Author's notes:

- Karakter hanya milik Masashi Kishimoto.

- Ditulis hanya untuk hiburan.

- Fanficcer tidak mendapatkan keuntungan materi apapun dari fanfiction ini.

- Alternate Reality setting in character.

- Cerita setelah Konoha Fuyu.

- Romance, Hurt/Comfort, Family, Drama, Action, Mystery, Angst.


Harusame

.

.

.

Chapter Satu

Hare

(cerah)

.

.

.

Semuanya terasa sempurna, jauh lebih indah dari pada mimpi yang selama ini ia simpan rapi setelah kehidupan kosong yang ia alami. Sekarang, ia hanya perlu menjaganya dan mempertahankannya. Setelah semuanya ia lakukan, ia hanya bisa membiarkan ke mana waktu membawanya pergi, dengan harapan besar bahwa waktu akan menuntunnya ke tempat yang indah.

.

.

.

"Ini masalah serius," ucap Naruto dengan wajahnya yang lelah di balik empat tumpukan kertas dokumen pekerjaan yang tinggi. "Aku lebih suka mengambil jalan damai, tapi sepertinya menangkap mereka adalah jalan satu-satunya," lanjutnya seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi Hokage yang selelu menjadi tumpuannya ketika bekerja. "Kami mengandalkanmu di sektor selatan, Boruto, Sarada, Mitsuki, Inojin, Shikadai, dan Chouchou."

Setelah Nanadaime Hokage selesai bicara, semua shinobi di ruang Hokage mengangguk mengerti disertai wajah semangat yang serius. Aura para shinobi generasi baru sangat terasa kuat, tak kalah dengan shinobi yang seangkatan dengan Naruto, hal itu membuatnya tersenyum tipis. Menyadari shinobi generasi baru Konoha bisa sehebat ini adalah salah satu bentuk kebahagiaan dalam dirinya.

Saat ini, tidak ada hal lain yang dipikirkan Inojin selain melindungi desa ini dan mulai menyusun langkah-langkah yang harus dilakukannya seraya mempertimbangkan jutsu yang akan digunakannya kepada musuh yang telah ia prediksi.

Meskipun Shikadai ada bersamanya dan tentu lelaki itu sudah menyimpan strategi di kepalanya dengan apik, tapi Inojin juga bukan seseorang yang bisa diam dan menyerahkan segalanya pada Shikadai saja ketika terjadi situasi genting seperti ini. Otaknya terus bergerak, tak kalah dengan ketua timnya dari klan Nara itu.

.

.

.

Sup tofu. Apakah Sai akan suka?

Ino tidak perlu bertanya-tanya lagi, tentu saja Sai suka. Sudah belasan tahun Ino tinggal serumah dengan Sai serta memasak untuk pria itu, jadi jika ditanya siapa orang yang paling mengenal selera makan Sai di dunia, tentu saja Ino adalah jawaban yang paling tepat.

Ino tersenyum tipis ketika memikirkannya lalu mencicipi sedikit kuah sup tofu matang yang telah dibuatnya. "Hanya perlu sedikit garam lagi," gumamnya pada diri sendiri.

Tiba-tiba, dua tangan kokoh merangkul tubuh Ino yang langsing dari belakang dan suara kecil yang setengah berbisik menggapai daun telinganya, "Apa yang sedang kau masak, Ino?"

Kunoichi macam apa Ino ini?! Bagaimana bisa ia tidak menyadari ada seseorang di belakangnya?! Apa-apan ini?! Tiba-tiba saja ia memeluk Ino!

Tubuh Ino dengan cepat menghangat dan tangannya berhenti melakukan kegiatan yang telah ditekuninya dari sejam yang lalu. Tanpa memikirkan kemungkinan siapa yang memeluknya ini pun, Ino sudah bisa menebak dengan mudah tanpa memerlukan kinerja otaknya.

