DON'T LIKE, DON'T READ

Title : Antara Lensa, Mata, dan Hati

Disclamer : Masashi Kishimoto

Warnings : OOC, AU, Typo (s), Miss typo, Agak rumit, Chapter berat, dll

Maaf kalau jelek :)

Story by: Bii Akari

Dedicated for: Mari Chappy Chan

Enjoy~

.

.

.


TIK

"Hei kau! Cepat bawa Sakura-san ke dalam!"

TIK

"Hujan! Semuanya, cepat bereskan peralatannya!"

TIK

"Pemotretannya kita tunda sampai hujannya reda. Mengerti?"

TIK

TIK

TIK

.

NORMAL POV

Hujan. Gemuruh petir. Dan hawa dingin. Tiga perpaduan sempurna untuk membungkam model profesional berparas cantik itu.

"Sakura-san? Anda kedinginan? Tunggu sebentar."

Gadis berambut gelap itu melangkah pergi, berlalu ke tenda sebelah guna mencari selembar selimut. Beberapa staff lapangan tampak mondar-mandir, berpindah dari satu tenda ke tenda lainnya. Suasana rusuh, dekorasi-dekorasi tadi bergegas dipindahkan ke tempat yang aman, bersama dengan beberapa alat pengatur cahaya dan benda-benda elektronik lainnya.

Seorang pemuda tampan langsung menyerbu tenda Sakura, menyelonong masuk tanpa izin sang empunya. Tenda kecil yang didirikan untuk peristirahatan sang model itu memang disediakan khusus untuk Sakura seorang—jadi jangan heran jika tempat itu hanya dihuni oleh Sakura beserta asisten kepercayaannya.

Gadis beriris emerald itu kini tampak duduk diam di depan sebuah meja rias, wajahnya terpantul jelas di cermin itu—bersama dengan bayangan sang pemuda yang masih berdiri santai beberapa meter di belakangnya.

Alis pemuda itu mengerut, sedikit keheranan karena model cantik itu hanya duduk seraya menatap kosong cermin di hadapannya. Mengabaikan keberadaan dirinya sejak tadi. Merasa aneh, pemuda itupun menatap lekat pantulan bayangan Sakura yang terpatri jelas di cermin itu. Bayangan seorang gadis dengan pandangan hampa yang terlihat menyedihkan.

Dengan tergopoh-gopoh, Shizune berlari menembus tenda pribadi Sakura. Gadis itu tampak sedikit basah, tapi tak masalah baginya. Shizune menatap Sakura dengan khawatir, hatinya terasa tercubit begitu mendapati iris cantik itu kini telah meredup sempurna. "I-ini, biar kukeringkan rambutmu, Sakura-san."

Tak ada jawaban, Sakura tetap bergeming, seolah jiwanya benar-benar terbang ke tempat lain. Akhirnya, dengan penuh kehati-hatian, Shizune mengusap helaian merah muda gadis belia di hadapannya, bersama tatapan sendu penuh simpati yang tertuju untuk sang gadis.

Sementara di tempat yang sama, pemuda raven tadi mendesah pelan, lalu merogoh kamera yang tergantung di lehernya. Kamera itu masih tampak kering, tak terjamah sebulir hujan pun.

KLIK

Satu gambar terabadikan. Tak ada efek cahaya. Tak ada suara jepretan. Hanya ada satu gambar, yang tertangkap jelas dari celah lensa pemuda itu.

"Sai ... ."

Dan satu bisikan pelan dari celah bibir Sakura.

.

.

.


FLASHBACK

Sakura's POV

"Jangan menangis."

"Hm?" Kutolehkan kepalaku ke atas, dan yang kutemukan adalah ... sesosok anak laki-laki yang tersenyum lembut. Heran, aku pun hanya memandanginya dengan sedikit sengit. Anehnya, senyum di wajahnya itu tak kunjung pudar juga.

"Kau terlihat jelek kalau menangis."

Menangis? Cih, aku tidak menangis, tahu.

"A-aku tidak mena—"

PUK

"Jangan menangis, ya."

Dan yang dapat kurasakan saat ini hanyalah, sebuah tangan mungil yang mengelus kepalaku dengan lembut. Rasanya ... menenangkan.

Anak laki-laki berambut eboni itu kemudian duduk di sampingku, melepaskan tangannya dari pucuk kepalaku dengan senyum yang mengembang. Kutatap wajahnya dengan lurus-lurus, sedikit kebingungan karena kedatangannya yang tiba-tiba tadi.

"Kau siapa?"

