Liebestraum, die Niederlande
Chapter 1
Money Talks
.
.
.
.
.
.
.
Anneliese Edelstein
(Nyo!Austria)
Willem Van Oranje
(Netherlands)
.
.
.
Alternate Universe
Hetalia
Hidekaz Himaruya
.
.
.
[ Bahasa Indonesia ]
.
.
.
.
Sepasang bola mata sewarna amber tertuju lurus pada dua pria paruh baya dengan kumis dan jenggot yang nampak tidak rapi dan mulai beruban. Kedua wajah tua dan lusuh itu nampak memelas dengan ekspresi memohon ditujukan untuk seorang pria berambut spiky berwarna light brown—si pemilik dua bola mata amber di hadapan mereka yang tengah menatap nyalang dengan air muka stoic nan serius. Sebelah tangan si pria spiky masih giat mengantar dan menjemput pipa cerutunya ke ujung bibir—dihisap perlahan sebelum dia hembuskan kepulan asap putih tipis lepas ke udara, dengan sebuah syal panjang bermotif strip biru-putih melingkar manis di sekitar leher dan pundaknya yang lebar.
Seorang dari dua pria paruh baya tua tadi lalu selangkah memajukan tubuh untuk menghadap si pria tinggi berambut spiky. Ekspresinya tidak berubah—memelas dan memohon seolah nyawanya tengah berada di tangan si pria spiky yang tampak jauh lebih muda, "Ku mohon, Tuan Willem. Beri kami waktu tenggang 3 hari lagi. Kami akan mempertaruhkan uang kami di pacuan kuda, kami pasti akan memenangkannya! Dan setelah itu, hutang-hutang kami akan kami bayar." Suara pria tua terdengar memelas dan sedikit serak, dan entah sebagus apa pun ekspresi yang tengah dia tampilkan, si pria berambut spiky nampak tidak peduli.
Yang dipanggil dengan nama Willem itu—si pria berambut spiky, lalu kembali menarik ujung dari filter pipa cerutunya sedikit menjauh dari bibir. "Apa yang bisa kalian harapkan dari perjudian? Kalian belum tentu memenangkannya bukan?" Tanya Willem dengan suara berat bernada datar namun tegas. Dihisapnya lagi cerutu miliknya sebelum dia kembali berbicara, "Aku ingin uangnya sekarang." Tandasnya dengan nada final.
Kedua pria tua itu lalu saling berpandangan. Sinar-sinar keputus-asaan mulai terlihat dari kedua bola mata gelap mereka, dan kedua pria tua itu mulai berkasak-kusuk sambil sesekali melirik Willem melalui ekor mata.
Yang dilirik nampak tidak terganggu sama sekali. Wajahnya masih berekspresi stoic—kedua belah bibirnya masih giat menghembuskan kepulan asap putih yang tipis.
"Tuan Willem," Satu pria tua yang nampak lebih kurus dari yang lain lalu mengambil giliran untuk menghadapi si pria spiky, "Mungkin uang yang kami punya tidak akan cukup tapi kami punya benda lain yang sepertinya bisa digunakan untuk melunasi hutang kami."
Mendengar itu, sepasang bola mata amber milik Willem berkilat. "Apa yang kalian maksud?" Tanyanya—sedikit tertarik akan rupa dari benda yang disebut oleh pria tua itu barusan.
Si pria tua yang kurus itu cepat-cepat menganggukkan kepalanya dan segera menjawab pertanyaan Willem, "Kami baru saja menemukannya sore ini. Kami yakin Tuan Willem pasti akan menyukainya!" Sahutnya begitu antusias dan berapi-api bak seorang salesman.
"Bawa kemari. Aku ingin melihatnya terlebih dahulu dan pastikan benda itu bernilai." Titah Willem lalu kembali menghisap cerutu berbentuk silindris ramping miliknya. Dia masih berdiri tegap di dalam posisi—berdiri dengan separuh tangan dimasukkan ke dalam saku coat, hanya kedua bola mata ambernya yang bergulir mengikuti gerakan dua pria tua tadi yang nampak tergopoh-gopoh segera berjalan menuju tepi pelabuhan dimana mereka melabuhkan kapal kayu mereka. Dua sosok itu hilang dibalik sebuah bilik kayu di atas kapal itu, sepertinya benda yang mereka maksud berada di dalam sana.
