"Aku mau putus."

"Eh? Maksudnya?"

"Aku mau kita putus!"

Saat itu juga dunia yang kupijaki terasa meledak!

(NO SPOILER, WOY!)


Putri Lavenderku

Naruto dkk belongs to Masashi Kishimoto

A NaruHina Fanfiction

Enjoy it! ^^


Aku banyak mendengar tentang masa puncak dari jiwa muda kita berada. Masa di mana jiwa kebebasan benar-benar tak terkekang dan lepas mengudara sampai ke ujung dunia. Di mana semangat dan gairah tak bisa dibendung seakan mampu menakluKkan seantero jagat raya. Sebuah masa yang paling tepat untuk menikmati masa muda yang sesungguhnya. Mereka menyebutnya The Climax of Youth.

Well, dengar-dengar itu terjadi pada tahun kedua menginjak SMU.

Percaya atau tidak, di masa ini memang kita belum dipusingkan dengan lompatan jauh menuju kedewasaan. Jika dikatakan bebas, saat inilah kebebasan itu nyata. Jika terlanjur, kenakalan seperti apa yang bisa dikendalikan orang lain? Tak ada. Bara semangat dan mimpi berkobar tak tanggung-tanggung. Sebagian orang memang hidup dalam kepercayaan hidup yang berapi-api, aku termasuk orangnya.

Namaku Naruto Uzumaki. Akulah pemilik jiwa berapi-api. Berada pada masa puncak pubertasi. Pemilik wajah menawan yang telah terakreditasi. Famous as hell, remaja keren paling disegani. Dan tentu saya, say no to korupsi!

Ya bukannya sombong, ya. Hanya saja dari ujung rambut sudah kelihatan auraku yang cerah membahana sekaligus mencolok di mata. Lalu turunlah ke mataku. Kalian bisa melihat dua manik biru cerah penggambaran masa depan yang gemilang. Lalu tiga garis di pipi ini—bukan kumis!—menggambarkan lurusnya tekat dan pendirian. Bahkan cengiran tiga jariku bisa mencerahkan harimu. Paket komplit mimpi setiap laki-laki ada pada wajahku.

Sekali lagi, bukannya sombong, ya. Aku hanya ingin membenarkan teori tenang masa remaja yang banyak kudengar ini dengan membandingkan ke kehidupanku langsung—daripada membandingkan kehidupan orang lain, 'kan? Memang tidak ada pentingnya, tapi lumayanlah jadi topik kajian bab pertama. Hitung-hitung juga perkenalan diri dengan kenarsisan tingkat tinggi.

Jadi, aku baru saja menginjakkan kaki di tahun kedua SMU di Konoha High School. Baru satu semester lebih. Di tahun kedua ini mungkin aku merasakan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Semangat, gairah, kebebasan, dan apalah itu, aku cukup menikmati tahun-tahun aku masih menginjak bangku sekolah ini. Tapi sadar atau tidak, waktu terkadang membutakan. Dan apa yang terjadi padaku telah mencerminkan apa yang memang seharusnya terjadi padaku (what?).

Bara api semangat masa muda akan menggaet gairah nyata untuk mendapatkan sebuah "image" ideal dari orang-orang. Kepopuleran jadi syarat penting-tidak penting untuk mencapai puncak masa muda itu sendiri. Penyokong untuk mencapai puncak tentulah tidaklah mudah. Seperti sebuah tujuan akhir, ada sub-sub tujuan yang harus dicapai sebelum meraih puncaknya. Semangat saja tidak cukup, ada sub lain yang juga harusnya terisi.

Untuk membandingkan sebuah teori dengan kehidupan nyata, haruslah disertakan data-data untuk menyusun hipotesa. Di mana untuk meraih The Climax of Youth, ada keyakinan dariku sendiri untuk menggenggam beberapa poin utamanya. Kusebutkan saja serta penjelasan singkatnya. Aku bukan Guru Kakashi yang suka menerangkan materi panjang dengan suara teredam masker yang merahasiakan gigi.

