Disclaimer : Yu-Gi-Oh isn't mine. I'm sure you've known it.

Warning : OOC. Yaoi. Membosankan. Tidak nyambung. Pengulangan kata.


Derap kaki yang terburu-buru, dan jeritan pilu, serta tebasan menggema antara dinding-dinding batu istana. Itulah yang terdengar di telinga seorang anak yang berada dalam gendongan ibunya. Walau ibunya mendekapnya erat agar tidak melihat itu semua, tetap saja suara-suara itu masih terdengar.

Dia bisa mendengar detak jantung ibunya yang sangat kencang, entah itu karena beliau telah lama berlari atau karena hal lain. Dia bisa merasakan deru nafas berat dari wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Seorang pria yang merupakan ayahandanya, berlari mendampingi dia dan ibunya. Bisa terlihat kekhawatiran dan ketakutan terlihat jelas di raut wajahnya yang kelelahan.

Jeritan terdengar lagi. Kali ini semakin dekat. Ayahanda dan ibundanya terlihat semakin pucat, cengkeraman ibundanya semakin erat terasa di tubuhnya yang kecil, membuatnya mengernyit sakit.

Angin malam terasa menyapu kulitnya ketika mereka bertiga sampai di kebun belakang istana. Kebun kesayangan ibunda, yang dirawat oleh beliau dengan penuh sayang. Dia menggeser wajahnya sedikit. Memang gelap, tetapi masih bisa sedikit terlihat sesuatu dan hal itu membuatnya menyesal telah menoleh.

Seseorang – yang merupakan salah satu pengasuhnya – terkapar berlumuran darah, bunga-bunga bulan yang putih bersih ternodai merahnya cairan kental berbau amis itu.

Derap kaki terdengar dekat. Ayahandanya berbalik, menarik pedang seakan siap menghadang siapapun yang datang. Dia bisa mendengar teriakan ayahanda yang kemudian dibalas oleh ibundanya. Dia tidak tahu apa yang mereka debatkan, pembicaraan mereka sangat cepat dan dia masih baru belajar berbicara. Tapi, satu hal yang dia mengerti.

Bahwa ayahandanya berniat mengorbankan dirinya demi mereka berdua.

Terasa ibundanya kembali berlari, meninggalkan ayahanda. Sesuatu menetes di wajahnya, dia mengadah, menyadari air mata yang mengalir deras di wajah cantik ibundanya. Dia menjulurkan tangannya untuk menghapus air mata itu, dibalas senyuman lirih dari wanita yang dia sayangi.

Jeritan ayahandannya terdengar. Mata mereka berdua melebar. Ibundanya memeluknya erat, air mata semakin deras mengalir.

Dalam hati dia bertanya-tanya, mengapa dadanya tiba-tiba terasa sakit?

Apakah ini yang dirasakan ibunya sedari tadi?

Karena...

Dia juga merasakan sesuatu yang basah mengalir dari kedua matanya.

Langkah kaki mengagetkan mereka. Ekspresi ibundanya menjadi horor, semakin pucat. Di hadapan mereka ada satu pintu, itupun hanya bisa dilalui oleh anak kecil sepertinya. Mereka tidak punya waktu lagi, 'mereka' semakin dekat. Kali ini rasa takut menjalari tubuhnya, dia gemetar menatap ibundanya.

"Ibunda..." Dia mencengkeram baju ibundanya erat. Beliau menggeleng pelan, menempelkan telunjuk di bibir anaknya.

"Ssst, jangan bersuara, anakku." Beliau tersenyum, senyum yang sangat lembut. "Atau mereka akan menemukan kita."

Anaknya hanya menelengkan kepala seakan dia bingung.

Suara ranting terinjak terdengar sangat dekat. dia bisa merasakan tubuh ibundanya menegang. Beliau melepaskan sesuatu dari lehernya dan menaruhnya dalam genggaman anaknya. Kalung dengan liontin piramida terbalik berukiran mata udjat. Kedua matanya yang berwarna ruby menatapnya hangat, menariknya dalam dekapan, nafas terasa di telinganya.

"Temui Aisyah, pendeta wanita penjaga kuil batu tulis selatan. Ceritakan padanya apa yang terjadi di sini." Senyum mengembang di wajah cantik ibundanya. "Aku yakin dia akan merawatmu dengan sangat baik."