Kalimat spontan itu keluar begitu saja dari tenggorokanku. Kuamati anak laki-laki—yang sepertinya sebaya denganku—itu sekali lagi, kali ini lebih intensif dan menyeluruh. Responnya? Dia hanya menoleh, memandangku dengan mata gelapnya dan kembali tersenyum. "Kau ... siapa?" kuulang lagi pertanyaan sederhanaku dengan penekanan yang berbeda.

Waktu terus berlalu, dan anak laki-laki di sampingku masih terdiam dalam posisi yang sama. Oke, aku menyerah. Mungkin dia sama saja dengan anak-anak lainnya. Mungkin memang, dia datang ke sini hanya untuk mengejekku seperti yang lain.

Aku mendengus, menatap telapak tanganku yang terlihat lebih kecil dibanding miliknya. Kugerakkan sebelah tanganku menyentuh helaian merah mudaku tadi, kuusap perlahan, persis seperti yang dia lakukan tadi. Tidak, rasanya beda. Kenapa, tadi rasanya ... hangat?

Kulirik anak laki-laki tadi dari ujung mataku. Dan dia tetap melakukan hal yang sama, menoleh cepat dengan bibir yang tersenyum simpul. Grr, dalam sekejap kulempar pandanganku ke arah lain.

Ini aneh. Ada apa dengan anak di sampingku ini? Apa maunya yang sebenarnya?

"Sai~"

Dari kejauhan, terdengar lengkingan suara cempreng khas teriakan anak perempuan. Kulempar pandanganku ke samping kanan. Seorang anak perempuan berambut pirang tersenyum cerah sambil melambaikan tangannya dengan riang. Anak perempuan itu terus berteriak senang, sembari berlari ke arahku. Tunggu, ke arahku?

Kualihkan atensiku kembali pada sosok anak laki-laki asing di samping kiriku itu. Dan dia tersenyum—tersenyum polos ke arah anak perempuan cantik tadi. Siapa, mereka?

Seraya bangkit dari duduknya, anak laki-laki tadi menatapku dengan pandangan yang sama. Tangan kirinya menggenggam buku gambar—aku baru menyadarinya—sementara di celah jemari kanannya terselip sebuah pensil. Dia lalu membuka buku gambarnya, mencari sesuatu—entah apa. Dan aku hanya bisa menatapnya dengan penasaran.

Sejurus kemudian, anak itu merobek selembar kertas gambarnya lalu menyodorkan kertas itu padaku. Senyumnya masih mengembang, masih sama. "Ini untukmu."

Bagai terhipnotis, tanganku bergerak dengan sendirinya. Meraih dan mendekap kertas gambar itu dengan hati-hati, takut terbang terbawa angin yang cukup kencang. Dan yang kudapati setelahnya hanyalah ... bayangan anak laki-laki yang dipanggil 'Sai' itu berlalu bersama anak perempuan yang tadi. Saling bertukar senyum. Punggung mereka menjauh, terus menjauh hingga lenyap dari pandanganku.

.

.

"Sakura~ coba lihat, cantik 'kan?" Ino berlari dengan semangat ke arahku, dalam genggamannya terdapat setangkai bunga liar yang baru mekar. Mata aquamarine-nya menatapku hangat, begitu ia tiba di hadapanku.

Aku mengangguk antusias, menatap kagum bunga liar berwarna merah muda yang kini disodorkan Ino padaku. "Cantik."

"Untukmu." Dengan gesit, Ino menarik tanganku hingga bunga liar tadi terbungkus erat oleh genggamanku. Kupandangi lagi wajahnya yang masih terlihat berseri-seri. "Cantik seperti Sakura." Dan selanjutnya, kami saling melempar tawa.

"Lihat ini, aku punya hadiah untuk kalian berdua."

Aku dan Ino tersentak kaget, sejak kapan dia ada di sini? Usai saling melempar tatapan heran, kami berdua pun menatap anak laki-laki murah senyum yang berdiri santai di hadapan kami itu dengan penuh tanda tanya. Hadiah?

SRET SRET

Dua lembar kertas tersobek paksa, yang satu untuk Ino dan yang satunya lagi untukku. "Kawaii~" dan kami berdua pun berseru senang.

"Wah~ bunga lily putih~" seru Ino girang, kedua matanya berbinar-binar, kagum pada lukisan setangkai lily putih yang tercetak di lembaran kertas miliknya. "Arigatou, Sai~"

Sementara milikku, adalah lukisan padang bunga warna-warni—bunga liar. Ya, aku memang tak sefanatik Ino dalam hal bunga-bungaan, dia bahkan memiliki daftar nama bunga kesukaannya—dan lily putih menduduki posisi pertama. Berbeda denganku, yang selalu mengagumi setiap bunga yang diperkenalkan Ino padaku. Sama halnya dengan rasa kagumku pada lukisan Sai.

