.

Castle Combe, 29 November 1912.

Derai tangisan dari langit berupa butiran-butiran putih selemput kapas membasahi bumi sedikit demi sedikit tak lagi menampakan eksistensi ditengah dinginnya cuaca bulan november. Awan-awan hitam kelabu berarak membingkai semesta alam menambah suasana sunyi yang terjalin ditengah semilir angin dingin menggugurkan kapas-kapas kecil sehingga membentuk laksana permadani putih di atas tanah. Selama lebih dari sembilan belas hari kota dipenuhi bangunan-bangunan aktristik itu seakan beku akibat guyuran salju. Walau hujan lebat tak lagi mendera, suhu yang mencapai titik terendah minus tiga derajat tak menyurutkan hingar bingar keramaian yang terjalin pada pusat desa kecil di Wiltshire, Inggris. Sebuah desa kecil wilayah Somerset yang terletak di bagian barat daya Inggris, sekitar 156 km di sebelah barat London dan 21 km di sebelah tenggara Bristol yang lokasinya dekat dengan desa Grittleton, Ford, Nettleton, Tiddleywink, dan kota Chippenham.

Pedesaan kecil jauh dari pusat jantung kota britania raya itu dipenuhi keramaian orang-orang berlalu lalang silih berganti memadati kawasan pertokoan padat penduduk. Bangunan-bangunan arsitektur Georgia menjulang tinggi, terstruktur dari ciri bangunan yang menandai area atau alun-alun pasar di desa tersebut merupakan ciri khas tradisi pada awal abad pertengahan di Inggris Raya, kental akan nuansa historik dengan dinding-dinding bebatuan, atap genteng berwarna coklat terang tersusun rapi pada setiap sisi atap berbentuk prisma. Walau hawa dingin masih menyelimuti hingga terasa menusuk setiap belulang para pejalan kaki melintasi trotoar jalan, seorang lelaki tua dengan tongkat jati pada tangan kanan melanggang secara perlahan, memijakan kaki diselimuti sepatu pantovel coklat pada trotoar jalan.

Derap langkah kaki pria tua tersebut sangat pelan, berusaha keras menyeimbangkan tubuh disetiap pergerakannya kala melangkahkan kaki. Hujan salju yang menguyur nampak bukan sebuah kendala, keterbatasan diri karena usia juga tak dia jadikan sebagai penghalang, kakek tua itu tetap melangkah, menikmati salju-salju menari dengan gemulai diudara. Mendengar riuh telapak sepatu kuda dari kereta-kereta mewah dikendarai sang kusir seakan alunan melodi kehidupan yang indah. Senyum tipis terukir dengan bahagia diwajah renta penuh garis-garis tanda kematangan hidup. Kakek itu merasa sangat bersyukur ditengah kesendirian menjalani hari dimasa tua, dia masih bisa menikmati semangat kehidupan dari orang-orang bermukim didesa kecil ini.

Berjalan selama hampir lima belas menit menyusuri trotoar ditemani guyuran hujan salju, kakek tua itu pun sampai pada sebuah tempat bergaya bangunan kuno atristik, memiliki jendela-jendela kaca tertutupi gorden putih dengan sinar kekuningan dari lampu kuning yang berpendar keseluruh ruangan. Hangat... Adalah satu kata yang tepat untuk mengambarkan suasana didalam bangunan tersebut. Plakat nama toko terbuat dari papan, tergantung indah pada sisi atap kecil jendela kaca semakin merekahkan senyum diwajah si pria. Ditambah semerbak aroma roti yang baru keluar dari oven membuat si kakek tak sabar untuk segera memasuki bangunan tersebut.

'CLING!'

Bunyi bel tergantung pada bagian atas pintu seketika terdengar, menampakan sesosok laki-laki renta menggunakan tongkat berdiri diambang pintu. Laki-laki mengenakan apron melilit dipinggul tersenyum ramah, segera beranjak dari meja panjang tempatnya berada untuk menghampiri kakek tua itu. Memegang dengan lembut sebelah tangan si kakek yang tak memegang tongkat kayu.

"Terima kasih Edward." Senyum diwajah si kakek tak kunjung pundar.

"Tidak masalah." Laki-laki bertubuh tinggi dengan usia sekitar setengah abad menganggukan kepala. "Tempat biasa, bukan?"

Tawa si kakek terdengar lantang. Tersanjung akan tutur dan perilaku ramah dari laki-laki pemilik toko roti itu. "Selalu sama."

Tersenyum tipis menanggapi perkataan kakek itu, si lelaki pun berjalan pelahan-lahan, menuntun kakek itu dengan hati-hati menuju kesebuah meja didekat jendela kaca pada disudut ruangan. Kakek renta itu yang semula tersenyum lebar akibat sikap loyal pemilik roti mendadak berhenti. Tak lagi menunjukan keramahan ia umbar pada khalayak pengunjung toko saat mendapati orang lain berada dimeja makan -tempat dimana ia sering menghabiskan waktu sampai pentang menjelang.

Mengetahui si kakek berhenti tiba-tiba dengan pandangan datar menatap tiga orang manusia dimeja makan milik kakek itu. Pemilik toko menghela nafas panjang, menggenggam erat sebelah tangan si kakek. "Maaf... Aku tidak bisa menghentikan mereka. Mereka anak muda yang sangat keras kepala." Sesal lelaki itu berujar penuh maaf.

Menghela nafas pelan sembari memejamkan mata secara perlahan, kakek tua itu balik menggenggam erat tangan si pria. Kemudian menepuk pundak lelaki itu guna membesarkan hati dari perasaan bersalah. "Tidak apa-apa. Mungkin sudah saatnya aku mengalah dan menuruti permintaan mereka. Ku sadari, aku sudah terlalu tua untuk bersikap keras kepala." Tak ayal ucapan si kakek mengurai tawa pemilik toko tersebut. Si kakek pun mengerakan kepala kearah kumpulan anak-anak muda di meja makan itu. "Antarkan aku, Edward."

"Baik, Tuan."

Mendengar titah si kakek, pemilik toko pun segera menuntun lelaki renta itu dengan hati-hati. Memegang lengan tangan si kakek dengan erat namun tak terkesan menyakiti, menjaga tubuh si kakek agar tak terjatuh ketika sampai dimeja makan. Membantu melepaskan coat tebal berwarrna hitam berserta topi coklat dikenakan si kakek, pemilik toko dibantu dengan dua salah seorang laki-laki dari tiga anak muda tersebut menuntun si kakek duduk diatas kursi.

"Jangan terlalu menekan tuan Chamberlain, anak-anak. Mengerti?" Memberi peringatan kepada ketiga anak-anak muda itu yang disambut anggukan cepat, usai menepuk lembut pundak si kakek. Pemilik toko pun undur diri. Kembali ke meja panjang tempat untuk pelanggan memesan roti.

Berdeham pelan mengusir rasa serak dikerongkongan. Perhatian ketiga muda-mudi itu pun tertuju pada sang kakek seorang. "Apa yang kalian inginkan lagi dariku."

Salah seorang wanita berusia 20 tahun, memiliki rambut merah pirang dengan gaun biru tosca memperbaiki posisi duduknya diatas kursi. "Tuan Chamberlain tahu apa yang kami inginkan." Menempatkan kedua tangan diatas meja, jemari lentik si wanita pun bergerak pelan. Menyentuh lembut tangan terselimuti kulit keriput tersebut. "Kami paham akan alasan tuan yang tak ingin memberitahu kami mengenai kebenaran cerita itu. Tetapi kami mohon, kami melakukan hal ini bukan tanpa alasan." Menggenggam erat tangan si kakek dalam jangkauan rengkuhan kedua tangannya, wanita berkulit putih itu menetap intens mata biru sang kakek. "Hanya ingin mendengar kisah sebenarnya, cuma itu... Bukan untuk kepentingan pribadi yang bersifat komersil. Atau merugikan anda dalam bentuk apapun."

Kakek tua itu mendengus, merasa muak mendengar sanggahan si wanita sarat akan tipu daya serta muslihat licik. Sejatinya manusia adalah mahkluk yang selalu mengeruk keuntungan orang lain demi diri sendiri, terlalu munafik rasanya bila mendengar alasan ketiga muda-mudi ini terus-menerus mendatanginya selama hampir dua tahun cuma karena ingin mendengar cerita itu. Sebuah cerita berharga yang akan kakek itu kenang seumur hidup, begitu membekas dihati hingga menjadi candu dalam bayang-bayang mimpi. Cerita itu terlalu mahal untuk dia bagi, sebab apa yang dia alami adalah sebuah kenangan indah. Ingin ia kenang untuk dirinya seorang agar sampai mati pun tidak akan ada yang bisa menganggu ketenangan dunia mereka.

"Aku tidak bisa." Berujar tegas seraya memalingkan wajah, kakek tua itu telah membulatkan tekad untuk teguh pada pendiriannya seperti dua tahun lalu. Menolak keinginan anak-anak ini. "Silahkan kalian pergi. Jangan kembali lagi ke kota ini." Berniat melepaskan tangan yang digenggam erat, kakek itu pun secepat kilat mengalihkan wajah menyadari tangannya tak kunjung dilepaskan si wanita.

"Tuan Chamberlain..." Keukeuh si wanita meminta belas kasih.

Si lelaki tua melotot tajam menatap wanita dihadapannya. "Pergi."

"Kami tidak akan pergi." Seorang laki-laki berambut klimis belah pinggir ikut menggenggam tangan pria tua tersebut. "Mau seperti apapun anda mengusir kami, kami tidak akan pergi tuan. Sebelum anda menceritakan kisah itu kepada kami."

Keras kepala.

Begitulah watak ketiga anak muda ini dimata si lelaki tua. Sudah dua bulan mereka mendapatkan perlakuan dingin darinya, namun tetap saja mereka tak berhenti. Malah semakin gigih menghantui kakek tua itu agar mau menuruti keinginan mereka. Bersedia menjadi narasumber dan berbagi cerita mengenai peristiwa diluar nalar yang mereka dengar dari salah seorang kerabat mereka di london sana.

"Pergi." Nada dingin dikeluarkan si kakek membungkam mulut si wanita dan teman lelakinya yang berambut klimiks. "Tidak ada yang bisa aku ceritakan kepada anak-anak egois seperti kalian. Selalu menuntut, menginginkan sesuatu tanpa sadar akan batas serta privasi orang lain. Kalian harus belajar bahwa ada saatnya kalian tidak bisa memiliki apa yang kalian inginkan."

Luka lama kembali menganga, melebar dihati si kakek hingga rasa sakit yang terkubur jauh didasar palung hati kembali menguak. Memercik emosi didalam jiwa akan gambaran masa lalu berpendar di memori pikiran. Kepingan-kepingan masa lalu dilatarbelakangi buah dari sikap egois, tingkah pola memaksa menginginkan sesuatu hal tanpa mengerti bila terkadang hal itu bukan diperuntukkan untuk dirinya. Semakin merengkuh pasir dalam genggaman tangan dengan sangat erat, pasir-pasir yang digenggam pun akan keluar. Menghilang... Dan yang tersisa hanyalah memori dalam angan imajinasi indah menjadi pelipur lara kala ia merindu.

"Kami bukan anak-anak nakal, tuan Chamberlain."

Pemuda bersurai pirang, menggunakan topi flat dengan mantel abu-abu melingkar ditubuh mengamit sebuah kursi kemudian mendudukan diri tepat disebelah si kakek. "Usia kami memang muda, sikap kami yang menekan anda juga terkesan kekanak-kanakan, tak memiliki rasa hormat seperti pemuda terpelajar pada umumnya." Tutur si pemuda mengawali pembicaraan. "Anak-anak bangsawan memang indentik dengan sikap egois, arogant, selalu ingin menang sendiri. Memiliki kedua orang tua yang mempunyai harta dan kedudukan, telah membentuk kepribadian penguasa didiri anak-anak seperti kami karena terlalu banyak dilimpahkan kebahagiaan dari segi materi."

Tersenyum tipis sembari meraih cangkir kopi yang dibawakan pemilik toko roti. Pemuda itu pun meletakan cangkir kopi terlebih dahulu dihadapan si kakek. "Aku tidak menyalahkan presepsi anda mengenai kami, tanpa membela diri pun. Aku akui sikap kami sangat berlebihan. Namun kedatangan kami kemari bukan atas nama keluarga, bukan pula karena kedudukan orang tua kami yang berada di London. Kami bukan anak-anak yang manja, tuan." Lelaki itu menggeleng kepalanya mantap. Menandakan dengan tegas akan makna dari kalimat terakhir dituturkan olehnya. "Seperti yang Anna katakan, kedatangan kami kemari bukan tanpa alasan. Murni dari nurani hanya ingin mendengar kisah anda, tuan Chamberlain. Walau nyatanya keinginan kami masih bersifat komersil, terlepas dari hal itu kami hanya ingin memberi apresiasi kepada anda karena telah bersedia berbagi cerita. Kami tidak bermaksud membuat anda seolah-olah menjual pengetahuan anda mengenai kisah ini, anggap saja itu adalah bentuk apresiasi terbesar dari kami. Kami sendiri tak ada niat untuk mengambil keuntungan. Keseluruhan hasil diperuntukan untuk anda. Bila tak berkenan menerima, anda bisa menyumbangkan royalti dari penjualan hasil buku itu pada panti asuhan terdekat."

Menatap mata biru sebening lautan dalam pandangan lembut, Anna si gadis berambut merah memegang erat tangan pria renta tersebut. "Jika anda masih tak berkenan mempublikasikan cerita itu. Kami tak akan memaksa. Kami mengerti kenapa anda tak ingin membaginya pada khalayak ramai. Tapi..." Senyum tipis terukir diwajah Anna. "Bisakah anda menceritakan kisah mengenai peri itu, tuan Chamberlain? Anggap saja anda sedang mendongeng, sama seperti anak-anak lainnya kami akan menyimpan kisah itu untuk diri kami sendiri. Tak akan kami bagi kepada siapapun sampai pada saatnya masa menjemput kami."

Laki-laki bersurai pirang tersenyum tipis seraya menganggukan kepala. "Kedatangan kami kemari cuma ingin mendengar kisah anda. Masalah pembuatan buku itu hanya sebagai bentuk penghargaan semata tanpa ada maksud lain, anda tak menginginkannya kami juga tidak akan memaksa." Menyodorkan jari kelingking kemudian mengaitkannya pada jari kelingking Anna dan pemuda berambut klimis mengenakan kacamata bulat, laki-laki itu pun berujar mantap dalam satu tarikan nafas tanpa ada keraguan sama sekali. "Kami berjanji tak akan bercerita kepada siapapun, tuan."

Menerawang sesaat dalam diam cangkir putih berisi cairan kopi masih mengepulkan asap. Lelaki renta itu memejamkan mata perlahan kemudian beralih menatap langit mendung tak terterangi cahaya mentari, nuansa kelabu ditengah guyuran salju menerpa bumi.

'Bolehkah aku mengingat kembali dirimu yang selalu terkubur dalam anganku?'

'Merasakan kembali saat-saat terindah ketika kita bersama?'

Tangan yang terbalut garis-garis penuaan, merambat naik keatas perpotongan leher. Menggenggam erat sebuah kalung perak dibalik syal yang ia kenakan dalam pandangan sendu pada cangkir putih tergeletak diatas meja. Bergelut dalam batin antara ingin menceritakan atau tidak, sebuah keyakinan kuat yang datang dari dalam hati menghantarkan kakek tua itu pada keputusan mutlak atas pilihan sulit yang membuatnya dilema, bimbang tak tahu harus mengambil sikap.

"Seratus tujuh tahun, orang-orang pasti beranggapan jika mencermati banyaknya waktu yang berlalu... Mereka akan menganggapi cerita ini adalah sebuah dongeng. Dongeng yang sangat indah dimana banyak kebahagiaan bertabur dalam setiap jengkal cerita." Jemari tangan kanan terselimuti kulit keriput yang merisut akibat termakan usia semakin menggenggam erat bandul dari kalung perak dikenakan olehnya. "Tetapi bagi seorang anak yang menjalani kisah ini. Apa yang ia alami bukanlah sebuah dongeng. 'Pada zaman dahulu kala', hanya diperuntukan untuk kisah klasik dimana terdapat kebahagiaan diakhir cerita."

Memalingkan wajah secara perlahan dari cangkir putih menatap kearah jendela kaca dipenuhi hamparan salju yang turun dengan sejuta pesona. Mata biru si kakek tua mengerling sendu, melihat derai salju yang menerpa mengingatkan dirinya akan kisah lampau. Masih kakek tua itu ingat dengan jelas dalam ingatannya. Pada hari itu, langit pun menangis seperti ini. Mengobarkan kerinduan yang teramat besar menyeruak kala melihat butiran putih itu perlahan turun menghujani bumi.

"Dan anak laki-laki itu tak merasakan kebahagiaan... Baik diawal maupun diakhir cerita."

.

Discailmer: Masashi Kishimoto

Once upon a Time

Rated: M

Pairing: Uchiha Sasuke & Uzumaki Naruto

Warning: OOC, Typos and Miss Typos, Positive Yaoi, AU, Alur terlalu cepat, dll.

Cerita ini berdasarkan fiktif belaka, imajinasi seorang fans setia SN. Mohon maaf apabila terdapat kesamaan tempat, dan setting cerita.

Satu lagi ini cerita paling enak dibaca sambil denger lagu dari JEM judulnya It's Amazing, (lagu yg iklan G-tv itu lohh #diinjek)

Spesial buat sahabatku yang ultah

Happy Born day~

Miyaka Akane a.k.a Rizky Eliza Hartati *yatta*

.

.

.

Tahun 1805.

Sebuah bangunan mewah bergaya arsitektur kuno dengan dinding-dinding bebatuan, atap genteng berwarna coklat yang memiliki tiga bilik jendela dengan atap single pada masing-masing jendela tersebut. Perkarangan halaman berukuran cukup luas, terlihat memikat diantara rimbunnya pepohonan yang masih diguyuri hujan salju. Pot-pot bunga yang kosong, bongsai-bongsai cantik membingkai halaman rumah tertutupi salju tebal membeku bersama hembusan angin, mengetarkan ranting-ranting pohon tak berdaun dengan suara yang bergemersik riuh. Membuat siapapun enggan beranjak dari perapian menembus dinginnya angin yang menusuk tulang. Rumah berukuran besar tersebut berada cukup jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Berjarak sekitar lima kilo meter dengan jalan setapak dihiasi kerikil-keririk kecil yang menambah kesan eksotisme. Meski tertutupi hutan yang ditumbuhi pepohonan rindang, rumah tersebut seakan tak kehilangan pesona. Didukung pula dengan keceriaan yang terjalin dipenjuru ruangan rumah dimana anak-anak kecil nampak berlari-larian, mengejar teman sebaya mereka satu sama lain mengitari ruangan demi ruangan didalam kediaman tersebut. Aksesoris berupa lampu-lampu kecil, pernak-pernik cantik dari kertas warna-warni yang menghiasi dinding serta langit-langit rumah, kado-kado yang dibungkus kertas memikat hati terletak dibagian bawah pohon pinus yang telah selesai didekorasi, serta hidangan lezat tersaji diatas meja besar ukuran dua puluh empat orang telah cukup menjadi jawaban akan keceriaan yang terjadi dirumah tersebut.

Tanggal 24 desember.

Malam yang ditunggu-tunggu banyak orang karena mereka dapat berkumpul bersama keluarga. Berbagi suka cita menyambut hari kebesaran mereka dalam lingkup suasana bahagia setelah lebih dari beberapa tahun tak bersua akibat jarak tempuh yang terlampau jauh dan juga belenggu akan rutinitas dari tuntutan perkerjaan mereka sandang. Sama seperti ritual wajib dari tradisi keluarga yang dijalankan selama lebih delapan generasi, duduk bersama di sebuah ruangan besar dikediaman tersebut, berbagi cerita atau pun sekedar melepas rindu adalah acara awal yang harus dijalani sebelum berlanjut ke acara lainnya.

Diantara hingar bingar serta kebahagiaan yang terbagi didalam ruang keluarga tersebut. Sesosok anak laki-laki menggenakan stelan jas lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam melingkar dikerah kemeja merenggut masam didepan perapian. Tak seperti sepupu-sepupu sebaya yang berlarian kesana kemari saling mengejar satu sama lain karena melakukan permainan kecil, bocah bersurai pirang jabrik dengan mata biru seterang lautan nampak tak tergiur akan permainan dimainkan para sepupunya.

"Mereka hanya anak-anak kurang kerjaan! Memalukan!" Sarkastik adalah ekspresi paling mendominasi diwajah pemuda itu saat mencerca tingkah pola sepupu-sepupunya. Menilik jam kayu setinggi dua meter dililiti kertas manik-manik warna merah dan hijau, bocah itu menghela nafas frustasi. "Kenapa waktu berjalan sangat lama sekali!"

"Dan kenapa kau ingin waktu berjalan dengan cepat, sayang?" Wanita mengenakan gaun indah berwarna ungu muda dengan lipatan renda pada bagian pinggang meletakan nampan berisi kalkun panggang diatas meja.

"Karena aku ingin kalian segera memberi hadiah ku agar aku cepat tidur dan tak melihat mereka lagi!" Telunjuk bocah itu terangkat, mengarah kesekumpulan anak laki-laki maupun perempuan sedang berlari-lari menaiki tangga. "Mereka akan menghancurkan lantai rumahku, bibi Marry!"

Bukannya membujuk bocah berambut pirang itu dengan kata-kata menenangkan karena tersulut emosi, wanita bersanggul tinggi memiliki hiasan-hiasan cantik dari jepit rambut ia gunakan, tergelak keras. Membuat bocah itu semakin terbakar emosi merasa dilecehkan bibi sendiri.

"Bibi Marry!" Teriaknya meledak marah. Merasa menyesal kenapa ia memasukan obat pencahar hanya setengah botol saja kedalam sup hangat. Setidaknya melihat seluruh keluarga diare sampai tiga hari tiga malam adalah kebahagian tersendiri karena berani melawan keinginannya.

Wanita dipolesi make up tebal itu tersenyum tipis. "Kau harus lebih toleransi lagi, sayang. Mereka tak akan bisa menghancurkan lantai rumahmu hanya dalam waktu semalam." Menunjuk kumpulan anak-anak yang sedang tertawa terbahak-bahak hendak memulai permaianan baru. Wanita itu pun mengarahkan wajah mengisyaratkannya untuk bergabung. "Bersenang-senanglah bersama mereka, dengan begitu waktu yang kau rasa berjalan lambat akan terasa cepat. Bukankah kau sendiri yang bilang ingin segera mendapatkan hadiahmu, hm?"

Bocah itu mengerutkan keningnya dalam. "Bibi menjalin koalisi bersama mereka agar bisa melakukan konfrontasi pada ku, begitu?"

Lagi.

Tawa wanita itu terdengar lagi dan kini malah semakin nyaring. Membuat para kepala keluarga dan orang-orang dewasa sedang bercengkrama satu sama lain menghentikan sejenak aktivitas mereka, penasaran sekaligus bingung. Kenapa Marry bisa tertawa sekeras itu?

"Kau tidak perlu bersikap skeptis terhadap mereka. Sudah sepatutnya anak-anak seusiamu bersenang-senang, melakukan permainan kecil, saling bertukar cerita. Bahkan tanpa kau larang, apa yang mereka lakukan sudah menjadi tradisi dalam keluarga kita." Menggeleng pelan akan sikap dari sang keponakan tercinta, Marry hanya mampu tersenyum maklum pada anggota keluarga lainnya. "Kau harus lebih menikmatinya."

Bocah itu mendengus, menangkupkan kedua tangan didada berdecak pada Marry. "Mereka tidak pantas disebut anak-anak, bibi Marry. Mereka terlalu mengerikan! Aku saja tak sanggup membayangkan bila mereka berada dirumahku selama lebih dari tiga hari."

