Accident
By Vira D Ace
Kuroko no Basket by Fujimaki Tadatoshi
DLDR?
~o~
Suasana sebuah warung makan di pinggir jalan itu ramai oleh beberapa petugas kepolisian yang sedang istirahat. Mereka baru selesai mengurus sebuah kasus di kota sebelah—yang mana mereka hanya bekerja sama dengan aparat kepolisian di sana untuk meringkus sang pelaku yang sudah tiga tahun menjadi buronan—dan memilih untuk beristirahat sebentar di warung makan itu. Jalanan tampak sepi dengan satu-dua kendaraan yang lewat sesekali, khas jalanan di hari kerja.
Aomine Daiki memilih untuk menikmati kopinya sendirian di depan warung. Selain mencari angin segar, pemuda berkulit gelap itu juga tidak mengerti apa-apa saja yang dibicarakan oleh para rekannya itu—yang pasti hal yang tidak penting, Daiki malas ikut ngobrol kalau sudah begitu.
Angin lembut menerpa. Daiki menutup matanya sejenak. Ah, tidak salah Wakamatsu tadi meminta mereka untuk beristirahat sejenak di sini. Pepohonan di hutan yg mengapit jalan ini membuat Daiki bisa sedikit santai.
"M-maaf, Aomine-san, dipanggil sama Imayoshi-san, tuh."
Daiki menoleh. Salah satu rekannya, Sakurai Ryo, tampak menatapnya dari dalam warung.
"Bilang, nanti aku ke sana," balas Daiki sambil meneguk kopinya.
"E-etto, nanti Wakamatsu-san marah, lho ..."
"Kenapa jadi Wakamatsu?!"
Sakurai berjengit ngeri. "M-maaf ..."
Daiki mengembuskan napasnya kasar—bukan marah, sih. Kesal saja, paling-paling nanti hanya diajak untuk ikutan nimbrung, dan Daiki malas nimbrung dengan rekan-rekannya itu.
"Aomine-san ..."
Tepat saat Sakurai memanggil lagi, sebuah motor berkecepatan tinggi tiba-tiba melesat melewati mereka. Daiki dan Sakurai menoleh ke arah motor itu melaju.
"Laju banget ..." gumam Daiki pelan, "mana nggak pakai helm lagi, dianya."
"M-mungkin dia sedang buru-buru ..." Sakurai menyahuti gumaman Daiki. "A-a ... maaf sudah menyahut, maaf, maaf."
"Santai saja," Daiki mengangkat bahu, "sudahlah. Aku mau masuk juga—"
Ckiiit!
Brak!
Ucapan Daiki terputus. Ia dan Sakurai sontak menoleh ke asal suara. Asalnya dari arah motor tadi melaju. Manik Daiki sejenak membulat.
"Sial," umpatnya sambil berlari ke arah suara itu berasal.
"A-aomine-san?!"
"Oi, oi, apa itu tadi?" Wakamatsu tiba-tiba keluar, menghampiri Sakurai yang masih berada di depan warung. "Aomine?!"
Daiki tidak memperdulikan teriakan Sakurai dan Wakamatsu yang memanggilnya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal—pengendara motor yang melesat melewatinya dan Sakurai beberapa menit lalu. Itu kendaraan terakhir yang lewat tadi, firasat Daiki entah kenapa terasa tidak enak.
Firasat buruknya terbukti. Di sebuah tikungan dekat hutan karet, terlihat seorang pria terkapar dengan kepala berdarah di pinggir jalan. Napasnya putus-putus. Di dekatnya ada sebuah motor yang bagian depannya rusak parah dan beberapa benda seperti seragam kerja dan boneka tercecer di sekitarnya. Daiki terkesiap, lalu segera menghampiri pria itu.
"Hei, kau tidak apa-apa?!" serunya panik.
Manik Daiki tidak sengaja menangkap sebuah mobil dengan penyok di bagian depan sedang memutar arah. Pengemudinya tampak pucat. Daiki tersentak. "Hei?!"
Namun mobil itu sudah keburu putar arah dan melaju pergi. Daiki mengumpat, lalu kembali beralih pada pria yang ada di hadapannya itu. Darah tampak mengalir keluar dari mulut dan telinganya, juga dahinya yang terluka parah. Daiki mencoba memegang kepala belakang pria itu guna mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat—atau minimal warung tadi untuk dapat pertolongan pertama—namun pemuda itu terkesiap ketika si pria berteriak kesakitan.
Daiki menarik tangannya setelah pria itu berteriak. Ada warna merah menyelimuti telapak tangannya—darah pria itu. Daiki meringis.