"Arigatou, Sai~"

.

.

Jangan menangis. Jangan menangis. Jangan menangis. Kumohon, jangan menangis.

"Sedang apa di sini, Sai?"

Pemuda berkulit pucat itu menoleh, menatapku ramah dengan senyum palsu andalannya. Hm, sejak sebulan yang lalu—lebih tepatnya sejak kematian Ino—semua senyum yang ditampilkannya hanyalah senyum palsu. Sebatas garis lengkungan tipis yang tak bermakna.

"Hanya mengenang masa lalu, Sakura."

Sai kembali tersenyum, dan hanya kubalas dengan anggukan getir. Hmm, mengenang masa lalu bersama Ino. Sama seperti kegiatanku sebulan belakangan ini.

Ya, di padang ini. Di bukit belakang kota. Sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan wadah perenungan. Awalnya aku hanya sendirian, di tempat ini. Menyendiri, terisolasi dari pergaulan akibat warna rambutku yang mencolok dan kata mereka, aneh. Lalu Sai datang, tersenyum ramah sambil menyerahkan potretku yang sengaja dia gambar. Keesokannya, Ino datang. Anak perempuan cerewet berambut pirang itu sudah kuanggap bagaikan kakak kandungku. Aku tidak sendiri lagi, aku punya teman. Di sini, di tempat ini. Kami bertiga selalu menghabiskan sore yang hangat di sini. Saling bertukar cerita, menyatukan tawa masing-masing.

"Jangan menangis, Jelek."

Aku tidak menangis. Aku sudah berjanji pada Ino. Aku tidak akan menjadi anak yang cengengeng lagi. Aku ... hiks.

Dalam satu tarikan, Sai memelukku. Mengusap pundakku dengan lembut sembari menyandarkan dagunya di sisi yang lain. Dapat kurasakan hembusan napasnya yang teratur di tengkukku. "Jangan menangis ... ."

Ya, mantra ajaib Sai. Hanya Sai yang bisa melakukannya. Aneh memang, tapi ... aku akan berhenti menangis setelah mendengar itu.

.

"Sai?"

"Hm?"

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Kau sudah bertanya, Sakura."

Kuangkat kepalaku—yang semula bersandar pada pundak Sai—agar kembali tegak. Mataku memicing, meski agak tersinggung dengan kalimatnya barusan tapi masih ada hal lain yang lebih mengganggu benakku dibanding itu. "Mengapa dulu kau tidak menjawab pertanyaanku?"

Kening pemuda berambut gelap itu berkedut, sedikit heran mendengar pertanyaanku tadi. Kubalik posisi dudukku hingga berada tepat di hadapannya. Sambil duduk bersila, kuperhatikan baik-baik wajah pemuda tampan di hadapanku ini. "Dulu, di hari pertama kita bertemu."

Dan yang kutemukan selanjutnya adalah ... senyum tulusnya yang dulu. Senyum tulus pertama Sai, setelah kepergian Ino tiga bulan yang lalu.

"Hm ... itu ... ." pemuda berusia tujuh belas tahun itu menatapku dengan geli, pancaran matanya terlihat mengejek, membuatku menggerutu kecil dengan kesal. "Itu karena, aku dilarang mengobrol dengan orang asing."

DOR

Decihan kesalku tertelan bulat-bulat. Alasan macam apa itu, eh?

"Lalu mengapa kau tersenyum padaku? Lagipula kau duluan yang menyapaku, bahkan menghadiahkan aku lukisan itu."

Sai tertawa kecil, tulang-tulang pipinya menutupi sebagian bola matanya yang kelam. "Aku bilang, aku dilarang bicara dengan orang asing. Tersenyum dan memberikan hadiah tidak termasuk dalam larangan, Sakura," jelasnya singkat. Dalam sekejap, tatapan matanya menyorotku dengan geli, memaksa bibirku mulai menggerutu halus. "Ah, dan aku bukan menyapamu, aku hanya memberikan sedikit nasehat kecil," tambahnya cepat.

Sebelum aku sempat menyela, Sai sudah terlebih dahulu buka mulut—memotong ucapanku yang sudah berada di ujung tanduk. "Lagipula, kau tidak membalas senyumku."

"Eh?!"

"Seandainya kau membalasnya, kau bukan orang asing lagi bagiku."

