A/N: Karena banyak yang minta fanfic ini dilanjutkan maka saya re-publish di akun ini. Akun Crimson Fruit tidak bisa dibuka lagi ;_; lupa passwordnya.

Fanfic Abal Re-Publish!

Naruto by Masashi Kishimoto

Warning: OOC, Gaje, dll

EsCream presenting:

We Need A Girl

.

.

.

Chapter 1: AKATSUKI'S MISSION

Hinata Hyuuga.

Seperti biasa, kunoichi cantik itu akan menampakkan diri di lapangan tempat tim 7 berlatih. Ia akan bersembunyi di balik pohon saat orang itu datang, lalu memperhatikannya sampai orang itu pulang. Ia tidak peduli orang itu menyadari keberadaannya atau tidak. Ia sudah puas hanya dengan bisa melihat orang tersebut.

Naruto Uzumaki seharusnya beruntung karena memiliki penggemar manis seperti Hinata. Sayangnya, pria itu tidak pernah menyadari perasaan gadis itu. Pandangannya tertutup oleh sesosok gadis tsundere berambut pink pujaannya. Sakura Haruno, telah menghalangi usaha seorang Hyuuga Hinata untuk mendekati pria yang telah dicintainya selama enam belas tahun.

Hal itu adalah kesimpulan awal. Semenjak insiden itu, Hinata tau, kalau sebenarnya Sakura tidaklah salah. Ia yang salah. Ia salah dengan mencintai seorang pria yang salah. Naruto tidak mencintainya. Dan hal itu adalah satu kesalahan besar dalam hidup kunoichi Hyuuga yang satu ini.

Sekarang, Hinata datang tidak lagi untuk Naruto.

Gadis itu duduk di bawah pohon. Menunggu seseorang yang ia temui kemarin malam. Orang itu berjanji padanya akan datang. Entah kapan, yang pasti hari ini. Hinata percaya pada pria itu. Pria yang bahkan wajahnya tak ia ketahui karena tertutup oleh topeng.

Waktu masih menunjukkan ciri-ciri pagi hari. Sinar matahari masih bersahabat. Hinata duduk ditemani sekotak bento. Biasanya itu untuk Naruto. Namun mulai hari ini, Naruto tidak pantas lagi mendapatkan bento dari gadis manis itu. Telah ada pemilik lain dari bento itu. Dan orang itu ...

"Hinata-chan!" seru seseorang dari semak-semak di samping Hinata. Hinata menoleh dan tersenyum. Ia mendapati seorang pria dengan topeng bewarna orange menutupi wajahnya. Pria itu keluar dari semak-semak dan langsung disambut ceria oleh Hinata. "Kau datang."

Mereka berdua pindah lokasi. Hinata duduk di bangku yang terbuat dari batang pohon yang sudah ditebang sementara pria dengan topeng aneh itu duduk di bawahnya seperti seorang anak kecil. "Aku bawakan bento yang kau minta, Tobi-kun." Hinata tersenyum manis padanya.

"Arigatou, nee-chan~!" Pria itu lantas bangkit, mencium pipi kanan Hinata tanpa izin dan mengambil kotak bento itu dari pangkuan Hinata. Hinata keheranan dengan wajahnya yang memerah. Ia merasa kalau pria di hadapannya masih mengenakan topeng namun ia yakin kalau sesuatu yang basah dan lembut-lah yang menyentuh permukaan pipinya tadi.

"Ka-kau melepas topengmu?" tanyanya kemudian. Matanya tak lepas memandang pria yang tengah menyantap bento-nya dengan lahap itu.

"Hm? Kenapa?" Pria itu bertanya balik. Wajahnya mendongak demi memandang wajah manis Hinata yang masih memerah. Tanpa disadari oleh Hinata, pria itu menarik salah satu ujung bibirnya. Wajah Hinata selalu sukses membuatnya tersenyum.

"Ba-bagaimana cara kau makan? Atau me-menciumku tadi? A-Apa kau melepas topengmu?"

