;kwon soonyoung[hoshi]/lee jihoon[woozi]
;by kimsangraa (and slight of raein ren)
;wooden pencil, chapter 1; prolog; magic?

#-#-#

Jihoon tidak pernah percaya pada sihir.

(Tapi ia lumayan suka dengan Harry Potter. Adegan dimana Severus Snape menangis karena ternyata ia sangat mencintai Lily Potter itu sangat bagus sekali.)

Kalian boleh saja mengatakan kalau tubuh lelaki itu memang lebih mungil dari rata-rata. Dan karena hal itu, Jihoon tampak seperti smurf atau elf, atau mungkin juga seperti peri rumah yang ada di Harry Potter.

Tapi tidak. Jihoon mendengus—uap-uap musim dingin hasil nafasnya berkebul.

Ia bukan kurcaci, kakinya masih lebih panjang dari tubuhnya kok. Ia juga bukan smurf dan elf, dan maaf saja, ia tidak berwajah buruk dan berpakaian lusuh seperti Krecher atau Dobby. Ia tidak percaya sihir. Jadi pada saat ada rumor bahwa pensil ajaib telah ada di dunia, Jihoon sama sekali tidak tertarik.

"Aku lebih tertarik dengan sungai Han yang membeku dan apakah ikan-ikan di bawahnya juga membeku." kata Jihoon sambil merapatkan syal merahnya. Itu petang hari yang dingin, suhu turun beberapa derajat dari tadi siang. Dari perhatian Jihoon, warung-warung yang menjual alkohol jadi lebih ramai. Sayangnya ia belum dalam usia legal untuk bisa berpesta dengan botol-botol soju.

Minghao ada di sebelahnya, bergerak-gerak ceria. "Tapi, katanya mereka benar-benar membuat pansil ajaib itu, Hyung. Aku dengar ciri-cirinya, pansil itu dari kayu berwarna coklat dan blablablabla—"

Jihoon memutar bola mata. Blablabla, uh, bahasa Cina lagi. Perlu diingatkan untuk Minghao kalau Jihoon tidak bisa bahasa Cina.

"Minghao, yang betul 'pensil' bukan 'pansil'." ujar Jihoon, tanpa sadar membenarkan pengucapannya. Ia sudah sangat terbiasa dengan hal ini, dan akhir-akhir ini Jihoon jadi tidak begitu peduli kalau Minghao mulai bicara dengan bahasa rumit itu lagi.

"Ah, iya, pensil."

Mereka terdiam sembari berjalan. Minghao tidak lagi berbicara—permen tangkai yang sewarna dengan rambut Jihoon itu lebih membuatnya tertarik. Sekali lagi, Jihoon tak begitu peduli. Ia merapatkan syalnya lagi. Sembari berpikir mungkin akan mampir ke toko 24 jam dulu di dekat apartemennya untuk membeli ramyeon. Mi hangat di musim dingin seperti ini, Jihoon mendesah, pasti sempurna.

Di persimpangan, ia berpisah dengan Minghao yang belok kanan. Sementara Jihoon melanjutkan jalan. Palang toko 24 jam sudah terlihat. Jihoon meniup-niup tangannya. Mungkin ia juga butuh sarung tangan baru.

"Mungkin aku butuh beberapa pensil dan bolpoin juga," gumam Jihoon.

Ia melewati deretan alat tulis. Diambilnya beberapa jenis pensil dan ia juga mengambil penghapus. Jihoon agak terpikir dengan topik yang diangkat Minghao beberapa menit yang lalu. Tapi ia mengangkat bahu, lagi-lagi tak begitu peduli. Dibawanya barang-barang itu ke tempat pembayaran dan ia disambut seorang paruh baya.

"Terimakasih," kata Jihoon setelah menerima kembalian. Ia segera keluar dan berjalan ke apartemennya. Ketika ia masuk, sepatu Seungcheol sudah ada tertata rapi di rak. Ia agak terheran-heran.

"Oh, Jihoon," sapa Seungcheol, kepalanya melongok dari sofa. Sepertinya ia sudah mandi.

Jihoon menaruh belanjaannya di atas meja. "Kau tidak jadi jalan dengan Jeonghan?"

"Ia sakit jadi tadi aku hanya menjenguknya. Kau bawa apa?" tanya Seungcheol, lompat dari sofa untuk mengambil plastik itu. "Kau sudah latihan dengan Ailee-nuna?"