"J-jadi—"

"Hn, aku terus begitu karena menunggu kau membalas senyumku. Tapi sampai Ino datang, kau bahkan tidak menghiraukanku."

JLEB

Hmm, sampai Ino datang dan membawamu pergi. Sampai Ino datang lagi keesokan harinya dengan dalih ingin memperkenalkanmu padaku—padahal aku dan dia bahkan tak saling kenal. Jadi sejak awal Ino sudah ... merencanakan ini semua. Mungkinkah dia?

"Sakura, aku mencintaimu."

Dan yang dapat kurasakan selanjutnya hanyalah ... deru napas kami berdua yang saling berirama. Menikmati kecapan demi kecapan yang tercipta akibat pergulatan bibir kami.

.

.

Alunan musik alam menyambutku hangat begitu aku tiba di tempat favourite-ku itu—bukan, mungkin lebih tepatnya, tempat favourite kami. Ya, kami. Aku, Ino, dan dia. Rerumputan bergerak geli di bawah himpitanku, tetap kuacuhkan, sekalipun ada beberapa helai yang terasa menggelitik jemari-jemari kakiku. Di bawah sana, kota kecilku tampak indah. Diselimuti oleh langit biru yang cerah, serta sinar matahari yang terik. Damai.

"Sedang apa?"

"Mandi."

Kekehan Sai terdengar lirih, tangan jenjangnya kini mengacak-acak helaianku—kebiasaan lamanya sejak kecil. Sai ikut duduk di sampingku, memandang objek yang sama denganku. Lalu, jemarinya pun terulur, seolah memintaku untuk menjabat tangannya. Kupenuhi.

"Eee?"

Dengan gerakan super cepat, Sai mendaratkan kepalanya di pangkuanku sembari memandangku dengan senyum nakalnya. "Begini lebih baik," cerocosnya cuek.

"Ya, lebih baik untukmu."

Detik-detik selanjutnya, hanya suara desiran angin dan goresan pensil Sai yang terdengar. Dan bagiku, itu sudah lebih dari cukup.

.

Waktu berlalu dengan lambat, kuelus-elus rambut Sai dengan perlahan, mencoba membuat pemuda itu merasa nyaman dengan perlakuanku. Sore perlahan menjemput, menyebarkan aroma manis dari berbagai bebungaan di sekitar padang rumput ini. Bunga. Hal yang selalu mengingatkanku pada sosoknya, Yamanaka Ino.

"Selesai~"

"Hm?"

"Kuharap kau mau menerimanya, ini yang terakhir."

Kusambut selembar kertas sketsa yang diulurkan Sai padaku, dan bibirku pun perlahan mengulum senyum. Hm, entah ini sketsa keberapa yang diberikan Sai padaku. Yang pasti selama bertahun-tahun mengenalnya, Sai tak pernah luput mengabadikan sosokku di atas helaian kertas sederhana miliknya. Meski hanya goresan-goresan pensil, tapi ini terlihat begitu hidup.

Kulirik Sai sejenak, dan senyumku spontan semakin melebar begitu dia ikut memamerkan senyum andalannya juga. "Kau suka?" tanyanya santai. Aku pun mengangguk, mengacak rambutnya sejenak sebelum kembali larut dalam pesona potretku yang baru saja diabadikan Sai sesaat yang lalu.

Aku cukup heran, setiap kali Sai melukisku dia tidak pernah melukis objek lain selain aku. Aneh 'kan? Sekalipun saat itu aku bersama Ino, atau bersama dirinya seperti saat ini, Sai tak pernah mencetak figur lain. Padahal, akan lebih indah jika saja sosoknya ada di sampingku seperti sekarang.

Belum sempat bertanya tentang hal itu, Sai terlebih dahulu bangkit dari posisinya semula. Pemuda itu kembali duduk di sampingku, tersenyum lagi sambil menatapku dari samping. Malas meladeninya, aku pun mendesah, melepas tatapanku darinya dan kembali mengunci atensiku pada kertas sketsa yang telah resmi menjadi milikku itu.

"Berhenti menatapku seperti itu, Sai," potongku malas, sambil meliriknya sepintas.

Sai terkekeh kecil, iris onyx-nya tetap menatapku seperti semula—tampak tak mengindahkan teguranku sesaat yang lalu. "Ino benar," kualihkan manik emerald-ku kembali padanya. Oke, tuan pelukis, kau berhasil merebut perhatianku lagi. Dengan senyum yang mengembang lebar, Sai menyelipkan anak-anak rambutku ke belakang telinga—mungkin terlihat mengganggu dari sudut pandangnya. "Kau memang cantik," sambungnya kemudian.