Hinata mendadak gugup setengah mati. Rasanya Tobi memandangnya terlalu intens dari balik topeng oranye aneh itu. Ia mulai memainkan jarinya. Kepalanya menunduk, membuatnya terlihat seperti seorang gadis yang sedang menyatakan cinta pada pria pujaannya.

"Kekeke," sekonyong-konyong pria di hadapannya terkekeh kecil, "tentu saja aku membuka topengku."

"Oh." Hinata sedikit terkejut. Ia mulai berpikir tentang wajah di balik topeng itu. Kemarin malam mereka bertemu, di kegelapan, saat Hinata sedang patah hati. Mereka tidak melakukan apa-apa, hanya berbincang sedikit. Hinata tidak sempat berpikir tentang bagaimana wajah asli lawan bicaranya. Ia hanya berharap bisa bicara lebih banyak dengan pria bernama Tobi itu.

"Apa kau-" Hinata berusaha bicara lagi, namun Tobi memotong ucapannya. Pria itu berdiri, tersenyum. "Bento-mu enak, Hinata-nee-chan," ucapnya. Ia lalu menepuk-nepuk bagian belakang jubahnya yang sedikit kotor karena ia duduki tadi. Hinata duduk memperhatikan. Sedikit curiga kalau pria itu akan meninggalkannya.

Dan, benar saja. "Aku pulang dulu." Ia berbalik, bersiap pergi. Lalu ia menoleh, "Terimakasih sarapannya."

"Apa?" Hinata ikut berdiri. Tanpa sadar jemarinya menarik baju kaos yang dipakai Tobi. Beberapa detik kemudian ia tersadar dan langsung menunduk. Jari-jarinya ia tautkan kembali. "Ma-maaf."

"Memangnya kenapa?"

"Kau akan pergi?" tanya Hinata. Kepalanya mendongak tiba-tiba. Tobi mengangguk. "Ya. Aku harus kembali."

Hinata belum menyerah. Ia butuh teman. "Ke mana? Kita baru saja bertemu ..."

"Ke ... Markas. Aku ada rapat. Maafkan aku, nee-chan!" Tobi segera melesat pergi. Hinata tidak lagi mengejar. Tobi punya kehidupan sendiri, pikirnya. Gadis itu pun membereskan kotak bento-nya. Ia tersenyum mengingat apa yang telah Tobi perbuat padanya tadi.

Siang menjelang. Hinata memutuskan untuk pulang. Memang, pertemuan tadi itu singkat. Tapi ia merasa sangat senang bisa berbicara lagi dengan pria bertopeng itu. Ia berharap besok, besok, dan besoknya lagi, Tobi akan tetap menjadi teman bicaranya.

.

.

.

.

"Cih, lama sekali anak itu, un!" Pria berambut kuning itu melepas topinya. Kemudian melemparkannya ke belakang seolah topi itu hanyalah sebuah sampah yang tidak berguna. Ia lantas memutuskan untuk duduk di tanah. Sudah cukup lama ia berdiri untuk menunggu orang itu. Menunggu memang tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan baginya.

Nama pria itu Deidara. Ia sedang ditugaskan ketua geng-nya dalam sebuah misi bersama partner sehidup semati-nya. Saat ini partnernya itu sedang menjalankan tugas. Pria berambut kuning itu yakin partner idiot-nya masih bisa menjalankan misi seorang diri. Namun tak disangkanya hal itu akan membutuhkan waktu yang lama. Ia menggerutu kembali. "Dasar sialan!"

Dengan gusar Deidara menegakkan tubuhnya. Ia akan pulang ke markas jika saja suara partner-nya itu tidak mengusiknya.

"Deidara-senpai~!" Suara itu terdengar dari balik punggung Deidara. Sebuah tangan besar menepuk pundaknya dengan cukup keras. Hal itu tentu saja membuat sang pemilik marah dan berteriak keras-keras pada pria ceria bertopeng yang merupakan partner-nya itu.

"KAU INI LAMA SEKALI, BOCAH!"

Satu jitakan keras mengenai kepala berambut spike milik Tobi. Pria itu hanya ber-aduh ria sebagai balasan. Deidara menatapnya kesal. Ia menarik topi milik Tobi dan memakaikannya di kepalanya sendiri.

