G. Ventisette UnoLemon

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada; Sepira; Nana Sawada

Rated: T

Genre: Drama, Family, Hurt/Comfort

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira Amano


[!]

OOC

Yaoi

•••


- Save Me, Onii-chan! -


Aku akan menghilangkan rasa sakitnya.

Jangan khawatir.

Aku akan selalu melindungimu,

Tsunayoshi...

•••


Aku memang payah. Aku hanya bisa diam dan menerima. Aku tak mampu melawan. Aku hanya bisa menangis...

"Haha! Payah!"

"Rasakan ini!"

"Dasar Dame-Tsuna!"

Aku menangis terduduk di tanah yang berlumpur. Aku tak memedulikan celanaku yang akan kotor nantinya. Di sekelilingku ada beberapa anak yang seusia denganku. Mereka teman sekelasku. Teman yang membenciku.

"Huwaaa! Hentikan!"

Mereka melempariku dengan segala benda kotor yang mereka bawa. Aku tahu mereka telah mempersiapkannya hanya untukku. Satu dari mereka melempariku dengan tanah liat. Satu lainnya melempariku dengan sampah busuk yang mereka pungut dari tong sampah di sekolah. Satu lainnya lagi menyiramku dengan air bekas pel tadi pagi. Ada juga yang menempelkan permen karet pada rambutku.

"Hentikan!"

Kenapa mereka tak mau mendengarkanku? Aku memohon pada mereka.

"Haha! Teruslah berteriak! Kau tidak berguna!"

Aku menangis lebih kencang dari biasanya. Tubuhku tak terluka. Tapi rasa sakit di dada ini sangat amat menyakitkan. Aku tidak tahu perasaan sakit apa ini.

"Huwaaa!"

Padahal aku menangis. Kenapa mereka tak mau berhenti juga?

"Hentikan... Aku mohon..."

Aku menganggap mereka semua teman. Kenapa mereka tidak?

"Ayo kita ceburkan ke sungai!"

Tangan-tangan itu menarikku ke sisi sungai. Namun aku tetap bertahan. Aku takut. Aku tidak bisa berenang. Tolong aku...

"Onii-chan!"

"Diam! Dia tidak akan menolong anak payah macam dirimu!"

Kejam. Kakakku tidak mungkin seperti itu.

"Bohong!"

"Ha? Coba lihat, mana kakakmu? Tidak ada! Dia tak peduli padamu!"

Aku terisak. Kenapa mereka tega mengatakan itu semua padaku? Apa mereka tak menginginkan keberadaanku?

"Lepas!"

Aku terus mempertahankan diri.

"Aku tidak mau! Lepaskan aku!"

Aku harus bagaimana? Jika kakakku benar-benar tak datang, aku...

"Berisik!"

Tubuhku tersungkur. Wajahku mencium tanah kotor. Sakit. Aku mencoba berdiri dan seseorang mendorongku hingga aku terjatuh kembali.

"Kami belum selesai!"

Aku menangis dalam diam. Jika aku mati di sini...

"He... hentikan..."

Aku bangkit dan melangkah. Namun satu dari mereka menendang kakiku hingga aku terjatuh. Aku merasakan perih di lututku. Pasti terluka.

"Ayo kita bereskan!"

Aku tak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan padaku. Aku memejamkan mata. Bau dari tubuhku sangat menusuk hidung. Bau yang sangat menjijikkan.

"Aku duluan!"

Aku hanya bisa menunggu. Tubuhku sudah lemah. Aku tak berdaya. Semakin melawan, mereka malah semakin menyakitiku.

"Hentikan..."

Mungkin suaraku hampir tak terdengar. Tapi aku ingin mereka mendengarnya. Tapi, kenapa hening? Apa yang sedang mereka rencanakan? Perlahan aku membuka mataku. Sosok itu... Dia kakakku!

"Kalian tidak malu menindas orang yang sudah tak berdaya?"

Dia, Ieyasu. Sawada Ieyasu. Kakakku. Dia tengah mencengkeram tangan seorang anak yang tengah menggenggam sebuah batu yang berukuran cukup besar.

"Dia datang!"

Satu per satu dari mereka berhamburan melarikan diri terbirit-birit. TK melawan SD cukup sulit meskipun mereka beramai-ramai. Mata Kakakku menyiratkan sebuah amarah. Hanya dengan satu dorongan, anak itu jatuh. Dia mengaduh dan melarikan diri.

"Onii-chan..."

Air mataku keluar lagi. Dia menyelamatkanku, lagi...