Salah seorang wanita bersurai merah dengan rambut disanggul tinggi, mengenakan gaun berwarna merah marun meletakan mangkuk berisi salad keatas meja. "Hati-hati dengan ucapanmu, anak muda!"

Bersikap apatis akan peringatan dilayangkan si wanita, bocah itu memalingkan wajah dengan perasaan marah. Tak menyangka sang ibu malah membela sepupu-sepupunya dibandingkan dia sendiri yang berhak untuk marah. "Kenapa ibu harus mengundang banyak orang dan membiarkan mereka menginap dirumah kita? Jika memang ingin merayakan natal bersama keluarga, setidaknya suruh mereka untuk mempersiapkan diri menginap ditempat lain. Rumahku bukan tempat penampungan!"

Berdecak pinggang menatap laki-laki muda dihadapannya, Marry tahu saudari kandungnya itu telah kehilangan kesabaran menghadapi perilaku sang putra. "Kau sudah keterlaluan! Sepupu-sepupumu ini datang jauh-jauh hanya ingin merayakan ulang tahunmu!"

"Tetapi aku tidak meminta ibu mengundang mereka!" Balas bocah itu cepat. Menegaskan kepada ibunya sendiri bahwa dia lah yang seharusnya berhak marah. "Jika ingin merayakan ulang tahunku sebaiknya lakukan besok pagi dan undang seluruh teman-temanku yang kaya raya didesa ini. Aku tidak mengharapkan anak-anak mengerikan seperti mereka merayakan ulang tahunku, bu!"

Wanita bersurai merah meletakan mangkuk puding dengan kasar keatas meja. "Kau-"

"Apa aku melewatkan sesuatu yang penting?"

Laki-laki memiliki kumis diatas bibir, mengenakan mantel mahal berwarna biru dongker dengan topi hitam setinggi enam inci memunculkan diri pada perbatasan ruang keluarga dengan ruang tengah. Menggangkat tinggi tongkat jati memiliki patung kepala elang di puncak tongkat, seakan-akan menunjukan keberadaannya pada sanak saudara yang berkumpul diruang keluarga atau bisa dibilang laki-laki itu tengah menunggu sambutan hangat dari keluarga besarnya.

"Paman Drosselmeier!" Anak-anak yang sedang bermain dilantai atas kediaman si bocah bersurai pirang berteriak histeris. Melantunkan nama lelaki itu dengan riang gembira sembari berbondong-bondong menuruni tangga, berlomba ingin memeluk laki-laki itu terlebih dahulu.

"Hahahaha! Apa kabar anak-anak? Lama tidak berjumpa." Merentangkan kedua tangan memeluk seluruh keponakannya dalam satu rengkuhan, lelaki itu pun melampiaskan rindu terpendam dihati dengan menggeratkan pelukan. Membiarkan sebagian anak-anak yang tak terbagi pelukan darinya memanjat tubuhnya. "Paman sangat rindu sekali dengan kalian."

Seorang anak perempuan berusia 11 tahun menatap wajah Drosselmeier tanpa melepaskan pelukan ia arahkan dileher lelaki itu. "Paman, mana hadiah natal untukku?"

Drosselmeier merenggut, pura-pura merasa terluka mendengar pertanyaan dilontarkan sang keponakan. "Kau merindukan paman, atau hanya menginginkan hadiah dariku gadis muda? Kau tidak menyayangi paman lagi, eh?"

"Tentu aku menyayangi paman!" Jawab gadis itu mantap, membuat Drosselmeier tersenyum tipis mendapati tak ada keraguan sama sekali. Wajah gadis itu terlihat menggemaskan dimata Drosselmeier.

"Kalau begitu..." Mencubit pelan hidung mungil si gadis, "Cium paman." Drosselmeier pun mengisyaratkan kusir kereta kuda yang mengantarnya sampai dikediaman keluarga bocah laki-laki berkulit coklat itu untuk masuk.

Melihat banyaknya hadiah yang dibawakan kusir kereta kuda, gadis itu pun dengan cepat mengecup pipi Drosselmeier. Berteriak histeris bersama sepupu-sepupu lainnya menyeru kotak-kotak hadiah yang ingin mereka ambil. Kotak hadiah berukuran paling besar adalah hadiah yang sangat mereka inginkan.

Tak mampu menguraikan kekesalan menggerogoti hati lantaran sepupunya bertindak semakin gila, langkah kaki si bocah yang berniat pergi menghindari kekacauan dibuat anak-anak itu terhenti ketika mendengar Drosselmeier memanggil namanya.

"Selamat ulang tahun yang ketiga belas, Naruto Neville Chamberlain."

Mengangkat tinggi kotak berukuran kecil, Drosselmeier mengarahkan wajah kearah kursi panjang. Meminta bocah itu duduk bersama dengannya. "Aku mempunyai sesuatu untukmu. Kemarilah."

"Cuma satu?" Sebelah alis bocah lelaki itu terangkat tinggi. "Mana kado yang satu lagi?" Naruto menatap Drosselmeier dengan tatapan selidik, mencari-cari hadiah miliknya. "Kenapa hanya satu? Mana kado natalku!" Naruto berujar dengan nada ketus, meluapkan perasaan marah terdeskripsikan melalui ekspresi wajah. "Aku maunya dapat dua hadiah! DUA hadiah, paman Drosselmeier!"

"Jadi kau tidak mau?" Goda Drosselmeier menarik kemari bingkisan hadiah.

Tarik!

"Aku anggap paman masih berhutang satu hadiah kepadaku!" Menarik dengan cepat bingkisan hadiah yang disodorkan Drosselmeier, bocah itu pun lekas merobek kertas pembungkus kado, lalu membuka kotak kayu ukuran 5x7 cm untuk melihat hadiah pemberian sang paman.

Ketika membuka kotak kayu tersebut, mata bertahtakan batu sapphire biru senada dengan langit angkasa tertegun melihat sebuah boneka kecil seukuran telapak tangan terbingkai rapi didalam kotak kayu tersebut. Seakan terhipnotis, dengan perlahan jemari tangan kanan si bocah menyapu permukaan kepala boneka. Mengusap lembut badan boneka yang dipolesi seragam cantik berwarna merah disertai karikatur duplikat pedang bersarung hitam pada sisi kiri boneka.

"Wahh~ Boneka pemecah kacang!" Bocah laki-laki yang tergabung dalam kelompok anak-anak pembuat onar bagi Naruto merebut paksa boneka pemecah kacang tanpa ada pertahanan berarti dari Naruto akibat terlena akan keindahan boneka.

"Benarkah? Lihat! Aku mau lihat!"

"Aku juga! Aku juga!"

"Aku mau boneka itu!"

Mendengar seruan dilantunkan bocah laki-laki itu, anak-anak yang semula sibuk dengan hadiah pemberian Drosselmeier bergegas menanggalkan hadiah mereka. Beramai-ramai mengerumuni boneka pemecah kacang tersebut, bahkan tak urung mereka berusaha merebut agar bisa melihat lebih jelas penampilan boneka pemecah kacang secara keseluruhan.

"Kalian!" Naruto menggeram marah. "Kembalikan! Itu boneka milikku dasar anak-anak nakal!"

Tersadar boneka miliknya telah berpindah tangan dan menjadi bahan rebutan sepupu-sepupunya. Naruto berusaha menyingkirkan kerumunan anak-anak tersebut dengan mendorong mereka secara kasar. Tak peduli bila mereka terjatuh, atau terluka sekali pun hingga membuatnya dikecam orang tua anak-anak itu. Bagi Naruto boneka pemecah kacang itu jauh lebih terancam keselamatannya karena tiga orang sepupunya kini saling berebutan. Menarik kaki dan tangan boneka pemecah kacang itu seolah menginginkan hak atas kepemilikan boneka.

"Lepaskan tangan kalian!" Teriak Naruto kalap. Bersiap melayangkan kepalan tangan memukul kepala bocah-bocah itu karena tak juga melepaskan boneka miliknya. "Apa kalian tidak dengar, hah! Atau kalian sudah tuli?! Aku bilang lepaskan tangan kalian dari boneka-"

'CRAKK!'

Naruto tercenung, tak mampu lagi mengeluarkan agresi guna menyingkirkan para sepupunya ketika melihat dengan mata kepala akan pandangan menyakitkan harus dia terima. Dihari ulang tahunnya, bertepatan dengan hari besar dimana selayaknya ia mendapatkan banyak hadiah, Naruto harus menelan peristiwa pahit menyaksikan tepat dihadapannya. Hadiah berharga pemberian paman tercinta berakhir tragis, mengenaskan ditangan para sepupu-sepupunya.

'Boneka pemecah kacangku...'

Memunguti dengan perasaan hancur tangan boneka pemecah kacang yang terlepas dari badannya, Naruto menggenggam erat bagian tangan boneka tersebut dalam kepalan tangan, menatap tajam tiga orang pelaku yang merusak hadiah pertama miliknya. Terlebih lagi hadiah itu adalah pemberian Drosselmeier, orang yang sangat ia kagumi... "Ironis sekali! Ulang tahunku yang seharusnya ku rayakan dengan bahagia, sekarang menjadi hancur karena kedatangan benalu seperti kalian!"

Menatap dalam diam kemudian membawa boneka dan tangan yang terlepas kedalam dekapan erat. Naruto memandang keji para sepupunya tanpa terkecuali, bahkan pandangan tajam tersebut kini ia bagi kepada orang tua dari sepupu-sepupunya. "Ini terakhir kalinya aku melihat kalian menginjakan kaki dirumahku!Pergi sekarang juga dan jangan pernah kembali lagi!"

Selepas mengatakan pernyataan sarat akan rasa dendam yang teramat luar biasa. Naruto melangkahkan kaki menuju kearah tangga meninggalkan ruang keluarga ditengah keheningan mencekam akibat perubahan atmospher dibawa oleh Naruto. Sekali pun Marry, Drosselmeier, berserta ibunda Naruto memanggil nama bocah itu agar tetap berada ditempat, jangankan berbalik arah untuk tetap tinggal diruangan. Memalingkan muka walau secuil saja, Naruto merasa tidak sudi.

.

.

.

Bingkai-bingkai foto terpahat rapi didinding terlapisi wallpaper putih, lemari ukuran besar dengan dua buah pintu dihiasi kaca bening menampakan beragam permainan yang tersusun disetiap tingkatan isi lemari. Meja belajar berisi buku-buku tebal disusun sedemikian rupa disisi kiri permukaan meja terlihat selaras ketika berdampingan dengan satu botol kecil menyerupai cawan berisi tinta hitam berada tak jauh dari pena bulu angsa. Karpet putih berbulu tebal selayaknya bulu kelinci persia tergelar diatas lantai kayu, dipenuhi bermacam-macam mainan tergeletak secara sembarangan tanpa disusun lagi oleh si pemilik kamar. Tepat disisi lain ruangan kamar yang terlihat lenggang terdapat tempat tidur single, dengan lemari besar merapat dinding kamar.

'BRAK!'

Sesosok laki-laki bersurai pirang bergelung dibawah selimut tebal mengerutkan kening, terusik akan suara berisik yang terdengar dibalik pintu kamar. Setengah tersadar dari alam mimpi masih menaungi pikiran, bocah laki-laki itu menggerakan telapak tangan kanan, meraba permukaan selimut disebelah kirinya seolah-olah ingin mengapai sesuatu.

'BRAK!'

Terdengar lagi... Bunyi berisik seperti benda terjatuh keatas lantai mengganggu ketentraman bocah yang masih terbuai di alam mimpi. Berusaha mengabaikan dengan terus memejamkan mata mengganggap kegaduhan tersebut adalah ulah menjengkelkan dari orang-orang dewasa yang mungkin masih melanjutkan pesta dimalam yang panjang, bocah itu pun menyamankan diri diatas tempat tidur. Memilih menenggelamkan diri kealam bawah sadar, tidur dengan lelap setelah memastikan keberadaan teman baru yang menemaninya selama beberapa jam terakhir pasca dia memperbaikinya dengan melilitkan tali kecil pada bagian lengan yang rusak.

'Tidak ada!'

Tidak menemukan keberadaan sang teman baru ditambah suara keras dari arah luar kamar tempatnya berada berhasil membuat bocah laki-laki itu terduduk diatas tempat tidur. Marah, adalah reaksi dominan terpeta diwajah si bocah setelah berhasil menyadarkan pikiran dari pengaruh rasa kantuk yang menyergap. Terlebih suara berisik dari arah luar kamar semakin menambah kuat dugaan bocah itu bila pelaku yang membuat onar tengah malam seperti ini adalah sepupu-sepupunya. Anak-anak yang memiliki sikap autisme menyandang predikat keluarga didalam darah si bocah, sekumpulan bocah-bocah kurang ajar yang merusak boneka pemecah kacang miliknya. Bocah pirang itu mendengus, bersiap menghujat anak-anak itu dan menendang mereka keluar dari kediamannya detik ini juga. Kesabaran Naruto telah sampai pada batasnya. Setelah mereka berbuat gaduh, membuat alinasi kotor bersama bibi dan ibunya hingga ia dimarahi, menghancurkan moment pertambahan usianya dengan merusak hadiah dari Drosselmeier, dan sekarang anak-anak itu mencuri hadiah miliknya disaat ia terlelap? Bagus! Kata maaf terlalu mahal untuk mereka! Persetan dengan toleransi, dimarahi ibunya ataupun dicerca orang tua dari anak-anak itu.

Naruto tidak peduli!

Cukup sudah hari istimewa yang seharusnya dilalui dengan suka cita, mendapat banyak hadiah mewah, dihujani perhatian berlebih hingga apapun yang ia inginkan bisa dipenuhi kini tidak terwujud lantaran kehadiran sepupu-sepupunya. Menendang seluruh keluarga besarnya dari rumah beberapa jam yang lalu adalah pilihan tepat. Dan Naruto sangat menyesal mengapa ia tak melakukan hal itu jauh sebelum mereka menginjakkan kaki dirumahnya bila tahu kejadian buruk seperti ini yang akan ia dapatkan.

"Ini adalah hari natal dan ulang tahun terburuk sepanjang hidupku! Aku tidak akan berlama-lama lagi, mereka harus ku usir sekarang juga!" Mengamit jubah tidur miliknya yang tersampir diatas sandaran kursi belajar, Naruto pun mengenakan sandal rumah, lekas melangkahkan kaki berjalan menuju pintu.

Mengarungi ruang tengah lantai atas dimana lima buah pintu kamar saling berhadapan diruangan berukuran besar tersebut, Naruto melangkah menuruni tangga. Menggelung lengan jubah tidurnya sampai batas siku dengan mata memicing tajam, berbelok kearah kiri menuju ruang keluarga dimana terdapat lemari besar berada tak jauh dari pohon natal, dan perapian yang masih menyala mengobarkan api. Naruto yang semula bersiap-siap menumpahkan kekesalan dan segera menjalankan agenda mengusir sepupu-sepupunya berserta orang tua mereka, tercenung ditempat menyaksikan ruang keluarga nampak gelap gulita tak terterangi cahaya lampu. Kosong, tak dihuni satu manusia pun. Yang ada hanya kesunyian ditemani kobaran api dari perapian.

Mendapati tiada satu orang pun, kening Naruto menyerit dalam. Membatin dalam diam dengan sejuta pertanyaan bergelayut dipikiran. "Aneh..." Gumam Naruto pelan. "Aku mendengar keributan disini tetapi kenapa tidak ada orang?" Ilusinasi kah? Tetapi mengapa suara berisik itu terdengar semakin nyaring ketika Naruto terjaga?

"Tidak mungkin ada pencuri." Pemuda itu menggelengkan kepala pelan menyingkirkan presepsi negatif yang terkesan mustahil akan terjadi. "Mungkin benar, aku berhalusinasi." Menyakinkan opsi kuat yang lebih realitis, Naruto mengendikan bahu singkat. Berniat kembali lagi kedalam kamar.

'BRAK!'

Membalikan badan dengan cepat ketika mendengar suara benda jatuh dari arah pohon natal ditengah-tengah ruangan, mata Naruto memicing tajam menembus keremangan ruangan gelap yang hanya terterangi cahaya dari perapian. Fokus menatap pohon natal dengan pandangan intens (objek yang menjadi sumber kegaduhan beberapa detik lalu), mata sebening samudera yang semula mengedarkan pandangan penuh selidik seiring waktu berubah seketika. Membelalak lebar, terperangah akan apa yang ia lihat dihadapan kedua mata.

Tepat disepanjang lantai ruang tengah, puncak atas pohon natal, lemari-lemari kaca berisi koleksi barang-barang antik milik ibunya, serta permukaan meja makan yang masih tersaji sisa-sisa jamuan natal, dipenuhi ratusan tikus memadati keseluruhan area ruangan tersebut. Hewan pengerat menjijikan yang entah mengapa dipengheliatan Naruto mereka tidak berjalan seperti tikus pada umumnya dengan menggunakan keempat kaki. Selayaknya manusia mereka menggunakan kedua kaki belakang didukung dua kaki depan menjadi sepasang tangan. Mereka tidak berjalan membungkuk, melainkan berdiri tegak. Melangkah mantap mengangkut makanan-makanan diatas meja, permen bergaris merah berbentuk tangkai payung aksesoris dekorasi pohon natal, dan yang paling mengagetkan lagi. Boneka pemecah kacang miliknya tak luput dari jarahan! Terbukti saat tikus berukuran besar mengenakan mahkota dibalut jubah panjang khas jubah raja sedang memerintah prajurit tikusnya untuk lekas pergi membawa boneka tersebut melalui lubang kecil didinding ruangan.

Semua ini mimpi kah?

Kenyataan kah?

Atau sekedar halusinasi belaka hingga apa yang ia lihat sekarang adalah fatamorgana? Terlalu lelah karena menahan kantuk akibat terbangun ditengah malam seperti ini?

Tidak-tidak!

Jika memang apa yang Naruto lihat cuma ilusinasi saja, mengapa semua terlihat begitu nyata?

Seruan serdadu para pasukan tikus, derap langkah kaki mereka, teriakan lantang dari pemimpin pasukan tikus memberi titah kepada bawahannya entah mengapa terdengar sangat jelas ditelinga Naruto. Terlebih mengherankan lagi ketika ia mengerjapkan mata, mencubit sebelah tangannya berusaha keras ingin lekas sadar jika memang peristiwa yang ia alami adalah bunga tidur, aktivitas serdadu pasukan tikus masih tetap terlihat dimata Naruto. Membuat Naruto semakin yakin, merasa tak salah bila ia berasumsi bahwa benar adanya kejadian ini murni realita, bukan sebuah mimpi buruk dimalam hari.

"BERHENTI!"

Berseru keras mengertak marah dengan menginjak kasar lantai ia pijaki menggunakan kaki sebelah kanan sebagai tanda bila kini ia telah murka, keberadaan Naruto menjadi pusat perhatian seluruh pasukan tikus. Tanpa terkecuali mereka semua menatap Naruto yang saat ini sedang memegang erat sekop kecil yang biasa untuk digunakan meratakan bara api diperapian kini ia jadikan sebagai senjata untuk menyingkirkan mereka.

"Letakan kembali boneka pemecah kacangku, makanan-makananku, dan koleksi barang-barang antik milik ibuku sebelum aku menghancurkan kalian menjadi seonggok bangkai!" Naruto menyeringai bengis, tak segan-segan memberi ultimatum akan kesungguhan niatnya. Bocah laki-laki itu tidak main-main ingin memukul tikus-tikus itu menjadi pipih seperti waffle. "Paman Buckminster pasti akan senang kucing-kucingnya mendapat stok makanan selama dua bulan penuh!"

Pemimpin prajurit tikus tersebut membalikan badan, menatap Naruto melalui mata semerah darah dengan gigi-gigi runcing menghiasi rongga mulutnya. "Manusia kotor..." Suara prajurit tikus terdengar dalam ditelinga Naruto. "Berani sekali kau berbicara seperti itu kepadaku!"

Naruto menyeringai sinis, tertawa mengejek mendengar ucapan pemimpin prajurit tikus sarat akan makna penuh kesombongan tiada tara terkandung dalam setiap kata. Mengagungkan dirinya seolah-olah derajat mereka lebih tinggi namun bagi Naruto, tikus-tikus ini tak lebih makhluk pengerat sampah menjijikan penebar penyakit.

"Memangnya kau siapa, heh?! Kalian adalah makhluk hina yang tak pantas menjadi sombong hanya karena berhasil meloloskan diri dari perangkap tikus!" Memukul permukaan sekop pada telapak tangan kiri, Naruto berdecak pinggang tanpa mengurangi kadar ekspresi wajah menjadi semakin lembut walau mahkluk yang ia hadapi cuma sekumpulan hewan pencuri. "Sebelum aku bertindak keji, menghabisi kalian semua menjadi bangkai. Cepat pergi dari rumahku, dan jangan kembali lagi!"

Bukannya terintimidasi akibat diskriminasi Naruto yang hendak menghilangkan nyawa mereka. Sang pemimpin pasukan tikus tertawa terbahak-bahak, melantunkan alunan nada yang sangat mengerikan. Terkesan sekali bila makhluk itu mencela perkataan Naruto, mengganggap Naruto tak pantas mengucapkan kalimat tersebut sebelum akhirnya pemimpin prajurit tikus berhenti tertawa, menyeringai iblis menampakan deretan gigi-gigi runcing menatap bengis Naruto melalui mata semerah darah. Bulu kuduk Naruto meremang. Rasa gelisah menelusup direlung hati ketika intensitas kewaspadaan bocah itu meningkat drastis.

"Kau salah berkata seperti itu kepadaku, wahai manusia." Pemimpin prajurit tikus berjarak sekitar lima kaki dari Naruto berjalan mendekat perlahan-lahan. "Sebab harus kau tahu, dimataku manusia adalah..." Berhenti melangkah sembari mengangkat tinggi tongkat emas memiliki permata hitam ditangan kanan kearah Naruto.

"...PEMEGANG POSISI TERENDAH PADA RANTAI MAKANAN DIDUNIA KAMI!"

'BLRUSSH!'

Melemparkan boneka pemecah kacang yang disusul sebuah cahaya selayaknya petir menampakan kilauan warna hitam disertai asap pekat keluar dari permata hitam tongkat perak milik pemimpin pasukan tikus. Melesat dengan cepat menyentuh tubuh Naruto, membuat bocah yang baru genap berusia tiga belah tahun terlonjak. Mengadahkan kepala menatap langit-langit ruangan dengan kedua mata membulat lebar. Tubuh Naruto pun mengejang hebat karena tersengat petir cahaya hitam diarahkan sang pemimpin pasukan tikus sehingga perlahan namun pasti tubuh Naruto merisut, semakin mengecil dan mengecil secara berkala dengan sendirinya dan memicu perubahan yang sangat signifikan dari wujud asli tubuh Naruto ketika proses pengecilan sedang berlangsung.

'BRUK!'

Naruto memejamkan kedua mata dengan erat, merasakan rasa sakit teramat luar biasa saat punggung tubuhnya membentur lantai akibat terhempas setelah cahaya petir hitam diarahkan pemimpin pasukan tikus berhenti berpendar. Naruto memang merasakan rasa sakit yang sangat menyakitkan, persendian setiap tubuhnya terasa hancur bagai terluluh-lantah amukan badai, parahnya lagi rasa sakit yang paling mendominasi adalah persendian lengan tangan. Namun diantara rasa sakit mendera, pendengaran Naruto menangkap suara aneh saat ia terjatuh membentur lantai. Seperti suara kayu yang terjatuh berasal dari tubuhnya.

"Siap untuk menjemput malaikat kematianmu, manusia?"