"A-apa yang kau lakukan, senpai~?" Tobi memegangi kepalanya yang terasa sakit. Ia pasrah saja saat partner-nya itu tidak menjawab melainkan pergi meninggalkannya dengan berjalan jauh di depannya. Sambil berteriak kecil, pria itu berlari menyusul partnernya dan meminta agar topinya dikembalikan.

"Se-senpai, apa kau marah padaku?" Tobi yang berhasil menyusul langsung bertanya dengan cemas. Namun Deidara tetap tidak mau menyahut. Karena benar-benar penasaran, Tobi berusaha menarik perhatian Deidara dengan menarik topinya dari kepalanya. Spontan, Deidara menjerit dan berlari mengejar Tobi.

"Kembalikan topiku, Tobi busuk!" seru Deidara marah. Tobi menyahut santai. "Aku tau kau sayang pada rambutmu, senpai. Tapi aku juga butuh perhatian. Berikan aku jawaban, apa kau marah padaku?"

Deidara tidak tau harus apa, tapi ia merasa sangat kesal menghadapai ke-idiot-an partnernya. Akhirnya ia berteriak sekencang-kencangnya. "TENTU SAJA BOCAH! KAU SUDAH GAGALKAN MISI INI, UN!"

Tobi tidak mengerti. Tapi ia berterimakasih pada senpai-nya karena sudah mau menjawab. Saat ia mengembalikan topi yang sebenarnya miliknya itu, Deidara kembali menghadiahinya dengan sebuah jitakan keras.

"Wadaww!"

"Bocah! Kau ini benar-benar bodoh, un," ucap Deidara saat hampir berhasil mengontrol emosinya, "Pein menyuruh kita membawa pulang seorang gadis, un. Tapi tidak ada seorangpun gadis yang mengikutmu saat kau kembali tadi. Kau idiot! Pasti tidak ada gadis yang mau denganmu, un. Seharusnya aku saja yang bertugas. Sialan!"

"Senpai, jangan remehkan aku!" Tobi berusaha membela diri. Ia menatap Deidara dengan serius. Mulutnya berkoar, mulai bercerita.

"Aku kenal seorang gadis. Ia sangat manis. Ia juga pandai memasak. Bento-nya sangat enak. Aku tidak ingin membawa gadis itu ke markas. Aku takut kalian akan jatuh cinta padanya."

"Huh?" Deidara mendengarkan; setengah tidak percaya.

"Namanya Hyuuga Hinata. Kemarin ia menangis. Jadi aku memeluknya dan ia tidak keberatan. Aku tidak tau apakah ia tau bahwa aku ini anggota Akatsuki atau bukan. Ia tidak terlihat takut padaku, berarti ia belum tau. Tadi pagi aku menepati janjiku untuk menemuinya. Ia sangat baik, itu membuatku tak tega untuk membawanya ke Akatsuki."

"Sial kau, un. Jangan menikmati sesuatu seorang diri! Kau harus bawa dia ke sini, sekarang!" perintah Deidara. Tobi menggeleng. Jelas saja pria itu akan menolak untuk membagi Hinata-nya dengan orang lain. Untuk Deidara saja ia tidak sudi, apalagi untuk Akatsuki.

"Tidak mau. Hinata hanya milikku. Kalau untuk Akatsuki, aku akan carikan gadis lain!"

"Tidak boleh begitu!"

"Tentu saja boleh! Siapa bilang tidak!"

"Aku! Akan kuadukan ke Pein kalau kau tidak mau menunjukkan tempat tinggal gadis itu padaku, un."

"Jangan! Kumohon, senpai, mengertilah. Kau sendiri pasti tidak mau membagi gadismu pada orang lain, kan?"

"Aku mau, un."

"Benarkah?"

"Tunjukkan sekarang, Tobi, un ..." ucap Deidara dengan geram. Akhirnya hati Tobi luluh.