BLUSH

Ya, kuakui, ini pertama kalinya Sai memujiku seperti ini. Biasanya dia akan meledek wajahku yang katanya 'jelek', apalagi jika aku mengangis. Dan sekarang? Demi apa, hah?

"Ino? Dia ... bilang begitu padamu?" tanyaku hati-hati. Sejak Ino tak ada, topik mengenai gadis pirang itu sebisa mungkin kami hilangkan dari perbincangan kami sehari-hari—guna menghindari rasa menyesakkan itu kembali hinggap di ulu hati kami masing-masing. Tapi ... mungkin tidak untuk hari ini.

"Ino selalu berkata seperti itu padaku," jeda sesaat, Sai menengadahkan wajahnya, seolah menyapa Ino di atas sana. "Dan dia bilang ... kita terlihat serasi."

"Serasi?"

"Hn."

Jadi, Ino tidak menyukai Sai? Sungguh, awalnya kupikir Ino memiliki perasaan khusus pada Sai. Aku tak menyangka sama sekali bahwa Ino ternyata ... merestui kami sejak awal.

Seolah mengerti respon datar dan heranku, Sai pun menatapku dengan lembut. Pandangannya menerawang, menginvasi seluruh bagian wajahku. "Jika bukan karena Ino, mungkin aku tak akan bisa mengenalmu seperti sekarang," ujarnya, masih dengan tatapan kesukaanku itu.

"Lalu, apa yang diceritakan Ino padamu ... tentangku? Ino pernah bercerita tentangku padamu, 'kan?"

"Dia bilang kau cantik. Dilihat dari manapun kau tetap cantik," jawab Sai cepat. Kugaruk pipiku yang tak terasa gatal, agak salah tingkah karena pujian berlebihan itu. "Jangan kepedean seperti itu, Jelek," ledek Sai enteng, memecah mood-ku menjadi berkali lipat lebih buruk.

Kuhembuskan napasku berat-berat, menunjukkan dengan terang-terangan bahwa aku tak menyukai kalimat terakhirnya tadi. Tapi di luar dugaan, Sai justru tertunduk, menyembunyikan wajahnya dari emerald-ku.

"Kau tahu, apa cita-cita Ino?"

Pertanyaan sederhana yang kujawab dengan anggukan singkat—meski kutahu pemuda di sampingku sama sekali tidak melihatnya.

"Dia sangat ingin menjadi model majalah. Dia bilang, seluruh dunia akan melihat sosoknya di mana-mana dan menyadari bahwa dia masih lebih fotogenik dibanding dirimu."

Kekehan kecilku melompat keluar akibat mendengar penjelasan Sai, dasar gadis itu. Cara berpikirnya bahkan masih sesederhana itu.

"Ya, itulah Ino."

Perlahan, Sai mengangkat wajahnya. Iris kelamnya tetap terlihat redup seperti tadi. Meski kali ini, ada sekilat harapan kecil yang terpancar darinya. "Kau mau mewujudkan impian Ino, Sakura?"

"Hm?"

"Jadilah ... seorang model."

"Model?"

"Hn, bawalah ... harapan Ino bersamamu. Aku yakin dia akan senang jika kau bersedia melakukannya."

"A-aku tidak begitu perca—"

"Kau bisa, Sakura. Anggap saja, ini permintaan—terakhir—ku juga, bagaimana?"

"Aku tidak begitu yakin, Sai," putusku bimbang. Dan respon Sai tetap sama, mengembangkan senyum innocent andalannya.

WUUUSH~

"Eh! Kertasnya! Ah, dap—"

"SAKURA!"

.

"Berjanjilah ... Sa-ku-ra."

"SAI!"

.

.

Sai ... menyusul Ino pergi. Kali ini berbeda, Sai ... mati di hadapanku. Terjatuh dari ujung bukit karena kecerobohanku. Jika saja aku menggenggam kertas itu dengan lebih erat. Jika saja aku tidak mengejarnya terbang. Jika saja aku tidak terpeleset dan jatuh. Jika saja Sai tidak ada di sana untuk menyelamatkanku, maka dapat kupastikan dia masih akan tersenyum saat ini.

Kususul tubuh Sai yang menggelinding jatuh ke bawah—menuju tepi kota. Jalanan menurun bukit yang licin mempersulit aksi nekadku agar bisa segera sampai ke bawah sana. Ya, aku tahu. Sejak awal aku tahu, tadi adalah kali terakhirnya aku melihat senyum polos itu.