"Ada stik keju." Jihoon menguap. "Sudah tadi, lancar. Aku mau mandi dulu, seduhkan ramyeon."

Ia mendengar persetujuan dari Seungcheol sembari menaruh mantel dan syalnya di tiang. Jihoon menuju kamar dan mengambil handuk baru dari lemari. Seungcheol masih telentang, dengan santai memakan stik keju. Jihoon melewatinya dan menuju kamar mandi lalu menyalakan kran air panas. Mungkin ia akan berendam sebentar.

Sembari menunggu air panas itu mengisi bak, ia mendengar suara iklan dari televisi.

"Pensil ajaib, menulis dengan lancar, halus. Tidak meninggalkan bekas kotor, gampang diraut! Segera beli pensil ini agar Anda tidak menyesal!"

Jihoon tersenyum malas. Mungkin iya itu yang disebut 'ajaib'.

#-#-#

Minggu pagi itu Jihoon kembali sendirian di apartemennya.

Udaranya masih sedingin beberapa waktu lalu, namun kali ini salju sudah berhenti turun. Jihoon masih membiarkan pemanas menyala tanpa henti di apartemennya. Seungcheol tidak suka udara dingin dan Jihoon gampang terkena flu, itu beberapa faktor kenapa pemanas tak pernah dimatikan.

(Seungcheol juga berkata bahwa pemanas itu juga bermanfaat bagi makanan. Jika pemanas dinyalakan, maka makanan yang ada di meja makan bisa terus panas. Lalu Jihoon membalasnya, "Mungkin kau pikir pemanas sama dengan microwave.")

Jihoon mendengus, kadang-kadang Seungcheol tampak bodoh tapi juga pintar. Tipikal golongan darah AB sekali.

Jihoon mengambil keju parut dan membawanya ke ruangan yang disebut-sebut sebagai studio personalnya. Ia akan kembali 'bekerja'. Di samping sekolah, ia membuat lagu untuk band indie yang diketuai sahabatnya sendiri, Jisoo. Kemampuannya dalam membuat lagu tidak bisa diragukan, maka seluruh anggota band itu mempercayakan urusan lagu kepada Jihoon.

Jihoon menjumput keju itu dan memakannya. Ia selalu suka keju yang tidak dicampur apa-apa.

Ia mengambil rautan pensil dan menajamkan semua pensil yang dibelinya di toko 24 jam kemarin. Ada tiga pensil yang berbeda, dan semua harus dalam keadaan siap untuk digunakan. Jihoon tidak suka pensil mekanik karena ia gampang mematahkannya. Jadi pensil kayu adalah yang terbaik.

Jihoon mengambil satu pensil secara asal dan menggambar not-not balok pada buku bergarisnya sembari menggumamkan senandung.

Lalu tiba-tiba Jihoon mendengar dentingan yang senada dengan senandungnya.

Ia terdiam.

Jihoon bukanlah sosok yang penakut—ia bahkan bisa melihat film The Conjuring tengah malam—tapi hal ini membuatnya merinding. Bunyinya ting-ting-ting dan jaraknya amat dekat dengannya, jadi ia langsung melompat untuk berdiri di atas kakinya yang tanpa sadar gemetar.

Matanya melirik kesana kemari. Jantungnya memompa darah lebih cepat dan menghasilkan suara dug-dug-dug yang berhamburan seperti derap kaki kuda.

"Tidak, tidak, tidak… Ini pasti hanya pikiranku saja,"

Jihoon menarik nafas, menenangkan dirinya sendiri. Ia menumpukan kedua tangannya di atas meja, dengan posisi masih berdiri. Tatapannya difokuskan ke buku berisi not balok tadi. Ia mengambil pensil dan menuliskan nada-nada selanjutnya.

Tapi dentingan menakutkan terdengar lagi. Jihoon melotot.

"CUKUP."

Ia berlari, menyambar apapun dari tiang gantungan, lalu membuka pintu dan hampir melupakan alas kaki. Ia masuk lagi dan menendang sepasang sandal keluar pintu, dan segera menutup pintu, yang secara otomatis terkunci lagi.

Jihoon menarik nafas, lalu melirik benda apa saja yang disambarnya. Mantel panjang milik Seungcheol dan topi ala CharlieChaplin (yang juga milik Seungcheol). Ia menghela nafas. Di mantel Seungcheol hanya ada recehan tigaratus won. Jihoon tak membawa ponselnya. Dan ia hanya punya sandal sebagai alas kaki.

