.

.

.

A GARDEN IN YOUR CHEST

.

.

.

.

Luhan berusia sembilan belas tahun ketika ia meninggalkan Beijing untuk melihat dunia. Ia merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Yonsei. Dengan begini, pikirnya ketika ia menginjakkan kakinya di Bandara Incheon, ia selangkah lebih dekat dengan mimpinya.

Di antara kesibukannya belajar dan menyesuaikan diri, dan kesulitannya memahami bahasa, ia kadang lupa bahwa yang impiannya adalah menyanyi di depan orang banyak. Sulur-sulur mengikat rusuknya hingga ia tak bisa bernafas. Ia belajar, mengerjakan tugas, dan berusaha menghilangkan melodi dalam suaranya ketika berbicara. Karena Bahasa Korea tidak memerlukan tinggi rendah nada untuk membentuk kalimat. Kimchi mulai terasa seperti makanan sehari-hari dan Luhan mulai berpikir bahwa Seoul adalah rumahnya yang baru. Sulur di rusuknya masih ada, tapi tidak lagi terasa seperti parasit.

.

.

.

Luhan sudah melupakan mimpinya ketika seseorang mengembalikan mimpinya lewat kotak misterius. Ia sedang berjalan di Myeongdong, hendak membeli topi, ketika seseorang datang dan memberikannya kartu nama.

"Ikut audisi kami dua minggu lagi," kata orang itu.

Luhan pikir orang itu mungkin penipu, ia pernah mendengar beberapa kasus seperti ini. Ia menerima kartu nama orang itu dan memasukannya ke dalam kantung jaket. Selama seminggu ia membiarkan kartu nama itu di saku. Kartu itu sudah keriting dan pudar ketika Luhan akhirnya memutuskan untuk melihatnya kembali. Ada tulisan agensi SM, dan api mimpinya yang selama ini padam kembali membakar jantungnya. Ia pikir kenapa ia tidak mencoba mencari tahu saja. Tidak ada ruginya (kecuali mungkin hatinya akan terasa hampa kala kecewa).

Ia mencari di internet dan menemukan website agensi SM dan pengumuman audisi di hari dan tempat yang dikatakan oleh pemilik kartu nama. Luhan merasa jantungnya berdegup di dekat telinganya, karena tidak mungkin bunyinya sekeras itu bukan? Jantungnya pasti pindah ke kepalanya.

.

.

.

Antrean yang menunggu di depan pintu ke ruangan audisi begitu panjang hingga Luhan merasa pusing saat masuk. Sulur-sulur di rusuknya kembali mengencangkan ikatannya di rusuk dan Luhan megap-megap kesulitan bernafas. Ia memasukan tangannya ke dalam saku celana agar gemetar jarinya tidak terlihat. Semua peserta terlihat cantik dan tampan dan Luhan merasa seperti bebek di antara angsa-angsa. Luhan membenamkan diri di pojok ruangan, berharap dinding akan menelannya.

Seluruh tubuhnya gemetar ketika ia menerima nomor peserta. Kakinya lemas ketika nomornya dipanggil masuk.

Ia berdiri di antara seorang perempuan mungil dengan pakaian serba merah muda dan seorang anak laki-laki yang tampak jauh lebih muda darinya. Ia merasa tua. Dan gagal. Dan ia tidak mungkin berhasil. Beban berat di pundaknya naik ke kepalanya dan Luhan pikir ia akan mati terhimpit. Atau mati kehabisan nafas karena ia merasa sangat sesak dan, ya Tuhan, ia ingin lari dari sini.

Tapi kemudian namanya dipanggil dan Luhan tidak bisa berpikir lagi.

Perkenalan dirinya hanya sebatas menyebut namanya, Beijing, mahasiswa, sembilan belas tahun, dan menyanyi. Ia tidak bisa bertingkah manis ala idol perempuan seperti anak perempuan di sampingnya, atau ceria dan penuh semangat seperti anak laki-laki kecil di sampingnya yang lain. Ia hanya bisa tersenyum dan berharap itu cukup.

.