Sekalipun aku meronta-ronta gila seperti sekarang, memukul-mukul tubuhnya agar sadarkan diri. Tak ada yang akan berubah. Sai sudah ... tidak ada.

Jadi ... ini makna semuanya.

Ino yang selalu menjagaku, mengajariku agar tidak bergantung dan cengeng lagi. Ya, Ino mengajariku banyak hal. Dia mempertemukanku dengan Sai. Menjaga kami berdua agar suatu saat, dapat bersama. Ini yang diinginkan Ino, dia sudah merencanakan ini sejak ia tahu mengenai penyakitnya itu. Dengan adanya aku, Sai bisa mendapat pegangan yang kuat saat Ino pergi. Bagaimanapun juga, Ino ingin menjadikanku sandaran untuk Sai. Demi kebaikan kami.

Lalu sekarang, Sai—pemuda yang kucintai—juga telah pergi. Tak ada lagi senyum simpulnya, tawa renyahnya, dan wajah stoic-nya itu. Apa ... ini motif di balik lukisan hadiah Sai selama ini? Potret diriku, dalam berbagai mood?

Kuacak puluhan kertas sketsa yang berserakan di hadapanku. Semuanya adalah hasil karya Sai. Kebanyakan melukiskan kegiatan-kegiatanku di padang bukit belakang kota. Aku yang menangis. Aku yang tertawa. Sampai yang terakhir—aku yang melamun. Kenapa, Sai? Kau tak ingin aku berlarut-larut dalam kesedihan jika di sketsa ini ada sosokmu, eh?

Kupeluk erat-erat lukisan bunga lily putih milik Ino yang sengaja dia berikan padaku seminggu sebelum tubuhnya semakin melemah. Alasannya, dia ingin agar suatu hari nanti, aku dapat menghadiahkannya setangkai bunga lily putih yang asli. Maklum, bunga itu sangat langka di daerah kami.

"Ino ... Sai ... kumohon, jaga aku dari sana ... ."

END OF FLASHBACK

.

.

.


NORMAL POV

"Sakura-san!"

"EEH!"

"Anda baik-baik saja, Sakura-san?"

Gadis berhelai merah muda itu menghembuskan napas lega. Jujur, dia sangat terkejut tadi. Sambil mengusap-usap dadanya yang sempat berguncang hebat sesaat lalu, Sakura pun mengangguk lemah.

"Syukurlah," desah Shizune, gadis itu lalu meletakkan handuk kecilnya tadi di samping meja rias. Iris gelapnya kembali memandang cermin di dekatnya—mengamati ekspresi jenuh Sakura yang masih terpeta jelas. "Hujannya sudah mulai reda, sebaiknya anda bersiap, Sakura-san," sambungnya pelan, seraya meraih kotak make up yang tergeletak tak jauh dari sana.

Sakura mengangguk. Gadis itu kembali menatap cermin di hadapannya, menunggu Shizune datang untuk memoles kembali wajahnya.

.

Berbanding terbalik dengan suasana di tenda pribadi Sakura, di luar sana para kru mulai mempersiapkan dekorasi-dekorasi mereka kembali. Semua orang sibuk, terkecuali seorang pemuda berambut raven, yang terlihat santai mengutak-atik lensa kameranya.

"Ini karena dia datang terlambat."

"Benar, pemotretan bahkan belum dimulai sama sekali, padahal kita sudah bersiap sejak satu jam sebelum hujan turun."

"Aku heran, mengapa bos begitu berpihak padanya."

"Urusai."

Satu kata penuh penekanan—dan beraura dingin—itu seketika ampuh meredam bisik-bisik tetangga yang semula terdengar lirih dari dalam tenda. Ya, tak ada yang tak bergedik begitu mendengar suara baritone yang tajam itu. Atmosfer pun semakin dingin, meski hujan telah terhenti sempurna.

"Bisa kita mulai, Sasuke-san?"

Satu pertanyaan yang menyita seluruh atensi manusia di sana, terdengar sopan dan sangat tenang.

"Hn."

"Panggil Sakura-san ke sini."

.

Pepohonan rindang tampak bersahabat, menjulang tinggi menembus kabut yang menghalau langit. Aroma tanah bercampur hujan memonopoli penciuman semua makhluk hidup. Embun-embun pun bergantung nakal di ujung-ujung daun.

Sasuke menghentikan langkahnya dengan seenaknya, mengundang riuh lega dari beberapa kru yang jengah berjalan mengikutinya semenjak tadi.

Pohon-pohon beringin menguasai teritorial hutan tropis itu. Kabut pun menyapa dengan sesekali, menghilang, lalu kembali muncul lagi bak hantu gentayangan. Suhu udara sedikit lebih rendah dibanding tadi, suasana sejuk juga mendominasi wilayah ini.