Lalu dengan berat hati, Tobi menuntun Deidara ke rumah Hyuuga. Mereka kembali ke Konoha dan akan pulang jika Hinata sudah berada dalam genggaman mereka.

'Maafkan Tobi, nee-chan. Kau harus pulang dengan kami.'

.

.

.

Konoha semakin ramai seiring dengan berjalannya waktu. Hinata tidak langsung pulang ke kediamannya. Ia memutuskan untuk berkeliling di pasar Konoha yang akan tutup sebentar lagi. Gadis itu berusaha untuk menemukan barang yang dicarinya dalam waktu singkat.

"Semoga toko ikan belum tutup. Aku harus segera ke sana," gumam Hinata. Ia melompati atap-atap pasar demi mencapai tempat yang ditujunya dengan lebih cepat. Saat mencapai toko ikan, ia harus menerima kekecewaan karena toko tersebut baru saja tutup.

"Apa tidak bisa buka sebentar lagi, Paman?" Hinata berusaha menawar pada sang pemilik toko. Namun ia tetap gagal. "Maaf, Nak. Kembalilah besok. Istri saya sedang sakit parah, saya harus segera kembali ke rumah."

Selesai mengatakan itu, bapak pemilik toko pun pergi meninggalkan Hinata sendirian. Gadis itu tertelan keramaian. Beberapa saat kemudian ia sudah tidak tampak lagi di antara lautan manusia tersebut. Hinata pulang, dengan kotak bento yang isinya tinggal setengah.

"Seharusnya aku datang lebih cepat ... Ah, sudahlah, kasihan pemilik toko itu dan istrinya," ucapnya pada diri sendiri. Ia sedang dalam perjalanan menuju rumahnya yang nyaman dan terlindung dari terik matahari. Hari ini udara cukup panas. Jaket tebalnya lumayan menambah kegerahannya.

"Apa kubuka saja?" Gadis itu bergumam kecil. Sesaat kemudian ia menggeleng dengan wajah memerah. "Sebaiknya tidak usah."

Hinata melompat lebih cepat. Rasanya ada orang yang tengah mengikutinya. Sedikit rasa takut mulai menyelimutinya. Ia hampir mencapai rumah, dan ia akan aman. Namun ia merasa orang itu belum berhenti juga. Pikitan Hinata mulai kacau, ia berkeringat dingin.

'To-tolong aku ...'

Sedetik setelah ia mengucapkan hal itu dalam hati, ia merasa seseorang memeluknya dari belakang. Gadis itu refleks berteriak.

"AAAAAA!"

Brugh.

"Ne-nee-chan?"

.

.

.

Deidara dan Tobi berjongkok mengelilingi tubuh seorang gadis yang terbaring kaku di atas atap. Mereka tidak tau apa yang harus mereka lakukan. Deidara tak berhenti memandangi gadis itu. Rasanya baru sekali ini ia melihat gadis secantik itu. Sementara Tobi terlihat gugup, ia lah yang membuat gadis itu pingsan!

"Tobi, seleramu benar-benar bagus, un. Aku yakin anggota Akatsuki yang lain akan senang dengan kedatangan gadis ini," tukas Deidara takjub. Ia mulai berani menyentuh Hinata sekarang. Tangannya ia ulur untuk menyentuh pipi Hinata yang chubby. Tobi melihatnya dan cepat-cepat disingkirkannya tangan Deidara.

"Jangan sentuh nee-chan!" serunya. Deidara tersenyum meremehkan. "Kenapa, un? Kau cemburu?"

Tobi mengeryitkan kening. Sesaat kemudian ia menghiraukan Deidara dan memutuskan untuk mengangkat tubuh Hinata ke atas pundaknya. Deidara diam memperhatikan. Ia kira ini sudah waktunya untuk gadis itu untuk di bawa ke markas mereka.

"Kita bawa dia sekarang, un?" tanya Deidara. Tobi mengangguk ragu. Ia membalikkan badannya dan bersiap untuk pergi. Dalam hatinya, sekali lagi ia mengutarakan maaf.

Maaf sudah menculikmu, Nee-chan. Maaf aku harus membawamu ke Akatsuki.

.

