dengan tangis tersengal dan napas memburu karena penolakan yang ia lakukan. Tapi apa yang bisa dia perbuat pada lelaki yang tengah menyentak kemaluannya saat ini? Baekhyun bahkan kehilangan hak-nya untuk menolak setelah dia di seret mentah-mentah ke dalam ruangan sang penguasa.
Desahan, geraman, umpatan dan sejenis lainnya, hanya Chanyeol yang memiliki itu semua. Kebejatannya merobek keperawanan seakan tertutupi dengan remasan konstan yang membuatnya terbang. Belum pernah ia menemui vagina senikmat ini. Maka di sentakan terakhir saat ia melepas semua puncaknya, Chanyeol ambruk pada pundak sempit yang tengah bergetar rapuh.
Kesadarannya kembali, menyeretnya pada sebuah fakta tentang tubuh telanjang ringkih yang ia peluk seutuhnya. Tangis tertahan itu menampar logika, membuat Chanyeol hanya bisa kembali memeluk meski keadaan beraroma sex ini satu-satunya penyebab yang ia munculkan.
"T-tuan," Baekhyun bercicit, memaksa segala tangis untuk masuk dan tenggelam dalam batasnya. "T-tuan..."
Alih-alih menjawab, Chanyeol justru membawa wanita itu terbujur di ranjang dan menyingkapkan sebuah selimut; menutup tubuh telanjang mulus yang sudah menumbuhkan iblis nafsu dalam diri Chanyeol.
"Tidurlah. Lupakan apa yang terjadi malam ini."
Bagaimana bisa?
"T-tuan.."
"Ku bilang tidurlah."
Dengan sisa tenaga dan keberanian yang melekat dalam dirinya, Baekhyun menarik tubuhnya yang sedang di rengkuh itu dan membuat tautan pandang dengan laki-laki di hadapannya.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyanya dalam suara yang lemah.
Keheningan sempat melanda Chanyeol, tapi laki-laki itu kemudian memilih menyeka sisa keringat di sekitar pelipis Baekhyun dan mencium keningnya.
"Aku? Aku menginginkamu. Sepenuhnya."
.
.
.
TBC.
Basyot : masih Chap 1 gaes, perjalanan masih panjang hehe.. pemberitahuan saja, FF ini bakalan sinetron banget dan menye-menye banget. Diksinya akan belibet dan mungkin agak panjang—tergantung situasi dan suasana hati juga sih. Jadi kalo dari Chap 1 udah pengen muntah dan muak, Ayoung bisa maklumi hihi... tapi apapun itu terima kasih sudah menyempatkan untuk baca. Semoga chap selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Dan untuk karakter Chanyeol, Ayoung lagi pengen buat dia jadi lelaki labil. Kadang baik, kadang jahat, kadang kasar, kadang nyebelin, kadang cengeng, pokoknya pengen bikin karakter gitu karena poin dari FF ini sendiri akan ada di karakter Chanyeol. Hehe.. bingung ya? sama! Wkwkwk
Kalo misal ada typo-typo, maafin ya? lagi males edit hehe..
Yasudah, selamat beraktivitas mmuuaahhh..