Bayangan pertama Willem saat melihat kedua pria tua itu nampak tengah bersusah payah menarik keluar benda yang mereka maksud adalah sebuah karung yang besar—kedua pria itu sampai harus menyeretnya di atas lantai kayu kapal. Minimnya pencahayaan di sudut pelabuhan cukup membuat Willem kesulitan untuk mengetahui rupa pasti dari benda yang dimaksud.
"Aku di kepala, kau di kaki." Titah salah satu pria tua pada rekannya.
Huh?
Willem tercenung.
Lalu sebuah pemandangan yang mampu membuat kedua bola mata ambernya melebar pun nampak semakin jelas saat gerakan kedua pria tua itu mulai terkena sorotan cahaya lampu. Benda yang ingin mereka tunjukkan pada Willem kini tidak lagi berupa siluet samar dan gelap yang mirip sebuah karung besar. Si pria tua kurus tengah memegang kedua pasang kaki sedangkan pria tua yang lain tengah bersusah payah mengangkat bagian tubuh.
Dan benda itu adalah seorang manusia!
Sampai benda itu berhasil dibawa ke hadapannya pun, Willem masih tercengang dengan kedua bola mata ambernya yang melebar—tidak bisa melepas pandangannya dari sosok seorang wanita berambut panjang yang tengah diangkut oleh kedua pria tua itu. Sosok si wanita asing yang kembali dibaringkan ke lantai semen pelabuhan nampaknya sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri—entah tertidur atau pingsan.
"Apa ini?" Suara berat Willem terdengar dengan nada mengambang setelah berhasil menampar dirinya sendiri kembali ke kesadaran penuh. Tatapan seriusnya kembali tertuju pada figur dari kedua pria tua. Kedua alisnya bertaut dengan wajah yang biasa nampak stoic kini sedikit dihiasi dengan ekspresi bingung dan tidak percaya akan apa yang tengah dia lihat saat ini.
Willem yakin indera penglihatannya masih berfungsi dengan sangat baik, dia tidak mungkin salah lihat.
"Seorang wanita muda!" Sahut salah satu pria tua itu dengan nada girang—seperti seorang anak yang berhasil menemukan kotak hadiah yang sengaja disembunyikan oleh kedua orang tuanya dalam permainan mencari harta karun di halaman belakang rumah.
"Aku tahu, tapi siapa wanita ini?" Balas Willem cepat—terdengar tidak sabar. Sekali lagi dia lirik sosok si wanita muda—pencahayaan di sudut pelabuhan memang sangat buruk, tidak banyak yang bisa dia amati selain tubuh ramping wanita itu yang dibalut dengan dress berbahan cukup tipis, seperti gaun tidur yang nampak kotor. Noda-noda pasir dan tanah juga bisa ditemukan pada wajah dan di beberapa bagian tubuh yang terekspos—kaki dan tangan milik si wanita.
Kedua pria tua tadi saling berpandangan lalu dengan kompak menggelengkan kepala, "Kami tidak tahu. Kami menemukannya di pantai sore tadi dalam kondisi tidak sadarkan diri." Jawab salah satu dari mereka.
Willem melirik kedua pria tua itu dengan tajam, "Apakah dia sudah mati?"
Buru-buru kedua pria tua itu menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangan untuk mendukung jawaban mereka, "Tidak! Dia belum mati, Tuan, dia masih hidup! Sepertinya dia masih pingsan."
Willem belum memberikan reaksi apa-apa selain melirik wanita itu lagi lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain—dengan sangat dalam dia menghisap filter cerutunya lalu menghembuskan kepulan asap putih dengan sedikit sentakan. "Bagian mana dari 'pastikan benda itu bernilai' yang tidak kalian mengerti?" Tatapannya menajam saat kembali ditujukan kepada dua orang di hadapannya saat ini—membuat kedua pria itu bergidik ngeri dan bungkam seketika.
"Ma-maafkan kami, Tuan Willem tapi," Suara serak si pria tua yang kurus kembali terdengar. Jeda sejenak saat dia berusaha untuk merangkai kata supaya pria bertubuh jangkung dengan rambut spiky di hadapannya itu bisa dibujuk dan dibuat yakin, "Anda bisa menjadikan wanita ini sebagai budak, atau dijual kembali."—alasan tolol! Pria tua itu mengumpat kalimatnya sendiri di dalam hati.