Mereka menyuruhnya menyanyi dan Luhan melakukan setiap perintah seperti robot. Ketika hujan turun dan musik mulai mengalun, aku memikirkanmu. Suaranya lembut dan ragu-ragu. Luhan menutup matanya dan membayangkan bahwa ia sendirian di bawah hujan, suara gemercik adalah melodi yang mengatur tempo nyanyiannya. Saat itu juga hujan turun, malam ketika kau meninggalkanku.

Luhan melupakan segalanya dan membiarkan suaranya mengejawantah menjadi dirinya.

.

.

.

.

Satu bulan berada di agensi dan Luhan menyadari bahwa kehidupannya tidak jauh berbeda dengan menjadi mahasiswa, hanya saja sekarang ia belajar vokal dan menari alih-alih fonetik dan stilistika. Ia masih tidak punya waktu untuk bernafas, sulur-sulur di rusuknya kadang membelitnya sampai leher. Tapi ia berjalan menuju mimpinya dan Luhan tidak menemukan alasan untuk tidak merasa bahagia.

.

Dua bulan kemudian ia mulai menghapal siapa aja yang ada di kelasnya. Ada Yifan dan Yixing yang berasal dari Cina sama sepertinya. Yifan terlihat seperti dewa dalam mitologi Yunani sedangkan Yixing menari seperti ia dilahirkan hanya untuk itu. Sulur di rusuknya mengendur ketika ia berbicara pada mereka dalam bahasa ibu, rindu dengan melodi yang mengalun bahkan dalam kalimat paling sederhana.

Ia juga mengenal Minseok yang seumur dan menyukai bola sepertinya. Suara Minseok dalam dan menenangkan dan Luhan pikir ia bisa terus mendengarkan suara pemuda itu menceritakan tim sepak bola favoritnya setiap hari biarpun tim jagoan mereka adalah rival.

Luhan selalu mengagumi Kyungsoo dan Baekhyun yang menyanyi seperti malaikat, seakan setiap mereka bernyanyi hujan berhenti dan langit menjadi cerah. Tiap mereka mulai melantunkan lagu, Luhan merasa mengecil dan semakin kecil. Sulur di rusuknya mengikatnya semakin kencang dalam keiirian dan ia lupa bernafas karena dalam pikirannya hanya ada ingin, ingin, ingin. Luhan ingin memiliki suara mereka.

Lalu ada Jongin, bintang paling terang. Ia menari seperti ia adalah definisi dari tarian itu sendiri. Matanya terkadang liar, kadang lembut sesuai dengan gerakan, seolah hati Jongin ikut menari bersama tubuhnya. Luhan takut pada kesempurnaan, ia takut pada Jongin.

Mereka semua bersinar begitu terang hingga Luhan kadang harus menyipitkan matanya.

.

.

Beberapa bulan kemudian ia mengenal Sehun, anak laki-laki dengan tubuh yang terlalu kurus dan selalu berdiri dalam diam. Pipinya tirus dan ada lingkar hitam di bawah matanya yang membuat Luhan ingin menariknya keluar ruangan dan menyuruhnya tidur, buat apa latihan kalau ia mati nanti? Tapi Luhan tidak bisa, karena lalu Sehun mulai menari. Dan Sehun menari dengan kuat namun lembut seakan ia sedang bercinta dengan musik. Ia bersinar terang seperti satu-satunya matahari sampai Luhan tidak bisa melihatnya lebih lama. Sulur di rusuknya mengencang dan membuatnya megap-megap.

Seminggu kemudian Sehun masih anak laki yang terlalu kurus dan pucat. Luhan merasa sakit hanya dengan melihatnya.

Karena itu suatu sore, ia tidak menghabiskan istirahatnya dengan Minseok seperti biasa. Ia pergi ke cafe milk tea tidak jauh dari gedung agensi. Ketika ia kembali, Sehun duduk di sudut ruangan dengan kepala tertunduk dan pipi yang tirus. Luhan duduk di sebelahnya dan memberikan salah satu milktea yang ia beli. Ia pikir jemarinya gemetar, ia harap Sehun tidak sadar.