"Tsunayoshi..."

Dia berjongkok di depanku. Dia meraih tubuhku yang lemah dan membawanya ke dalam dekapan hangat. "Maaf, aku terlambat..." bisiknya di telingaku.

Bisikan itu membuatku tenang. Aku menggeleng pelan. "Arigatou." Aku membalas dekapannya dan kembali terisak. Dia tak memedulikan bau tubuhku yang sangat menyengat ini. Dia pemberani. Dia telah melindungiku. Inilah kakakku.

•••

"... -yoshi..."

"... -shi..."

"Tsunayoshi..."

Ieyasu terus memanggil nama adiknya yang tengah terisak dalam tidurnya. Dengan lembut, ibu jarinya mengusap air mata yang mengalir di pipi Tsuna. Ia tahu pasti apa yang sedang Tsuna mimpikan. Pasti kejadian itu.

"Tsunayoshi..." Ieyasu kembali memanggilnya dan mata besar itu terbuka menatapnya. Ieyasu tersenyum dengan pancaran mata yang menyiratkan kecemasan hebat.

"Tsunayoshi, aku ada di sini," kata Ieyasu pelan masih dengan senyuman.

"Onii-chan..." Tsuna terisak kembali. Rasa sakit itu masih berbekas. "Onii-chan, sakit..." Tangan mungilnya meremas erat piyamanya. "Kenapa mereka seperti itu?"

"Sakit?" Ieyasu bisa menerkanya. Rasa sakit hati. Perlahan Ieyasu menarik tubuh kecil adiknya ke dalam dekapan hangatnya. "Aku akan menghilangkan rasa sakitnya. Jangan khawatir. Aku akan selalu melindungimu, Tsunayoshi."

Dekapan hangat dari kakaknya sangat nyaman. Tsuna menikmati balutan hangat sang kakak. "Onii-chan janji?"

"Aku janji."

Tsuna tersenyum gembira. Biarpun hanya satu orang yang ada di sampingnya, itu cukup. "Aku sayang Onii-chan."

"Aku juga." Punggung mungil itu ia elus. "Tidurlah. Besok kita harus sekolah," bisik Ieyasu.

"Aku tidak mau. Aku takut. Dan..." Tsuna terdiam sejenak. "Aku malu," tambahnya pelan.

"Kan ada aku, jadi kau tak perlu cemas, Tsunayoshi," kata Ieyasu berusaha membujuk Tsuna.

"Tapi..." Tsuna mendongak untuk menatap mata kakaknya.

"Tapi...?" Ieyasu menatap lurus wajah adiknya yang merah. "Aku akan mengantarmu sampai kelas." Ia tersenyum lembut.

"Onii-chan..."

"Kau harus berani. Jangan mau kalah dari mereka, ya?" Ieyasu menepuk pelan kepala Tsuna.

Tsuna tahu kakaknya sedang membujuknya. Setiap kata dorongan yang ia berikan selalu memberinya semangat. Tanpa berpikir lagi, Tsuna mengangguk, "Baik!"

"Nah, itu baru Tsunayoshi." Ieyasu mencubit gemas pipi Tsuna. Manis.

Tsuna cemberut. "Onii-chan..."

"Ayo cepat tidur." Ieyasu tersenyum puas. Ia berhasil membujuk sang adik.

"Aku tidak bisa tidur," gumam Tsuna.

"Kalau begitu..." Ieyasu memeluk erat Tsuna. "Aku akan terus memelukmu sampai pagi."

"Eh?" Tsuna mengerjap.

"Tidur," titah Ieyasu.

"Umh..."

"Aku tidak akan tidur sampai kau tidur."

Kalimat itu seperti mantra. Tsuna memejamkan matanya. Senyuman kecil terukir. Kakaknya sampai pindah ke Futon-nya. Pasti kaki kakaknya tak tertutupi. Dia kan tinggi. "Oyasumi, Onii-chan," kata Tsuna pelan.

"Oyasumi."

Kejadian hari itu takkan pernah ia lupakan. Ieyasu takkan membiarkan adiknya diperlakukan semena-mena oleh mereka yang tak tahu apa pun tentang Tsunayoshi, bahkan dirinya.

•••

Aku melangkah dengan tenang menuju sebuah TK. Di mana adikku Tsunayoshi, Sawada Tsunayoshi, bersekolah. Seperti biasa, setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjemput adikku di sana. Itu sudah menjadi kewajibanku. Aku tak mau merepotkan ibuku yang sudah sibuk dengan urusan rumah tangganya.