Pertama: mimpi. Semacam keinginan ingin menjadi apa aku di masa depan. Dan keinginan menjadi apa, tentu saja aku punya jawabannya: aku tetap ingin menjadi Naruto Uzumaki, bukan yang lainnya. Semudah itu, namun sulit. Walau tak sesulit mimpiku mengalahkan alien botak berwarna pink kemarin malam.

Kedua: ambisi. Ambisi ini mirip mimpi—'kan, ya? Contohnya seperti ambisi alien menguasai bumi, monster mengalahkan Ultraman, atau sebutir Plankton mencuri resep burger basah Tuan Kepiting. Kadang ambisi terdengar muluk-muluk, seperti milik si alien. Tapi keren juga, sih. Mungkin aku juga ingin menguasai dunia dan membuat kebijakan baru tentang ramen gratis. Ya, itu ambisiku! Sounds cooool!

Ketiga: popularitas. Bisa dikatakan, untuk yang satu ini, aku memenuhi syarat. Aku cukup populer di sini. Aku terhubung dengan banyak orang. Mulai dari penjaga gerbang sampai penyedia makanan di kantin tahu siapa aku. Temanku bejibun. Aku bergabung dengan beberapa klub dan ekskul, tapi basket adalah penyumbang popularitas terbanyak—mungkin. Ya walau mainku tak terlalu bagus, setidaknya aku punya kharisma tersendiri di lapangan yang membuat penonton terkesima (hehe).

Keempat: respect. Yang satu ini kalau sudah populer bisa didapat dengan mudah. Sialan, lagi-lagi aku membuat daftar poin yang tidak beda jauh dengan poin sebelumnya.

Kelima: loyalitas orang terdekat. Nah, untuk yang satu ini aku punya sahabat kecil sejak kami menetas—untuknya, secara harfiah, karena rambutnya mirip pantat ayam. Namanya Sasuke, keturunan Uchiha si keluarga ahli optik. Keloyalannya sudah tak bisa kuragukan lagi, mulai dari belajar berjalan sampai belajar lari dari kejaran orang, kita selalu bersama. Bisa dikatakan dia mirip bodyguard yang loyal terhadap tuannya (WOY! SIAPA YANG NIMPUK KEPALA GUE?!).

Selain Sasuke, aku punya tetangga satu lagi yang melengkapi daftar trio penguasa kompleks. Namanya Sakura, rambutnya berwarna sakura, kebanyakan pakaiannya juga berwarna sakura, jadi penasaran dengan warna underwe—(WOY! SIAPA LAGI INI YANG NIMPUK KEPALA GUE?!) Dia ini gebetan Sasuke sejak sedia kala, entah kenapa mereka tidak pernah jadian. Mungkin saja karena si Pantat Ayam memang tidak cocok untuk Sakura yang manis dan baik hati ini (SIALAN! SEKALI LAGI NIMPUK, GUE PECAT LO DARI CERITA GUE, SAS!)

Ngomong-ngomong soal gebetan atau sejenisnya, ini mungkin menjadi poin penting yang kumasukkan dalam poin keenam: ya, pasangan. Well, karena aku populer, aku banyak disukai para gadis. Mulai dari adik kelas, seangkatan, kakak kelas, sampai anak kuliahan. Mulai dari yang blak-blakan nembak di depanku, yang diam-diam meninggalkan surat di lokerku, sampai langsung ngajak kencan sampai bermalam—ah, lupakan! Harusnya untuk pasangan, itu mudah diusahakan. Harusnya ...

Baiklah, aku belum pernah berpacaran sama sekali sebelumnya. Sebenarnya si pantat yang sering dapat ajakan kencan, juga surat di lokernya lebih banyak dariku, harus kuakui. Namun naasnya kita masih sama-sama single. Bukanlah, kita tidak homoan! Aku seratus lima puluh persen masih normal dan masih suka perempuan. Hanya saja, kalian tahu, banyaknya orang yang menginginkanmu, bukan berarti kau juga menginginkan salah satu dari mereka—atau semua, hehe. Aku hanya belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta pada salah satu dari mereka.