Setelah ia menitipkan topi Chaplin itu ke tetangganya (karena ia tidak mau terlihat konyol dengan memadupadankan sandal dengan topi Chaplin), ia segera keluar apartemen.

Mungkin ia akan jalan kaki ke rumah Wonwoo saja.

#-#-#

Betapa Jihoon membenci reaksi Seungcheol yang tertawa terbahak-bahak saat lelaki kecil itu terlihat semakin kecil ketika memakai mantel panjang milik Seungcheol.

(Juga soal topi Chaplin, yang ternyata adalah properti milik klub drama yang ketinggalan di kelas Seungcheol. Juga soal ibu Wonwoo yang memandang kakinya aneh. Tentu saja. Siapa yang akan keluar rumah dengan sandal jepit di udara sedingin itu.)

Jihoon memutuskan untuk menceritakan semuanya, tapi ia jelas tak mengharapkan reaksi menyebalkan seperti tertawa terbahak-bahak.

"Itu mungkin terjadi karena kau terlalu sering menekan tuts keyboardmu," kata Jisoo, tumben terdengar bijak dan normal.

Hong Jisoo ada di apartemennya malam itu, bertanya tentang kemajuan lagu yang sedang digarap Jihoon. Jihoon membenci wajah Jisoo yang seperti utusan pembawa kedamaian di muka bumi.

Walaupun tidak secara harfiah, tapi Jihoon membenci segalanya tentang Jisoo karena lelaki itu begitu tampan (ia tidak bisa tidak peduli dengan ketampanan Jisoo—terbukti saat ia bertanya krim apa yang dipakai Jisoo sehingga pada siang hari wajahnya tampak seperti memantulkan cahaya matahari).

"Ya, ya," Jihoon menjawab dengan sinis sembari menyeduh teh. "Dan kalian pasti menganggapku pengecut."

"Aku tidak bilang, lho." sahut Seungcheol, dalam posisi favoritnya yaitu telentang di depan televisi. Perkataannya disambut anggukan Jisoo yang sedang membolak-balik kertas berisi not balok hasil kerja Jihoon.

"Tapi aku bersumpah, kejadian itu memang benar terjadi." bela Jihoon.

"Tentu saja, Jihoonie." jawab Seungcheol, tapi matanya fokus pada acara yang menyiarkan Song Triplets.

("Kau bisa menjadi ayah yang baik seperti Song Ilkook jika terus menonton itu," komentar Jihoon beberapa hari yang lalu saat Seungcheol menonton acara yang sama.)

Jihoon mendengus, membawa tiga mug teh panas dari dapur, "Tentu saja kalian semua percaya dengan apa yang kuceritakan." katanya sinis. Ia duduk bersila dan meminum tehnya, lalu memperhatikan Jisoo yang sedang mencoba menyenandungkan nada dari not balok. Jihoon membenarkannya sedikit-sedikit.

(Walaupun ia membenci Jisoo, tapi ia suka dengan suara Jisoo yang lembut dan cocok dengan lagu yang dibuatnya.)

Beberapa menit kemudian, acara Song Triplets selesai dan Seungcheol sudah telungkup memerhatikan apa yang dilakukan Jisoo dan Jihoon. Lalu Seungcheol berguling-guling. Ia menemukan pensil kayu di bawah sofa. Ia mengambil kertas kosong dari tumpukan kertas not balok dan menggambar-gambar sesuatu.

Tapi Jihoon menemukan sesuatu yang super duper ekstra janggal.

Ia terdiam.

Setelah Seungcheol selesai menggambar burger—tampak puas dengan gambarnya yang tak lebih bagus dari anak kelas tiga sekolah dasar itu—tiba-tiba gambar itu berubah jadi nyata.

Ia hampir saja berteriak—tapi Jisoo memandangnya dengan aneh dan suaranya tidak jadi keluar.

Betapa anehnya ada burger nyata di atas kertas yang sedang digambari Seungcheol.

"Aku pasti bermimpi," gumam Jihoon, meletakkan telapak tangan di atas dahinya dan menghela nafas keras-keras.

Jisoo dan Seungcheol menyahut bebarengan. "Apa?"

Jihoon tak sempat menyiapkan mentalnya saat mengatakan hal ini. "Kau lihat tidak? Burgernya jadi nyata."

Jisoo dan Seungcheol saling pandang setelah mendengar ucapan Jihoon.