Sasuke tersenyum tipis. "Kita lakukan di sini," putusnya yakin.

Suara lolongan anjing liar berkumandang angkuh begitu keputusan mutlak Sasuke keluar, beberapa orang bergedik ngeri—lagi. Di daerah daratan tinggi itu, kewaspadaan memang mesti ditingkatkan jika tak ingin terkena celaka. Binatang buas telah menanti mereka dengan perut yang mengaum lapar—mungkin. Namun bahkan, meski suasana terasa begitu mencekam seperti sekarang, Uchiha muda itu tetap bersikeras keukuh pada keputusannya—dan tak ada yang berani memprotesnya.

"Cepat bersiap, atau kalian ingin lebih lama lagi di sini, hm?"

Dan begitulah cara Sasuke mengendalikan semuanya.

.

Sakura berdiri anggun di tengah view yang mencenangkan. Pepohonan tinggi berbaris rapih, seolah memang sengaja dipajang sedemikian rupa agar menyatu dengan figur sang model. Gadis cantik itu mengenakan long dress sederhana, berbahan katun lembut yang terlihat elok memesona. Helaian merah mudanya tergelung di sisi belakang, mempertegas gelar model profesional yang disandangnya.

"Sakura-san memang sangat cantik."

Argumen singkat penuh nada memuja yang dilontarkan oleh seorang kru dari arah belakang—yang ikut larut dalam pesona sang model. Dalam hati, semua orang menyetujui ucapannya—yah, mungkin terkecuali sang fotografer, yang terlihat mendecih bosan.

"Kau tahu konsepnya 'kan?" tanya Sasuke santai, sembari mengusap embun-embun tipis yang menyelimuti lensanya.

Sakura mengangguk tak kalah santainya. "Bisa kita mulai sekarang?"

.

KLIK

Sasuke mendesah, fokusnya kembali ia lempar ke arah sang model. "Lebih alami," perintahnya.

Kesal, Sakura pun menggerutu kecil. Bibirnya sedikit terbuka, hendak menyulut api adu mulut dengan sang fotografer. Namun aksinya langsung terhenti begitu Sasuke kembali menekan tombol capture kameranya. "Semakin buruk," komentarnya lagi.

"Aku belum siap, Tuan Fotografer!" protes Sakura, tak terima dicela buruk, tentu saja.

Sasuke melirik, menurunkan kameranya sejenak lalu menyeringai tipis. "Yang kumaksud view-nya—bukan kau. Kabutnya semakin tebal, Nona Model," koreksi Sasuke, sukses membuat Sakura bungkam sambil menggeram pelan.

Para kru kembali menelan ludah, tenggorokan mereka terasa tercekat mendengar perdebatan kecil antar kedua tokoh utama itu. Uchiha Sasuke memang mengerikan, bahkan model cantik seperti Sakura pun dibuatnya bungkam dengan begitu mudah.

"Cobalah lebih natural. Kita harus segera menyelesaikan ini sebelum kabutnya semakin tebal."

'Siapa suruh kau memilih lokasi ini, hah! Padahal lokasi sebelumnya juga cukup bagus, menyebalkan!' gerutu Sakura dalam hati.

Tanpa perlu diperintah ulang lagi, Sakura bergegas mengambil posisi. Wajahnya terangkat, menatap pepohonan yang menjulang di sebelah kanannya. Sementara tangannya ia sandarkan pada permukaan batang pohon raksasa di sampingnya. Tatapannya menyiratkan permohonan dan kekaguman di saat bersamaan. Kabut mengambil bagian, menghidupkan figur Sakura yang bertelanjang kaki.

KLIK

Dengan gaya lambat nan anggun, Sakura mengalihkan tatapannya. Matanya memicing, menatap angkuh lensa kamera Sasuke yang menyorotnya. Masih dengan posisi tangan yang menyentuh kulit pohon.

KLIK

Sasuke tersenyum tipis.

KLIK

Bagai larut dalam pesonanya sendiri, Sakura semakin menjiwai perannya dalam pemotretannya kali ini. Tangan mulusnya terangkat, berpindah dari batang pohon yang kering tadi menuju sisi bawah gaunnya yang tergelai lemah. Ia tarik sedikit, sambil memainkan tangannya yang satu di sisi lain. Kepalanya menoleh, menatap kamera dengan senyum tipis penuh ketertarikan.