Sehun menoleh ke arahnya, menatap Luhan dengan bingung hingga Luhan menggigit bagian dalam mulutnya karena ia hanya ingin anak itu minum. Karena ia perlu tahu bahwa Sehun bisa makan, bahwa tulangnya yang menonjol di balik kulit bukan karena kelaparan.

Lalu Sehun mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih yang menimbulkan iba. Tapi anak itu juga tersenyum dan Luhan merasa sulur di rusuknya menggeliat dan mengendur.

.

.

.

Jongin masih menari dan Kyungsoo masih menyanyi seperti malaikat. Tidak ada yang berubah kecuali Sehun yang mulai mengekor ke mana pun Luhan pergi. Cafe bubble tea di ujung jalan, atau menonton pertandingan Manchester United di televisi dengan Minseok, warung teokppoki di pinggir jalan, atau kadang hanya duduk di ruang latihan tanpa mengatakan apa-apa.

Semua orang masih bersinar terang dan Luhan masih harus menyipitkan matanya, tapi Sehun ada di sampingnya dan berbisik memberikan komentar jenaka tentang semua orang dan Luhan akan tertawa. Semuanya menjadi baik-baik saja.

Sehun jarang bicara pada yang lain karena bicaranya pelat. Ia mengucapkan huruf 's' dan 'z' dengan aneh, beberapa trainee sering mengoloknya. Tapi Sehun banyak bicara pada Luhan, tentang keluarganya, tentang sekolahnya, atau tentang film terbaru yang ia tonton. Sehun berbicara penuh semangat lalu melambat dan akhirnya terdiam sebelum ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Luhan. Lalu ketika Luhan tidak menarik tangannya, membiarkan jari kelingking mereka tertaut, Sehun tersenyum sangat lebar dan melanjutkan ceritanya.

Tiap Luhan mendengar pelafalan 's' yang berbeda dan merasakan jari kelingking Sehun yang kasar di jarinya sendiri, sulur-sulur di dadanya mengendur dan membentuk kuncup-kuncup yang menggelitik rusuknya.

.

.

('Hyung, apa bahasa Mandarin 'hyung'?

'Gege.'

'Luhan gege,' Sehun mengecap kata itu dalam lidahnya dan tersenyum kecil.

'Kalau namamu, hyung?'

Luhan mengucapkan namanya dengan melodi, Lu tinggi dan Han rendah. Sehun mengulang-ulang namanya, mengucapkannya dengan melodi alih-alih dalam pelafalan Korea yang datar. Dan tiap Sehun memanggilnya dengan intonasi Mandarin, kuncup-kuncup dalam rusuk Luhan membelai jantungnya yang berdetak terlalu cepat)

.

.

Luhan tidak ingat kapan tepatnya Sehun tumbuh dari anak laki-laki yang pendiam menjadi seorang pria.

Sehun masih kurus dan tirus, tapi bahunya menjadi bidang, tubuhnya berbentuk menunjukan otot yang dibentuk oleh kedisiplinan. Dan ia tiba-tiba saja sudah sekepala lebih tinggi dari Luhan. Sehun masih menari seperti ia sedang bercinta dengan musik, biarpun ada sentuhan sensual yang membuat Luhan tidak bisa menonton tanpa merasakan panas di mukanya. Sehun masih menyukai milktea, biarpun ia sekarang mengambil inisiatif untuk membelikan Luhan, bukan sebaliknya. Pelat di bicaranya masih ada, tapi sekarang ia berani berucap dengan lantang di atas panggung. Biarpun ia masih sama pemalunya dan kadang membenamkan wajahnya di pundak Luhan ketika merasa perhatian orang terlalu membebaninya.

Mereka masih sering duduk berdua tanpa melakukan apapun selain bercerita tentang hal-hal trivial dan Sehun masih mengaitkan kelingkingnya dengan Luhan. Tapi kadang, Sehun menatapnya lekat-lekat dan tersenyum. Kadang Sehun akan menunduk dan mengecup bibirnya. Dan saat itu sulur-sulur di dada Luhan memekarkan semua kuncupnya, memenuhi rusuknya dengan bunga merah muda.

.

.

.

End.