Anaknya mengangguk.

Jemari yang halus mengelus pipinya. "Lalu, carilah nama tiga dewa pelindung negeri ini, beserta enam orang terpilih. Mereka akan melindungimu. Kau ingat kisah yang selalu ibu ucapkan, kan?"

Anak dalam dekapannya mengangguk lagi. "Saat kegelapan menaungi, cahaya para dewa akan memandu melalui orang pilihan yang telah menerima titah-Nya. Memandu Pharaoh dalam legenda menarik segalanya menuju kemenangan dalam balutan emas dan perak yang terbungkus oleh waktu."

"Benar, sayang. Teruslah mengingatnya. Itu akan menjadi pedomanmu untuk mencari mereka."

Suara teriakan mengagetkan mereka.

"Mereka di sana!"

Mata ibundanya melebar. Dia segera membuka pintu yang merupakan satu-satunya jalan keluar. Mendorong anaknya keluar area istana. Anaknya terbelalak terkejut, dia berbalik menggedor-gedor pintu tertutup yang ditahan oleh ibundanya dibaliknya.

"Ibunda! Kenapa-"

"Pergi, sebelum mereka mengejarmu!"

"Tapi-"

"Pergi!"

Bentakan ibundanya membuatnya tersentak mundur. Dia menelan ludah, tubuhnya gemetar. Baru kali ini ibundanya membentak, dan dia merasa takut.

"Pergilah, sayang. Jangan sampai mereka mendapatkanmu juga. Kumohon." Suara lirih terdengar sayup dari balik pintu.

Dia ingin membantah, tetapi suara derap kaki terdengar. Dia mengangguk, sebelum kedua kakinya bergerak membawanya lari entah ke mana. Air mata mengalir dari sepasang mata yang berwarna hampir sama dengan mata ibundanya.

Amara hanya berdiri diam mendengarkan suara langkah kaki anaknya yang semakin jauh. Air mata mengalir deras di pipinya. Bilah besi yang tajam menyambut pandangannya. Dia menghapus air matanya, mengangkat wajahnya, memasang ekspresi dingin dan berani, menghadap seorang pria yang telah membunuh suaminya.

Pria itu tersenyum licik, dia menjilat bibirnya. Matanya menelusuri Laila dari atas sampai bawah. "Sungguh disayangkan wanita cantik sepertimu akan mati. Bagaimana kalau kuberikan tawaran? Hidupmu akan kuampuni, sebagai gantinya kau akan menjadi budakku."

Istri dari Pharaoh yang telah almarhum itu tersenyum sinis. Tatapannya dingin. "Aku lebih memilih mati daripada harus menjadi budak orang yang lebih rendah dari sampah sepertimu."

Alis pria itu berkedut, ekspresinya mengeras. Genggamannya mengetat di gagang pedangnya. "Sayang sekali." Dia mengangkat pedangnya tinggi, mengayunkannya ke tubuh wanita di hadapannya.

Darah menyembur dari tebasan lebar di tubuh langsing sang ratu. Tubuh itu kemudian ambruk, menghasilkan genangan darah di tanah yang dingin.

Amara menutup kedua matanya, senyum menenangkan tersungging di bibirnya, menerima Dewa Anubis untuk mencabut jiwanya yang telah ada dalam cengkeraman-Nya.

'Aku mencintaimu, anakku...' Suara hati bergumam, sementara nafasnya semakin berat. 'Kumohon, Dewa Amon, ini permintaan hamba yang terakhir. Jangan sampai mereka mendapatkannya.' Tubuhnya mulai mendingin, dia tidak bisa merasakan apapun lagi. 'Semoga kau menemukan orang yang akan mencintaimu sepenuh hati suatu hari nanti.' Nafasnya berhenti, detak jantungnya melambat. 'Selamat tinggal, Atem. Aku akan selalu mengawasimu di dunia sana.'

Angin gurun yang dingin berhembus menyapu tubuh yang telah kaku itu. Aura kehidupan tidak terasa lagi, yang ada hanyalah kehampaan malam yang menyelimuti istana. Hanya bau kematian yang menyeruak di dalamnya.