Mendengar suara pemimpin pasukan tikus terdengar berbeda ditelinga, Naruto lekas membuka kedua mata. Menatap lurus kedepan dimana suara pemimpin pasukan tikus berada. Begitu membuka kedua mata selepas mengerjap beberapa kali agar dapat melihat dengan jelas pasca terpejam selama sesaat, mata biru Naruto tidak henti-hentinya terbelalak lebar, merasa terkejut begitu mengedar pandangan mata menyapu sekeliling arah. Semua benda-benda yang berada diruang keluarga terlihat berukuran raksasa.

"A...Ada apa ini?" Tak mampu berucap, tak bisa memikirkan apapun adalah gambaran nyata akan reaksi Naruto atas situasi dari fenomena ia hadapi. Terkejut, gelisah, dan rasa takut kini merajai relung asa Naruto. Mendapati semua terasa berbeda dalam waktu sekejab bukanlah perkara mudah, Naruto sangat-sangat terguncang sekarang. "Ke...ke..napa i..ini bisa terja-"

Tak sengaja melihat kedua tangannya yang mengepal erat akibat kondisi emosional membelenggu hati, Naruto kembali dibuat tak mampu berkata mendapati kedua tangannya berubah. Bukan lagi memiliki jemari indah terselimuti kulit tan, tetapi bongkahan balok-balok kecil berbahan dasar kayu mempunyai lima ruas jari. Menilik secara keseluruhan penampilan tubuhnya yang saat ini berubah, tak lagi mengenakan jubah tidur maupun sendal rumah. Naruto harus kembali menelan kenyataan lain yang jauh menyakitkan begitu menyadari tubuhnya bukan lah berbentuk seperti manusia, melainkan...

"Boneka pemecah kacang..."

Bergumam pada diri sendiri menerima realita lain yang menjadi tamparan pahit dihadiahkan Tuhan. Mengalihkan wajah secara perlahan dengan mata membulat lebar kearah depan, untuk kesekian kali keterkejutan Naruto tak berhenti pada perubahan fisik dari tubuhnya saja. Melalui pantulan permata biru sejernih angkasa raya boneka pemecah kacang tersebut, dapat dilihat dengan jelas bila ratusan pasukan tikus yang semula seukuran bola baseball sekarang memiliki ukuran tubuh yang setara. Membuat Naruto yang terjebak didalam tubuh boneka pemberian Drosselmeier mundur kebelakang secara perlahan, menyadari tikus-tikus bermata merah dengan gigi-gigi runcing menghiasi rongga mulut mulai mendekati Naruto. Seolah-olah ingin menelan Naruto hidup-hidup.

"Sudah kukatakan padamu..." Pemimpin prajurit tikus memunculkan diri dari kerumunan pasukan yang membuka jalan untuk tikus bermahkota itu. "Kau salah bersikap seperti itu padaku, manusia." Mengangkat tinggi kepalanya menatap lurus Naruto, tikus besar tersebut menyeringai iblis. "Kalian mahkluk hina yang sombong! Berlagak menjadi penguasa hanya karena memiliki tubuh besar, padahal nyatanya keberadaan kalian sesungguhnya tak mempunyai arti. Harus kau tahu, manusia adalah makhluk yang menduduki posisi terendah pada rantai makanan hukum alam di negeri kami. Bagaikan seekor kutu, cukup sentuhan kecil-" Pemimpin pasukan tikus itu berhenti sejenak. Mengangkat tinggi sebelah tangan yang bebas, tak menggenggam tongkat sihir.

"-kau akan mati ditanganku!"

Menggerakan jari telunjuk mengarah kearah Naruto, ratusan pasukan tikus segera berlari. Mengangkat tinggi pedang pada pinggul disisi kiri mereka sembari berteriak histeris menyeru kata 'bunuh' ketika berlari menuju Naruto. Naruto terperangah, terdiam ditempat melihat hampir seluruh pasukan mengangkat senjata hendak menyerbu dirinya.

"Ohh Tuhan... Ini tidak bagus." Naruto menggelengkan kepala sembari melangkah mundur secara perlahan menatap tak percaya lautan tikus yang kini sedang berlari menuju kearahnya. Terus melangkah mundur Naruto tak menyadari bila dibelakangnya terdapat sebuah kaki kursi ukuran raksasa, menutup akses jalan untuk melarikan diri, membuatnya terjebak dengan punggung membentur kaki kursi. Mata biru Naruto terbelalak, menatap kaki kursi selama sesaat kemudian berbalik lagi menatap pasukan tikus. "O'o!"

Lari.

Tanpa pikir panjang, atau pun menerka berapa banyak prajurit tikus menyerbu sembari membawa senjata ditangan. Naruto segera berlari. Mengerahkan kaki-kaki kecilnya yang mengenakan sepatu pantovel mengkilat terbuat dari kayu agar lekas beranjak dari kaki kursi. Deru nafas Naruto bergemuruh, jantungnya berpacu dengan cepat. Takut disergap pasukan tikus sementara ia sendiri tak punya daya untuk melawan. Jumlah pasukan tikus mencapai ratusan dengan wajah mereka sendiri bak hewan kanibal siap memangsa apapun ketika dilihat dari dekat secara seksama. Mendapati serbuan secara brutal dilakukan pasukan tikus tersebut. Satu yang saat ini Naruto pikirkan...

Ia tidak ingin mati!

Tidak ada cara lain. Naruto harus melarikan diri agar jiwanya selamat. Terus berlari dan berlari memacu kedua langkah kaki mengarungi ruang keluarga adalah satu-satunya cara agar ia terbebas. Namun ternyata kesulitan tak hanya datang sekali, selain menjadi target bulan-bulanan pasukan tikus, serangan secara tiba-tiba dari anak panah yang dihujam salah seorang pasukan turut menjadi kendala. Melarikan diri tak cukup, Naruto harus bertahan dari segala serangan. Mendapati hal itu mata sebening samudera milik Naruto bergerilya kesekeliling arah, mencari-cari suatu alat untuk dijadikan pelidung dari hujaman anak panah yang tak hanya diluncurkan satu atau dua kali, tetapi kini telah mencapai puluhan. Melindungi kepala dari hujaman panah menggunakan kedua tangan tidaklah cukup, sewaktu-waktu tubuh yang tak terlindungi akan cidera. Resiko kehilangan nyawa akan semakin besar. Baru menginjak satu hari diumur yang ketiga belas dan harus mati ditangan segerombolan tikus, jelas bukan itu keinginan terbesar yang Naruto inginkan.

Melihat sebuah gorden panjang terjulur diatas lantai, dengan sigap Naruto lekas memanjat. Menggenggam erat kedua tangan pada serat halus gorden, lalu naik keatas secara bertahap ingin mencapai meja kecil berisi mangkuk buah-buahan. Baru beberapa saat memanjat gorden, serat kain gorden yang sangat licin saat kaki terbalut sepatu kayu hendak berpijak, tergelincir. Membuat Naruto kehilangan kendali, merosot kembali kebawah hingga ia tertinggal dari posisi semula.

'GRAP!'

"AHHH!" Salah seorang pasukan tikus berhasil menyantap sebelah kaki Naruto, menarik bocah itu dengan erat berniat menjatuhkan tubuh Naruto namun tak berhasil karena pegangan tangan Naruto terlampau teguh pada permukaan gorden. "Menyingkir dari kakiku, jelek!" Menggerakan kedua kakinya dengan gerakan menendang. Salah satu kaki Naruto berhasil mengenai pasukan tikus lain yang hendak melayangkan pedang kearahnya, tubuh tikus berbulu hitam itu terjatuh menimpa rekan-rekan lainnya yang ikut menaiki gorden.

"Lepaskan! Lepaskan!" Masih berusaha menendang-nendang agar terlepas dari cengkraman sang tikus, sebelah kakinya yang dipegang erat ikut andil bergerak. "Lepaskan tanganmu dari kakiku! Dasar-tikus-menjijikan!" Menendang-nendang secara bersamaan hingga kaki Naruto mengenai hidung tikus tersebut. Reflek tikus itu pun memegang hidungnya menggunakan kedua tangan, membuat ia terperosok jatuh membentur lantai akibat tak berpegangan pada kaki Naruto yang ia cengkram.

Mendapati tak ada lagi penghalang, Naruto melanjutkan kembali aksinya memanjat gorden. Melantunkan satu kalimat secara berulang-ulang sebagai penyemangat, memotivasi dirinya agar segera sampai diatas meja. "Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Aku masih muda! Aku bahkan belum mengusir sepupu-sepupuku agar mereka tidak kembali lagi kerumah- UWAAAA!" Terus menatap kearah atas sembari beranjak naik menuju ke meja, satu tebasan pedang yang diayunkan secara cepat berhasil dihindari Naruto. Merobek serat permukaan kain hingga Naruto yang sedang menggenggam teguh permukaan gorden hampir terjatuh kehilangan keseimbangan. Naruto melotot marah kepada sang pelaku yang mengayunkan pedang. "Apa yang kau lakukan, jelek! Itu berbahaya sekali, tahu!"

Terdiam sejenak menatap Naruto dengan mata merah yang terbelalak lebar, sang tikus besar berwarna abu-abu mengangkat tinggi pedang miliknya kearah Naruto. "Ibu ku saja tidak pernah mengataiku jelek. Kau harus mati karena telah menyakiti hatiku, manusia!"

'BRAST!'

Terbakar amarah karena terhina akan perkataan Naruto menyinggung perasaannya, tikus itu pun mengayunkan pedang secara membabi buta, mengarahkan benda tajam tersebut kearah Naruto yang kini beranjak naik. Merangkak dengan cepat mengeratkan genggaman tangan pada permukaan gorden, membawa tubuhnya semakin menjauh bebas dari jangkauan tikus abu-abu yang masih gencar menebaskan mata bilah pedang kearahnya. Memberi keuntungan terdiri untuk Naruto menjadikan robekan pada gorden sebagai pijakan agar ia makin cepat sampai keatas. Tinggal sedikit lagi, sekitar beberapa meter Naruto akan sampai pada meja itu. Dan dalam satu kali lompatan.

'GRAP!'

Tubuh Naruto yang menjuntai ditepi meja berusaha beranjak naik, mengangkat tinggi sebelah kakinya kesisi meja mempermudah ia naik keatas permukaan meja tersebut. Menetralisir deru nafas bergemuruh selepas berjuang menaiki gorden ditengah gempuran serangan pasukan tikus, Naruto pun segera bersembunyi pada sisi mangkuk keramik berisi potongan buah-buah, mengambil satu butir anggur hitam kemudian melontarkannya kearah pasukan tikus yang menaiki gorden. Menyerang menggunakan buah-buahan tersebut agar tiada satu pun yang berhasil sampai keatas meja.

'Terlalu banyak.'

Jumlah pasukan tikus mencapai ratusan jiwa tiada artinya bila dihadapi dengan serangan buah-buahan saja. Serangan yang Naruto lancarkan tak memberi efek apapun selain membuat mereka terjatuh keatas lantai, hanya mampu menghambat selama sesaat saja namun mereka malah semakin gencar menaiki gorden dengan cepat, terlihat sekali mereka sangat bernafsu ingin membunuh Naruto. Parahnya lagi tidak hanya menaiki gorden saja untuk sampai pada meja, tikus-tikus itu mengejar Naruto menggunakan akses jalan lain agar sampai diatas meja. Menaiki kaki meja, meniti pada dinding, dan memanjat lemari tiang lampu berada tak jauh dari meja tempat ia berada.

"Aku lupa mereka sangat ahli dalam memanjat." Sebut Naruto menyerupai bisikan. Dalam satu kali lompatan, tikus-tikus itu akan sampai diatas meja. Naruto tak punya senjata lain selain buah-buahan didalam mangkuk, itupun serangan yang ia lakukan tak memberi efek apapun. "Apa yang harus kulakukan!" Hampir gila. Naruto benar-benar merasa gila melihat banyakan pasukan tikus yang menyerbu. Andaikan ia mempunyai senjata, entah itu pistol ataupun-

"Ohh iya!"

Pedang... Naruto ingat boneka pemecah kacang ini mempunyai pedang disisi kiri pinggulnya. Menyadari hal itu Naruto segera meraih pedang bersarung hitam tersebut, mengeluarkannya dalam satu tarikan cepat. Menghantarkan kilauan indah berpendar dari permukaan pedang yang terpantul dibola matanya. Jantung Naruto berdegung kencang, berdebar-debar dengan dahsyat merasa gemetar melihat pedang tersebut. Bukan karena merasa takut, pemuda itu sangat bersemangat sekarang karena untuk pertama kalinya sepanjang tiga belas tahun ia hidup didunia, baru kali ini memegang pedang sungguhan yang ia kira sebuah karikatur saja.

"HYAAA!" Berteriak lantang sembari berlari kedepan hendak menghadang tikus-tikus yang telah mencapai sisi meja, Naruto yang tak mengetahui ada cipratan sari anggur diatas meja tak sengaja menginjaknya. Membuat tubuhnya kehilangan kendali akibat terpeleset.

'BRUK!'

"TIDAKKKK!" Dalam hitungan detik, pedang perak yang baru ia rasakan dalam genggaman tangan terlepas, turut terlempar hingga terjatuh dari atas meja menuju ke lantai.

Tamat sudah.

Beranjak berdiri dari posisinya telungkup diatas meja, Naruto membelalakan mata. Memandang takut kerumunan pasukan tikus yang telah menyerbu diberbagai arah disaat ia sendiri tak punya perlawanan untuk mempertahankan diri. Apakah ini akhir hidup Naruto? Mati ditangan pasukan tikus yang mencuri barang-barang miliknya setelah ia menghina mereka? Diumur yang baru sehari meninjak tiga belas tahun, ia harus kehilangan segala keinginan tersusun dalam untaian mimpi-mimpi?

"Selamat tinggal, ayah... ibu..."

Memejamkan mata pasrah akan kematian menjemput dirinya, suara dentang lonceng jam jati berukuran besar berkumandang seantero ruangan. Membuat aktivitas pasukan tikus yang ingin menelan Naruto hidup-hidup, berhenti. Secara serempak memandang kearah jarum jam yang menunjukan angka dua belas pada huruf romawi. Sang pemimpin pasukan tikus pun mengalihkan wajah kearah prajuritnya.

"Mundur! Kita harus kembali sekarang!" Seru sang pemimpin mengangkat tinggi tongkat permata hitam tersebut.

Mendengar seruan tikus bermahkota Naruto membuka kedua mata secara perlahan. Mengedarkan pandangan mata melirik kekiri dan kekanan, menyaksikan pasukan tikus mulai mundur teratur, memungut barang-barang yang semula sempat mereka angkut lalu berjalan dengan membentuk formasi barisan menuju kearah dinding yang berlubang. Merasa belum sepenuhnya aman, takut ada agresi susulan bila meminta tikus-tikus itu untuk berhenti mengangkut barang-barang milik keluarganya, Naruto memilih diam, lalu bersembunyi dibalik mangkuk sembari mengintipi. Memastikan dari jarak jauh kepergian seluruh pasukan tikus dari kediamannya.

Naruto menghela nafas lelah, memandang dalam tatapan lesu ketika keheningan menjemput pasca kepergiaan seluruh pasukan tikus. Perasaan menyesal seketika merasuk relung hati Naruto, tak tahu harus berbuat apa selanjutnya setelah serangan tak terduga tersebut. Penyesalan Naruto datang bukan karena barang-barang milik ibunya diangkut oleh pasukan tikus, bukan pula karena mereka memporak-porandakan rumahnya melebihi tindakan para sepupu-sepupu yang ia anggap seperti pencundang. Satu-satunya penyesalan Naruto sekarang dititik beratkan akan kondisi yang dia alami. Menjadi kecil dan terjebak ditubuh boneka pemecah kacang.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Menghela nafas untuk kesekian kali, Naruto melangkahkan kaki. Berjalan kearah tepi meja kemudian duduk. Memegang erat tali putih terikat kuat dilengan kirinya ketika suatu pemikiran terlintas. Apakah aku akan terjebak ditubuh ini selama-lamanya sampai aku mati?

Naruto menangkupkan kedua tangan menutupi wajah mengirimkan perasaan getir ia rasakan melalui luapan emosi, meratapi diri dalam arus kesedihan amat mendalam akibat petaka yang harus ia tanggung yaitu menjadi boneka tanpa tahu lagi bagaimana ia bisa berubah ke bentuk semula.

"Peri Sugar Plum."

Kepala Naruto terangkat, reflek berdiri tegak dengan sempurna ketika telinganya menangkap suatu suara mendayu bersama hembusan angin. Menolehkan wajah kesekeliling arah meninjau segala tempat dalam pandangan mata, Naruto meneliti secara seksama sumber suara yang tertangkap pendengaran. Kosong... Adalah gambaran nyata saat memandang semua penjuru ruangan, Naruto tak melihat satu sosok pun berada bersama dengannya.

Menggelengkan kepala pelan mengabaikan keberadaan suara tersebut bagaikan angin lalu, Naruto kembali menatap sepatu pantovel terbuat dari kayu dikedua kaki. Menghantarkan kembali dirinya pada kenyataan pahit yang harus ia telan bahwa tak ada kesempatan untuk kembali menjadi manusia. Kemana ia harus melangkah sekarang mencari jalan keluar? Menemui pemimpin pasukan tikus dan meminta maaf agar dia berbaik hati mau menggembalikan Naruto kembali ke bentuk semula?

'Mustahil.'

Tidak ingin berharap terlalu jauh, Naruto telah memupuskan pemikiran itu terlebih dahulu. Tak bisa memimpikan sebuah pengharapan berlebih yang menghantarkan dirinya pada keterpurukan atas realita semu, dimana ia mengharapkan kebaikan hati pemimpin pasukan tikus serupa mencari malaikat didalam neraka. Pemimpin itu tak akan memberi belas kasih dalam bentuk apapun kepada Naruto setelah keangkuhan yang Naruto bagi hingga ia berakhir menyedihkan seperti ini. Menjadi boneka... Tragisnya lagi boneka pemecah kacang pemberian Drosselmeier. Sesuatu yang ia anggap berharga namun ternyata membuahkan petaka.

"Peri Sugar Plum."

Telinga Naruto kembali tegak, menangkap suara yang sama untuk kedua kalinya. Berbeda dengan suara sebelumnya, suara kali ini terdengar lebih jelas. Diucapkan secara lugas disertai intonasi nada suara yang cukup bervolume. Membuat Naruto menjadi yakin bila suara itu bukanlah suara deru angin berhembus, bukan pula ilusinasi karena keterpukuran akibat menanggung derita seorang diri. Suara itu memang ada. Berasal dari satu ruangan namun Naruto tidak tahu pasti dimana suara itu berada.

"Siapa disana!" Tak kunjung menunjukan keberadaan juga merasa lelah mencari namun tak juga menemukan sosok dari suara tersebut. Naruto mencoba alternatif lain yaitu berinteraksi secara langsung. "Tunjukkan dirimu! Jangan cuma bisa bersembunyi saja!"

Suara derit kayu tergores memekakkan telinga hingga gigi pun terasa linu saat mendengar suara derit kayu semakin menajam setiap detik, berhasil mengalihkan fokus perhatian Naruto yang kini memandang satu objek dengan tatapan intens. Jam setinggi dua meter berada diruang keluarga, memiliki pahatan ukiran-ukiran cantik dipermukaan jam dengan benda penunjuk waktu tersebut memiliki huruf romawi. Tepat disisi atas jam terdapat sebuah patung, patung seorang wanita mengenakan sayap, berekor ikan sedang memegang kendi pada kedua tangan. Polesan cat coklat mengkilap pada badan patung, menambah kesan mistik manakala kepala patung tersebut bergerak. Membalas tatapan mata Naruto dalam pandangan lurus saat memandang boneka berseragam merah tersebut.

Tubuh Naruto terjatuh diatas permukaan meja dengan posisi terduduk, membelalak kedua mata sembari menunjuk pantung itu menggunakan jemari tangan tertutupi sarung tangan berwarna putih. "Si-Siapa kau!"

"Temui Peri Sugar Plum."

Sebelah alis Naruto terangkat, tak memudarkan raut shock terpahat sempurna diwajah. "A-Apa?!"

"Hanya Peri Sugar Plum yang dapat menghapus kutukan Reginald."

"Pe-Peri Sugar Plum?" Tubuh Naruto berangsur mundur perlahan kebelakang, intensitas kewaspadaannya meningkat drastis. Tak bisa mempercayai perkataan patung itu yang belum ia ketahui apa motif dibalik ucapan dilontarkan olehnya. Musuh atau kawan. Naruto tak bisa memastikan. "K-Kutukan? Reginald?"

"Temui Peri Sugar Plum." Ekor patung tersebut bergerak liar, kesana kemari tak tentu arah sebelum akhirnya bergerak secara perlahan pada posisi semula. "Hanya Peri Sugar Plum yang dapat menghapus kutukan Reginald." Kepala patung tersebut turut bergerak, berputar hendak kembali pada posisi sebelumnya. "Temukan cahaya, Peri Sugar Plum ada disana."

Naruto segera beranjak mengetahui ada yang tidak beres pada pergerakan patung itu. Dari ekor hingga mencapai pundak, tubuh patung itu tidak bergerak, hendak kembali seperti semula menjadi benda mati. Terlebih mendapati kepala patung yang bergerak semakin melambat, Naruto tahu patung itu tak memiliki banyak waktu. "Tunggu dulu! Apa maksud dari perkataanmu?! Reginald itu siapa? Dia pemimpin pasukan tikus tadi? Lalu apa itu Peri Sugar Plum?"

Bukannya menjawab pertanyaan Naruto, patung itu malah menyandungkan kalimat lain. "Apapun yang terjadi, temukan cahaya."

"Cahaya? Cahaya ap- HEI!"

Terlambat...

Belum sempat merealisasikan pertanyaan menggerogoti pikiran, patung itu telah kembali menjadi seperti semula. Tak bergerak, tak berbicara, bahkan menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut, patung itu seakan tak memberi gambaran apapun. Membuat Naruto berkubang dalam beribu-ribu spekulasi yang malah semakin membingungkan dirinya, tak dapat mengartikan secara kongkrit kepingan-kepingan puzzle dari perkataan patung itu. Belum mencapai satu jam, Naruto telah ditimpa bertubi-tubi kenyataan mengejutkan. Bahkan ketika ia dihadapkan pada satu situasi dimana kini ia harus menentukan arah tujuan, Naruto seakan tersesat. Tak tahu bagaimana ia harus memulai agar bisa kembali menjadi manusia seutuhnya.

"Siapa itu Peri Sugar Plum?" Kembali mendudukan diri ditepi meja tempat ia berpijak, "Dan Dimana aku harus mencarinya?" Pemuda bertubuh kayu dengan seragam berwarna merah melekat dibadan menghela nafas lelah.

Mata biru Naruto menerawang pedang miliknya yang tergeletak diatas lantai, tak sengaja memandang lubang kecil dinding tempat dimana pasukan tikus masuk dan pergi setelah selesai menjarah koleksi barang-barang antik, makanan, dan mainan-mainan miliknya. "Hanya Peri Sugar Plum yang dapat mematahkan kutukan Reginald." Menatap dalam pandangan intens lubang kecil tersebut, Naruto yang sedang memangku tangan pada sebelah pipi perlahan menegakan kepala. "Mereka pasti masih berada disatu dunia yang sama bukan?" Mengalihkan wajah menatap jam kayu berukuran dua meter dihadapannya, mata Naruto menatap penuh tanya kearah patung wanita tersebut. "Maksud ucapanmu tadi, apa aku harus mengikuti kemana pasukan tikus pergi agar bisa menuju kedunia mereka, lalu bertemu dengan Peri Sugar Plum dan kutukan ku akan terlepas? Begitu?"