Perasaan Ino selalu menanggapi dengan gembira terhadap pelukan ini, tapi mulutnya selalu menaikkan harga tinggi. "Sa… Sai? Kebiasaan! Kau tiba-tiba saja memelukku, bahkan aku tidak mendengar suara langkahmu. Bukankah tidak sopan masuk ke rumah tanpa berkata 'tadaima'?" Celotehan Ino ini sebenarnya hanya usaha untuk menutupi kegembiraannya. Meski Ino sudah menjadi istri Sai, tetap saja ia masih memiliki gengsi meski di hadapan suami sendiri.

Sai terkekeh, omelan Ino yang cerewet ini selalu berhasil mengisi ulang semangat tubuhnya. Memeluk Ino selalu menjadi kegiatan yang ia rindukan saat meninggalkan Ino, jadi Sai selalu melakukan ini setiap kali pulang menemui Ino. Suara Ino selalu terdengar menyenangkan di telinganya, ekspresinya yang terkejut malu selalu berhasil membuatnya tersenyum tanpa sadar. Membuat Sai memperkuat pelukannya.

"Tadaima," bisik Sai di telinga Ino seraya menyandarkan dagu di bahu Ino, meski Sai tahu ia sudah terlalu telat mengucapkannya.

"Okeri," balas Ino, berseri.

Ino menggit bibir. Beginilah Sai setiap pulang, dan hal inilah yang selalu Ino nantikan. Pelukan Sai adalah surga baginya.

"Sekarang, aku sedang memasak sup tofu," Ino menjawab pertanyaan Sai yang barusan belum sempat dijawabnya seraya memasukan sedikit garam ke dalam panci yang berdiri di atas kompor dengan api menyala biru.

Sementara Ino mengaduk kuah sup, Sai menajamkan indra penciumannya dengan bibir tersenyum. "Wangi sekali, aku jadi lapar."

Ino bertanya tanpa menghiraukan pujian Sai yang kelewat basi itu, "Tumben cepat sekali? Rapat tentang apa yang dibicarakan Shikamaru?"

"Tadaima!"

Suara Sai tertahan di tenggorokan ketika hendak menjawab pertanyaan dari Ino karena tiba-tiba putra mereka berseru seraya berjalan ke arah mereka dari arah pintu depan. Dengan cepat, Sai melepaskan pelukannya dari Ino. Sementara Ino cukup lega karena pelukan Sai telah terlepas begitu Inojin sampai di dapur tempat mereka berdiri. Memamerkan kemesraan di depan Inojin selalu menjadi hal yang memalukan bagi mereka.

"Okaeri!" jawab Sai dan Ino, serempak.

"Tou-san, Kaa-san, aku mendapat misi penting," Inojin berbicara langsung ke intinya.

Sai telah menduga Inojin akan berkata begitu.

"Ini misi tingkat A," lanjutnya seraya menatap kedua orang tuanya bergantian.

Ino mendesah setelah Inojin selesai bicara seraya menyilang kedua lengannya di bawah dada. "Tapi bukankah misi tingkat A terlalu berat untuk seorang chuunin?" Ujar Ino, cemas, seraya mematikan kompor dan menutup panci.

Inojin tersenyum. Hampir setiap kali ia mendapat misi tingkat A, ibunya selalu saja mencemaskannya. Inojin sangat mengerti, ibunya mencemaskannya bukan karena tidak percaya dengan kemampuan dan kekuatannya. Inojin merasa, ibunya hanya terlalu menyayanginya, meskipun terkadang wanita itu sangat menyeramkan ketika sedang marah.

"Apa Kaa-san lupa? Kaa-san menghadapi perang besar saat seumuran denganku kan? Tidak ada yang perlu dicemaskan."

Kemudian Inojin berjalan menuju kamarnya dan menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan dalam misinya sementara Sai dan Ino ikut membantu.