Ketika sampai, aku disambut oleh salah satu guru di sana. Seseorang yang cukup kukenal. Sepira.

"Ah, Ieyasu. Menjemput Tsunayoshi, kan?" kata Sepira ramah.

Aku mengangguk. "Iya. Biasanya dia bersama Anda untuk menungguku." Aku tidak melihat Tsunayoshi bersama Sepira.

"Sayang sekali. Hari ini Tsunayoshi pulang bersama teman-temannya. Dia kelihatan senang sekali."

Teman? "Begitu ya. Terima kasih. Kalau begitu aku harus segera pergi."

"Iya, hati-hati." Sepira melambaikan tangannya padaku.

Aku pun kembali melangkah. Perasaanku tidak enak. Setahuku Tsuna tak memiliki banyak teman. Dia tipe yang suka menghindar. Karena itulah temannya bisa dihitung dengan jari. Jika yang Sepira katakan benar, mungkin sekarang Tsuna sudah bisa bergaul.

Aku bergegas pulang. Langkahku setengah berlari. Aku ingin cepat-cepat sampai. Aku ingin melihat wajah adikku yang bulat itu dipenuhi senyuman. Dia adikku yang sangat manis. Jujur, dia lebih manis dari anak perempuan. Setiap aku membahasnya, wajahnya yang cemberut membuatku ingin selalu menggigitnya. Uh, aku beruntung sekali.

Samar-samar kudengar suara tangisan anak kecil ketika aku mencapai sungai. Di depan sana ada sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat sungai besar Namimori. Aku penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Suara riuh ejekan anak-anak itu membuatku tak tenang. Mereka sedang mem-bully anak seusianya?

Kakiku telah mencapai jembatan. Aku mengedarkan pandanganku ke arah bawah jembatan. Ada delapan orang anak tengah mengelilingi seorang anak yang tak berdaya. Tunggu... Suara ini... Rambut cokelatnya... Dia Tsunayoshi...

Tidak salah lagi. Aku mengepalkan tanganku erat. Amarah menguasaiku. Aku menggertakan gigiku dan berlari ke arah mereka. Apa-apaan mereka? Kenapa mereka tega melakukan hal itu pada adiknya? Apa karena selama ini dia selalu diam dan mereka bisa berbuat semena-mena terhadapnya? Tidak bisa kumaafkan.

Tubuh kecil yang tak berdaya itu membuat hatiku pilu saat melihatnya. Selama ini aku terus merawatnya sebagai seorang kakak. Sedang mereka yang orang lain, tak tahu apa pun, bisa berbuat hal buruk seperti ini.

Saat satu dari mereka akan melempar sebuah batu ke arah kepala Tsunayoshi, aku mencegahnya. Tangan itu kucengkeram dengan sangat erat. Kuberi mereka tatapan menusuk.

"Kalian tidak malu menindas orang yang sudah tak berdaya?"

Getaran tubuh itu sangat terasa. Dia ketakutan. Selain tubuhku yang jauh lebih besar darinya, aku pun memiliki keberanian yang lebih tinggi darinya. Aku tak takut. Karena aku benar.

"Dia datang!"

Seru dari mereka dan berlari terbirit-birit. Tubuh mereka memang lebih besar dari Tsunayoshi. Tetapi tidak lebih besar dariku.

"Pergi," kataku dengan nada dingin. Tak hanya itu. Aku mendorong tubuhnya. Membiarkannya terjatuh dan melarikan diri.

"Onii-chan..."

Suaranya sangat menyayat hati. Aku mendekap tubuh kecilnya. Tak peduli dengan bau tubuhnya yang menyengat. Dia adikku. "Maaf, aku terlambat," bisikku di telinganya.

Aku terus mendekapnya. Membiarkannya terisak dalam dekapanku yang penuh penjagaan. Aku bersumpah takkan membiarkan hal ini terulang lagi.

"Aku akan melindungimu, Tsunayoshi."

Syukurlah Tsunayoshi tak mendapat luka berat. Tapi, rasa takut itu akan semakin besar. Aku takkan membiarkan adikku semakin terpuruk.

"Tsunayoshi." Aku membuat jarak dengannya. Kubelai wajahnya lembut. "Jangan menangis," kataku.

Dia mengangguk. Air mata yang meleleh itu kuhapus dengan ibu jariku. "Mana yang sakit, Tsunayoshi?"

"Ini." Dia menunjuk lututnya yang berdarah. Astaga. Mereka sangat keterlaluan pada adiknya yang tak bersalah ini.