Alis Naruto mengerut dalam, menatap skeptis patung berada sisi atas jam besar tersebut. "Hei! Aku bertanya kepadamu? Kenapa kau diam saja!" Mau sebanyak apapun pertanyaan dilontarkan Naruto. Bukan sebuah jawaban ia dapatkan, malah keterdiaman patung lah yang menemani. Membisu bersama keheningan ruang keluarga membaur bersama gemuruh angin membentur permukaan kaca jendela. Naruto semakin merasa jengkel. "Tadi kau bergerak! Jangan berpura-pura menjadi patung setelah membuat keadaanku seperti ini! Ini salahmu! Gara-gara kau, aku harus terjebak dalam tubuh boneka pemecah kacang! Pasti kau yang mengundang pasukan tikus itu hingga sampai kemari! Mengacukan malam natal dan hari ulang tahunku!"

Meledakan amarah dalam satu tarikan nafas cepat, Naruto menghardik patung jam tersebut tiada henti. Terlalu murka akan keadaan sulit yang harus ia terima dalam waktu singkat disaat kebahagiaan seharusnya menaungi dirinya. "Ohh... Aku tahu!" Menarik nafas cepat berusaha menormalkan degup jantung bergemuruh akibat perasaan marah. Naruto bersedekap dada menatap tajam patung tersebut. "Kau adalah benda kutukan yang dibawa oleh sepupu-sepupu idiot itu agar menghancurkan hari kebahagiaanku! Iya kan?! Ayo mengaku patung sialan!"

Sama...

Lagi-lagi Naruto tak mendapatkan jawaban apapun dari patung tersebut. Patung itu tetap tak bergerak, tak memberi klarifikasi sedikit pun mengenai pernyataan sebelumnya ataupun pertanyaan sekarang yang dilayangkan pemuda itu. Naruto sampai kehabisan kata, mendengus keras seraya menggelengkan kepala tak menyangka patung itu terus membisu setelah digempur pertanyaan menyakitkan dari Naruto. Naruto yakin, patung itu tidak akan berani bersuara setelah apa yang ia perbuat pada Naruto. Terlalu malu, atau lebih tepatnya melarikan diri dari pertanggung jawaban setelah membuat Naruto terkena kutukan.

"Jika aku telah kembali, akan ku pastikan kau ku jual dipelelangan! Camkan itu baik-baik!"

Beranjak berdiri kemudian terjun kebawah menggunakan tirai gorden. Boneka pemecah kacang itu mengamit ganggang pedang kemudian menggenggamnya dengan erat. Melangkahkah kaki mendekati lubang kecil itu dengan waspada.

"Bagaimanapun juga aku harus menemukan Peri Sugar Plum."

Masih ada kesempatan untuk berubah, memperbaiki semuanya supaya ia bisa kembali lalu menghajar para sepupunya dan terlebih pada jam tua yang telah berani membawa kutukan mengerikan ini. Berbekal keberanian, keteguhan hati ingin menjadi seperti sedia kala dan membalas dendam. Naruto berjalan menuju kelubang kecil tersebut, menenteng pedang digenggaman tangan kesebuah lorong dihiasi dinding es. Menampakan lorong yang cantik didominasi warna biru kehijauan.

"Wow..."

Menakjubkan... Naruto tak bisa berkata-kata melihat keindahan yang tercipta dari lorong es tersebut. Gradiasi warna dari lorong es begitu indah, berwarna hijau kebiruan dengan garis-haris biru tua melapisi permukaan hijau lorong es tersebut. Bentuk serta pola lorong es pun berbeda, persis seperti pusaran gelombang air laut, bergulung-gulung dengan tekstur atristik. Arsitektur dan interior lorong yang terbentuk secara alami, adalah mahakarya sempurna dari alam yang tak mampu tertandingi oleh seorang manusia pun. Walau tak begitu memanami bidang arsitek, Naruto tahu lorong es ini tiada duanya dibandingkan mahakarya lain yang sering ditunjukan Drosselmeier melalui portet lukisan.

'DRAP!'

Ketukan telapak sepatu kayu dikenakan Naruto bergemuruh pada lantai lorong es, menggema hingga menimbulkan pantulan bunyi yang cukup nyaring sampai ke ujung lorong. Naruto meringkut, menatap takut suara aneh berasal diatas langit-langit lorong. Seperti suara deru angin, namun frekuensi nada yang dihasilkan terdengar mengerikan. Naruto jadi bertanya-tanya, apakah badai sedang melanda hingga atap lorong serasa akan rubuh? Menghantam tubuhnya hingga ia akan mati karena tertimpa. Mengingat kata mati, Naruto lekas bergegas berlari. Melajukan langkah kaki mengarungi lorong es yang panjang, ingin segera sampai keluar menghindari kemungkinan rubuhnya lorong es itu.

"Sedikit lagi!"

Melihat setitik cahaya tepat diberada diujung lorong, Naruto semakin berlari cepat. Melangkahkan kaki lebih lebar, membuat derap telapak sepatu kayu membentur lantai es dilorong menimbulkan nada-nada riang yang sangat nyaring, menggema satu sama lain hingga suara yang dihasilkan terdengar makin menyeramkan. Ditambah gemuruh suara angin berada diatap lorong menambah riuh. Gelisah, serta rasa takut menyergap relung Naruto yang tak ingin berakhir mengenaskan sebelum berhasil bertemu dengan Peri Sugar Plum.

"AHH!"

Sinar berwarna putih terang menembus retina mata Naruto. Membuat pemuda itu memejamkan mata dengan erat menghindari kemilau cahaya ditampilkan ujung lorong tersebut ketika melompat dengan kaki-kaki lebar, merentangkan kedua tangan seolah melayang bebas seperti seekor burung yang keluar dari sangkar. "Aku berhasil-"

'BRUK!'

Tubuh kayu Naruto terasa berat, seperti menghantam sesuatu yang sangat besar, dingin dan juga menyakitkan terasa ke seluruh tubuh. Wajah Naruto terbenam kedalam tekanan yang cukup dalam akibat lompatan yang ia lakukan dengan posisi tubuh telungkup, tanpa ada pelindung guna melindungi tubuhnya ketika derai hujan salju masih menampakan eksistensi ditengah cuaca dingin mendera. Diperparah lagi dengan tumpukan salju tempat dia mendarat. Tiada hal lain bisa Naruto lakukan selain mencaci patung jam kuno yang berada diruang keluarga, jelas segala kesialan yang menimpa diakibatkan oleh keberadaan patung itu. Ohh, jangan lupakan para sepupu-sepupu idiotnya dan juga orang sialan yang membuang tumpukan salju ditempat ini.

Bangkit berdiri dari posisi telungkup diatas tumpukan salju, Naruto mulai membersihkan salju-salju yang menempel di tubuhnya. "Orang idiot mana yang membuat boneka salju ditempat seperti ini!"

Menatap garang boneka salju mengenakan syal berwarna orange dengan topi tinggi berwarna hitam, dua buah ranting tertutupi sarung wool diujung ranting, dan satu buah wartel dibagian tengah-tengah bola salju bagian atas, Naruto yang semula berniat menyumpahi keberadaan boneka salju tersebut seketika bungkam. Reflek membalikan badan kearah belakang melihat rumahnya yang berjarak sekitar satu kio meter dari tempat ia berada. Bagus! Akibat ulah para sepupunya yang membawa kutukan dari patung itu, Naruto harus mengalami kesialan lagi. Parahnya ia malah mengutuk dirinya sendiri yang terlupa bila dia sendiri lah membuat boneka salju ini.

"Aku bersumpah, kalian akan membayar semua ini!" Berjalan diliputi perasaan marah, melangkah dengan menghentak-hentakan kaki secara kasar menginjak timbunan salju tebal hingga meninggalkan jejak dari telapak sepatu kayu miliknya, Naruto menggenggam erat ganggang pedang menggunakan sebelah tangan. "Tunggu saja! Jika aku telah kembali menjadi besar, akan ku bakar jam tua itu dan mengusir mereka dari rumahku agar tiada lagi kesialan yang datang!"

Menerawang pemandangan dihadapannya dengan seksama, Naruto yang mengedarkan pandangan kedua mata meneliti setiap detail, baru menyadari bila kini ia memasuki kawasan hutan yang gelap dipenuhi pohon pinus menjulang tinggi tertutupi tumpukan salju. Mendapati jejak-jejak kaki pasukan tikus mengarah kedalam hutan pinus raksasa, Naruto meneguk ludahnya dengan cepat dalam satu kali tegukan. Mengangkat tinggi pedang miliknya sembari berjalan selangkah demi selangkah, rasa takut adalah yang paling mendominasi didiri Naruto saat ini. Enggan memasuki kawasan tersebut namun ia tak punya daya untuk menolak. Naruto tak ingin seumur hidupnya terjebak dalam tubuh boneka pemecah kacang.

Menembus dinginnya angin dan guyuran salju menerpa, kaki Naruto bergetar dengan gigi bergemelutuk kuat. Menahan perasaan takut bergelayut dipikiran atas semua konsekuensi serta kemungkinan terburuk yang akan ia hadapi. Bagaimana bila ia diserang hewan liar dan tubuhnya dimakan? Bagaimana jika saat berjalan tanpa ada pencahayaan memadai tiba-tiba ia masuk kedalam jurang, kedinginan seorang diri kemudian meninggal ditengah jalan saat akan mencari jalan keluar? Atau mungkin bisa saja saat melakukan investigasi memata-matai pasukan tikus, ia ketahuan dan mereka akan membunuhnya?

"Tidak! Tidak!" Menggelengkan kepala cepat sembari melangkah mundur kebelakang. Keberanian yang sempat menguasi diri Naruto perlahan luntur, terkikis oleh rasa takut teramat luar biasa ketika tersugesti oleh pemikiran buruk yang ia buat sendiri. Kematian adalah momok menakutkan bagi Naruto disaat dia sendiri dikelilingi mara bahaya, namun apakah Naruto sanggup terjebak dalam tubuh boneka pemecah kacang jika ia lebih memilih berdiam diri tanpa melakukan apapun?

"Aku tidak bisa menanggungnya." Sampai matipun, Naruto pasti tak akan sanggup berada ditubuh boneka. Menggenggam ganggang pedang semakin erat, Naruto menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Aku harus mencari Peri Sugar Plum!"

Memupuk semangat yang menjadi pelontar semua rasa takut hingga perasaan itu memudar dengan sendirinya, Naruto pun melangkahkan kaki, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menembus derai hujan salju, tak memperdulikan pekatnya hutan pinus yang rindang ditengah kegelapan malam. Memasuki kedalaman hutan, Naruto yang berjalan dengan mengikuti jejak langkah kaki serdadu pasukan tikus begitu terhipnotis akan keindahan ribuan hutan pinus dihiasi guyuran salju. Hutan pinus ternyata tak menakutkan seperti yang ia kira sebelumnya, malah terlihat indah dan juga menawan dengan kristal-kristal es berbentuk tetesan air terdapat di ruas daun-daun pinus. Naruto seakan berada kedunia lain... Dunia yang sangat menakjubkan. Tak pernah ia lihat diantara hiruk pikuk pusat desa, ataupun potret lukisan dibawakan Drosselmeier ketika berkunjung. Hutan pinus ini menjadi daya tarik tersendiri, begitu berbeda hingga Naruto sulit memalingkan muka untuk sekedar berhenti memuja keindahan itu.

Tak sengaja memandang kearah depan, pohon pinus yang berjejer rapi dihadapan mata sedikit banyak mencuri perhatian pemuda itu. Menatap dalam pandangan intens deretan pohon pinus yang terasa aneh bagi Naruto, dimana terdapat satu-satunya batang pinus berukuran sedang untuk ukuran manusia berada tepat ditengah-tengah. Pohon pinus tersebut dikelilingi pohon pinus lainnya hingga membentuk sebuah lingkaran dengan jarak lingkaran berdiameter sekitar tiga meter. Memang bila diperhatikan secara seksama terlihat tak ada keistimewaan, sama seperti pohon pinus sebelumnya pohon pinus ini cuma dihiasi tumpukan salju. Entah hanya perasaan Naruto saja atau terbawa suasana, dimata Naruto pohon pinus itu berbeda dibandingkan yang lainnya. Perbedaan itu terasa istimewa sebab Naruto seperti merasakan ikatan tak kasat yang bersumber pada pohon pinus tersebut. Bergerak dibawah pengaruh alam bawah sadar, tanpa Naruto sadari ia kini melangkah pelan, memasukan pedang yang ia genggam kedalam sarung terletak disisi pinggul kiri sambil mendekati pohon pinus dengan menjulurkan tangan kanan, mengusap lembut permukaan batang pinus yang secara tak terduga menampakan sinar terang benderang berwarna kuning keemasan. Memunculkan sebuah pintu ukuran besar pada permukaan batang pohon tersebut ketika sinar keemasan memudar.

"Wahh..."

Memandang kagum pintu yang terpahat pada permukaan batang pohon disertai serbuk-serbuk emas nan cantik berterbangan. Sedikit celah pada pintu yang terbuka, serbuk-serbuk emas semakin banyak berterbangan disekeliling Naruto, sangat kontras dengan sinar kuning keemasan yang menyilaukan mata muncul dibalik pintu tersebut. Rasa penasaran yang menggelitik hati, ditambah kekaguman merasuk relung akibat terlampau jatuh hati pada keindahan yang mempesona dirinya, Naruto pun melangkah, berjalan memasuki celah pintu yang terbuka tanpa ada rasa gentar. Tubuh berukuran kecil terbalut boneka pemecah kacang itu sepenuhnya telah menghilang, tertelan kemilau cahaya hingga celah pintu yang terbuka tertutup perlahan dengan sendirinya diiringi sinar kuning keemasan dan serbuk emas yang mengelilingi pintu dalam sekejap menghilang. Kembali menjadi seperti semula dimana hanya ada pohon pinus ditemani gelapnya malam dan derai hujan salju.

Tak memiliki pintu...

Tak memiliki cahaya emas yang menyilaukan.

.

.

.

Ruangan gelap tak terterangi cahaya, dihiasi rak-rak tinggi berisi ribuan buku-buku tebal, barang-barang antik berserakan didalam ruangan, meja besar berwarna coklat tertata rapi olej beberapa cawan dan guci mengeluarkan aroma menyengat disertai asap biru keunguan menguar dari guci tersebut. Buku-buku tebal bertuliskan simbol-simbol sarat nuansa mistik dengan bentuk visual dari gambar yang tertera semakin menambah rhoma lain pada ruangan tersebut. Beberapa gelas-gelas tinggi diperuntukan untuk anggur merah kini terisi cairan beragam warna yang menyala, mangkuk-mangkuk besar berserta keranjang rotan dihuni tanduk sapi, empedu hewan, jantung manusia dan macam-macam benda tak lazim lainnya nampak tertata rapi diatas meja. Ekor gaun panjang memiliki corak bulu-bulu merak berwarna hitam dengan payet-payet cantik berasal dari batu-batu kecil serupa batu onyx pada sketsa burung merak tersebut terlihat pada lantai bebatuan. Perpaduan warna yang sangat kontras antara barang-barang mengerikan tersebut dengan sang empu pemilik ruangan.

Namun dari segelintir benda yang berada diruangan tersebut, sosok mengenakan gaun ketat yang menampakan lekuk tubuh dengan kerah gaun mencapai batas kepala menutupi rambutnya hanya terpaku pada satu benda. Sebuah benda berukuran medium dilapisi perak mengkilap dengan ukiran-ukiran indah membingkai keseluruhan sisi benda tersebut yang terpahat sempurna dipermukaan dinding. Sketsa wajah dari pemilik ruangan terpendar, menampakan ekspresi sesosok wanita diliputi bingar kekuasaan, bercirikan sikap otoriter yang kuat tanpa peduli akan derajat dan kebebasan inividu.

"Cermin ajaib..." Menyapukan jemari telunjuk berpoleskan kuku-kuku panjang berwarna merah menyala, wajah angkuh si wanita menatap tajam benda dihadapannya. "Siapakah wanita paling cantik dimuka bumi ini?"

Sketsa wajah wanita itu pun perlahan berganti menjadi riak air pada permukaan cermin, kemudian topeng putih memiliki tiga buah lubang pada dua bagian atas untuk mata dan satu dibibir muncul setelah riak air tersebut menghilang. "Anda lah yang paling cantik, Yang Mulia."

Tawa wanita itu pun meledak, membaur bersama keheningan dan semerbak aroma dari peralatan yang ada diatas meja. Membalikan badan berjalan sejenak hendak meninggalkan cermin tergantung didinding, langkah kaki wanita itu terhenti ketika ebuah permikiran terlintas, jelas dia tak puas mendengar satu pengakuan saja. "Wahai cermin ajaib." Ujarnya sembari melangkah mendekat. "Siapakah wanita paling cantik dimuka bumi ini?"

Dan cermin pun kembali menjawab. "Anda lah yang paling cantik, Yang Mulia."

Senyum lebar terpantri diwajah disertai gelak tawa membahana seantero ruangan menjadi pengiring untuk kedua kalinya setelah melontarkan pertanyaan yang sama. Senyum penuh kepuasan terpeta diwajah si wanita, cermin kecil yang ia raih diatas meja menjadi penguat akan pengakuan dari cermin ajaib saat melihat sketsa diri pada cermin kecil tersebut. "Aku memang cantik~" pujanya demikian. "Aku adalah wanita paling cantik didunia ini! Mwahahahahahaha!" Tertawa terbahak-bahak, wanita itu merasakan kebahagiaan yang tiada tara.

Menghentikan gelak tawa ketika terlintas sebuah pemikiran yang sama, wanita itu pun mendekat kembali kearah cermin dengan kepercayaan diri yang tinggi. Bersiap untuk mengukuhkan satu pernyataan lagi mengenai keabsahan penyandang wanita tercantik didunia. "Cermin ajaib... Siapakah wanita paling cantik dimuka bumi ini?"

Topeng putih yang memunculkan diri pada permukaan cermin terlihat. Bersiap menjabarkan jawaban dinanti oleh wanita itu. "Anda lah yang paling cantik, Yang Mulia."

Senyum keangkuhan kembali berpendar diwajah si wanita. Telah mengira bila jawaban yang sama akan dilontarkan cermin ajaib tersebut, bahwasanya tiada seorang pun yang cantik kecuali dirinya seorang.

"Tetapi Putri Hinata jauh lebih cantik dibandingkan kecantikan yang anda miliki."

Lepas.

Cermin kecil berada dikedua tangan wanita tersebut terlepas. Hancur berkeping-keping saat membentur lantai bebatuan akibat tertarik daya gravitasi ketika melepaskan benda tersebut. Wajah dipolesi eyeshadow berwarna ungu tua, dengan lipstik merah menyala membingkai bibir tipisnya berubah seketika dalam sekejap. Tiada lagi senyuman angkuh terukir lebar, tiada lagi gelak tawa membaur seantero ruangan yang sepi, yang ada sekarang hanyalah raut murka dengan deretan gigi-gigi putih si wanita bergemelutuk kuat. Menyeruakan kemurkaan teramat luar biasa tersalurkan lewat genggaman kedua tangan mengepal erat menampakan ruas jari memutih. Kebencian telah merasuk didiri wanita itu.

"Putri Hinata?" Mengulang nama seseorang dilantunkan cermin ajaib beberapa detik lalu dengan intonasi nada suara yang terkesan jijik. Wanita itu pun membalikan badan, berjalan dengan langkah kaki lebar menuju kearah meja berisi benda-benda tak lazim. "Putri Hinata... Kheh! Putri Hinata katanya?"

Getaran hebat tercermin secara jelas melalui kedua tangan si wanita yang mengepal erat. Mimik wajah wanita bersanggul tinggi, menggunakan mahkota berlapiskan emas putih dipadu padakan dengan batu mulia berharga fantastis kini tak dapat diterka. Perasaan marah, tak rela, dengki karena kecantikan yang ia miliki sekarang tersaingi oleh seseorang. Seseorang yang sangat ia benci, dan ia tindas sendari belia menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir hingga wanita itu bertindak kejam pada sang putri tersebut. Bagaikan dipermainkan oleh takdir, selepas menghabisi sang Raja kemudian mengambil alih pandu kekuasaan kerajaan, buah cinta dari sang raja dan ratu terdahulu yang ia biarkan hidup namun mendapatkan perlakuan tak manusiawi akibat siksaan ia berikan seolah datang untuk menghancurkan hidup wanita itu. Lihat sekarang apa yang sudah ia perbuat padanya? Mengambil alih gelar satu-satunya wanita tercantik didunia.

"ARGHHH!"

Menyibak semua peralatan yang tersaji diatas meja menggunakan kedua tangan, benda-benda tak lazim berserta dentingan gelas kaca yang berjatuhan diatas lantai terdengar bersama dengan teriakan penuh amarah didengungkan si wanita. Tersulut emosi mengetahui benalu yang ia hidupi ternyata merebut predikat perempuan tercantik yang dia jaga selama bertahun-tahun.

"Tidak bisa!" Teriak wanita itu lagi. "Ini tidak bisa dibiarkan!" Berjalan kesana kemari tak tentu arah diruangan miliknya, wanita yang diliputi amarah tersebut menggerbak meja kayu dengan kepalan kedua tangan. "Edgar!"

Pintu besar berwarna coklat terbuka lebar, menampakan sesosok mahkluk memiliki tinggi 100cm dengan kedua telinga lebar, mata merah menyala mengenakan seragam khas deputi kerajaan berlari menuju kearah wanita itu. "I-Iya, Yang Mulia..."

"Dimana Reginald?" Wajah murka sang wanita tak juga pudar. Semakin membuat mahkluk kecil itu meringkut ketakutan.

"D-Dia belum kembali, Yang Mulia."

Memalingkan wajah menatap makhluk kerdil tersebut, sinar berwarna kehitaman muncul dibalik tangan kanan si wanita, mengenai tubuh makhluk itu hingga terpental menghantam dinding. "KENAPA DIA BELUM JUGA KEMBALI!"

Makhluk kecil berwajah seperti makhluk mitologi menyeramkan itu meringkut kesisi dinding sembari menahan rasa sakit mendera tubuh, tak berani mengadahkan kepala menatap sang wanita yang sekarang semakin menunjukan kemurkaannya. Dia tak ingin bernasip naas ditangan sang Ratu yang sedang meledakan amarah. "Ha-Hamba tidak tahu, Yang Mulia."

Bukan sebuah jawaban yang tepat, dan tentu saja amarah sang Ratu makin tak terkendali. Melesatkan cahaya kehitaman bak petir dari kedua tangan keseluruh penjuru arah, membuat ruangan yang semula rapi kini porak poranda. Hancur lebur akibat ledakan diarahkan sang wanita membabat habis semua benda yang berada dalam jangkauan pandangan mata hingga asap pekat serta gemuruh suara ledakan terus terdengar. Menggelora seisi ruangan. Makhluk kerdil itupun tak kuasa menahan perasaan takut lantaran tak ingin menjadi objek ledakan sang Ratu yang berperingai seperti iblis.

"Aku ingin putri Hinata mati..." Tak lagi melesatkan serangan pada seluruh penjuru ruangan tempat dia berada. "Aku ingin putri Hinata mati!" Gerak nafas sang Ratu memburu ditengah pekatnya asap mengudara, memicing tajam terpeta dari mata emerlandnya saat menatap satu objek terpahat didinding yang masih utuh -tak mendapat serangan. "Sewa seorang pembunuh bayaran terkenal dinegeri ini untuk menyamar menjadi pengawal istana. Lalu perintahkan putri Hinata mencari biji buah oak didalam hutan bersama pembunuh bayaran itu." Sang Ratu memiliki surai merah muda berjalan mendekati gorden tebal berwarna merah marun, kemudian menyibakan gorden tersebut hingga sinar matahari membias kaca jendela.