"Aku tak heran mereka juga mengandalkan para chuunin, karena para jounin sangat sibuk." Sai ikut membaur dalam perbincangan anak dan istrinya lalu diikuti anggukan dari Inojin yang sedang berkemas.

"Kau akan menjalani misi ini sampai kapan?" tanya Ino, masih diikuti dengan ekspresi cemas.

"Entahlah, kurasa cukup lama karena ini adalah misi pencarian sekaligus penangkapan. Belum lagi, musuh kami sepertinya berkemampuan sangat tinggi," jelas Inojin seraya menutup resleting tas ranselnya kemudian menggendongnya. "Sumimasen, aku tidak bisa menjelaskan tentang misiku sekarang karena aku harus berangkat sekarang," ucapnya dengan wajah menyesal yang menurut Ino terlihat sangat menggemaskan.

"Ini bento untukmu," ucap Ino seraya mengulurkan kotak bekal pada Inojin yang sudah ia siapkan sementara Inojin berkemas barusan.

Inojin menerima kotak itu dan mengamatinya dengan wajah tersenyum senang. Ketika hendak menjalankan misi berbahaya pun, lelaki itu masih terlihat tersenyum dengan tenang, seolah pertarungan adalah sesuatu yang biasa baginya. "Arigatou gozaimasu, Kaa-san."

"Berhati-hatilah Inojin, pastikan kau menggunakan jutsu barumu itu ya?" Tutur Sai, dengan senyuman, bukan senyum palsu.

Inojin tersenyum lebar. "Tentu," jawabnya.

Ino membalikkan tubuh Inojin dengan menyentuh bahu remaja itu untuk melepaskan tali rambut Inojin, sehingga rambut pirang sebahu itu tergerai. Kemudian Ino mengikatnya kembali dengan lebih rapi.

Pandangan Ino menyayu saat menguncir rambut putranya. Sejak masuk akademi sampai saat ini, model rambutnya tidak berubah. Ino tersenyum tipis mengamati punggung buah hatinya yang terlihat kuat. Model rambutnya memang tidak berubah, tapi tubuhnya terus tumbuh dan berubah. Ino percaya, kemampuan putranya juga terus tumbuh sehingga Ino yakin bahwa Inojin akan berhasil menjalankan misinya. "Kami mencemaskanmu," bisiknya.

Inojin berbalik kemudian tersenyum hangat menatap kedua orang tuanya yang menurutnya terlihat awet muda. Saat ini ia merasa hidupnya sempurna. Memiliki kedua orang tua yang perhatian padanya. Sampai-sampai, mengucapkan kata terima kasih kepada Tuhan bukanlah hal yang cukup menurutnya.

"Kalian tidak perlu mencemaskanku, akan kupastikan aku baik-baik saja. Kaa-san, Tou-san, ittekimasu," ucap remaja berusia enam belas tahun itu lalu membungkuk sopan di hadapan kedua orang tuanya yang sangat ia hormati.

"Itterasshai," bisik Ino seraya mengamati punggung Inojin yang semakin menjauh. Beberapa saat kemudian, sesosok remaja tampan itu tak tertangkap oleh mata Sai dan Ino.

Ketika Inojin benar-benar pergi meninggalkan rumah, Sai dan Ino melakukan kegiatan keseharian mereka. Makan siang dan kemudian bekerja. Tolong jangan tanya pekerjaan apa yang mereka kerjakan sekarang.

"Sai, aku heran kenapa kita tidak diikutsertakan dalam misi itu jika para jounin sangat sibuk, sedangkan para chuunin malah diikutsertakan. Sementara kita tampak seperti shinobi pengangguran. Aku merangkai pesanan rangkaian bunga, dan kau sibuk membuat lukisan untuk kau jual. Aku jadi merasa tidak berguna bagi desa. Apakah mereka tidak lihat? Aku ini jounin dari divisi intelijensi dan kau adalah chuubu dari divisi anbu, setidaknya kita adalah shinobi yang patut diperhitungkan," keluh Ino seraya merangkai bunga dengan tidak bersemangat. Meski ia suka profesinya sebagai perangkai bunga, Ino lebih menyukai profesinya sebagai kunoichi.