"Tunggu sebentar." Aku tak membawa saputangan. Aku menggendong Tsunayoshi ke arah tangga. Sebuah tangga yang menjadi jalan untuk menuruni sungai yang berada di bawah jalan utama. Aku mendudukkannya di anak tangga pertama dari bawah.

"Aku akan membersihkan lukamu dulu sebelum kita pulang." Dia mengangguk pelan. Dia memang adik yang penurut.

"Kaa-san akan marah padaku?"

Dia takut ibu marah. Aku tersenyum tipis dan menepuk pelan kepalanya. "Tidak akan." Kukeluarkan sebuah botol minuman dari dalam tasku. Kaos bagian bawah kutarik dan kubasahi dengan air dari botol tadi. "Tahan, ya?" Apa boleh buat. Aku hanya bisa menggunakan pakaianku sendiri.

Aku berjongkok di depannya. Perlahan, aku membersihkan luka Tsunayoshi di lututnya. Lukanya tertutup lumpur. Aku tahu Tsunayoshi menahan rasa sakitnya mati-matian. Dia terisak lagi. Aku berusaha agar rasa perihnya tak terlalu Tsuna rasakan . Lumpur terangkat, begitu pula dengan kulit bagian luarnya. Darah segar dan nanah mulai keluar.

"O, onii-chan..."

"Sebentar lagi."

Setelah itu aku menjilati lutut Tsunayoshi yang terluka itu. Air ludah bisa menghentikan pendarahan kecil. "Selesai." Aku tersenyum puas.

Kemudian aku menyingkirkan sampah-sampah yang melekat di pakaiannya dengan tanganku. Menyapunya perlahan. Setidaknya pakaian itu tak ditempeli sampah. Aku berdecak kesal saat melihat ada permen karet di rambutnya. Harus dipotong.

"Sisanya Kaa-san yang akan memotongnya." Aku hanya menyingkirkan bagian besar dari permen karet itu.

Jika aku bertemu dengan mereka lagi, akan kubawa mereka ke gang sepi dan membalas semua perbuatan mereka.

"Arigatou, Onii-chan!"

Dia tersenyum kembali. Suara cerianya membuatku tenang. Botol minuman itu kumasukkan kembali ke dalam tas. "Kita pulang."

"Um!"

Kenapa dia menatapku seperti itu?

"Baju Onii-chan," tunjuknya.

Aku melirik kaosku. Ah, kotor dan ada noda darahnya. "Tidak apa-apa. Nanti juga bersih lagi. Sekarang kita pulang. Sini, kugendong sampai rumah."

"Iya!"

Tas ransel yang kugendong, kupindahkan ke depan. Aku mengambil tas Tsunayoshi dan menyelendangkannya di bahuku sendiri. Aku berjongkok membelakangi Tsunayoshi hingga dia naik ke punggungku.

"Ada yang kau inginkan, Tsunayoshi?" tanyaku seraya menaiki tangga untuk menuju ke atas jalan utama.

"Aku ingin es krim!"

"Baiklah, kita beli es krim," kataku dengan anggukan.

"Asyik! Dua, ya?" pintanya.

"Apa? Tidak akan kekenyangan?"

"Pokoknya dua!"

"Iya, iya."

Baguslah. Tsunayoshi benar-benar sudah ceria kembali. Aku senang.

•••

Dengan cerianya Tsuna memainkan kedua kakinya seraya menikmati sebuah es krim yang kakaknya belikan. Mengangkat kakinya bergantian seperti menendang-nendang udara yang kosong. Di sampingnya, Ieyasu pun tengah menikmati es krim. Mereka tengah duduk di teras belakang rumah. Menikmati udara sore di musim panas.

Dari belakang, Nana memerhatikan kedua putranya. Tsuna beruntung memiliki kakak macam Ieyasu yang peduli dan perhatian penuh padanya. Nana tersenyum tipis. Momen ini takkan ia lewatkan. Ia mengabadikannya dalam sebuah foto. Tentu tanpa sepengetahuan mereka.

Kejadian ini mengingatkannya kembali. Dulu Ieyasu pun hampir mengalaminya. Karena Dia berbeda. Dia lebih berparas Eropa daripada Asia. Namun dia bisa mengatasinya sendiri dan mereka bisa menerimanya. Sedang Tsuna, sangat jauh berbeda.

"Habis." Tsuna menatap stik es krimnya dan beralih pada es krim kakaknya yang masih ada. "Onii-chan." Ia menatap kakaknya dengan mata bulat besar yang sangat menggemaskan.