"Emm… Jihoon, mungkin kau butuh istirahat…" kata Seungcheol khawatir.

"Apa kau tadi minum alkohol?" tanya Jisoo, sembari menghitung-hitung berapa bulan lagi ia bisa minum alkohol.

Tapi Jihoon sama keras kepalanya dengan bangsa Viking yang memakai besi menjadi pelindung kepala mereka.

"Apa kau tidak lihat? Burger itu jadi nyata! Lihat, sekarang kertasmu berminyak, Seungcheol!"

Ketika Jihoon mencoba meraih burger itu, sesaat ada permukaan roti yang terasa, lalu tiba-tiba burger itu rontok dan menjadi debu. Minyak di kertas itu juga seolah berubah bentuk menjadi debu dan beterbangan.

"Kalian li—" ketika melihat ekspresi Jisoo dan Seungcheol yang menatapnya prihatin, Jihoon sadar sesuatu. Yang bisa melihat ini hanyalah dirinya.

Hampir seperti yang ada dalam film! Jihoon menghela nafas.

Sesuatu di dalam dirinya yang tidak percaya sihir sedang goyah.

#-#-#

Ini hari Senin dan Jihoon kembali sendirian di apartemennya. Bukan berarti ia membolos sekolah, hanya saja ia masih liburan untuk dua minggu ke depan. Seungcheol sedang olahraga dan mungkin tidak kembali untuk beberapa jam ke depan.

Jihoon menatap pensil kayu yang ada di tangannya.

Wajah Minghao terlintas di benak Jihoon dengan tiba-tiba. "Pansil ajaib," kata Minghao imajinernya.

"'Pensil' bukan 'pansil'," ujar Jihoon tanpa sadar. Ia menghela nafas lagi dan menatap kertas-kertas not baloknya. Jihoon merasa kejadian menakutkan kemarin ada hubungannya dengan pensil ini. Jihoon juga merasa ada yang harus ia pikirkan tentang pensil ini. Jadi… pensil ini benar-benar ajaib, eh?

Jihoon mendengus. "Yang benar saja," katanya. Ia lebih baik memercayai Minghao bisa rap dengan bahasa Korea daripada memercayai hal ini.

Tapi, ya, ada satu bagian dalam dirinya yang goyah.

Ia akan mencoba menggambar sesuatu yang lain dengan pensil itu. Diambilnya kertas dan ia berpikir akan menggambar apa. Makanan? Tapi Jihoon buruk dalam menggambar. Ia dan Seungcheol senasib. Akhirnya ia mencoba menggores-gores pensil itu di atas kertas, mencoba menggambar sesuatu yang semoga saja mirip seperti ddeokboki.

Dan setelah ia selesai menggambar, tentu saja hal aneh terjadi.

"Oh!"

Jihoon memekik seperti seorang gadis saat ddeokboki itu perlahan menjadi nyata. (Abaikan bahwa Jihoon memang mempunyai wajah seimut para gadis.)

Ddeokboki itu menjadi nyata di atas kertas yang tadi digambari Jihoon. Ia tidak sekaget saat burger yang digambar Seungcheol menjadi nyata. Jadi benar, pensil ini ajaib. Seperti kata Minghao. Dan jika hanya ada satu pensil ajaib di dunia ini, maka sekarang pensil itu berada di tangan Jihoon dan hanya dirinya yang tahu.

Jihoon menyeringai. Kalau begini, ia bisa membuat segalanya menjadi nyata, bukan? Bayangkan apa yang bisa diperbuat Jihoon dengan sebatang pensil ini. Hanya dengan pensil ini! Jihoon tertawa keras-keras—tapi bau ddeokboki mengganggunya.

"Lebih baik kupindahkan dulu ke piring," gumam Jihoon. Ia berjalan ke dapur dan mengambil piring kaca. Sekarang ia jadi lebih memercayai hal ini daripada Minghao yang bisa rap bahasa Korea.

Jihoon dapat cemilan gratis untuk pagi ini. Walaupun pedas tidak baik untuk perut pada saat pagi hari, tapi Jihoon tidak peduli. Rasa gembiranya melebihi rata-rata untuk dapat peduli pada perutnya. Jika ia sakit perut, mungkin ia dapat menggambar obat sakit perut.

"Oh? Menikmati makanan gratis sendirian?"

Jihoon membeku.

Ada sebuah suara.

(Jihoon susah payah menelan ddeokboki-nya.)