Sai menaruh kuasnya di atas palet dan menoleh ke arah Ino seraya tersenyum manis. "Setidaknya kita memiliki waktu untuk kita habiskan berdua, bagaimana kalau kita buat adik untuk Inojin?"

Ino merasa tenggorokannya tersedak udara ketika Sai memberikan usul yang memicu ledakan di kepalanya, tapi Ino memilih untuk diam saat ini dan membiarkan telinganya mendengarkan kalimat Sai sampai selesai.

"Kali ini, aku ingin rambut dan matanya hitam seperti milikku, bibir dan kulitnya seperti milikmu."

Kalimat Sai selanjutnya membuat Ino tidak bisa lagi menahan teriak, "Kau pikir anak bisa dipesan?! Kau ini selalu saja mengajakku bercanda! Lagi pula Inojin sudah terlalu besar untuk memiliki adik bayi!" Ino kembali bergelut dengan pekerjaannya dengan wajah kesal, karena ucapan seriusnya malah ditanggapi main-main oleh Sai. Ino menepuk dahinya. "Mattaku!"

Kuas Sai berhenti menari sejenak. "Apakah para shinobi dari divisi intelijensi tidak memberi tahumu tentang masalah yang terjadi sekarang?" tanya Sai yang mulai serius dan mengerti situasi, masih duduk tegak di hadapan kanvas berisi lukisan setengah jadi.

"Aku belum mendengarnya, karena kau tahu 'kan aku sudah tiga hari tidak masuk kantor karena diizinkan mengerjakan dokumen di rumah? Jadi aku belum mendengar banyak tentang perkembangan desa."

Menyadari Ino tidak tahu apa-apa, Sai memutuskan untuk menjelaskan, "Ada sebuah organisasi misterius yang belum diketahui namanya, mereka membunuh sebagian besar para jounin di seluruh desa secara bersamaan kemarin malam. Tetapi bahkan sekarang Shikamaru masih belum mengetahui mengapa gerak-gerik mereka di desa sama sekali tidak diketahui. Berdasarkan penyelidikannya, anggota organisasi itu sepertinya sangat banyak. Belum lagi, chakra meraka tidak dapat tertangkap shinobi tipe sensor. Kedengarannya penyerangan gerilya mereka lebih berbahaya dari pada Akatsuki yang menyerang secara terang-terangan."

Ino mendengarkan dengan cermat dan merasa keheranan karena ia belum mendengar berita sepenting ini. Sementara Sai terus berbicara pada Ino meski perhatian matanya terpusat pada kanvas yang sedang ia isi dengan lukisan, "Karena banyak jounin yang dibunuh, jounin yang tersisa bergerak untuk mencari pelakunya. Jounin yang sedikit ini tidak cukup untuk menjalankan misi ini, jadi para chuunin juga ikut bergerak."

Sai mengoleskan cat pada kanvas ketika menemukan satu objek lukisan yang gradasinya kurang sempurna menurutnya, namun ia masih terus bicara.

Kadang Ino penasaran berapa IQ Sai sebenarnya, karena pria itu bisa membagi dua pikiran yang menguras otak dalam waktu bersamaan.

"Saat ini seluruh desa, terutama desa aliansi sedang mencari informasi tentang seluruh anggota dan ketua organisasi itu. Tapi kurasa hal itu tidaklah mudah, karena mereka mampu membunuh jounin dengan mudah sekaligus tanpa terlihat siapapun dan nyaris tidak ada jejak.