Inilah kecacatanku dalam keenam poin di atas.

Lalu dalam kesimpulan teori yang telah terpaparkan, aku tak tahu apakah The Climax of Youth benar adanya. Dalam banyak kemungkinan, seseorang bisa saja berada pada "puncak" itu dan melengkapi sub-sub penting yang telah disebutkan, termasuk aku. Namun bila kemungkinan itu terlepas atau tak tersanggupi, masa puncak remaja setiap orang tak akan selalu pada momentum yang bersamaan. Untuk melengkapi syarat bisa saja menghabiskan seluruh masa remaja yang terlalu singkat, bahkan seumur hidup. Lalu aku menyadari bahwa teori itu salah, untukku.

"Memangnya penting soal kita harus memenuhi teori puncak apalah itu?" tanya Sasuke.

"Ya ... setidaknya pantas untuk diusahakan, bukan?"

"Bukan begitu. Kalau saja masa muda kau habiskan untuk melengkapi daftar itu, kau sendiri yang bakal kehilangan masa."

"Jadi?"

"Teorinya mungkin saja benar, aku juga tidak yakin. Tapi sub-sub teori yang kau paparkan, juga puncak yang kau gambarkan sebagai singgasana yang bisa diduduki setelah menaklukkan beberapa penantang, itu salah. The Climax of Youth bukanlah teori rumit yang harus dijabarkan dengan data-data sebagai rujukan. Ini teori simple, yang intinya ada masa saat kita tumbuh dan menikmati bagaimana waktu bermain dengan merefleksikan diri kita sebagai individu dalam kebebasan yang disebut masa remaja."

"Mimpi, ambisi, atau kepopuleran yang kau dapat akan terasa hampa karena menjadi sebuah pelengkap untuk singgasana yang kau kejar. Baca lagi mimpi dan ambisimu, what the f *# is that? menakukan dunia? Ramen gratis? Kau bahkan mengada-ngada mereka hanya untuk mencapai puncak yang kau maksud. Kau mengabaikan proses, atau syarat yang kau buat sendiri. Kepopuleranmu pun Cuma jadi bahan penyedap jika kau tidak menikmati proses dan terpaku pada puncak konyol itu."

"Lalu soal jatuh cinta. Hey, Bung, jatuh cinta itu tidak bisa dipaksakan. Jika kau teruskan berambisi menemukan pasangan ideal hanya untuk pemenuhan syarat menuju puncak, kau tidak bisa berbicara soal cinta. Kau hanya akan melihat sebuah ambisi untuk memperalat perempuan sebagai pelengkap tujuanmu. Jadi jangan dipikirkan, deh. Jika saatnya tiba, cinta akan membuatmu jatuh dengan sangat keras. Asal jangan Sakura, atau kukuliti hidup-hidup kau!"

Aku memikirkan perkataan Sasuke itu matang-matang. Aku dalam pengasingan beberapa hari untuk menemukan jawaban. Dan kuputuskan perkataan Sasuke ada benarnya. Aku juga baru sadar dia bisa begitu bijak. Jadi, rasanya ingin kukaji ulang tentang The Climax of Youth versiku sendiri (WOY! KOK MASIH DITIMPUK JUGA?!)

Baiklah, kuputuskan saja aku setuju dengan Sasuke. Otakku terlalu lembut untuk menerima pengasingan dan menciptakan teori-teori nyeleneh lainnya. Sasuke menang, anggap saja aku tak pernah membahas teori yang tak jelas asal-usulnya itu. Aku hanya perlu menikmati setiap detik waktu mengalir menuju ke kedewasaanku.

Namun dalam proses menikmati, apa yang harus kulakukan? Aku pun tetap harus menemukan mimpi, ambisi, dan segala macamnya untuk mengisi proses ini. Aku tak harus selalu mencemaskan soal masa tua nanti, ada waktu berharga yang tak akan terulang yang juga sebaiknya kunikmati. Ternyata walau gagasan menuju puncak itu salah, semua orang tetap harus menemukan beberapa hal yang penting dalam hidup.