"Satu peti emas akan kuberikan bila ia berhasil memenggal kepala putri Hinata dan membawanya kehadapanku."

.

Seorang wanita bersurai indigo dengan mata putih tak berpupil menanggalkan aktivitasnya yang sedang membersihkan lantai saat sesosok makhluk kerdil muncul diambang perbatasan ball room ruang istana. "Ibu memintaku mencari biji buah oak?"

"Benar!" Angguk Edgar mantap. "Pengawal akan mendampingimu nanti saat masuk kedalam hutan."

Tak perlu menimbang akan perintah yang disampaikan Edgar, wanita terselimuti kulit seputih salju tersebut melepaskan apron maid yang ia kenakan. Bersiap berangkat dengan mengenakan gaun biru keunguan melekat ditubuh sembari meraih keranjang rotan disodorkan Edgar. "Ikuti aku, pengawal telah menunggumu digerbang utama."

Melihat Edgar melangkahkan kaki terlebih dahulu, wanita itu pun mengekori Edgar dibelakang. Mengarungi luasnya bangunan istana yang megah, dihiasai beragam barang-barang mewah terlapisi emas, perak, dan tak sedikit juga menjumpai permata-permata elok, pilar-pilar berukuran besar yang menyangga bangunan istana nampak dipengheliatan si wanita ketika sampai pada teras istana. Kembali melangkahkan kaki mengarungi halaman istana yang luas dipenuhi bunga-bunga, pepohonan rindang, serta rumput hijau yang menjadi lantai. Gerbang berukuran besar terlihat megah berada dipangkal halaman menampilkan sesosok laki-laki bersurai coklat, mengenakan seragam kebesaran pengawal kerajaan dengan sebuah pedang tersemat rapi pada sisi kiri pinggul lelaki tersebut. Ketika telah sampai digerbang utama, laki-laki itu membungkukan tubuh memberi hormat kepada sang wanita.

"Mari, tuan putri." Ajak lelaki itu mempersilahkan si wanita berjalan terlebih dahulu keluar dari gerbang yang terbuka.

"Terima kasih." Balas sang putri melangkahkan kaki.

Mendapati Hinata telah berjalan beberapa langkah dari gerbang utama, Edgar pun mendekati si lelaki saat merasa jarak Hinata terlampau jauh untuk mendengar suaranya yang bergumam pada sang pengawal. "Satu peti emas jika kau berhasil memegal kepala putri Hinata dan membawanya kehadapan sang Ratu."

"Baik." Mengangguk kecil sebagai respon akan isyarat dari Edgar, lelaki itu pun turut melangkahkan kaki mengejar ketertinggalan menyusul Hinata.

Berjalan selama empat puluh lima menit menyusuri pemukiman warga yang pada akhirnya menghantarkan kedua insan tersebut pada kedalaman hutan rindang dipenuhi pepohonan menjulang tinggi. Akar-akar tertutupi lumut berukuran besar menjalar dipermukaan tanah, semak-semak belukar dari tanaman liar, bunga-bunga cantik aneka warna dan ragam, tetesan air dari dedauan pohon-pohon disertai suara riuh hewan-hewan penghuni hutan menjadi pengiring dalam perjalanan putri Hinata bersama sang pengawal. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki selama hampir satu jam lamanya belum mencapai kata klimaks. Tanaman liar seperti buah oak hanya di padang rumput, dan letak padang tersebut berada jauh didalam kawasan hutan. Walau telah berjalan cukup jauh memasuki kawasan hutan, rasa penat yang mendera menghentikan laju langkah kaki sang putri. Hinata membalikan badan, berinisiatif mengajak lelaki dibelakangnya untuk menyelamatkan persedian kaki yang terasa linu akibat terlalu lama berjalan.

"Bisa kita istirahat seje-"

'CRANK!'

Kemilau benda tajam menampakan eksistensi dibalik sarung kayu terlihat, mata putih tak memiliki pupil milik Hinata terbelalak lebar seketika menyadari pedang panjang tersebut telah keluar dari peraduan secara sempurna dengan sang pemilik pedang bersiap menghunuskan benda tersebut pada tubuh Hinata. "Salahkan takdir bila anda kecewa pada ironi kehidupan ini, Yang Mulia."

Tebas.

Lelaki bersurai coklat itu menghunuskan bilah mata pedang dengan gerakan vertikal, hendak menyapukan bilah pedang ke leher Hinata yang secara tak terduga dihindari oleh Hinata. Wanita bersurai indigo itu tak sengaja menginjak akar kayu yang telah lapuk hingga kakinya terperosok, terduduk diatas tanah. Membuat fokus serangan si lelaki berpindah objek menjadi menghunus batang pohon bukan tubuh Hinata. Melihat tekanan yang cukup dalam dibuat oleh tebasan pedang si lelaki, Hinata pun segera beranjak. Berlari menjauhi si lelaki yang masih berkutat melepaskan bilah pedang dari permukaan batang pohon.

"T-Tolong!" Berlari sembari berteriak kencang meminta pertolongan, Hinata terus melangkahkan kaki menembus semak belukar yang menerjang. Berusaha menghindari laki-laki yang mengejarnya dengan sebilah pedang ditangan. "Tolong aku!"

Gemersik suara dedauan kering terdengar riuh ditelinga Hinata. Cukup menjadi petunjuk akan gambaran bila laki-laki tersebut masih mengejar, dan bahkan keberadaannya kian mendekat. Hinata tak memiliki pilihan lain selain melajukan kedua langkah kaki dengan lebar, menerjang pepohonan kecil serta semak belukar yang menyulitkan pergerakannya menghindari laki-laki itu. Ditambah sepatu hak berukuran lima senti dikenakan oleh Hinata terasa membebani kecepatannya, tak urung gadis berkulit putih itu sering tersandung oleh akar-akar pohon yang menjalar ditanah. Hampir membuatnya terjatuh namun dia masih bisa bertahan, berusaha keras menyeimbangkan tubuh disaat sang pembunuh semakin dekat untuk bisa menjangkaunya.

"Seseorang, kumohon tolong aku!"

Sia-sia...

Hinata tahu teriakan yang ia lantunkan tidak akan didengar oleh siapapun. Ia berada seorang diri, didalam hutan bersama dengan seorang laki-laki yang berniat membunuhnya. Kecil kemungkinan dia mendapat pertolongan, sebab jangankan bertemu dengan orang lain, keberadaan pemburu yang biasa memburu hewan-hewan dihutan juga tak dapat Hinata temukan. Hinata tak mengantungkan harapan terlampau tinggi, satu-satunya cara yang dapat ia lakukan saat ini adalah meloloskan diri dari jerat kematian. Terus berlari sekencang mungkin membuat jarak tempuh yang cukup jauh agar pembunuh itu tak dapat menjangkaunya, kemudian bersembunyi disuatu tempat sampai pembunuh itu pergi. Dan ia pun dapat kembali ke istana dengan selamat.

Terlalu larut dalam pikiran sendiri mencari jalan keluar menghindari pembunuh dibelakangnya, Hinata yang terus memacu langkah kaki tiba-tiba tersandung. Tak menyadari bila akses jalan yang ia lewati terdapat sebuah akar pohon tertutupi dedauan kering dengan tebing curam tepat berada dibawah pohon tersebut.

"KYAAAA!"

Selepas terjatuh, tubuh Hinata berguling dengan kencang pada tebing tersebut. Membentur beberapa material bebatuan serta pohon-pohon yang tumbuh pada permukaan tebing, terus bergerak kebawah menuju dasar yang gelap tak terterangi setitik cahaya dengan hamparan hutan lebat terlihat didasar jurang. Melihat Hinata terjatuh dan berguling pada tebing curam tersebut, lelaki yang menggenggam erat pedang ditangan berhenti berlari. Berjalan dengan perlahan menuju bibir tebing sembari menormalkan gerak pernafasan yang memburu sehabis berlari. Memandang dalam diam hamparan hutan dari atas tebing tempat ia berpijak, laki-laki itu pun memasukan kembali pedang panjang digenggaman tangan kedalam sarung kayu. Membalikan badan sembari melangkahkan kaki meninggalkan bibir jurang.

.

.

.

Hamparan salju adalah hal pertama yang Naruto lihat ketika menjejakan kaki saat membuka pintu pada permukaan pohon pinus berukuran normal. Guyuran titik-titik putih menerpa bumi masih berderai lembut, meliuk dengan riang diantara hembusan angin yang mengalun pada permukaan pipi Naruto. Mengedarkan pandangan mata menyapu keseluruh penjuru arah tempat dia berada sekarang, mata sebening samudera dimanja oleh rindang pepohonan hutan pinus berbaris teratur seperti yang ia lihat sebelumnya, dengan satu buah pohon pinus berukuran sedang menjadi central, dikelilingi pohon-pohon pinus lainnya berjarak sekitar 3 meter dari posisi pohon pinus tersebut. Berbeda dengan kawasan hutan pinus yang Naruto jelajahi sebelum memasuki pintu misterius di salah satu pohon pinus, hutan pohon pinus ini berukuran normal seperti pohon pada umumnya, tak lagi berukuran raksasa seperti saat lalu. Cuaca yang menyelimuti kawasan hutan pinus ini pun tidak dikuasi oleh langit kelam yang ditemani hamparan bintang berpendar keseluruh angkasa raya. Laksana disiang hari, itulah yang Naruto lihat saat mengadahkan wajah keatas menerawang awan kelabu.

Membersihkan topi tinggi berwarna hitam melekat dikepala kini yang tertutupi salju, Naruto memberanikan diri melangkahkan kedua kaki tanpa melihat kembali kebelakang dimana pintu pada permukaan batang pinus tersebut menghilang, meninggalkan jejak-jejak serbuk emas memudar seiring waktu sehingga tiada lagi yang tersisa. Tubuh terselimuti boneka pemecah kacang melihat kekiri dan kekanan memandang seisi kawasan hutan guna mencari keberadaan pasukan tikus.

Mengetahui keberadaan musuh adalah point penting yang harus Naruto utamakan, selain menghindari mara bahaya, Naruto juga meminimalisir terjadinya hal-hal tak diinginkan. Bukan bermaksud untuk berprasangka buruk, mencari Peri Sugar Plum sama saja menabuh genderang perang karena dari riwayat yang disampaikan patung jam besar tersebut, Peri Sugar Plum dan pasukan tikus dipimpin Reginald saling kontra satu sama lain. Walau cuma menerka saja tanpa dijelaskan secara spefisik, garis besar hubungan keduanya telah dapat Naruto tafsirkan dengan baik.

"Wow..." Decak Naruto kagum melihat panorama pohon pinus diantara guyuran hujan salju terlihat sangat indah. Bila beberapa saat lalu kegelapan malam sedikit memudarkan keindahan hutan pinus, pesona tumbuhan itu sekarang seakan ditegaskan kembali. "Aku tidak pernah tahu jika hutan pinus bisa seindah ini meski dilanda musim dingin." Setidaknya presepsi Naruto mengenai kengerian hutan pinus konon dihuni binatang buas dan roh gentayangan, kini terpatahkan. "Hutan pinus ternyata tak seseram yang kukira."

Menatap dalam pandangan memuja kala semakin melangkahkan kaki menyusuri deretan pepohonan pinus, mata biru Naruto semula tertuju pada tetesan air di helain ruas daun pinus yang membeku kini teralihkan saat memandang sebuah tiang besi berada diantara pohon-pohon pinus. Seolah terhipnotis, Naruto tak mampu memalingkan wajah walau hanya sekejap melihat sebuah wadah pada sisi bagian atas tiang besi menampakan cahaya kekuningan dari lilin yang menyala. Terasa hangat... Mengingatkan Naruto pada rumahnya.

"Aku harus kemana?" Menatap dalam pandangan lurus deretan hutan pinus dihadapannya, sorot mata Naruto berubah sendu. Tak tahu lagi harus kemana ia melangkah sementara dia kini seorang diri, ditengah guyuran salju yang terasa semakin dingin hingga menusuk tulang. "Dimana Peri Sugar Plum? Aku bahkan tidak tahu kemana akan mencarinya."

Seketika perasaaan sedih melanda Naruto berganti menjadi perasaan marah, teringat akan kepingan-kepingan memori beberapa saat lalu yang menghantarkan dia pada situasi sulit seperti ini karena dilatar-belakangi oleh satu hal. Patung wanita duyung terkutuk itu yang telah memancing kedatangan pasukan tikus akibat kesialan yang dibawa sepupu-sepupu idiotnya sehingga Naruto berakhir begini.

"Semua ini gara-gara mereka!"

Ya! Siapa lagi yang patut dipersalahkan atas semua kesialan ini kalau bukan anak-anak autisme itu! Selama 13 tahun Naruto hidup, walau terbangun dimalam hari Naruto tak pernah menemukan keanehan lain seperti segerombolan tikus pencuri yang dapat mengeluarkan sihir ataupun patung jam yang dapat berbicara. Cuma hari ini, hari dimana anak-anak perusak itu datang. Menghancurkan moment istimewanya dalam beberapa jam saja hingga kini Naruto harus bergelung dalam mara bahaya. Terjebak ditubuh boneka pemecah kacang dan sekarang tak tahu harus melangkah kemana mencari Peri Sugar Plum.

"Tunggu aku kembali menjadi besar, akan ku enyahkan mereka semua!" Emosi Naruto kembali berkobar, menghardik semua orang yang ia anggap bertanggung jawab atas musibah ini dalam sumpah serapah dan caci maki terlantun dibibir. Sisi emosional Naruto beranjak naik namun secara tak langsung menyulut semangat pemuda itu hingga sekarang ia menghentakan kedua kaki. Menembus pepohonan pinus dengan mengemban satu tujuan penting. "Aku harus kembali menjadi manusia!"

Apapun yang terjadi, Naruto bertekad menemukan Peri Sugar Plum agar ia bisa kembali seperti semula.

Sepanjang perjalanan menembus hutan pepohonan pinus, Naruto yang telah berjalan selama hampir dua jam lamanya mulai menunjukan tanda-tanda menyerah. Muak melihat deretan pohon pinus terus ia jumpai selama perjalanan setelah melangkah cukup jauh. Meskipun tubuh yang Naruto gunakan sekarang adalah tubuh boneka, tetap saja stamina ia miliki sama seperti manusia pada umumnya. Dapat merasakan sakit, kedinginan, penat, lelah disekujur tubuh, dan sekarang ia merasa ingin pingsan. Naruto belum pernah berjalan sejauh ini, kalaupun berjalan kaki, jarak terjauh yang pernah Naruto tempuh adalah berjalan ke alun-alun desa. Itupun dari kediamannya, Naruto menaiki kereta kuda dan dilanjutkan berjalan kaki selama lima menit. Terkadang belum mencapai lima menit ia sudah merasa lelah, kemudian meminta Sebastian mengendongnya (pelayan mereka) ketika menuju ketoko mainan. Sampai dirumah hendak masuk kedalam kamar pun, Naruto masih menyuruh Sebastian mengendongnya.

"Aku lelah! Aku merasa akan mati sekarang!" Teriak Naruto hyperbolis ditengah nafas yang memburu akibat rasa penat menerjang persendirian kaki. Pemuda itu mendudukan diri secara kasar dibawah pohon pinus. "Kenapa hanya ada pohon pinus saja?" Desah Naruto pelan. "Apa di negeri ini cuma ada pohon pinus? Atau jangan-jangan Peri Sugar Plum itu sebenarnya adalah pohon pinus?" Mata Naruto menyipit sayu, mulai melantur. "Hei Peri Sugar Plum! Ayo cepat ubah aku menjadi manusia lagi! Aku sudah tidak tahan lagi berada ditubuh ini sementara sepupu-sepupuku bersenang-senang diatas penderitaanku karena ulah mereka!" Jemari kotak-kotak terbuat dari kayu memukul-mukul permukaan batang pohon pinus.

Tak sengaja memandang kearah jemari tangan dibatang pohon pinus, Naruto berdecih sinis. "Kheh! Boneka pemecah kacang..." Gumamnya menerawang dalam tatapan sendu. "Aku tidak ingin berakhir menyedihkan seperti ini. Hidupku sangat berharga, bukan takdirku menjadi boneka yang dikutuk." Tangan Naruto mengepal erat, memukul dengan telak permukaan batang pohon pinus tempat ia beristirahat. "Sebelum kau mendapat kesulitan karena mempermainkan takdirku, cepat ubah aku menjadi manusia lagi! APA KAU DENGAR AKU, PERI SUGAR PLUM!"

'BRAK!'

"GYAAAA!"

Terlalu kuat melayangkan kepalan tangan kanan menghantam batang pohon pinus yang keras, Naruto berteriak kencang. Menyeru rasa sakit yang teramat luar biasa, tulang jemari Naruto terasa akan remuk sekarang. "Berengsek!" Memeluk erat tangan kanan yang berdenyut linu, Naruto lekas beranjak. Menatap nyalang pohon pinus dihadapannya. "Berani sekali kau melukai jariku, Peri Sugar Plum! Setelah kau membuatku terjebak ditubuh boneka, tak mau mengembalikanku kewujud semula, sekarang kau ingin membunuhku dengan menyakiti jari-jariku! Begitu!" Naruto benar-benar salah paham, menganggap pohon pinus adalah jelmaan Peri Sugar Plum akibat frustasi karena terlalu lelah berjalan tanpa mengetahui pasti dimana peri itu berada.

"Jawab pertanyaanku! Apa kau takut setelah aku mengetahui rencana busukmu? Iya kan?! Kau bersekongkol dengan patung duyung dan sepupu-sepupuku untuk membuat hidupku hancur seperti ini! Benarkan?! Ayo mengaku, Peri Sugar Plum!"

Hening...

Hanya desir angin ditengah derai hujan salju menemani kesendirian Naruto yang sedang meluapkan amarah pada sebatang pohon pinus. Emosi Naruto kian meledak, menyeruakan perasaan marah yang semakin menjadi-jadi mendapati keterdiaman pohon pinus. Cukup sudah! Naruto telah mengetahui semuanya sekarang. Maksud dari pernyataan patung wanita duyung mengenai cahaya -atau apalah itu cuma bualan belaka. Sebuah realita semu yang sangat kejam karena fakta sebenarnya yang Naruto tangkap adalah Peri Sugar Plum hanya sosok fiktif. Patung wanita itu benar-benar bersandiwara, bersekutu bersama sepupunya untuk mengutuk Naruto!

"Kalian menipuku!" Seru Naruto berteriak marah. Menatap kedua kaki tertutupi lapisan salju tipis dengan perasaan kalut. Murka, kecewa, dan perasaan getir menghadapi kondisi tubuhnya yang membuat Naruto serasa ingin menangis. "Mengutukku tanpa ada Peri Sugar Plum atau siapapun yang bisa mengembalikanku menjadi seperti sedia kala-"

'SRAK!'

Kalimat Naruto terputus, mendengar gemersik dedauan pohon pinus masuk kedalam pendengaran. Tubuh dibalut boneka pemecah kacang itu reflek berbalik kearah belakang, menerawang dengan pandangan seksama dimana sumber suara tersebut berada. Semilir suara angin beralun lembut ditengah derai hujan salju, Naruto menajamkan kedua mata, memandang intens deretan pohon-pohon pinus berjumlah ribuan dihadapannya.

"Siapa?" Seru Naruto dari tempat ia berpijak. "Apa ada orang disini?"

Sama seperti saat-saat lalu, tiada satupun yang menjawab pertanyaan Naruto. Hanya ada hembusan angin diantara rinai salju berjatuhan dari langit menemani kesendirian Naruto. Membuat Naruto yakin bila tidak ada seorang pun disini selain dirinya. "Mungkin cuma perasaanku saja."

'SRAK!'

Berniat kembali duduk dibawah pohon pinus beristirahat sejenak sebelum memutuskan kemana ia akan kembali melangkah, Naruto yang belum sempat duduk pada akar pohon pinus terperanjat kaget mendengar suara yang sama terdengar lagi. "Siapa disana!"

Tidak ada jawaban. Atau sekedar mendengar suara itu datang untuk ketiga kali juga tak ada. Mengukuhkan hipotesis Naruto bila suara tersebut berasal dari hewan-hewan dihutan pinus ini. Biasanya sejenis tupai, monyet atau binatang-binatang lain yang suka memanjat untuk memetik biji-bijian didedauan pohon pinus. "Mengganggu saja!" Gerutu Naruto duduk diatas akar.

'SRAK! SRAK! SRAK!'

Baru sejenak merenggangkan otot, suara itu kembali terdengar. Tak hanya sekali kemunculannya dalam periode satu waktu, tetapi suara tersebut kini berani menunjukan eksistensinya baik dari segi audio maupun visual. Terlihat dengan jelas dimata sapphier Naruto, daun-daun pohon ketiga dari baris keempat sebelah kiri bergerak cepat seakan-akan diterpa hembusan angin yang sangat dahsyat walau nyatanya tiada angin berhembus saat ini. Parahnya lagi tak hanya daun-daun pohon pinus itu saja yang bergerak, dedauan dari pohon-pohon lain pun turut bergerak. Membuat Naruto tak bisa berkata atau sekedar beranjak dari tempat ia berpijak. Terbelalak lebar dengan tubuh mematung, itulah reaksi Naruto saat ini ketika pergerakan dedaunan pohon pinus bergerak secara bergantian mendekati Naruto dari satu pohon ke pohon yang lain.

'Pasukan tikus! Apakah mereka pasukan tikus!' Batin Naruto berteriak keras membelalakan kedua mata. 'Lari! Aku harus lari! Aku tidak ingin mati ditempat seperti ini!' Berusaha berontak dari kebekuan membelenggu tubuhnya dengan memproses kinerja otak agar lekas berlari, tubuh Naruto tidak juga bereaksi memberikan aksi berarti. Jangankan meraih pedang disisi pinggul sebelah kiri, saat ini yang hanya bisa Naruto lakukan adalah mematung. Membuat pemuda itu dirundung asa duka karena tak dapat mengontrol tubuhnya. 'Kumohon... Bergerak lah! Aku tidak mau mati... Aku tidak mau mati!'

Pergerakan dedauan pohon semakin mendekat, dan mendekat hingga sesosok bayangan hitam memasuki rindangnya dedauan pohon pinus dihuni Naruto. Daun pohon pinus itu pun bergerak hebat laksana tertiup topan, menimbulkan bunyi gemersik yang sangat memekakkan telinga. Jantung Naruto berdegup kencang, menimbulkan rasa linu dari denyutan dada Naruto yang tak kuasa menahan debaran jantungnya sendiri. Rasa takut menelusup relung, perasaan khawatir akan keselamatan diri dan kegelisahan melanda hati. Naruto tak tahu lagi harus memikirkan apa selain kematian. Kematian yang akan menjemput dirinya saat siluet bayangan hitam merambat dari batang pohon pinus tersebut.

"Dor!"

'BRUK!'

Tak sempat berteriak, atau sekedar melihat dengan intens sosok dari siluet hitam tersebut yang memunculkan diri dari atas pohon tepat dihadapan wajah Naruto dengan posisi terbalik. Tubuh boneka pemecah kacang tersebut ambruk, jatuh diatas tumpukan salju ketika kedua bola mata sebiru lautan tiba-tiba menggelap. Terlalu kaget setelah menghadapi situasi menegangkan selama beberapa saat, Naruto akhirnya jatuh pingsan.

.

.

.