Dari hasil pembedahan Sakura, para jounin yang terbunuh sama sekali tidak memiliki luka luar dan mereka bukan terbunuh karena racun atau semacamnya, aliran chakra juga tidak ada yang terputus. Kematian yang sangat misterius. Sekarang tidak ada lagi yang bisa tim medis lakukan untuk mengorek informasi. Hal ini akan menjadi sangat sulit, mencari tanpa memegang informasi sedikitpun. Tapi tetap saja lebih baik dilakukan dari pada diam saja.

Dapat dipastikan pelakunya bukan orang sembarangan dan memiliki jutsu yang unik. Dan berita ini sangat dirahasiakan, hanya shinobi yang boleh tahu, karena para Kage tidak ingin mengganggu kedamaian di dalam desa."

Sai mendesah panjang, terdengar kecewa. "Tentu ini menjadi pukulan besar terhadap seluruh shinobi. Setelah bertahun-tahun desa damai, sekarang malah terjadi pertarungan lagi."

Sai kembali mengamati lukisannya dengan serius lalu kembali bicara, "Aku yakin tidak lama lagi kita akan menerima panggilan dari Nanadaime dan bergabung dalam misi itu. Tapi tidak dapat dipastikan bahwa kita akan berada dekat dengan Inojin, karena misi ini adalah misi pencarian ke seluruh tempat di setiap negara. Jadi semua shinobi berpencar untuk menemukannya."

Ino berdiri dari kursi yang sedari tadi didudukinya, berjalan mendekati Sai dan meninggalkan rangkaian bunga yang setengah jadi.

"Itu berarti anak kita berada dalam situasi bahaya, dan sebentar lagi kita juga. Sebelum itu terjadi…" Kalimat Ino menggantung, membuat Sai bangkit dan berdiri di hadapan Ino.

Jarang sekali Ino bersikap seperti ini, membuat Sai khawatir. "Ino, ada apa?" tanya Sai, berusaha mengintip isi hati Ino. Di matanya, Ino terlihat sangat mencemaskan sesuatu. Wajahnya melukiskan kecemasan dalam hatinya yang sedang berkuasa di posisi tertinggi. Membuat Sai merasa ia tidak bisa diam saja.

"Aku ingin kita kencan, mumpung kita sempat. Apakah kau mau? Sebenarnya sudah lama aku menginginkan ini, karena sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan berdua."

Tanpa aba-aba dari otaknya, hati Sai menggerakan tubuhnya untuk mendekap Ino dengan erat. Matanya mengatup dan wajahnya tersenyum lembut. "Sejak kapan aku menolak keinginanmu, Ino-chan?"

Mata Ino terbelalak ketika Sai memeluknya. Ino memang bukan lagi gadis remaja yang tidak biasa dipeluk oleh Sai. Sudah belasan tahun Ino menghabiskan waktunya dengan Sai dalam tali pernikahan, dipeluk oleh suami sendiri tentu adalah hal yang sangat biasa. Tapi kali ini Ino merasa ia tidak ingin Sai melepaskannya, Ino ingin Sai selalu menempel dengannya.

Dan rasanya panggilan 'Ino-chan' dari Sai sudah lama sekali tidak Ino dengar, terakhir kali Ino mendengarnya adalah ketika mereka terbang di bawah langit malam di tengah musim semi tujuh belas tahun lalu, di malam hari pernikahan Naruto dan Hinata, ketika Sai melamar Ino. Panggilan sederhana yang Sai ucapkan dengan spontan itu membuat Ino mengingat kembali masa lalunya yang indah bersama Sai.

"Sai-kun," ucap Ino dengan lirih, memanggil Sai dengan sebutan yang ia rindukan, seraya membalas pelukan dari Sai dan mengatupkan kedua matanya. Pada saat yang sama, cairan bening bergambarkan haru mulai menuruni kedua pipi Ino yang halus.