Pasangan?

Sialan, poin keenam ini masih saja tak mau pudar dari kepalaku meski telah mendapatkan siraman rohani dari Sasuke. Tentu aku baik-baik saja meski poin ini tak terwujud—untuk jangka waktu pendek, namun entah kenapa masa remaja terasa meaningless saat tak pernah menemukan seorang tambatan hati. Karena poin ini sejatinya adalah ciptaanku sendiri, mungkin saja alam bawah sadarku telah menanamkannya pada otakku sebagai daftar wajib yang harus kutemukan segera. Walaupun begitu, aku tak bisa menjatuhkan diri sendiri ke hal yang disebut cinta.

Tapi aku tetap mencobanya.

Pertama aku memilah beberapa (dua) surat yang ada di dalam lokerku suatu pagi. Ada satu surat yang cukup wangi dan memiliki tutur kata puitis yang cukup enak dibaca. Lalu kuputuskan mencari tahu pengirimnya. Lalu dengan sedikit kemauan, kita berkencan untuk pagi sampai sore—masih agak siang sebenarnya—hari.

Namanya Shion. Berparas manis, humble, dan terlihat jujur. Dia sosok yang cocok untuk dijadikan pacar. Mungkin kita cocok di mata orang lain. Terlebih dia punya warna rambut yang hampir serupa denganku. Aku juga suka senyumnya.

Namun setelah kencan itu, hari-hari selanjutnya aku hampir lupa pernah menghabiskan waktu berdua dengannya. Jika saja ia tak meminta kencan kedua seminggu kemudian, aku benar-benar tak punya pikiran tentang dia dan senyumnya. Kurasa ini tak baik untuk kelanjutan hubungan yang mungkin kupaksakan ini. Bahkan kencan sebelumnya saja—aku tak tahu—mungkin jauh dari kata sukses.

Di kencan kedua itu, aku sengaja tak datang. Sudah seperti orang brengsek. Mungkin dengan begitu dia akan berpikir dua kali untuk tetap menyukaiku. Ah, aku benar-benar merasa seperti si brengsek sialan yang suka mempermainkan perempuan. Ada rasa bersalah yang menjalar di dadaku. Untuk itu, kuputuskan tak akan lagi membuka surat-surat yang diselipkan di lokerku.

Kudapati diriku menyerah untuk urusan asmara. Aku benar-benar sulit untuk jatuh cinta. Dan jika dipikir-pikir, aku memang tak pandai berurusan dengan lawan jenis. Teman perempuanku saja kalau diingat hanya ada Sakura. Jika dicermati lagi, aku cukup menyedihkan soal urusan perempuan.

Namun siapa sangka, tak lama setelah penerimaan kenyataan itu, aku jatuh cinta. Dengan sangat keras. Tak terkendali. Lepas kesadaran. Begitu dalam.

Aku jatuh cinta pada orang yang tak pernah kukira sama sekali sebelumnya.

To be continued ...

Note: Hay, terima kasih udah baca sebelumnya. Rasanya seneng bisa nulis ff lagi, khususnya kalo ada yang baca. Sebenarnya gw-eh, saya (aja deh) penghuni lapuk ffn ini. Ya walau nggak lama juga, tapi hiatus. Sempet mau balik ke dunia ffn lewat ff sebelumnya, tapi serasa nanggung sama real life yang berharga dan nggak mungkin bisa diulang (masa SMA) , jadinya ide yang dulu nggak sempet dibuat kerangka jadi terbengkalai. Jadi bisa dibilang ini debut untuk mulai nulis lagi, semoga aja nggak stuck juga.

Ah, intinya, salam kenal, semua. Semoga menikmati bagian ini walau emang super duper ultimate nggak jelas infinity trinity alay whatever ini. Dan BTW karena pairnya Naruto sama Hinata, yang dimaksud Naruto di bagian akhir itu Hinata (NO SPOILER, WOY!)

SALAM, TERIMA KASIHAN, SEE YAAA~