.

.

"Di mana Hinata?" Hyuuga Neji berjalan mengelilingi mansion-nya sambil terus menanyai para pelayannya. Sekarang waktu sudah menujukkan pukul dua siang dan Hinata masih belum pulang. Biasanya gadis itu sudah tiba di rumah sebelum jam satu. Neji tentu saja khawatir akan keterlambatan ini.

"Kami tidak melihatnya, Neji-sama." Semua jawaban dari pelayan rumah Hyuuga terdengar sama di telinga Neji. Pria itu tidak tahan lagi dan berusaha untuk mencari sendiri di luar. Ia akan pergi bertanya pada Shino dan Kiba. Kalau perlu, pada Naruto.

Di luar terik. Namun Neji tidak mau berhenti mencari adik sepupunya. Ia bisa dibantai Hyuuga Hiashi kalau sampai Hinata tidak menampakkan diri di acara makan malam. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, Neji mengorbankan sedikit waktu dan tenaganya demi mencari gadis itu.

.

.

.

.

Pukul tiga sore. Deidara dan Tobi akhirnya tiba di markas mereka. Kisame yang menyambut. Kebetulan pria itu sedang kurang kerjaan sehingga bisa menjadi sasaran empuk untuk membantu mereka membawa barang-barang bawaan mereka berupa tas seberat lima kilo.

"Sialan! Biarkan saja aku membawa gadis itu!" Permintaan Kisame diabaikan. Deidara dan Tobi melenggang masuk ke dalam markas. Sesampainya di sana, Tobi menidurkan tubuh Hinata di atas sofa dan Deidara merapikan kakinya. Kegiatan itu disaksikan oleh Sasori yang berdiri tak jauh dari sana.

"Siapa? Perempuan yang diminta Pein?" tanyanya memastikan. Deidara mengangguk mantap. "Ya, un. Cantik bukan?" ucapnya pamer. Padahal gadis itu bukan miliknya. Sasori memutar bola matanya dengan bosan.

"Terserahlah." Ia berjalan masuk ke dalam kamar, tidak peduli. Deidara langsung mencibirnya. "Dasar sok cool, un!"

Kepala Sasori muncul dari balik pintu. "Apa katamu, Pirang?"

"Tidak. Tidak ada," jawab Deidara ketus. Ia ikut-ikutan masuk ke dalam kamar. Kini tinggallah Tobi dan Hinata di ruang tengah. Sasori sudah masuk sepenuhnya dalam kamarnya.

"Ughh, apa yang harus kulakukan?" pikirnya. Kembali keringat dingin mengucur. Ia pun lari ke dapur. Sekedar mengambil minum untuk menenangkan dirinya sendiri.

Sekarang di ruang tengah hanya ada Hinata. Gadis itu masih pingsan; kaget akibat insiden tadi. Tobi tiba-tiba memeluknya dari belakang saat ia sedang merasa amat takut. Namun sebenarnya gadis itu tidak tau siapa yang memeluknya tadi. Tobi gugup karena ia kira Hinata pingsan akibat perbuatannya.

Beberapa detik dilalui Hinata di ruang pengap itu. Tidak ada AC, tidak ada kipas angin. Sedikit banyak Hinata mulai berkeringat. Berterimakasihlah pada jaket Hinata. Jaket itu tidak akan pernah tembus pandang meskipun terkena banyak air. Hinata akan tinggal sendiri di markas ini. Ia akan tinggal sendiri sebagai seorang wanita.

Berbahaya? Oh, tentu saja.

Pein menginginkan seorang gadis dalam markasnya. Konan-nya telah pergi. Tidak akan ada lagi perempuan yang akan mengurusi markas itu kalau ia pergi. Karena itulah Hinata ada di sini. Sebenarnya ini hanya nasib buruk Hinata saja. Ia lah yang terpilih untuk tinggal di markas serba kekurangan ini. Semoga dengan ada dirinya, markas ini bisa menjadi lebih baik.

Dan semoga, dengan ada dirinya, para lelaki di sini tidak akan menjadi perjaka tua.

To Be Continued