"Ada apa, Ino?" tanya Sai setalah Ino menyebut namanya, lalu Sai merasakan ada tetesan cairan hangat di bahunya

Ino menggelengkan kepalanya menanggapi pertanyaan Sai itu seraya mengeratkan pelukannya. "Nanimonaio, aku hanya ingin meminta kepadamu untuk tetap memelukku seperti ini." Rasanya, pelukan ini terlalu hangat, terlalu nyaman, dan terlalu berharga untuk ia lepaskan.

Sai tersenyum mendengarnya. "Jika itu yang kau minta, aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku akan terus memelukmu seperti ini sampai kau memintaku untuk melepaskannya." Pada saat yang sama Sai merasa ada kekuatan yang kuat merasuki tubuhnya, kekuatan untuk melindungi keluarganya. Kekuatan cinta yang semakin membesar.

.

.

.

"Apakah menurutmu ini adalah suatu kejahatan? Ketika shinobi lain menjalankan misi dengan mengorbankan nyawa, sedangkan kita malah asyik-asyikan di sini?" tanya Ino yang tengah makan dango hangat seraya berjalan berdampingan dengan Sai di tengah taman Konoha yang dikelilingi pohon sakura.

"Kau tidak perlu memikirkannya, sekarang kita hanya cukup menikmati waktu kita sebelum menjalankan misi itu," jawab Sai.

Bunga sakura masih berbentuk kuncup dan udara masih terasa dingin, namun sudah dapat dipastikan musim semi tepat berada di depan mereka. Langit terlihat cerah. Sinar matahari sudah bersinar hangat melelehkan salju yang menumpuk di tanah dan terjepit di sela-sela ranting pohon sakura.

"Ne, Sai. Aku ingin ke sini lagi untuk hanami." Uap putih keluar dari mulut Ino ketika ia berbicara.

Sai hanya menanggapi Ino dengan senyuman, membiarkan Ino terus berbicara.

"Aku ingin saat kita sudah sangat tua nanti, ketika Inojin bahagia dan mempunyai anak, kita berjalan di bawah pohon-pohon ini dengan sakuranya yang mekar di langit yang cerah. Kita tertawa bersama dan jalan berdampingan dengan punggung yang bongkok. Kemudian, kita meninggal bersama dalam posisi berpelukan di atas kasur yang hangat di tengah musim salju."

Ino menarik napas bebas dan merasakan angin musim dingin yang tersisa berhebus sehingga helaian pirang yang terikat rendah miliknya terbawa angin. "Betapa bahagianya," desahnya.

Setelah perang berakhir, konflik antar-shinobi mereda, Ino dan Sai bersatu, lalu Inojin terlahir, impian terbesar dalam hidup Ino adalah menghabiskan umur dan waktu bersama Sai. Ketika suatu saat cinta sepenuhnya hilang dikikis usia, kasih sayang dan komunikasi beserta kebersamaan akan menyertai mereka. Hanya itu, bersama Sai sampai waktu mereka telah habis, sesederhana itu. Mimpi yang terlalu sederhana untuk jadi kenyataan. Ino merasa yakin, Tuhan mampu mengabulkannya dengan satu kedipan mata.

Ino bermimpi sangat indah, sehingga bibirnya tak ragu lagi untuk tersenyum. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam, meminta Tuhan mengabulkan mimpinya.

Sai ikut tersenyum, menenangkan saat melihat Ino tersenyum damai seperti ini. "Kalimatmu tadi adalah permintaan untukku bukan?"

Ketika kalimat itu berhasil mencapai telinga Ino, wanita itu menoleh cepat dan memusatkan pandangan pada wajah seorang pria tampan yang berdiri di sampingnya, pria dengan senyuman yang teduh.

Sai melanjutkan, "Jika itu adalah permintaanmu, aku akan selalu mengabulkannya."

Ino mengalihkan pandangan ke depan dan terkekeh. Kebahagiaan yang ia rasakan saat ini membuatnya tidak bisa berpikir. Tidak ada kalimat lain yang terukir di kepalanya selain betapa bahagianya ia sekarang, sehingga ia tidak bisa bicara.