Jihoon berdiri di atas kakinya yang gemetar. Lalu tanpa sadar mengambil pensil itu dan memegangnya erat-erat. Pasti suara itu berasal dari hal-hal tentang sihir lagi.

"Itu punyaku!"

Jihoon mengernyit. Suara itu terdengar lebih jelas. "Apanya yang punyamu?" Jihoon membalasnya, walaupun suaranya terdengar tidak stabil karena takut.

"Pensil itu!"

Lalu pooof!

Jihoon terbatuk-batuk dramatis. Seorang lelaki muncul begitu saja dari asap-asap yang ternyata sejak tadi menyelubungi ruangan tempat Jihoon berada.

Wow.

Dan ia melayang.

Double-wow. Wow-wow.

Ia hampir seperti Jack Frost. Membawa tongkat kayu berwarna gelap. Hanya saja ia memakai hoodie warna abu-abu. Celananya tidak celana ketat coklat, tapi malah celana training biru tua. Ia bertelanjang kaki. Kulitnya tidak seputih Jack Frost, dan rambutnya tidak berwarna perak, melainkan pirang. Matanya juga tidak lebar seperti mata Jack Frost, tapi sipit dan bentuknya aneh.

Kesimpulannya, ia tidak setampan Jack Frost.

Jihoon menganga. Tapi hanya sebentar. (Jihoon memang susah dibuat terkesima.)

"Halo, Lee Jihoon!"

Lelaki itu mendekati Jihoon dengan ceria. Jihoon tidak heran kenapa lelaki ini tahu namanya, pasti jawabannya ada sangkut-paut dengan sihir lagi.

"Eng… Halo?" balas Jihoon, tapi tangannya masih menggenggam pensil dengan kuat.

"Ya, karena kita sudah bertemu, sekarang kembalikan pensilku. Cepat."

Jihoon mengernyit, ternyata dibalik keceriaan penyihir itu, ia seorang pemaksa. "Apa? Tidak mau!"

Penyihir itu mengacungkan tongkat kayunya pada Jihoon. "Aku memang penasaran dengan dunia manusia, tapi aku harus segera kembali ke dunia sihir! Cepatlah, Lee!"

Jihoon memutar otak untuk tetap membuat penyihir ini tinggal. "Kau jelas tidak tahu tata cara bertamu yang benar, Penyihir. Kau harus masuk melewati pintu, dan aku akan menghidangkan minuman dan makanan kecil. Setelah itu kau bercerita tentang siapa dirimu dan apa-apa tentangmu, dan setelahnya… mungkin aku akan mengembalikan kayu ini,"

Jihoon mengangkat pensil itu.

Sang penyihir, walaupun sembari mengerutkan kening, tapi ia setuju. "Aku tertarik dengan makananmu. Tapi jangan panggil aku penyihir. Namaku Hoshi."

Jihoon bersorak dalam hati, tidak menyangka bahwa makanan benar-benar bisa membuat penyihir ini tinggal.

Oh, God, I love food!

#-#-#

Jihoon merasa satu jam hidupnya sia-sia ketika mendengar penyihir ini berceloteh sembari memakan ramyeon yang dibuatnya.

Namanya Hoshi. Ya, itu bahasa Jepangnya 'bintang'. Dan abaikan bahwa matanya benar-benar bersinar seperti bintang, menurut Jihoon, Hoshi keseluruhan adalah orang yang tidak terlalu pintar. Hoshi sebenarnya diusir dari dunia sihir karena melakukan sesuatu yang ceroboh lagi, yaitu menjatuhkan barangnya ke dunia manusia. Jadi selama ia diusir, ia hanya berjalan-jalan saja di dunia manusia, beterbangan dari satu atap ke atap yang lain, mencari-cari jatuh kemanakah pensilnya.

Ya, barang yang sekarang berada di tangan Jihoon itu.

(Jihoon jadi merasa cerita ini hampir seperti Death Note, hanya saja dalam versi yang jauh lebih konyol.)

"Tunggu, berarti sebelumnya kau sudah pernah menjatuhkan barang lainnya?" tanya Jihoon. Hoshi mengangguk, ia menyeruput kuah ramyeon-nya sampai habis sebelum menjawab pertanyaan Jihoon.

"Ya, aku pernah menjatuhkan benda milik ibuku yang digunakan untuk memberi warna pada bibir. Lalu juga alat komunikasi milik temanku. Lalu yang paling parah adalah buku suci milik guruku."