"Aomine!"
Daiki mendongak, kemudian mendapati Wakamatsu dan Sakurai berlari ke arahnya. Rekan dan seniornya itu tampak terkejut ketika melihat pria yang ada di hadapan Daiki.
"Apa ini?!" pekik Wakamatsu.
"Kecelakaan," Daiki mendecih, "pelakunya putar arah ke sana tadi—cepat kejar! Dan Sakurai, panggilkan ambulans—ah, tidak, bawa saja mobil kita ke sini, itu lebih cepat!"
"I-iya," Sakurai langsung berlari kembali ke warung. Wakamatsu tidak banyak bicara—pemuda itu langsung berlari ke arah yang ditunjuk Daiki.
Daiki kembali pada si pria. Wajahnya menunjukan kesakitan yang amat sangat, dengan sedikit rasa sedih entah karena apa. Tangan Daiki sekarang mencoba mengangkat pria itu dari bahunya, namun pria itu kembali berteriak.
Daiki sedikit terkejut ketika tubuh pria itu tiba-tiba kejang-kejang. Maniknya terbuka lebar dan ia berteriak kesakitan. Lalu tiba-tiba tubuh itu berhenti mengejang. Teriakannya berhenti, begitu pula dengan napas yang putus-putus. Daiki terkesiap. Pria itu sudah mati.
"Aomine ..."
Daiki menoleh. Wakamatsu sudah kembali. "Pelakunya kabur," ucapnya, "oi—bagaimana korbannya?!"
Daiki menggeleng. "Sudah mati ..." ucapnya sambil menunduk. Tangannya mencoba untuk menutup mata jasad yang masih membelak itu.
"Hah?!"
Tiba-tiba terdengar sebuah dering ponsel. Daiki melirik. Asalnya dari saku celana pria itu. Daiki menatap Wakamatsu sejenak.
"Angkat saja," ucap Wakamatsu, "aku akan panggil yang lain untuk memeriksa bukti dan melaporkannya ke pusat agar pelakunya bisa dicari."
Daiki mengangguk lesu. Perlahan diambilnya ponsel si pria dari saku, lalu mengangkat teleponnya.
"Papa! Hari ini Papa pulang, kan? Sudah sampai di mana?"
Manik Daiki sedikit membulat ketika mendengar suara seorang gadis kecil dari seberang sana. Tangannya sedikit gemetar.
"Papa, Mama masak makanan enak, lho! Satsu tunggu di rumah, ya?"
"... ya," Daiki menjawab pelan, sebelum menutup telepon itu. Wallpaper ponsel itu langsung terlihat begitu Daiki mengakhiri panggilan. Terlihat foto seorang pria—pria yang tewas itu—sedang merangkul seorang gadis kecil yang tersenyum ceria. Sepertinya gadis itu adalah anaknya, Daiki menebak itu adalah gadis di seberang telepon itu. Pemuda tersenyum getir, dadanya mulai terasa sesak.
Ponsel itu berdering lagi. Daiki tidak meliriknya sama sekali—ia yakin telepon itu berasal dari orang yang sama. Daiki tidak mau membohongi gadis malang itu.
"Aomine, teleponnya berdering lagi, lho," tahu-tahu Wakamatsu sudah di sana lagi. Daiki melirik, lantas memberikan ponsel itu pada sang senior.
"Eh?"
"Kau saja yang beritahu," ucapnya, "aku tidak tega."
~end~
Jadi ... ini cuman kegabutan sih :'v /digebukin
Ff ini terinspirasi dari ceritanya seorang ustadz yang tadi pagi ngasih motivasi buat anak-anak kelas 9 biar semangat ujian. Apa yang dia ceritain sama kayak cerita di atas, cuman bedanya waktu itu Ustadz lagi ngendarain motor juga, terus tiba-tiba ada motor laju nyalip dia. Juga orang yg nyalip itu sebenernya pake helm, tapi helmnya lepas pas dia kepelanting (kalo di sini kan dari awal udah nggak pake). Asli, diriku nangis pas denger bagian si anak nelepon dan nanya 'udah sampe mana?'. Mana itu orang yg jadi korbannya kerja jadi petugas tambang batu bara (tau sendiri lah orang tambang itu pulangnya bisa seminggu ampe sebulan sekali. Gak kebayang aku gimana reaksi anaknya pas tau bapaknya udah nggak ada :"
Dah, itu aja. Makasih sudah membaca kegabutan ini, dan kita ketemu lagi lain waktu. Jaa ne.
-Vira D Ace-