"Tapi, keinginanmu itu tidak akan terkabul jika hanya aku yang mencoba mewujudkannya, jadi kau juga harus berjanji, Ino."

Ino terkekeh dan melirik ke arah Sai. "Hai! Aku berjanji."

Mereka terus melangkah ke depan perlahan-lahan, mencoba menikmati keadaan alam yang lestari di tengah-tengah Konohagakure yang modern.

Ino menggigit mitarashi dango-nya lalu mengunyahnya dengan bibir tertutup. Namun tanpa ia sadari, saus mitarashi tertinggal di bibirnya, membuat Sai geram ingin sekali membersihkannya.

Bibir Sai menyentuh bibir Ino. Lidahnya menghapus bersih saus mitarashi itu dari bibir Ino. Setelah itu Sai melepaskan ciumannya dan tersenyum menatap istrinya yang pantas dibandingkan dengan kepiting rebus karena warna wajah Ino sekarang ini tak kalah dengan warna kepiting rebus.

Mata Ino membulat dengan wajahnya yang meranum. "Bakayarou! Apa yang kau lakukan?! Bagaimana jika ada anak kecil lewat dan melihat kelakuanmu barusan?!"

Sai terkekeh dengan mata menyipit, mengabaikan omelan Ino dan bicara seenaknya, "Aku tidak suka mitarashi dango, tapi jika ada saus mitarashi yang tertinggal di bibirmu, rasanya sangat nikmat."

Alis Ino mengerut samar. "Kau ini," gerutunya.

"Sai! Ino!"

Suara itu berhasil membuat Sai dan Ino menoleh ke belakang dan mendapati siapa yang telah memanggil nama mereka.

"Tenten? Doushita no?" tanya Ino setelah Tenten berdiri di hadapan mereka dengan penuh harap bahwa Tenten tidak melihat kejadian yang Sai lakukan kepadanya tadi.

"Nanadaime memanggil kalian berdua, kita bertiga dan Lee akan menjalankan misi bersama," tegas Tenten.

Dalam hatinya, Ino berkata, sepertinya, Tenten memang tidak menyadarinya, yokatta.

"Hai, wakarimashita," Sai menyahut Tenten dengan tenang.

.

.

.

Tsuzuku

.

.

.


Glosarium:

Tadaima = Aku pulang.

Okaeri = Selamat datang.

Tou-san = Ayah.

Kaa-san = Ibu.

Bento = Bekal makanan.

Arigatou gozaimasu = Terima kasih banyak.

Ittekimasu = Aku berangkat.

Itterasshai = Selamat jalan.

Mattaku = Dasar.

Nanimonaio = Bukan apa-apa.

Hanami = Melihat bunga.

Hai = Baik.

Bakayarou = Kau ini bodoh ya.

Doushita no = Ada apa.

Yokatta = Syukurlah.

Wakarimashita = Aku mengerti.


Author's note:

Yaampun berani-beraninya penulis pemula kaya aku bikin multichapter fanfiction! Sebenernya sih awalnya gara-gara tiba-tiba ada ide klise lewat di otak aku, udah gitu buru-buru aku tulis sebelum ilang lagi. :')

Makasih banget yang udah bersedia mampir di fic amburadul ini. Tapi semoga aja kalian terhibur terus penasaran sama kelanjutannya. Aku janji kok fic ini ga akan ditelantarin, 'semoga' aku berhasil update cepet, tapi ga janji ya? :P

For your information, guys! Buat yang belum baca fic pertama aku yang judulnya Konoha Fuyu, boleh loh berkunjung ke sana, soalnya Harusame itu lanjutan Konoha Fuyu. Tapi tenang aja, Konoha Fuyu sama Harusame punya klimaksnya masing-masing kok! ;)

Aku juga bakalan seneng banget kalo kalian bersedia review fic gaje ini, review kalian bakal berarti banget buat aku! :D