Budak? Dijual kembali?
Willem sama sekali tidak berpikir ataupun bahkan hanya sekedar berencana untuk menggunakan jasa seorang pembantu di rumah karena sama saja dia menambah beban biaya hidup—dan Willem sama sekali tidak rela uangnya dihabiskan untuk hal yang tidak memberi benefit langsung terhadap dirinya. Selama ini dia mampu melakukan perdagangan barang ataupun barter seorang diri, juga mengurus rumah dan taman yang harus selalu nampak rapi.
Merekrut wanita asing itu sebagai budak jelas bukan opsi yang akan dia pilih namun opsi kedua—menjual wanita itu kembali juga tidak bisa dibilang sebagai pilihan terbaik yang akan dia ambil. Dia lalu memejamkan kedua kelopak matanya—merasa lelah dengan transaksi yang tidak memberikan keuntungan besar semacam ini. "Benda bernilai apa lagi yang kalian punya?" Tanya Willem, separuh berkonotasi sarkas dan pertanyaannya hanya dibalas gelengan lemas oleh kedua pria itu itu. Willem akhirnya hanya bisa menghela napas pendek. "Baiklah." Ujung filter cerutunya kembali bertemu dengan bibir—Willem menghisap cerutunya lalu dengan perlahan menghembuskan kepulan asap itu kembali ke udara.
Di saat-saat melelahkan seperti inilah pertolongan dari zat nikotin adalah hal yang sangat dia butuhkan.
"Akan aku bawa wanita ini sebagai tebusan awal kalian. Jangan mengira aku sudah menganggap hutang kalian lunas. 3 hari lagi, aku ingin kalian datang membawa uangnya." Tandas Willem dengan suara berat bernada tegas miliknya yang khas. Ditatapnya kedua wajah tua di hadapannya—nampak separuh lega, separuh lesu. "Sekarang, angkut wanita ini ke atas gerobakku dan tutup dengan terpal yang ada di sana." Titah Willem.
Dengan segera, kedua pria itu melakukan apa yang Willem perintahkan. Mereka angkut tubuh wanita tadi ke atas gerobak kayu yang sering terlihat Willem gunakan untuk mengangkut drum-drum berisi ikan yang Willem beli dari dua pemuda Polandia dan Lithuania di pelabuhan setiap pagi, lalu menutup tubuh wanita itu dengan terpal berwarna gelap.
Willem lalu berjalan mendekati gerobaknya dan berdiri di antara dua kayu panjang sebagai tempat berpegang untuk menarik gerobak itu dari depan. Tubuh wanita tadi sudah sempurna disembunyikan. Sekali lagi, Willem tatap kedua pria tua tadi. "Pastikan hal ini tidak diketahui oleh siapapun." Bisiknya tajam dengan nada mengancam. Setelahnya, dia tarik gerobak itu dan berjalan meninggalkan sudut pelabuhan yang remang.
Kedua pria tua itu akhirnya bisa bernapas lega—walau hanya sejenak.
Resiko berhutang dengan seorang Willem Van Oranje, si pedagang kikir dan pelit, namun keadaan di beberapa waktu lalu lah yang membuat keduanya terpaksa berhutang pada pria itu.
.
.
.
Melalui pintu belakang rumahnya, Willem menyusupkan wanita asing tadi ke dalam rumah. Di atas kedua lengannya, tubuh wanita itu terasa begitu ringan. Kedua bola mata amber miliknya langsung ditujukan pada sosok si wanita asing ketika pencahayaan sudah dengan baik menyorot keduanya.
Ternyata bukan hanya noda pasir dan tanah, tampak ada beberapa bekas luka lecet dan lebam membiru di sekujur tubuh wanita itu—juga sebuah luka yang nampak cukup serius di dahi. Pemandangan itu membuat Willem bertanya-tanya di dalam hati.
Apa yang baru saja menimpa wanita ini?