KLIK

Dengan amat anggun, Sakura melangkah tegas menuruni akar-akar raksasa yang semula dipijaknya. Pandangannya tak terkunci pada satu titik, sebab kepalanya terus menari-nari seolah hendak menangkap seluruh alam sekitarnya dalam emerald indahnya yang berkilat penuh pesona.

KLIK

Dress putih sederhana Sakura bergulung lembut, melewati dataran kasar permukaan tanah di bawahnya. Tatapan kagum Sakura tetap tertera, memberi kesan bebas dan lemah di saat yang bersamaan.

KLIK

Sakura berhenti. Tepat beberapa meter di hadapan kamera. Sasuke juga mengubah posisinya, menggeser fokus kameranya agar mendapatkan gambar terbaik. Mata Sakura terpejam, sebelah tangannya terangkat perlahan, seolah membelai lembut kabut-kabut yang mulai menyelimutinya dengan penuh magic. Senyum Sakura mengembang, tulus nan polos.

KLIK

Iris emerald itu kembali menampakkan wujudnya, menatap penuh damba cahaya mentari yang tengah memulai aksinya menerobos kabut, seolah sengaja ditata dengan begitu indah. Bagai melihat harapan yang dinantinya, Sakura tersenyum lirih. Penuh perasaan. Tangannya mengepal, terlihat rapuh diwarnai emosi. Ya, emosinya terlihat. Auranya terpancar kuat, kharismanya ... menggelora.

KLIK

"Jangan menangis."

.

Pemotretan selesai hanya dalam waktu beberapa menit. Menurut Sasuke selaku sang fotografer, hasil bidikannya sudah cukup sempurna untuk diserahkan pada editor majalah yang menyewa jasanya itu. Sakura pun hanya manggut-manggut saja, meski hatinya bergejolak heran sekaligus resah begitu sepatah kata ajaib tadi terdengar dari celah bibir Sasuke.

"Jangan menangis."

Bahkan cara Sasuke mengucapkannya, sama persis dengan dia.

Menangis, eh?

Begitu Sasuke mengucapkan kalimat perintah sederhananya itu, konsentrasi seluruh kru langsung buyar—begitu pun Sakura. Gadis itu tersentak kaget, dengan mata yang membulat bingung. Ya, kru lain juga memasang ekspresi yang tak jauh bedanya dengan Sakura. Bagaimana tidak? Tak ada sebulir air mata pun yang menetes dari kedua emerald itu. Tak ada. Bahkan emerald itu sama sekali tak basah ataupun berkaca-kaca.

"Ayo kembali," tegas Sasuke, memecah keheningan yang menggigit.

.

Usai berbenah dan berganti pakaian, Sakura bergegas keluar dari tendanya. Dara cantik itu kini mengenakan mini dress sederhana berwarna kuning gading, dilapisi cardigan hitam. Manik emerald-nya meneliti sekitar, mencari keberadaan pemuda yang sempat mengunci pikirannya—bahkan sampai sekarang pun, masih.

Gerutuan kecil terdengar, begitu Sakura tak berhasil menemukan pemuda yang diincarnya.

KLIK

Suara jepretan kamera. Dengan penuh antusias, Sakura berbalik. Jika bukan karena keprofesionalismeannya, mungkin Sakura sudah menutup matanya rapat-rapat, akibat cahaya blitz yang menyapanya telak dari arah depan.

Sasuke kembali menarik salah satu sudut bibirnya. "Mencariku?"

.

.

.

TBC


Author's line:

Saya tau, adegan terakhirnya itu sangat gantung. Bahkan mungkin keseluruhan ficnya aneh *dor* Bukannya nggak pede, tapi...jujur, saya kurang puas dengan ini *mojok ngitung semut* Ada yang kurang jelas? Silahkan curahkan di kotak review :3

Saran, kritik, komentar, dan curcolan (?) monggo dituangkan di kotak reviewnya~

Fic ini cuma tiga chapter, sesuai judul *duar* saya kapok deh bikin yang panjang-panjang *ngaku* meski aslinya saya nggak bisa bikin cerita pendek #plak

Awalnya fic ini nggak niat kupub, tapi waktu si Mari ngomong pengen dibuatin fic yang ada SaiSaku-nya, langsung keinget fic mentah ini. Akhirnya, jadi lanjut diketik sampai selesai :3 #nekad

Gimana, Mari? Ini cukup aneh kan? ._.

Karna chapter depan rada sedikit-err ngertilah~ *kibas tangan* jadi mungkin akan apdet pasca Ramadhan (?) atau usai shalat tarwih (?) #digampar

Kutunggu review kalian :3

Arigatou :)