"Maksudmu lipstik dan ponsel?"

"Entahlah, aku tidak peduli."

(Jihoon tidak percaya disamping mereka semua sudah punya sihir, mereka masih membutuhkan barang-barang seperti lipstik dan ponsel.)

"Aku heran kenapa kau belum mati walaupun sudah melakukan semua kecerobohan itu." sahut Jihoon datar. Hoshi tertawa, matanya menyipit seperti sepasang bulan sabit yang salah tempat.

"Penyihir tidak mati semudah itu. Dan… omong-omong, apa kau masih punya makanan lain? Aku masih lapar. Benda panjang-panjang dengan cairan kental tadi benar-benar enak."

(Cara Hoshi menyebutkan 'ramyeon' tadi sungguh membuat Jihoon mengernyit.)

Jihoon berjalan menuju kulkas (sembari tetap erat membawa pensilnya), dan mendapati ada kotak dengan cheese-cake di dalamnya. Jihoon ingin menangis. Keju adalah cintanya. Ia hampir tidak rela orang lain memakan kue keju itu, tapi ia lebih tidak rela lagi jika Hoshi pergi begitu saja tanpa bisa dimanfaatkan. Jihoon menghela nafas, entah sudah keberapa kalinya.

"Ini. Tapi kau harus memakannya pelan-pelan." kata Jihoon, kembali duduk.

"Kenapa?" Hoshi berhenti memutar-mutar tongkatnya dan menaruhnya lagi di atas sofa.

"Ya… karena rasanya akan menjadi lebih enak jika dimakan pelan-pelan."

"Baiklah." jawab Hoshi, terdengar patuh.

(Sebenarnya alasan utama Jihoon adalah agar Hoshi bisa tinggal lebih lama dan ia bisa berhemat makanan yang akan diberikan pada Hoshi sebagai bayaran.)

Jihoon harus memutuskan sesuatu. Setelah beberapa menit terdiam dan penuh pemikiran, Jihoon akhirnya berkata dengan gamblang. "Hoshi, aku mau kau tetap di sisiku untuk beberapa hari."

Tapi reaksi Hoshi sungguh diluar dugaan. Jihoon telah menyiapkan mental untuk dibentak, dimarahi, atau apapun, atau bahkan disihir, tapi yang ia lihat hanyalah Hoshi yang menatapnya santai sambil mengunyah. "Kenapa?"

Jihoon melirik ke arah lain. "Em… Karena aku telah menjaga pensilmu dengan baik, maka aku juga ingin kau melakukan sesuatu yang kuinginkan."

"Tapi aku tidak menginginkanmu menjaga pensilku dengan baik," sela Hoshi.

"Oh, begitu?" Jihoon hampir saja mematahkan pensil kayu itu.

"BAIKLAH." Hoshi berkata tepat waktu. "Aku akan menyanggupinya. Toh, aku masih diusir dari dunia sihir. Lima hari, cukup?"

Jihoon tersenyum senang. Bahkan kalau Hoshi memberinya hanya satu hari, ia juga akan merasa sesenang ini.

Bayangkan, apa yang bisa didapat Jihoon jika seorang penyihir yang bisa melakukan apapun berada di sampingnya?

#-#-#

tbc

atau

fin?

(hayoo wkwk.)

.

KYAA HOHO.
apa iniiiiii /tutupmuka.
non beta-ed! jadi typo harusnya ada dan bisa dimaafkan wkwk.
saya menambahkan raein ren di sini, karena, di satu waktu ketika kami makan bersama di rumahnya, ia berkata yang intinya, coba kalau ada cewek yang punya pensil dan apapun yang dia gambar dari pensil itu jadi nyata.
(itu sungguh memberi ide bagi otak menulis saya! wkwk)

setelah sekian lamanya saya nggak nulis lagi, balik ke sini malah bawa soonhoon. gaje lagi. ini tak terduga wkwk.
tapi tak apalah. saya cinta mereka.
(saya masih cinta chanbaek dan hunhan dan kaisoo, tapi—:') )
saya juga mulai masuk ke diamond-life. (13 anak itu benar-benar menyebalkan.)
bias : seungcheol, woozi.
tapi taring mingyu mengenaskan. juga senyum joshua. uh.
tapi percayalah, saya cinta semuanya.
manse!
ayo-ayo reviewnya ditunggu oke. wkwk.