Ieyasu menoleh dan menemukan mata besar yang tertuju pada es krimnya. "Apa?" Tsuna pasti menginginkan es krimnya.

"Minta..." kata Tsuna polos.

Tepat sasaran. "Kan kau sudah menghabiskan dua es krim, Tsunayoshi."

"Tapi aku mau yang punya Onii-chan," kata Tsuna kukuh.

"Jangan terlalu..." Ieyasu tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tertegun melihat wajah sang adik. Cobaan macam apa ini?!

Tsuna memotongnya dengan tatapan yang sangat memelas nan menggemaskan. "Onii-chan..."

"Umh..." Ieyasu menatap es krimnya yang meleleh dan Tsuna bergantian. Ia menghela napas. "Baiklah." Ia mengalah.

"Yeah!" Tsuna bersorak dan cepat-cepat duduk di pangkuan Ieyasu dengan posisi menghadapnya. Lidah kecilnya langsung menjilati es krim yang ada di tangan kakaknya.

"Tsu, Tsunayoshi..." Wajah menggemaskan itu terlalu dekat. Rona tipis muncul di wajah Ieyasu. Tubuhnya tak bisa bergerak. Tiba-tiba kaku begitu saja.

"Ara." Nana tertawa geli melihat tingkah Tsuna. Ia ikut bergabung dengan membawa sebuah nampan yang berisi tiga mangkuk kecil es serut dengan berbagai rasa. Stroberi, jeruk, dan apel.

"Kaa-san..." Ieyasu meminta tolong pada ibunya. Namun Nana membiarkannya. Itu sangat manis menurutnya. "Tahan, ya?" Nana memotret mereka dengan kamera kecilnya.

"Kaa-san..." protes Ieyasu pelan.

"Umh, es krim punya Onii-chan lebih enak."

"Ha?" dahi Ieyasu berkerut samar.

"Enak!" Tsuna tersenyum gembira.

Ieyasu menatap stik es krim yang bersih itu. Ia mengangkat sebelah alisnya, "Enak?" Padahal sama saja.

"Tsuna, ayo suapi kakakmu," titah Nana dengan kamera yang siap membidik aksi si kecil Tsuna.

"Baik!" seru Tsuna.

"Kaa-san..." Ibunya sama sekali tak mendengarkannya. Padahal ia kurang suka difoto.

"Onii-chan." Tsuna menyodorkan sesendok es serut rasa jeruk di depan mulut Ieyasu. "Aaa..." Ia membuka mulutnya bulat-bulat.

Ieyasu tak bisa menahannya. Adiknya terlalu menggemaskan. Tepatnya ia tak bisa menolak keinginan Tsuna. "Hanya kali ini saja." Ia melahap es serut itu dengan wajah bersemu. Dingin dan segar.

Nana sudah mengambil banyak foto dari satu momen yang jarang itu.

"Aku juga mau!" Tsuna antusias dengan acara suap-menyuapi es serut ini. "Kaa-san juga ya!"

"Iya, iya."

Pada akhirnya Tsuna bisa sedikit melupakan kejadian yang menyakitkan itu. Bersama keluarga kecil inilah kebahagiaan itu berada. Album kenangan pun tercipta di sore hari yang cukup panas ini.

"Wah, wajah Onii-chan merah!" Tunjuk jari mungil Tsuna pada sebuah foto.

"Itu karena pantulan cahaya matahari," elak Ieyasu.

"Lalu ini apa?" Tsuna menunjuk foto lainnya.

Ieyasu tak berkutik. Ia menggerutu dalam hati.

"Onii-chan?"

Ieyasu menyipitkan matanya pada foto yang ditunjuk si jari mungil itu.

Nana terkikik pelan melihat air muka putra sulungnya yang jarang terlihat itu. Tsuna memang hebat. Bisa membuat kakaknya menunjukkan hal yang tak pernah ia perlihatkan.

"Nah, lihat siapa ini?" Ieyasu membalasnya. "Lihat, manis sekali," tunjuk Ieyasu pada sebuah foto Tsuna yang berwajah merah seperti tomat.

Wajah Tsuna memerah. Ia cemberut, "Itu... Itu kepanasan!"

"Masa? Kau sudah makan dua es krim dan dua mangkuk es serut. Masa masih panas?" kata Ieyasu memojokkan Tsuna.

"Pokoknya aku tidak manis!" pekik Tsuna.

"Iya, iya..." Ieyasu menang dan tertawa dengan senangnya.

•••

-TBC-


Thanks for reading minna-san!

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]