Ketukan jemari tangan terpolesi kuku berwarna merah pekat terlihat pada permukaan meja kayu. Bergerak seirama menimbulkan nada-nada riang saat pangkal kuku yang panjang membentur permukaan meja tersebut. Beragam peralatan serta benda-benda tak lazim masih berserakan diatas lantai, terlihat sang pemilik ruangan enggan membereskan segala kekacauan yang ia buat pasca mendengar pengakuan lain dari cermin ajaib terpahat didinding. Seperti sedang menunggu kabar berita yang amat dinanti, sosok wanita mengenakan gaun hitam dengan ekor panjang membingkai lantai bebatuan nampak tak sabar. Terus mengetuk kuku-kuku panjang miliknya diatas meja sembari melangkahkan kaki kesana kemari guna menghabiskan waktu yang terasa berjalan lambat bagi si wanita.

Melihat jendela kaca membias sinar matahari senja berwarna kekuningan diufuk barat, wanita itu pun melangkahkan kaki mendekati jendela. Mengamati keadaan diluar istana seolah berharap seseorang yang dinanti berada dilingkungan istana. Melihat keadaan istana tak menampakan sosok yang ia tunggu, wanita itu pun menyibakan ekor gaun dilantai saat akan berbalik. Menunjukan raut wajah murka seraya berseru lantang memanggil nama seseorang.

"Edgar!"

Makhluk kecil memiliki telinga panjang, berwajah serupa makhluk mitologi yang menyeramkan dengan kuku-kuku merisut muncul dari balik pintu. Memberi hormat pada sang wanita namun lekas menundukan kepala, tak berani menatap wanita itu disaat raut wajahnya terlihat seperti tak menyenangi sesuatu. "Kenapa pembunuh bayaran itu belum muncul juga!"

Melangkah mundur menjaga jarak dari si wanita, makhluk kecil itu masih menundukan wajah -takut. "Sebentar lagi, Yang Mulia Ratu. Sebentar lagi pembunuh itu pasti akan datang kemari."

Wanita itu mengeram murka, tak terima mendengar jawaban yang sama terus diulangi makhluk kerdil tersebut. "Sebentar lagi?" Sebut sang wanita melangkah mendekat. "Sebentar lagi katamu!"

"Ma-Maaf, Yang Mulia!" Edgar memejamkan kedua mata, benar-benar tak berani menghadapi kermurkaan si wanita ketika berteriak keras kepadanya.

"Aku memintamu mencari pembunuh profesional! Seorang pembunuh kejam yang bisa membunuh putri Hinata dalam sekejap! Kenapa sampai detik ini pembunuh itu belum juga kembali?!" Mengayunkan kepalan tangan kearah meja kayu, sinar kehitaman yang muncul dari tangan sang Ratu menghancurkan meja kayu dalam dua detik hingga terbelah. "Apa sesulit itu membunuh putri Hinata yang lemah, hah?!"

Edgar melangkahkan kedua kaki mundur kebelakang dengan cepat, membuat punggungnya membentur dinding saat sang Ratu berjalan mendekat. Mengintimidasi Edgar seakan ingin melenyapkan dirinya didetik ini juga. "Ma... Maafkan hamba, Yang Muli-"

"Yang Mulia!" Sosok lain memasuki ruangan sang wanita memunculkan diri di ambang pintu seraya mengangkat membungkukkan badan -memberi hormat. "Dia datang."

Laki-laki mengenakan seragam pengawal dengan pedang panjang dipinggul memasuki ruangan setelah sosok diambang pintu yang menyampaikan berita memberi jalan. Meletakan sebuah kain putih yang berisi benda bulat mengeluarkan darah segar pada sisi bawah kain, laki-laki itu pun membungkukan badan kepada sang Ratu yang melebarkan senyum diwajah. "Aku telah berhasil menyelesaikan apa yang anda inginkan, Yang Mulia."

Tawa wanita bersurai merah muda tersebut meledak, memecah keheningan yang terjalin didalam ruangan tempatnya berada. Raut kebahagiaan berpendar, puas mendengar informasi disampaikan laki-laki itu. Terlebih yang menggembirakan lagi, laki-laki itu membawa satu bukti penting mengenai nasip tragis sang putri. Ironis memang, namun sang ratu tak boleh berbahagia dulu, ia harus memastikan kebenaran kematian putri Hinata. Benar-benar telah lenyap didunia, atau tidak.

"Wahai cermin ajaib..." Wanita itu perlahan melangkahkan kaki mendekati cermin perak yang terpahat dinding. "Siapakah wanita paling cantik di negeri ini?"

Permukaan cermin yang menampilkan duplikasi isi ruangan berserta sketsa wajah sang ratu berganti menjadi riak air selama sesaat, kemudian background hitam pada permukaan cermin pun terlihat disusul kemunculan topeng putih. "Anda lah yang paling cantik, Yang Mulia. Tiada seorang pun didunia ini yang cantik melebihi kecantikan anda."

"Mwahahahahahahaha!"

Tawa si wanita terdengar, menggelora seantero ruangan dengan kedua tangan merentang tinggi. Berputar-putar mengelilingi ruangan dengan perasaan bahagia yang meluap. Senang tak terkira mendengar jawaban mutlak cermin ajaib yang mengukuhkan keabsahan kecantikan ia miliki. Tiada tertandingi, didunia ini hanya sang Ratu lah yang paling cantik. Bahkan untuk putri Hinata sekalipun yang telah merenggang nyawa.

"Buang kepala putri Hinata, aku tak sudi melihatnya berada di istanaku!" Titah wanita itu masih diliputi perasaan bahagia. "Dan hadiahkan satu peti emas kepada laki-laki ini atas kerja kerasnya~"

"Baik, Yang Mulia." Ujar Edgar dan penyampai berita diambang pintu ruangan. "Ikuti kami."

Laki-laki bersurai coklat pun beranjak, mengekori dua orang pembantu sang Ratu yang kini menuntun lelaki itu keluar dari ruangan. Tanpa diketahui si wanita yang terlena akan pengakuan cermin ajaib ataupun dua orang anjing wanita tersebut, laki-laki itu tersenyum dalam batin sembari menenteng bingkisan kain yang terus mengucurkan darah segar pada bagian sisi bawah. Dimana isi dari bingkisan kain tersebut bukanlah kepala putri Hinata yang berhasil ia bunuh dengan kedua tangan, melainkan kepala anak beruang yang tak sengaja ia buru saat dalam perjalanan mencari pengganti mayat sang putri.

.

Petang telah berarak meninggalkan singasana, melingkupi suatu kawasan dipenuhi pepohonan tinggi dan semak belukar yang tumbuh dengan liar menjadi gelap gulita tak terterangi sinar abadi. Burung-burung terbang tinggi, melintasi langit yang beranjak gelap menuju kedalam sangkar pada dahan pepohonan menjulang tinggi di hutan tersebut. Ditengah kondisi langit berangsur menggelap hendak menjemput malam, sinar kekuningan yang menyala terang muncul dari kegelapan hutan. Diiringi alunan khas berisi syair-syair pujangga sekelompok laki-laki dengan nada barithon khas yang berkharisma. Tak sekedar mengumandangkan lirik-lirik yang dilantunkan secara bersama-sama, sekelompok laki-laki itu terdengar saling bersahut-sahutan seolah-olah sedang menceritakan kisah masing-masing melalui alunan nada dikumandangkan dari bibir mereka.

Menyanyi.. Bergembira bersama-sama adalah ritual wajib dilakukan pria-pria tersebut ketika selesai mengais rejeki pada karunia alam yang mereka manfaatkan dari hutan liar tersebut.

Mengamit lentera berisi lilin putih yang menyala, bayangan akan rupa dari sekelompok laki-laki tersebut terpeta dari kegelapan pepohonan rindang. Bisa dilihat dengan jelas bila sekelompok laki-laki itu nampak memanggul linggis, kapak, dan benda-benda tajam lainnya diperuntukan untuk mendukung kinerja perkerjaan mereka. Topi khas sinter klas dengan sebuah bola pada ujung topi, coat berlengan panjang, dan sepatu flat memiliki ujung lancip dibagian pangkal sepatu adalah spesifikasi pakaian dikenakan pria-pria tersebut dari bayangan lentera yang terpantul pada pepohonan hutan.

Mengungkapkan rasa senang lewat lagu dinyanyikan secara beramai-ramai, pria berjanggut yang berjalan paling depan (pemimpin barisan) tiba-tiba berhenti bernyanyi ketika merasa ada sesuatu yang menghalangi akses jalan mereka.

"Kenapa berhenti?" Tanya pria keempat kepada pria dibarisan paling depan.

"Ssttt! Jangan berisik, ada sesuatu yang menghalangi jalan pulang kita." Pria kedua menjawab pertanyaan sang rekan ketika pria pertama sibuk meneliti sesuatu.

"Apakah itu beruang?" Pria paling pendek dari pria-pria itu berujar penuh tanya sembari mengangkat kapak miliknya. "Biar aku saja yang tangani kalau begitu."

Pria pertama mengangkat tinggi lentera miliknya keatas wajah, menggeleng pelan. "Bukan beruang, tetapi..."

Pria ketiga menutup mulutnya rapat saat menyinari sesosok tubuh tergeletak diatas jalan setapak yang biasa mereka lalui. "Dia manusia!"

Kontan saja mendengar pernyataan pria ketiga tersebut, rekan-rekan mereka yang lain berteriak heboh. Berlari mengerumuni sosok yang terbaring tersebut dengan pertanyaan seragam dilontarkan masing-masing dari mereka.

"Manusia!"

"Dia bilang apa? Manusia?!"

"Apa itu manusia? Sejenis umbi-umbian kah?"

"Aku mau lihat! Aku mau lihat manusia!"

Salah satu rekan menatap pria berjanggut disampingnya. "Apakah dia masih hidup?"

"Dia masih hidup." Merapikan kacamata bulat yang ia kenakan, pria berjanggut tersebut mendekati sosok diatas tanah kemudian melingkarkan tangan sosok itu keatas pundaknya. "Kalian semua jangan ribut! Sebaiknya bantu aku dan bawa dia pulang!"

Rekan dari pria berjangkut tersebut terdiam seketika diiringi menganggukan kepala secara serempak, mulai berbondong-bondong memegangi tubuh sosok tersebut kemudian memanggulnya. Berjalan menembus kegelapan hutan membawa sosok itu bersama-sama dalam perjalanan kekediaman mereka.

.

.

.

Terbaring tak berdaya, dengan bebatuan terjal sebagai alas pembaringan saat punggung terbalut boneka kayu menyentuh material kerikil yang terasa dingin. Sapuan benda berteksur lembut dengan permukaan kasar terasa menjalar secara berkala, diusap pada perpotongan dagu kemudian merambat hingga mencapai pelupuk mata yang tertutup rapat. Memang belum sepenuhnya sadar, namun Naruto masih bisa merasakan keadaan sekitar. Merasakan bagaimana sesuatu yang terasa lunak tersebut kerap melakukan aksi sama tetapi kini pada daerah yang berbeda. Tak cuma satu sisi pipi Naruto saja, benda lunak tak bertulang tersebut juga beralih kearah sebaliknya, semakin gencar mengusap pipi pemuda itu sehingga Naruto mulai terjaga. Membuka kedua mata secara perlahan ingin melihat keadaan sekitar.

"Mau sampai kapan aku harus menjilati kayu ini? Rasanya tidak enak, bahkan lidahku terasa kram! Kau yang berbuat kenapa aku yang harus membangunkannya!"

Masih buram.

Naruto tak bisa melihat dengan pasti dimana ia berada sekarang. Suasana yang terjalin masih tertutupi kabut tipis mengelilingi pandangan mata Naruto. Terlihat tidak jelas, buram, malah semakin Naruto memfokuskan tatapan mata pada sekeliling arah, Naruto semakin tak bisa melihat dengan baik. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk memulihkan pengheliatan selain mengerjapkan kedua mata selama berkali-kali guna mengembalikan fokus pandangan dari efek buruk ketika tertidur dalam jangka waktu yang cukup lama.

Sekali mengerjap... Naruto belum bisa melihat dengan baik tetapi ia dapat memastikan bila kini apa yang ia lihat terasa berbeda. Naruto paham, ia sedang tak berada kamar miliknya yang terasa hangat, nyaman, dengan selimut tebal dan ranjang empuk memanja tubuh yang biasa ia jumpai kala membuka kedua mata saat pagi menjelang.

Dua kali mengerjap, mata biru Naruto melihat dengan jelas dinding-dinding bebatuan dengan warna kecoklatan terpahat sempurna. Sayup-sayup deru suara angin dan germersik pohon pinus telah cukup menjadi acuan bagi Naruto untuk mengembalikan ingatan. Naruto masih berada dinegeri antah berantah, mempunyai misi mencari Peri Sugar Plum dan sekarang dia sedang berteduh didalam gua guna mengistirahatkan diri sehabis berjalan jauh.

"Ohh! Kau sudah bangun?"

Mengerjapkan mata ketiga kali dengan perlahan, Naruto mengedarkan mata sekeliling arah, sedikit aneh ketika tak sengaja menangkap pemandangan janggal pada paha kiri yang terasa dihuni seekor kucing kecil berwarna orange kejinggaan sedang duduk manis menatap dirinya. Menguap lebar sembari mengalihkan wajah dengan cepat bermaksud hendak mengabaikan-

"Hei, bocah sialan! Dia sudah bangun!"

-pikiran Naruto secara tiba-tiba tersadar sepenuhnya dari alam mimpi ketika mendengar kucing itu berbicara.

"GYAAA!"

Beranjak berdiri seraya mendempet kearah dinding gua, Naruto menunjuk sosok kucing tak lazim memiliki ekor panjang tersebut dengan tangan bergetar hebat disertai mata melotot tajam. "Si-Siapa kau! Kenapa kau bisa ada disini!"

Raut wajah si kucing nampak tak bersahabat. "Kau tak pantas berbicara seperti itu kepada seseorang yang telah menyelamatkan nyawamu, bongkahan kayu yang aneh!"

S-seseorang?

Kucing aneh ini bilang, seseorang?

Naruto semakin meringkut disisi dinding gua, menahan segala perasaan yang berkecamuk didalam pikiran menelaah perkataan si kucing. Seseorang? Kheh! Entah Naruto harus senang atau sedih, yang jelas Naruto tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya mengetahui keadaan kucing yang begitu memiriskan hati. Tidak bisa membedakan dirinya yang seekor hewan, hingga mengungkapkan kata seseorang seolah-olah dia seorang manusia.

"Siapa yang minta diselamatkan olehmu, dasar kucing aneh! Kodrat hewan seharusnya tetaplah hewan! Tidak pantas seorang hewan bermimpi ingin menjadi manusia!" Balas Naruto kalap, tak lagi berpikir untuk mengkoreksi ucapan si kucing yang salah arti akan kata seekor dengan seseorang ketika mengingat kalimat terakhir.

"KUCING?!" Hewan kecil yang Naruto kira sebelumnya adalah kucing mulai menampakan gestur agresi. "Kucing katamu!"

"Hentikan Kyuu."

Dari pintu masuk gua yang gelap dengan cahaya terang tepat dibagian ujung, terdengar derap langkah dari telapak sepatu membentur lantai bebatuan yang terjal. Memunculkan sesosok laki-laki dari kegelapan gua berdiri tegak dihadapan Naruto. "Tidak ada waktu untuk bermain-main, kita harus kembali sekarang."

Naruto tertegun, menatap dalam diam sosok laki-laki mengenakan celana hitam sebatas betis dilapisi pelindung yang menyatu dengan sandal miliknya. Seutas tali tambang berwarna ungu melilit pada pinggul si lelaki, dihiasi sebuah pedang bersarung putih pada lipatan kedua tali tambang tersebut. Mata biru Naruto menerawang seksama pakaian yang dikenakan lelaki tersebut, baju putih dengan kerah tinggi tak dilipat disertai hand band yang melindungi kedua punggung tangan terselimuti kulit albaster memegang erat sebilah pedang perak.

'Pedang perak!'

"Itu pedangku! Berani sekali kau mencurinya!" Merebut kembali pedang perak dari tangan si lelaki, Naruto lekas mengacungkan mata pedang secara bergantian kearah laki-laki itu dan kucing orange dengan was-was. Tak ingin diserang tanpa perlawanan oleh dua makhluk asing tidak ia ketahui apakah mereka lawan atau kawan.

Mimik wajah rubah kecil berubah drastis menjadi jengkel. "Boleh aku membunuhnya? Jelas sekali bila makhluk ini sangat menyebalkan! Sudah menghina Peri Sugar Plum, sekarang malah menodongkan pedang setelah aku menyelamatkan nyawanya!"

Tubuh Naruto menegang seketika. "Apa yang kau bilang tadi, kucing aneh? Kau... kau bilang Peri Sugar Plum!"

Kepala rubah kecil teralih kesamping menatap si lelaki dengan pandangan menuntut. "Kau lihat sendiri? Bertanya kepadaku pun tidak ada tata krama sama sekali!"

Laki-laki bersurai raven menggelengkan kepala pelan. "Kau tahu kondisi kita saat ini, kita tidak boleh terlambat. Hentikan segera perdebatan konyol ini sebelum kita direpotkan oleh hal-hal yang tak terduga." Mengerlingkan sejenak tatapan mata kearah Naruto, laki-laki itu pun beranjak. Melangkahkan kaki menuju ke bibir gua.

Rubah kecil pun berdecak. "Berhentilah bersikap seolah kau boss, karena aku lah boss sebenarnya! Peri Sugar Plum mengamanatkan hal itu kepadaku, jadi kau harus menuruti perkataanku bocah!" Meskipun mengomel, rubah itu tetap berjalan mengekori si lelaki.

Lelaki itu menggeleng pelan. "Ibu Ratu tak pernah mengutusmu, Kyuu. Kau lah yang memaksa ingin ikut."

Gigi rubah kecil itu bergemelutuk kuat. "Ya! Ya! Terserah!" Ucapnya kemudian. "Yang jelas aku lebih kuat, dan karena kebaikan hatiku makanya aku tidak bisa membiarkan bocah lemah sepertimu berkeliaran seorang diri!"

Berdecak kesal seraya menghentakan sebelah kaki dengan kasar karena diabaikan dua makhluk asing baru ia temui, "BERHENTI!" Naruto berteriak keras. Berhasil menghentikan langkah kaki si lelaki. "Berani sekali kalian berdua mengabaikanku!"

Terlihat tak ingin mendengar, itulah reaksi yang Naruto tangkap saat melihat laki-laki itu kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Tak hanya mendapat penolakan secara terang-terangan dari si lelaki, rubah kecil yang semula kontra terhadap Naruto membalikan badan ditengah perjalanan sekedar menjulurkan lidah sembari menarik kantung mata. Masih sempat-sempatnya mengejek Naruto sebelum bertolak mengejar si lelaki yang berjalan cukup jauh. Naruto meradang.

"Berhenti! Aku bilang berhenti! Apa kau tidak punya telinga!" Naruto berteriak keras, menyeru si lelaki agar lekas kembali menjawab semua pertanyaannya. "Kau yang disana, berhenti! Kau tidak bisa bersikap kurang ajar padaku setelah membuatku terjebak disini! Aku tahu Peri Sugar Plum yang telah mengutukku hingga menjadi boneka, dan sebagai seseorang yang mengenalnya kau harus bertanggung jawab! Kau dengar itu? Kau harus bertanggung jawab!"

Keberadaan lelaki tersebut dengan rubah kecil berjalan tepat disampingnya terlihat menjauh. Semakin jauh hingga hampir sampai dibibir gua. Tanpa lagi peduli pada Naruto yang terus berteriak murka memanggil, keduanya terkesan mantap melenggang pergi meninggalkan Naruto seorang diri didalam gua. "HEI! Aku bilang berhenti! Kalian berdua tidak dengar apa kataku, hah!"

Mendengus tak percaya mendapat perlakuan yang sama untuk kesekian kali, Naruto memasukan pedang perak miliknya kedalam sarung dengan kasar kemudian melangkahkan kedua kaki lebih lebar menyusul si lelaki diliputi kemurkaan yang luar biasa. Seumur hidup dia tak pernah diabaikan oleh seseorang seperti ini. Selain mencoreng harga dirinya, Naruto juga mutlak memberi pelajaran yang pantas bahwa segala keinginannya harus terpenuhi oleh siapapun itu.

"Berhent-"

Terpaan hujan salju yang turun dengan sangat dahsyat menguci bibir Naruto ketika hendak melayangkan protes kepada si lelaki. Gemuruh suara angin serta suara riuh dari pohon pinus saat berada didalam gua ternyata bukanlah suara hembusan angin yang biasa. Badai sedang menerjang, mengaburkan pandangan Naruto akan sekeliling arah hingga tiada lagi yang bisa Naruto tangkap melalui kedua matanya. Semua terasa buram, bahkan jarak pandang pun tak lebih dari lima meter saja.

Melihat keseluruh penjuru arah, Naruto seakan tak mendapat jawaban. Gelap, dingin, berkabut, Naruto tidak tahu lagi harus berbuat apa menyadari si lelaki dan rubah kecil tak lagi nampak di pengheliatannya.

"Tidak!" Kepala Naruto menggeleng kuat. "Mereka melarikan diri!" Melangkahkan kaki menyusuri padang salju yang semakin menebal mencapai mata kaki dengan pandangan mata menatap nanar kearah depan. "A-Aku tidak bisa membiarkannya! Mereka harus mengembalikan tubuhku, aku tidak mau terjebak ditubuh boneka ini! Aku harus kembali! Aku harus kembali menjadi manusia agar dapat mengusir sepupu-sepupuku!"

Melangkahkan kaki terus lurus kedepan tanpa tahu arah pasti dan petunjuk mengenai keberadaan dua makhluk sebelumnya. Naruto yang semula tak peduli akan badai menerjang dalam sekejap dilanda ketakutan luar biasa, gelisah sekaligus khawatir mendapati timbunan salju yang ia injak semakin menebal, naik secara perlahan-lahan hingga mencapai betis, bahkan hampir menyentuh lutut Naruto.

"Berhenti! Aku tahu kalian berdua ada disekitar sini!" Berteriak keras mencoba mengalahkan deru angin yang berhembus disertai riuh suara dedauan pohon pinus, Naruto terus mencoba mengalahkan timbunan salju yang semakin menyulitkan pergerakannya. "Sebelum aku marah, cepat tunjukan wujud kalian dan bawa aku bertermu dengan Peri Sugar Plum! Dia berhutang besar kepadaku karena telah membuat tubuhku menjadi seperti ini!"

Naruto tahu, jangankan membuat kedua makhluk itu mendengar suaranya, mampu mengalahkan suara angin yang dibawa oleh badai, Naruto seakan tak berdaya. Terlebih ketika suara Naruto tertelan amukan badai, pesan yang ia tunjukan tak lagi berarti sebab Naruto menyakini kedua makhluk itu tak lagi berada dikawasan ini.

'BRUK!'

Seketika tubuh boneka pemecah kacang itu terduduk diatas tumpukan salju, tak mempunyai kekuatan lagi untuk melangkah ketika Naruto telah memupuskan harapan yang ia gantungkan dalam angan. Ingin kembali menjadi manusia saat kesempatan datang, namun amat disayangkan harus mengubur mimpi itu karena tiada peluang.

Apa yang harus Naruto lakukan sekarang?

Kembali kedalam gua menunggu sampai badai salju berhenti? Ataukah berdiam diri mengigil kedinginan sampai mati? Ahh! Apa bedanya bila ia hidup tetapi terjebak didalam tubuh boneka pemecah kacang? Dia tetap tak dapat mengusir sepupu-sepupunya, tidak bisa membakar jam tua yang menyebabkan segala petaka ini terjadi, dan pembantu-pembantu dirumahnya pasti bermalas-malasan membersihkan kamar miliknya. Kematian tidak terlalu buruk. Di Surga nanti mungkin Naruto bisa membalas semua musibah yang dia alami semasa hidup dengan meminta malaikat menyengsarakan sepupu-sepupunya. Sekalipun terasa perih karena harus tutup usia, Naruto rasa dia akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri melihat sepupu-sepupunya hancur satu-persatu.