Tak membuang banyak waktu, Willem lalu kembali berjalan memasuki rumahnya menuju sebuah ruangan tak terpakai di dekat tangga menuju basement—sebuah ruang bawah tanah yang dia gunakan untuk menyimpan semua drum-drum ikan yang sudah dia garami. Dia membuka pintu ruangan tersebut, gelap di dalam sana. Willem lalu mendudukkan wanita tadi di lantai dan setelahnya, dia segera menyalakan lampu. Beberapa kardus yang bertumpuk—sedikit berserakan dan memakan spasi ruangan yang cukup banyak, dengan cepat dia geser. Semua kardus-kardus itu kini berpindah sedikit ke tepi ruangan hingga menyisakan sepetak spasi kosong di tengah ruangan. Merasa cukup, Willem lalu berjalan menuju pintu—melangkahi kaki wanita tadi dan keluar dari ruangan itu.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. Wanita tadi masih belum sadarkan diri hingga sosok jangkung Willem kembali terlihat. Dia kembali berjalan masuk ke dalam ruangan—dengan kembali melangkahi kaki wanita itu sambil membawa gulungan kain tebal yang adalah sebuah kasur lusuh tipis dengan sebuah selimut tebal yang sudah tidak terpakai. Kasur tadi dia bentangkan di atas lantai di tengah ruangan lalu dia lapisi dengan selimut tebal. Setelahnya, Willem mengangkut tubuh si wanita yang lalu dia baringkan kembali ke atas kasur.
Dalam posisinya yang separuh berjongkok, Willem dalam melihat dengan jelas rupa dari wanita yang masih belum sadarkan diri di hadapannya saat ini. Kedua bola mata ambernya bergulir dan memindai setiap inci dari tubuh wanita itu—dari ubun-ubun hingga ke ujung jari kaki.
Wanita ini masih muda dan berparas selayaknya seorang wanita Eropa dengan rambut coklat mahoni panjang yang tergerai. Kulitnya tampak pucat dan saat ujung jemari Willem menyentuh permukaan pipi wanita itu untuk menyeka noda pasir di sana, terasa bahwa kulit wanita ini begitu halus semulus permukaan guci porselen Cina.
Willem diam sejenak dengan posisi tangannya yang masih menyentuh pipi wanita itu.
Wanita ini nampak terawat dengan baik, terlepas dari penampilannya yang kotor seperti sekarang—dengan gaun tidur tipis yang lusuh dan bernoda pasir juga tanah. Luka-luka lecet dan lebam juga memperburuk penampilannya.
Kedua bola mata ambernya lalu tertuju pada luka di dahi wanita itu. Seperti luka akibat benturan dengan sisa bercak darah yang sudah mengering—entah apakah ulah kedua pria tua tadi yang menyebabkan luka itu bertengger di sana.
Willem lalu bangkit dari posisinya, kembali berjalan keluar ruangan dan tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kotak obat dan baskom berisi air juga handuk kecil. Perlahan Willem bersihkan wajah wanita itu dari noda tanah dan pasir, lalu berpindah untuk membersihkan luka di dahinya. Sebuah plaster Willem sematkan di dahi wanita itu untuk menutup luka. Dalam tampilan yang lebih bersih seperti ini, kedua mata Willem dapat dengan mudah menemukan sebuah titik hitam bertengger manis di dagu sebelah kanan wanita itu—sebuah tahi lalat. Di dalam tidurnya, wajah wanita itu tampak tenang.
Secara keseluruhan, wanita ini cantik dan berparas menarik—sebuah ide melintas di dalam benak Willem.
Tentu wanita ini dapat memberinya keuntungan besar bila dia jual ke rumah bordil. Kebetulan yang manis, Willem memiliki seorang kenalan pemilik rumah bordil yang biasa membeli minuman keras darinya—nah, Willem tidak akan menjual wanita ini melainkan menginvestasikannya! Keuntungan bisa dibagi dua, untuk dirinya sendiri dan kenalannya itu, dan uang akan secara kontinyu mengalir ke dalam sakunya.
Ide brilian. Willem tersenyum puas di dalam hati.
Keputusannya kini sudah bulat bahwa setelah wanita ini siuman, dia akan membawanya ke rumah bordil milik kenalannya itu dan langsung melakukan negosiasi kerjasama. Willem lalu mengemasi kotak obat, baskom air beserta handuk yang tadi dia bawa. Dengan sekali gerakan, dia bangkit dari lantai ruangan yang dingin dan membawa semua benda itu keluar dari sana. Untuk memastikan investasinya tetap aman di dalam ruangan, Willem lalu mengunci ruangan itu dari luar sedang dirinya kembali berjalan menuju dapur lalu masuk ke dalam ruangannya sendiri untuk membersihkan diri dan beristirahat.
.
.
To be continued...