"Hiks... Si pantat ayam itu lebih dewasa dibandingkan aku! Bagaimana mungkin dia mengabaikan anak kecil sendirian ditengah badai seperti ini tanpa pengawasan!" Mata Naruto terasa panas, tak sanggup mengeyahkan perasaan sakit dan terluka mengetahui fakta bahwa kini dia seorang diri, merenggang nyawa tanpa ada satu pun yang tahu. Terasa menyakitkan lagi bayang-bayang wanita bersurai merah selalu terngiang diingatan begitu memandang terpaan rintik salju menyentuh permukaan tangan kayunya. "Ibu..."

"Jika kau meminta bantuan seseorang, minta lah dengan kata-kata baik. Dan bila kau memanggil seseorang, panggil namanya dengan lembut." Jejak sandal dengan tali hitam terlihat pada mata biru Naruto yang berkaca-kaca ditengah guyuran hujan salju melanda. "Tanpa perlu bersikap kasar, berteriak, atau memaki-maki, sekalipun orang yang kau mintai tolong tak punya kemampuan untuk menolong. Mereka akan berusaha melakukan yang terbaik untuk membantumu."

Mengadahkan kepala secara perlahan menatap sesosok laki-laki berdiri tegak dihadapannya, Naruto tak mampu menyembunyikan keharuan yang teramat besar begitu menyadari laki-laki itu kini hadir bersama dengan rubah kecil melingkar dipundak tegapnya.

"Berengsek! Jangan sok keren!" Mengigiti bibir bawah dengan erat, Naruto menundukan kepala mengusap kasar matanya yang berkaca-kaca.

Rubah kecil mendelik tak suka menatap Naruto. "Kau lihat sendiri, bukan?! Dia bahkan tidak meminta ma-"

"Sasuke."

Naruto dan rubah kecil serempak menolehkan wajah menatap si lelaki seraya berkata. "Apa?!"

Membalikan badan memunggungi Naruto, si lelaki kembali melangkah perlahan menembus dinginnya badai salju. "Namaku Sasuke." Kepala si lelaki teralih kebelakang, kemudian bergerak pelan seperti mengisyaratkan Naruto untuk mengikutinya. "Kau ingin bertemu dengan Peri Sugar Plum, bukan?"

.

"Dimana aku harus bertemu Peri Sugar Plum?"

"Bagaimana cara bertemu Peri Sugar Plum?"

"Kapan aku bisa bertemu Peri Sugar Plum?"

"Berapa lama perjalanan kita agar aku bisa bertemu Peri Sugar Plum?"

"Adakah akses jalan tercepat agar aku bisa bertemu Peri Sugar Plum?"

"Apa yang akan kudapatkan bila bertemu Peri Sugar Plum?"

Sebuah kedutan kecil didahi rubah kecil berwarna orange kejinggaan tercetak sempurna disertai raut wajah kesal saat pertanyaan beruntun terus keluar dari bibir Naruto. Pasca mengajak boneka pemecah kacang tersebut ikut serta bersama dengan sang rekan bersurai raven keluar dari hutan pinus, boneka kayu mengenakan seragam tentara itu tak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan melayangkan pertanyaan seragam secara berulang-ulang seperti kaset rusak. Kyuubi pun sampai tidak habis pikir, apa boneka itu tidak lelah terus menerus berceloteh tiada henti selama hampir satu jam?

Telinga Kyuubi pun terasa panas mendengar suara boneka pemecah kacang itu. Menyebalkan lagi pemuda berkulit albaster yang sedang dia duduki pundaknya terlihat tak terganggu dengan suara berisik si boneka. Menyengsarakan sekali perjalanan kali ini!

"Hei! Apakah kalian mendengar pertanyaanku, eh? Dimana aku bisa bertemu dengan Pe-"

"BERISIK!"

Tangki kesabaran Kyuubi telah hilang, tergerus oleh emosi yang kian terkikis akibat sikap biadab boneka pemecah kacang terus melontarkan pertanyaan menyebalkan sepanjang waktu. Rubah kecil itu mengerlingkan tatapan tajam, menatap Naruto dengan hawa membunuh yang teramat dahsyat ia keluarkan sehingga kini Naruto terdiam seribu bahasa. Tak pernah Kyuubi kira sebelumnya, bila ternyata ada mahkluk yang lebih menyebalkan selain Sasuke. Dan itu adalah Naruto, boneka pemecah kacang yang sekarang menjadi musuh bebuyutannya.

"Sekali lagi kau bersuara, aku tidak akan segan-segan membunuhmu ditempat ini juga!" Kyuubi mendelik murka sembari menunjuk Naruto menggunakan kaki depan. "Paham!"

Naruto bersedekap dada, menganggap ultimatum dari Kyuubi hanyalah omong kosong belaka. "Hei kau yang bernama Sasuke." Sebut Naruto pada laki-laki sedang berjalan didepannya. "Apakah tidak terlalu merepotkan membawa peliharaanmu dalam perjalanan panjang seperti ini?"

Telinga panjang si rubah kecil menegak, reflek tubuh rubah kecil yang semula menghadap depan membelakangi Naruto bergerak dengan cepat memandang Naruto murka. "PE-PELIHARAAN KATAMU!"

"Tenang Kyuu." Sasuke menahan tubuh Kyuubi yang berada diatas pundaknya agar tak melompat kearah Naruto. Terlihat sekali bila teman sepermainannya itu telah terbakar emosi, terkesan ingin sekali menguliti Naruto hidup-hidup. "Kyuubi bukan perliharaan, dia adalah temanku." Langkah kaki Sasuke semula terhenti sekarang bergerak kembali.

"Teman?" Ulang Naruto dengan intonasi kata yang terkesan mencibir sinis Sasuke. "Aneh sekali, apa semua manusia didunia ini berteman dengan hewan? Atau -ohh iya!" Kepala Naruto kemudian mengangguk pelan seperti teringat sesuatu. "Melihat sikap mu saja aku sudah tahu, bahwa kau adalah orang yang aneh! Jika bukan karena kau mengenal Peri Sugar Plum, aku pun tidak akan mau berjalan bersama orang aneh seperti mu!"

Cukup sudah!

Kyuubi benar-benar tidak tahan dengan boneka pemecah kacang tak tahu tata krama dan sopan santun ini! Sudah ditolong, malah berbicara kasar dan mengejek Sasuke!

"Jika kami aneh, lalu kau sendiri apa? Kau tidak sadar bila kau cuma seonggok kayu yang bisa berjalan, kheh!" Sebut Kyuubi berdecak pinggang menantang Naruto, tak peduli bila Sasuke kini memanggil namanya meminta pengertian agar tak berbuat kegaduhan.

Langkah kaki Naruto terhenti seketika mendengar pernyataan pedas lolos dari mulut Kyuubi yang menohok hatinya. "Ap-Apa kau bilang? Seonggok kayu?!" Naruto mendengus tak percaya sambil menghentakan kedua kaki. "Aku sebenarnya manusia, tahu! Bukan seonggok kayu ataupun boneka pemecah kacang! Aku berubah seperti ini karena dikutuk!"

Tawa Kyuubi meledak seketika, terdengar nyaring membahana seantero jalan dilewati oleh mereka. "Siapapun yang mengutukmu, dia melakukan hal yang benar." Senyum bahagia terlukis indah diwajah Kyuubi. "Orang menyebalkan sepertimu memang pantas dikutuk!"

Gigi Naruto bergemelutuk kuat menahan perasaan marah. "Kau!"

"Hentikan semua ini, Kyuu. Aku serius!"

Mendapat tatapan tajam dari Sasuke, Kyuubi akhirnya membalikan badan keposisi semula -membelakangi Naruto. "Aku tahu! Aku tahu! Jangan bilang apapun kepada Itachi, awas kau!"

Mata biru Naruto memicing tajam, melihat dua mahkluk dihadapannya dengan pandangan seksama. Terlihat sekali bila mereka berdua menyimpan sesuatu hal yang tidak Naruto ketahui. Banyak sekali perkataan dan sikap mereka berdua yang tak sinkron, Naruto jadi semakin bertanya-tanya makhluk apa sebenarnya mereka ini? Kenapa saat pertama bertemu Naruto, mereka tidak menunjukan raut kaget atau minimal terkejut melihat Naruto yang notabene seorang boneka pemecah kacang dapat berjalan dan bisa berbicara. Jangankan kaget, diawal pertemuan laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh dari Naruto itu malah mengejutkannya dari atas pohon pinus hingga ia pingsan. Sangat aneh sekali bukan? Atau memang kenyataannya didunia ini makhluk-makhluk seperti Naruto sesuatu yang lazim? Umum dijumpai masyarakat awam?

'Mungkin memang begitu.'

Menganggukan kepala menyakini spekulatif terakhir, Naruto jadi teringat akan makhluk pengerat yang telah mengutuknya menjadi boneka pemecah kacang. Koloni pasukan tikus, dipimpin oleh Renal, Ronal, atau siapapun itu. Naruto merasa tak perlu mengingat namanya sebab pertemuan dengan pemimpin tikus tersebut akan menjadi yang pertama dan juga terakhir. Naruto akan bertemu dengan Peri Sugar Plum dan tinggal menunggu waktu ia kembali menjadi manusia. Menjalani hari dengan bahagia dan menganggap semua petaka ini adalah mimpi buruk yang tak akan pernah kembali!

"Jadi..." Masih bersedekap dada, Naruto bergumam pelan. Berusaha bersikap acuh menyembunyikan rasa keingintahuan. "Kalian ini siapa!"

Kepala Kyuubi teralih kebelakang, menatap tajam Naruto. "Kau anggap itu bertanya, kheh!"

Lagi-lagi Naruto mendengus. Memalingkan wajah menghindari tatapan Kyuubi. "Aku bertanya kepada manusia, bukan kepada hewan!" Tersenyum sinis mengejek Kyuubi, Naruto sengaja memprovokasi makhluk kecil itu agar dimarahi Sasuke. "Jadi kalian ini siapa? Manusia yang berkerja sebagai pembantu Peri Sugar Plum? Ahh~, pasti benar bukan? Kalian itu pembantu! Aku yakin tidak sembarang manusia bisa bersama Peri Sugar Plum. Dia itu Peri kan? Peri dan manusia, tidak bisa bersama kalau tidak dilatabelakangi sesuatu hal."

Langkah kaki Sasuke terhenti seketika dengan Naruto turut terdiam saat menyadari perubahan pada Sasuke. "Kami bukan manusia, juga bukan pembantu seperti yang kau bayangkan."

Sudut bibir Naruto tertarik, menyeringai mengejek seraya berdecak pinggang. "Jika kau bukan manusia, lalu kalian siapa?"

Kepala Sasuke bergerak perlahan menatap Naruto melalui sudut mata tanpa mengubah posisi tubuh yang membelakangi Naruto. "Peri."

Raut wajah Naruto seketika berubah drastis, miris mendapat jawaban tak terduga dari Sasuke yang entah harus ia apresiasikan dengan perasaan senang atau sedih. Orang dihadapannya ini pasti telah tertekan batin menjadi pembantu hingga menganggap dirinya seorang peri. 'Sama seperti kucing gila itu!'

"Ya, ya! Bila kalian Peri maka aku adalah malaikat!" Naruto tak bisa untuk tak bersikap skeptis pada masalah ini. Terbukti bukan rasa percaya Naruto berikan atas pernyataan Sasuke tetapi tutur kata pedas, mencela ucapan laki-laki itu. "Kasihan! Jika aku bertemu dengan Peri Sugar Plum, akan ku minta dia agar mengambulkan impian kalian yang ingin menjadi Peri. Berhubung aku baik hati dan Peri itu berhutang banyak kepadaku, bersyukurlah kalian berdua sebab impian kalian akan terkabul!"

Kyuubi menggeleng pelan sembari mendecakan lidah. "Jangan berbicara dengan orang idiot, Sasuke. Atau kau akan tertular karena kebodohannya!"

"Siapa yang kau sebut idiot, kucing aneh!" Interupsi Naruto menghentakan kaki, melotot tajam menatap Kyuubi.

"Menurutmu?" Senyum menyebalkan tercetak sempurna diwajah Kyuubi, semakin mengikiskan tangki emosi didiri Naruto hingga makin membenci rubah kecil itu.

"Kau akan membayar hal-"

"Sttss!" Telunjuk tangan kanan Sasuke terangkat, menempel pelan dipermukaan bibir pemuda itu yang menatap waspada kesekeliling arah.

Naruto melotot tak percaya. "Kenapa kau menyuruhku diam! Seharusnya kau membela ku karena kucing itu yang mencari masalah!"

Kesabaran Sasuke benar-benar diuji sekarang. Terbukti, laki-laki berparas tampan tersebut tiada henti menghela nafas lelah. "Bisakah kau diam sebentar?" Bisik Sasuke pelan.

Raut wajah tak terima terlihat jelas diwajah Naruto. "Kenapa aku harus diam!" Bukannya balas berbisik, Naruto justru berteriak keras.

Kali ini Kyuubi yang tak bisa membendung emosi mendengar suara gaduh berada tak jauh dari kawasan hutan pinus dihadapan mereka. "Karena jika kau berisik..." Kyuubi menatap intens Sasuke sembari menganggukan kepala. "Keberadaan kita akan ketahuan oleh mereka!"

'BRASS!'

Secara tak terduga rimbunan hutan pinus yang berjumlah puluhan tiba-tiba hancur dengan suara gemuruh ledakan membaur bersama hembusan angin serupa badai dan hantaman salju yang longsor akibat terhantam sesuatu. Tak sempat berlari sekedar melindungi diri, Naruto hanya mampu membalikan badan. Melingkarkan kepala menggunakan kedua tangan mencegah ranting-ranting pohon yang berterbangan mengenai punggungnya. Naruto memandang nanar, tak kuasa menahan gejolak perasaan takut dan gelisah yang menjadi satu menyadari serangan tak terduga menerpa dirimya. Cobaan apalagi yang harus ia terima akibat keberadaan dua makhluk aneh mengaku sebagai Peri itu! Setelah membuat Naruto berubah menjadi boneka, mereka sekarang berencana membunuhnya!

Kabut tipis yang menyelimuti penjuru kawasan memudar, longsor kecil ditimbulkan dari agresi tersebut juga tak lagi menampakan serangan susulan. Keheningan melanda, Naruto pun merasa berhak menyeruakan pendapat kepada kedua makhluk dihadapannya. "Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan! Itu hampir saja membunuhku, tahu!"

Kyuubi mendelik tajam Naruto. "Seharusnya kami yang bilang begitu! Gara-gara suara berisikmu, kami hampir terbunuh-" sebelah kaki kanan Kyuubi terangkat, teracung pada sesosok monster berbulu putih. "-oleh dia!"

Mata obsidan Sasuke menatap tanpa ekspresi makhluk bertubuh kekar seperti gorila dengan bulu-bulu berwarna putih melingkupi makhluk besar tersebut. "Yeti..." Gumam Sasuke nyaris berbisik kepada diri sendiri. "...adalah makhluk yang ramah."

Naruto menggelengkan kepala seraya mendengus. Apa dia tak salah dengar? Makhluk buas dihadapan mereka itu ramah? Naruto mendecakan lidah menatap intimidasi Sasuke. "Ada yang salah dengan otak temanmu itu! Dia bilang makhluk ini ramah? RAMAH?!" Teriak Naruto kencang menunjuk Sasuke. "Bila ada makhluk yang hampir membunuh kita, apa dia akan bilang baik hati, rendah diri, dan rajin menabung. Begitu!"

"Memang begitu kenyataannya." Kyuubi berujar cepat, memotong perkataan Naruto yang terlihat seperti ingin menumpahkan segala isi hati tanpa henti. "Yeti adalah makhluk yang sangat ramah, bersahabat pada semua orang." Mata sejernih batu rubi menatap sendu dua makhluk berukuran besar bermata merah menyala melihat kearah mereka dengan tatapan buas. "Karena suatu hal, mereka menjadi berubah seperti ini."

"Terserah!" Dengus Naruto sarkastik, mengabaikan Kyuubi memilih berteriak kepada Sasuke. "Aku masih ingin hidup! Bila tidak mau mati ditangan makhluk itu, cepat lakukan sesuatu. Makhluk itu pasti ingin memakan kita bukan? Lempar saja kucing menyebalkan itu, mengorbankan nyawanya kurasa tidak masalah. Kalau dipikir-pikir dia idak terlalu berguna untuk perjalanan kali ini!" Naruto masih terlihat skeptis saat mengusulkan niatnya pada pemuda raven itu, tak terpengaruh akan cerita diutarakan Kyuubi sesungguhnya mengandung suatu makna yang menyayat hati. Begitu dalam sehingga raut wajah Sasuke dan Kyuubi berubah drastis, tak seperti saat-saat lalu menampakan wajah terganggu akan sikap menyebalkan Naruto.

Naruto bukanlah orang sentimental yang dapat memahami perasaan orang lain. Sekalipun meneteskan air mata, Naruto tak akan mengerti bila seseorang tersebut tengah terlarut dalam duka.

Auman panjang dari salah satu Yeti menggelora seantero kawasan hutan, membaur bersama hembusan angin yang berlalu hingga menggetarkan tanah dipijaki Naruto dan kedua makhluk asing bersamanya. Secara tiba-tiba tak mampu diduga oleh Naruto, tangan besar diselimuti bulu-bulu putih terangkat. Menimbulkan hembusan angin yang cukup besar saat tangan besar tersebut berada diatas. Dalam hitungan detik tak mampu ditangkap kedua mata Naruto, tangan besar itu bergerak cepat mengarah kearah Naruto yang mematung ditempat dengan mata membelalak lebar menyadari tangan Yeti hendak menghantam tubuhnya.

"AAH!" Menutup kedua mata erat sembari membalikan tubuh kebelakang melindungi diri dari hantaman tangan Yeti tersebut. Naruto yang tak kuasa menahan perasaan terkejut akibat serangan tak terduga yang akan membunuh dirinya tiba-tiba terduduk diatas tanah, telah kehilangan energi hingga tak bisa berdiri tegak dengan kedua kaki yang secara mendadak terasa melemah. Naruto telah pasrah atas keadaan yang akan menimpa dirinya, tidak mampu melindungi diri apalagi meminta pertolongan kepada Sasuke seorang manusia biasa yang bermimpi menjadi Peri dan kucing orange peliharannya. Kematian... Hanya kata itulah terngiang dipikiran Naruto.

'Tidak terasa...'

Mata yang terpejam erat dengan dahi mengerut dalam sembari merengkuh kedua tangan memeluk tubuh seorang diri. Kelopak mata terbuat dari kayu dipolesi cat coklat terbuka secara perlahan ketika merasa rasa sakit yang seharusnya dia terima kini tak kunjung dirasakan. Naruto membalikan kepala, menatap sesosok laki-laki berdiri menjulang ditinggi dihadapannya seraya merentangkan tangan kanan dihiasi sinar putih menyala terang. Kepala laki-laki bersurai raven teralih kesamping, menatap Naruto melalui sudut mata.

"Kau baik-baik saja?"

Semilir angin dingin berhembus, menerpa lembut pipi boneka pemecah kacang yang kini terbelalak lebar menatap punggung laki-laki tersebut. Tangan Naruto mengepal erat, tak mampu berkata atau sekedar berkedip sejenak saja mengalihkan pandangan mata dari Sasuke. "Y-Ya..." Bisikan pelan dengan suara terbata-bata teralun dibibir Naruto. "A..Aku baik-baik saja."

Kepala Sasuke kembali teralih kedepan, menurunkan tangan kanan yang teracung tinggi menahan serangan makhluk besar tersebut. "Yeti tidak pernah bebuat kasar pada siapapun. Mereka memiliki hati yang baik dan juga hangat. Melebihi makhluk manapun." Suara Sasuke terdengar datar, namun bila ditelaah secara seksama. Orang-orang awam pasti akan menangkap nada sedih tersirat dari ucapan laki-laki itu. "Seumur hidupku... Aku tidak ingin menyakiti makhluk-makhluk seperti mereka yang memiliki kebaikan hati teramat luar biasa. Sebisa mungkin aku sangat ingin menghindari hal ini." Tangan terselimuti kulit albaster menggengam erat ganggang pedang miliknya. "Tetapi kusadari, keadaan sekarang berbeda. Tidak seperti dulu. Dimana mereka masih berlaku hangat padaku... Pada semua orang..."

Sebilah pedang besi dengan ukiran kaligrafi yang sangat indah terukir dipermukaan pedang ketika keluar dari sarung kayu dibalik punggung Sasuke. Mata biru sejernih samudra terpaku pada bilah pedang yang memantulkan wajahnya saat mata pedang menjuntai kebawah tanah.

Kyuubi berada dipundak Sasuke menggeleng pelan, menyanggah pernyataan Sasuke yang seakan menghakimi diri sendiri. "Bukan salahmu bila hal ini harus terjadi, Sasuke. Kita telah berusaha agar keberadaan kita tidak diketahui mereka saat berada dikawasan ini. Sensitivitas mereka semakin meninggi, kau sudah mengetahuinya bukan? Tidak selamanya kita bisa terus sembunyi." Mendapati genggaman tangan Sasuke pada ganggang pedang semakin erat, kedua mata Kyuubi teralih kedepan menatap Yeti dihadapannya seperti halnya yang dilakukan Sasuke. "Jangan pernah beranggapan bila kau menyakiti mereka. Sekali pun dibawah pengaruh dia, mereka paham bila kau sebenarnya tidak ingin membuat mereka berkubang dalam penyesalan karena melukai kita berdua."

Melompat dari pundak Sasuke dalam satu kali lompatan tinggi, serbuk-serbuk emas tiba-tiba berpendar disekujur tubuh rubah kecil. Membuat mata biru Naruto yang semula memicing tajam, membulat seketika menyadari kemilau cahaya emas yang membalur tubuh rubah kecil membesar dengan sendirinya. Permadani putih dari derai salju yang turun menyelimuti sekeliling arah turut berwarna keemasan akibat terpantul cahaya ditimbulkan oleh Kyuubi, membias kawasan tempat Naruto berada hingga tak urung boneka pemecah kacang tersebut memejamkan mata. Menghindari cahaya terasa menyilaukan mata sampai cahaya keemasan tersebut berangsur-angsur memudar seiring waktu, kemudian menghilang hingga meninggalkan serbuk-serbuk emas membekas disekitaran cahaya keemasan tersebut. Naruto membuka kedua mata secara perlahan, menyadari cahaya yang keluar telah memadam dengan sendirinya.

"Arahkah serangan pada titik-titik yang kutandai." Pemuda bersurai merah kejinggaan, mengenakan pakaian berwarna merah menyala terbuat dari dedauan, bertubuh tinggi semampai sedang bergelantungan diatas pohon pinus dengan sebelah tangan memegang erat dahan pohon terlihat. "Hanya melumpuhkan, tidak akan melukai mereka."

Seketika mata Naruto membulat lebar mengetahui suara pemuda bersurai merah berada diatas pohon pinus mirip sangat mirip dengan suara rubah kecil berwarna orange kejinggaan. Dan yang lebih mengejutkan Naruto, selain mengetahui kemiripan suara dan penampilan si pemuda dengan rubah kecil peliharaan Sasuke, sepasang telinga panjang serta sayap bening terlihat dari punggung pemuda itu semakin menambah kekagetan Naruto.

Sayap itu...

A-Apakah benar bila dua orang laki-laki dihadapannya ini adalah...

"Peri."

.

.

.

Gelap adalah pemandangan pertama kala membuka kedua mata pasca terlelap dari tidur panjang. Mengalihkan wajah kekiri dan kekanan melihat keadaan sekitar, seseorang yang berada ditengah kegelapan beranjak dari tempat peristirahatan. Mendudukan diri pada ranjang single dengan mata putih tak memiliki pupil mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan. Sebuah lilin putih bersinar terang disertai piring kecil terbuat dari tembikar menjadi alas, tergeletak sempurna diatas meja kecil samping tempat tidur. Minimnya pencahayaan yang kurang memadai, membuat sosok tersebut sedikit diliputi rasa penasaran akan tempat dia berada sekarang. Menggenggam erat piring tembikar sembari menyibak selimut yang menutupi tubuh. Wanita itu pun mulai menuruni ranjang ia tiduri, menjejakan kaki-kaki telanjangnya tak mengenakan alas sepatu pada lantai kayu yang terasa dingin.

Tujuh buah tempat tidur single berjejer rapi, dengan masing-masing lemari kecil memiliki tiga buah laci berada disamping tempat tidur. Menilik ukuran tempat tidur yang terbilang kecil untuk ukuran orang dewasa. Batin si wanita pun bertanya-tanya, menerka-nerka siapa gerangan yang mendiami tempat tidur sekecil ini. Dihinggapi rasa penasaran teramat tinggi, wanita itu pun berinisiatif mencari jawaban akan penghuni rumah tersebut. Melangkah kaki keluar dari ruangan kamar, mata putih si wanita terbelalak lebar, memandang takjub tangga kayu berbentuk spiral yang menghubungkan lantai bawah.

Mengingat bobot tubuh yang tak sesuai dengan keadaan rumah, wanita itu pun melangkah pelan menuruni tangga kayu dengan hati-hati. Begitu sampai dilantai bawah, kekaguman si wanita tak berhenti sampai disitu saja. Melihat ruang tengah terdapat satu set sofa ukuran mini dihiasi karpet tebal dilantai, serta perapian tepat didepan sofa tersebut. Jantung si wanita tak berhenti berdegup kencang, merasa gemas melihat betapa minimalisnya barang-barang dirumah tersebut. Tak sengaja melihat pintu kayu berada tak jauh dari ruang tengah, tanpa ragu si wanita pun masuk. Mengedarkan lilin yang ada ditangannya untuk melihat dengan jelas isi dari ruangan tersebut, sebuah meja berbentuk oval dihiasi tujuh buah kursi, tujuh buah mangkuk, tujuh buah piring, tujuh buah gelas disertai garpu dan sendok berada diatas meja pada setiap kursi. Tidak hanya berisi peralatan makan saja, setiap mangkuk dan piring diatas meja tersebut telah tersaji satu buah roti dengan semangkuk sup hangat mengepulkan uap.

Mendapati makanan telah tersaji diatas meja, si wanita mengecap bibir yang terasa kering sembari mengusap pelan perutnya, merasa lapar melihat roti yang terlihat mengugah selera. Walau belum terlalu yakin, si wanita merasa makanan-makanan tersebut pasti dibuat untuknya. Pemilik rumah sedang tak ada ditempat, dan saat ini yang cuma berada dirumah cuma dia seorang. Tidak salah bukan bila si wanita berpikiran makanan-makanan ini untuknya?

Mendudukan diri disalah satu kursi, si wanita pun lekas menyantap roti dan sup hangat dengan nikmat. Tak lagi memikirkan untuk siapa makanan-makanan diatas meja. Rintik hujan yang menerpa atap genting pada sebuah rumah berukuran kecil berlantai dua semakin lebat. Mengucur deras membasahi bumi bersama dengan derap langkah kaki segerombolan orang yang membaur bersama suara genangan air dan germersik rerumputan yang basah bergesekan dengan telapak sepatu.

'BRAK!'

Pintu coklat terbuka lebar, menampakan segerombolan orang-orang memasuki ruangan. Berceloteh sepanjang perjalanan sembari mengeringkan coat yang basah akibat terpaan air hujan, segerombolan orang-orang itu pun mulai berbondong-bondong memasuki ruang makan. Bersiap mengambil posisi masing-masing untuk menyantap makan malam yang telah lama mereka siapkan. Belum sempat mendudukan diri diatas kursi, salah seorang dari sekelompok laki-laki tersebut memandang kaget piring miliknya yang kosong. Tiada roti, sup hangat, ataupun teh dari cangkir tembikar.

"Makananku!" Tunjuknya pada peralatan makan yang kosong. "Siapa yang mencuri makananku!"

"Siapa yang mau mencuri makananmu!" Ejek pria itu mencemooh sang rekan. "Kalau makananku sendiri juga ad- EKHH! Mana makananku!"

Rekan dari kedua pria tersebut berlari mendekati meja, ikut memeriksa makanan teman-temannya. "Benarkah? Makanan kalian tidak ad- dimana makananku!"

Mendengar kegaduhan teman-teman yang lain, pria-pria itu pun mendekati meja. Hendak memeriksa makanan mereka namun apa yang terjadi pada keempat pria itu juga terjadi kepada yang lain. "Makananku tidak ada!"

"Pasti kau yang mencuri makananku!"

"Kaulah yang mencuri makananku! Karena makananmu hilang jadi kau mencuri makanan-makananku!"

"Kalian berdua lah adalah pencurinya! Lihat, makananku juga tidak ada!"

Sontak keributan pun dalam sekejap telah tercipta dari sekelompok laki-laki itu yang saling menuduh satu sama lain mencuri makanan mereka. Tak hanya beradu mulut saja mengklaim pencuri makanan mereka, bentrok fisik pun tidak bisa dihindarkan. Memukuli satu sama lain bahkan bergulat diatas lantai. Laki-laki berjanggut lebat seperti sinterklas mengenakan kacamata bulat berdehem keras, menghentikan perkelahian teman-temannya.

"Tidak ada satupun dari kita yang menjadi pencuri, makanan kita semua sama-sama hilang teman-teman." Memperbaiki letak kacamata yang melorot, mata si laki-laki memandang seksama seluruh penjuru ruangan. "Seseorang yang berada dirumah saat kita tidak ada. Pasti dialah yang mencurinya."

Tubuh seorang kurcaci mengenakan coat hijau menegang sempurna ketika teringat sesuatu. "Mungkinkah..."

"Benar." Angguk si pria mantap. "Akan kuperiksa kamar tidur kita." Memegang erat kapak miliknya dalam genggaman tangan. Si lelaki berjanggut lebat pun berjalan pelan menaiki tangga spiral menuju lantai atas.

"Ha..Hati-hati, teman." Laki-laki berhidung pesek, memiliki tubuh paling kecil dibandingkan keenam temannya mencoba mengingatkan sang rekan.

Mengacungkan ibu jari sebagai respon atas pernyataan tersebut, pria berjanggut pun membuka perlahan pintu kayu sambil mengangkat tinggi kapak ditangan bersiap melayangkan benda itu. Gelap, adalah pemandangan awal yang pria itu lihat ketika membuka pintu kemudian masuk kedalam kamar. Berjalan perlahan-lahan semakin memasuki kamar yang gelap dengan kewaspadaan tinggi. Si pria yang terlampau serius menatap kearah depan tak lagi mengindahkan kawasan lain didalam kamar, tiba-tiba mematung melihat sinar kekuningan dari cahaya lilin terlihat dipelupuk mata.

"KYAAA!"

Teriakan seorang wanita pun terdengar, bersamaan dengan suara kapak dan kilat guntur saling menyambar satu sama lain. Memberikan kesan kelam saat sinar kekuningan dilantai dua disebuah rumah kecil tiba-tiba padam setelah suara petir yang menyambar, menghilang.

.

Nada-nada riang teralun indah pada sebuah ruangan bebatuan dihuni rak-rak besar berisi ribuan buku. Meja kayu berukuran besar dihiasi beberapa mangkuk porslein, dan gelas-gelas kaca berbagai ukuran terisi cairan pekat berwarna-warni dengan keranjang-keranjang rotan berukuran sedang terisi benda-benda tak lazim. Berada tak jauh dari meja kayu tersebut, sebuah perapian dengan gentong terbuat dari tanah liat menampakan air berwarna kehijauan disertai asap pekat mengepul dahsyat dari cairan didalam gentong tersebut.

Seorang wanita mengenakan gaun hitam berekor panjang, terlihat memegang kaca kecil digenggaman tangan. Memandangi diri dalam kekaguman yang teramat luar biasa pada paras cantik terpeta dipermukaan cermin, sebuah raut wajah puas dan senyum bahagia yang terukir tak pernah memudar barang sedikitpun. "Perintahkan Reginald untuk membawa masuk barang-barang yang dia dapatkan."

"Baik, Yang Mulia." Sosok pria kecil berwajah seperti makhluk mitologi segera menundukan kepala. Pamit undur dari ruangan si wanita untuk memanggil Reginald.

Telah puas memandangi diri melalui cermin kecil miliknya, si wanita pun berjalan anggun mendekati cermin yang terpahat didinding. Tersenyum angkuh saat melihat permukaan cermin tersebut menampakan parasnya yang cantik. Sudah tiba waktunya untuk pengakuan, pengakuan dari cermin ajaib akan gelar wanita tercantik didunia. Walau telah mendengar pengakuan tersebut selama seminggu terakhir, si wanita seakan tak puas. Dia ingin mendengar pengakuan itu lagi dan lagi sebagai bukti keabsahan kecantikan yang dia miliki. Bahwasanya tidak seorang pun bisa menandingi.

"Wahai cermin ajaib..." Wanita itu pun menyapukan jemari lentiknya pada permukaan cermin, mengusap lembut sketsa diri yang terduplikasi secara sempurna melalui cermin berukuran besar itu. "Siapakah wanita paling cantik didunia ini?"

Selepas mengucapkan mantra yang selalu dia rapalkan setiap saat kala ingin mendengar pengakuan tersebut, permukaan cermin pun menampakan riak air dari tengah pusat cermin kemudian berubah menjadi topeng putih. "Anda lah yang paling cantik, Yang Mulia."

Wajah sang Ratu pun berbinar ceria. Tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia meskipun sebelumnya telah menerka jawaban sang cermin yang pastinya mengukuhkan kecantikan ia miliki. Menyibakan anak rambut disekitar telinga, sang ratu bersurai merah muda yang tersanggul indah dengan mahkota bermata hitam menghiasi membalikan badan membelakangi cermin ajaib dengan gestur angkuh.

"Tetapi Putri Hinata jauh lebih cantik dibandingkan kecantikan yang anda miliki."

Kontan saja sang Ratu membalikan badan dengan cepat, mengerlingkan tatapan mata pada cermin ajaib dengan pandangan menusuk. Menatap murka cermin tersebut. "Apa?" Suara Sakura teralun rendah, membuat Reginald yang baru memasuki ruangan sang Ratu berangsur mundur perlahan. "Apa yang kau bilang tadi?"

Cermin itupun menjawab. "Putri Hinata jauh lebih cantik dibandingkan kecantikan yang anda miliki."

Sakura mendengus kasar, membelakan mata menatap tak percaya sembari berjalan tertatih-tatih kearah meja besar berada ditengah ruangan. "Putri Hinata..." Gumam Sakura pelan, menyanggah kedua tangan pada sisi meja ketika sampai disertai kepala tertunduk dalam. "Kheh! Putri Hinata?" Disaat mengulang kalimat kedua dengan intonasi suara yang sedikit berbeda, naik satu oktaf. Genggaman tangan Sakura menguat pada taplak meja.

"KENAPA PUTRI HINATA MASIH MENANDINGIKU PADAHAL DIA TELAH MATI!"

Dalam satu kali gerakan cepat, telapak meja yang digenggam erat oleh Sakura ditarik secara kasar. Menghamburkan semua barang-barang yang tersaji diatas meja sehingga terjatuh diatas lantai. Menimbulkan suara gaduh dari gelas-gelas kaca dan mangkuk porslein yang pecah akibat terhantam lantai. Sakura menjerit keras, membaur bersama pecahan gelas dan mangkuk ketika melampiaskan amarah menghamburkan semua barang-barang diruangan tersebut.

"Bagaimana mungkin..." Deru nafas Sakura terdengar memburu selepas menyalurkan perasaan marah dengan berteriak dan menghamburkan semua barang-barang. "BAGAIMANA MUNGKIN SESEORANG YANG SUDAH MATI MASIH BISA MENGALAHKAN KECANTIKANKU!" Sinar kehitaman keluar dari tangan kanan Sakura menghantam jendela kaca hingga terpecah berkeping-keping.

"Putri Hinata masih hidup."

Berusaha menormalkan nafas yang masih memburu akibat termakan emosi, kepala Sakura pun teralih kebelakang melihat cermin ajaib yang tiba-tiba bersuara. "Masih hidup?" Wanita berkulit putih tersebut berjalan perlahan mendekati cermin ajaib. 'Aku dibodohi oleh pembunuh bayaran itu!'

Menampakan sebuah rumah kecil berlantai dua dipedalaman hutan pada permukaan cermin. "Putri Hinata masih hidup." Sesosok wanita berambut indigo, mata putih tak berpupil, dan kulit seputih salju terlihat sedang membersihkan rumah kecil tersebut seraya melambaikan tangan kepada segerombolan laki-laki bertubuh mini. "Dia tinggal bersama ketujuh kurcaci dikedalaman hutan terlarang."

Menyibakan ekor gaun yang panjang ketika membalikan tubuh, Sakura pun berjalan mendekati meja sambil menunjuk Edgar dan Reginald diambang pintu. "Edgar cari buku ramuan sihir paling mematikan!" Titah Sakura kemudian. "Reginald bawa seluruh barang-barang yang baru kau dapatkan, lalu suruh anak buahmu untuk membereskan ruanganku. Dalam waktu satu menit, aku ingin ruanganku rapi seperti semula!"

Menganggukan kepala dengan sigap menyanggupi perintah sang Ratu. Edgar pun lekas berlari menuju kearah rak buku, mulai memilah ribuan buku-buku yang tersemat rapi didalam rak-rak tersebut untuk mencari buku yang diinginkan Sakura. Sementara Reginald memerintahkan sebagian pasukan tikus membawakan barang-barang hasil rampasan, sebagian pasukannya lagi membersihkan pecahan gelas kaca dan mangkuk porslein kemudian membawa gelas dan mangkuk yang baru, menatanya kembali diatas meja. Tak perlu waktu lama, meja besar tersebut telah tertata rapi dengan sebuah buku besar bersampul tebal Edgar berikan kepada Sakura. Menyusuri halaman demi halaman buku yang ia buka lebar diatas permukaan meja, sebuah halaman yang menampilkan sederet komposisi, sebait mantra, dan lukisan apel berwarna merah segar melukiskan senyum mengerikan diwajah Sakura.

Padang rumput yang cukup luas, menampilkan bunga-bunga memikat hati tertiup hembusan angin mengalun lembut. Sesosok wanita mengenakan gaun panjang berwarna ungu muda sedang berdiri diambang pintu menghadap ketujuh laki-laki bertubuh kecil terlihat memanggul benda-benda tajam untuk menunjang kinerja mereka dipertambangan batu permata dikedalaman hutan.

"Apapun yang terjadi, jangan bukakan pintu pada siapapun saat kami tak berada dirumah." Ucap laki-laki berjanggut putih mengenakan kacamata bulat memperingatkan wanita itu.

"Benar! Selain kami, jangan pernah bukakan pintu. Mengerti?" Laki-laki bertopi sinterklas berhidung pesek ikut menimpali perkataan lelaki berjanggut.

"Baik!" Senyuman lembut terukir indah diwajah si wanita, terkikik kecil menutupi mulutnya melihat ekspersi lucu dari pria-pria mini itu.

"Kalau begitu kami berangkat dulu." Menggenggam erat linggis yang ia panggul dipundak, laki-laki urutan ketiga dari tujuh kurcaci tersebut menggerakan tangan seirama dengan gerakan kepala. "Ayo, teman-teman!"

Melambaikan tangan Hinata melepaskan kepergian ketujuh kurcaci dengan senyuman. "Hati-hati dijalan."

Kepergian ketujuh kurcaci yang mengarungi padang rumput menembus rindangnya kegelapan hutan terlihat dipandangan mata. Hinata pun segera masuk kedalam rumah, mengunci rapat pintu kayu tersebut menyadari tujuh kurcaci tak lagi terlihat. Menepukan kedua telapak tangan melihat seisi rumah yang nampak berantakan. Hinata melipat lengan gaun ia kenakan sembari mengenakan celemek. "Saatnya membersihkan rumah."

Dengan cekatan, Hinata mulai membersihkan seluruh isi rumah. Merapikan barang-barang yang berantakan keposisi semula, membersihkan permukaan meja menggunakan lap basah, menyapu rumah, mencuci piring. Semua perkerjaan rumah tangga yang biasa dia kerjakan diistana kini dia lakukan dirumah kurcaci tersebut. Jendela-jendela semula tertutup rapat, Hinata buka lebar-lebar, membiarkan sinar matahari masuk kedalam rumah agar kesan suram dan pengap tak lagi terasa. Ditengah menyibukan diri dengan kegiatan rumah tangga yang ia kerjakan, suara pintu dari arah luar rumah menyita perhatian Hinata.

Ketukan pertama, Hinata tak terlalu ambil pusing. Mungkin burung-burung atau hewan-hewan yang biasa berada disekitar kawasan rumah sedang bermain didepan pintu. Pikir wanita itu seraya mengendikan bahu.

"Permisi... Adakah seseorang dirumah ini?"

Ketukan yang kedua kembali terdengar diiringi suara seorang wanita tua menghentikan kegiatannya sedang mencuci piring, Hinata yang berjalan menyusuri ruang tengah tiba-tiba berhenti ditengah jalan, teringat akan perkataan para kurcaci yang melarangnya untuk membukakan pintu kepada siapapun. Kurcaci tak suka bila ada orang lain bersama dengan mereka, kecuali Hinata. Atas rasa terima kasih karena telah mengizinkannya tinggal, Hinata merasa dia wajib mengikuti segala peraturan yang mereka buat. Termaksud sekarang, dan langkah bijak yang harus Hinata ambil cuma satu. Mengabaikan sosok diluar sana.

"Permisi... Mau beli apel milik nenek?"

Ketukan yang ketiga lagi-lagi mengusik Hinata dengan suara wanita renta terdengar semakin menyedihkan mampu menggoyahkan pertahanan Hinata yang semula keukeuh tak ingin keluar dari rumah. Tidak apa-apa bukan? Cuma seorang nenek-nenek yang menjual apel saja Hinata rasa tak akan menganggu. Meskipun para kurcaci memperingatkan Hinata untuk tidak membuka pintu kepada orang asing yang kemungkinan seorang penjahat, nenek-nenek renta penjual apel tidak akan mungkin menyakiti Hinata. Lagipula gadis itu cukup bingung memikirkan makanan penutup untuk malam nanti.

Berjalan menuju kearah jendela sembari mencuri pandang, sosok wanita renta mengenakan jubah hitam terlihat dipandangan mata Hinata. 'Sepertinya tidak berbahaya.' Meskipun begitu Hinata harus tetap waspada. Memilih melakukan transaksi melalui jendela saja. "Maaf, bisakah nenek kemari? Aku tidak bisa membuka pintu."

Mendengar suara Hinata dari arah samping rumah, nenek itupun berjalan perlahan-lahan dengan langkah tertatih mendekati jendela. "Nenek pikir tidak ada orang." Nenek itu tersenyum lebar melihat Hinata dibalik jendela ketika sampai. "Ternyata ada." Meletakan sekeranjang apel diambang jendela, nenek itu pun menyodorkan sebutir apel kearah Hinata. "Cantik bukan? Apelnya sangat segar, baru dipetik dikebun."

Melihat kulit apel berwarna merah mengkilat, Hinata meneguk ludah dengan cepat. Merasa tergoda dengan apel tersebut. Senyum diwajah si nenek kembali mengembang. "Apelnya sangat manis. Cobalah, bila kau tak percaya."

Hinata tampak ragu. "Tapi-"

"Tidak apa-apa." Menggeleng kepala cepat, nenek itu semakin menyodorkan apel kearah bibir Hinata. "Kau boleh mencobanya sebagai pembuktian. Apel ini sangat manis, bila tidak manis. Aku tak akan meminta bayaran atas apel yang telah kau makan. Bagaimana? Apakah kau mau mencobanya?" Desak nenek itu gigih menyodorkan apel.

Bukannya terayu, Hinata nampak semakin bimbang. "Tapi nek-"

"Kau tidak perlu khawatir." Si nenek lagi-lagi memotong perkataan Hinata. "Apel-apel ku berasal dari satu pohon yang sama. Bila apel ini manis, maka yang lain juga manis. Kau tidak akan merasa rugi membelinya." Menyodorkan apel ditangan untuk kesekian kali kearah bibir Hinata, raut wajah si nenek yang terlihat lembut berhasil menggoyahkan pertahanan Hinata.

Menggenggam sebelah tangan si nenek yang menyodorkan apel, Hinata perlahan-lahan mendekatkan wajah mengarahkan bibir pada permukaan kulit apel. Dalam satu kali gigitan kecil. Suara renyah dari daging apel digigit oleh Hinata terdengar nyaring, bersama dengan sari apel yang terasa manis dan segar memenuhi rongga mulut Hinata.

"Maniskan?" Mendengar ucapan sang nenek, Hinata pun menganggukan kepala. Tersenyum lembut mengiyakan pernyataan nenek tua itu. "Ambilah, itu untukmu." Memberikan apel tersebut kepada Hinata, nenek itu pun menyodorkan keranjang apel. "Silahkan dipilih, berapa banyak yang ingin kau beli."

Mengigit apel untuk kedua kali merasakan rasa manis dan juga sensasi segar dari apel tersebut. Hinata yang hendak memilah beberapa apel untuk dikonsumsi para kurcaci tiba-tiba menjatuhkan apel digenggaman tangan, memegang lehernya erat dengan mata membelalak lebar.

"Ada apa, nona muda?" Wajah renta si nenek melukiskan senyum ketika melihat Hinata menggenggam erat lehernya hingga terlihat seperti mencekik diri sendiri. "Kau merasa lehermu seperti tertusuk hingga sulit bernafas?"

Akibat menahan rasa sakit dari leher yang terasa terbakar hingga membuatnya sulit bernafas, Hinata melangkah tak beraturan mengitari ruangan. Menabrak meja, membentur dinding, bahkan terjatuh diatas lantai akibat terjungkal karena pergerakan tubuhnya yang semakin tak tentu arah, tak dapat mengendalikan diri sendiri. Mendapati Hinata terbaring terlentang diatas lantai sambil mengacungkan tangan kanan ingin meminta pertolongan kepada wanita renta dihadapannya, sang nenek justru tertawa terbahak-bahak. Menikmati penderitaan Hinata menuju maut dengan wajah puas.

"Saat-saat seperti ini adalah saat yang paling membahagiakan melihatmu mati didepan kedua mataku."

Suara si nenek semula terdengar seperti nenek-nenek renta tak berdaya namun baik hati seketika berubah menjadi suara wanita muda. Hinata membelalakan mata ditengah rasa sakit, merasa mengenali suara tersebut. Membuatnya menerka-nerka dalam pikiran mengingat suara itu mirip dengan suara sang ibu tiri, terlebih mengagetkan lagi nenek tua tersebut melepas jubah hitam menutupi kepala. Memperlihatkan serbuk-serbuk kehitaman disekeliling wajah berubah perlahan-lahan menjadi wanita cantik bermata emerland.

"Itu adalah hukuman karena telah berani melawanku!" Membalikan badan seraya menyibakan jubah hitam melekat dibadan. Sakura pun melenggang pergi meninggalkan rumah kecil berlantai dua ditengah awan kehitaman berkumpul.

.

.

.

To-Be-Continue.