Beberapa—banyak malah—orang sudah mengenal beberapa organisasi pembunuh bayaran yang melegenda. Sebut saja salah satunya, Oni. Atau mungkin Yakuza. Orang-orang sudah tahu kesadisan mereka, prinsip mereka yang tak kenal ampun.
Tapi apa mereka tahu jika ditanya tentang Akatsuki, sebuah pembunuh bayaran baru yang baru saja dibentuk. Organisasi yang—mungkin—lebih kejam daripada pendahulu-pendahulunya. Atau mungkin malah sebaliknya?
Untuk itulah aku di sini. Memperkenalkan mereka kepada dunia. Karena mereka telah datang…
Yeah, please welcome… Akatsuki Organization.
.
.
.
Butchering
Naruto and the characters belongs to Masashi Kishimoto, but this fict is mine.
Akatsuki members – Suspense/Crime – Fiction T
More OOC! Don't like, don't read!
Friday, June 14, 2013
First Chapter
.
Here they are…
.
.
.
Sirene polisi menggema berulang-ulang. Sebuah gedung yang semula gelap tanpa penerangan sedikit pun, sekarang penuh dengan lampu-lampu dari helikopter tim SWAT yang siap siaga di luar gedung. Siap mendobrak dari luar.
Derap langkah kaki personil-personil tim SWAT terdengar serempak. Satu per satu kelompok menyusuri tiap lantai, mencari asal suara ledakan bom yang terdengar dari radius lima kilometer. Setiap personil terlihat membawa senapan otomatis dengan night vision yang bisa mendeteksi sesuatu—apapun itu, dalam gelap.
Di sebuah ruangan kecil yang penuh sesak dengan tumpukan kardus, seorang pemuda berambut blonde terlihat bersandar dengan cemas. Ternyata ia sedang berbicara dengan seseorang.
"Tapi, aku kan tidak sengaja un!"
"Tapi tetap saja kau berhasil mengundang polisi itu ke gedung!" suara di seberang menyahut kasar.
"Terus, aku harus bagaimana?!" teriaknya. Nadanya terlihat sangat putus asa.
"Berjuanglah sendiri!"
PIP. Sambungan terputus. Si blonde mengumpat-ngumpat kasar lalu menghempaskan earphone-nya ke lantai.
"Leader baka!"
Mungkin ia sangat sakit hati diperlakukan tidak sopan seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi, ledakan itu memang salahnya. Jadi, mau tidak mau ia yang akan terkena batunya jika ia tak cepat-cepat pergi dari tempat ini.
Masih dengan umpatan kasarnya, ia mulai mengamati keadaan di luar. Sangat tidak memungkinkan untuk lari ke bawah, karena polisi dan SWAT sudah mengepung semua bagian terluar gedung, mungkin atapnya juga. Satu-satunya jalan adalah terbang—melompat ke gedung seberang.
Dan ia harus melakukannya sendirian.
"Baka."
Tiba-tiba saja, ingatannya terlempar ke partner kerjanya, Sasori. Biasanya ia dan Sasori bekerja bersama, meskipun tugas yang diberikan berbeda. Salah satu sahabatnya yang sejalan, karena mereka satu tim saat bergabung ke dalam kelompok ini.
Ingatannya kembali ke alam nyata ketika sebuah tembakan di lepaskan. Rupanya, salah satu personil SWAT sudah melihatnya. Timah panas itu menyerempet lengan kanannya. Tanpa aba-aba, ia segera melompat ke jendela dan menghempaskan tubuhnya ke bawah.
Sebelum kakinya benar-benar melayang, ia sempat mengucapkan satu kata.
"Katsu."
DUAAARRRR!
Ruangan yang sudah di kerumuni tim SWAT langsung hancur porak-poranda, seketika. Kardus-kardus berterbangan, beberapa personilnya yang baru datang ke lantai itu langsung terhempas keluar lagi. Kaca jendelanya berubah menjadi potongan kecil yang tajam, kemudian jatuh bergemerincing ke lantai.
"Khu khu khu~"
"Ada misi baru."
Sebuah meja panjang dengan arsitektur batu dan besi, yang sekarang ditempati berbagai macam manusia—manusia asli dan jejadian—terlihat tenang dan terkesan elit. Seorang diantara mereka berdiri di depan meja, dengan pandangan mata yang menyelidik dan dingin. Rambut jabriknya terlihat bergetar ketika ia akan melanjutkan perkataannya.
"Dari seorang klien kita berna—"
SSHHHH. Pintu otomatis dengan pengamanan ketat terlihat terbuka dan muncullah seorang pemuda blonde dengan bekas darah di lengan kanan atasnya. Wajahnya terlihat sangat masam.
"Konan!"
"Aku tahu." Yang disebut Konan ternyata seorang gadis cantik bersurai biru yang langsung bangkit tanpa aba-aba. Sementara si blonde duduk di salah satu kursi kosong yang ada di sana.
Merasa perkataannya diputus dengan tidak hormat, si jabrik lalu mengalihkan pandangannya pada pemuda yang lengan kirinya terlihat berdarah itu.
"Untunglah kau selamat," ujarnya pada si blonde. "Kalau tidak, wajahmu akan tercetak pada koran pagi ini."
"Hahaha, senpai akan masuk koran! Ahahaha…" sebuah tawa menyahut dari pojok meja. Seorang bertopeng lollipop terlihat tergelak karena leluconnya sendiri.
Si blonde wajahnya sudah panas. Hampir mendidih.
"TOBIII, KAAAU—AH, Konan! Pelan-pelan!"
"Habis kau terlalu banyak bergerak! Jangan salahkan aku. Sudah untung aku mau merawat lukamu," kata Konan, ia sengaja menekankan kapasnya sedikit lebih keras.
"Auuu! Sakit!"
"Ahahahahaha…" tawa itu terdengar semakin keras.
"Tobi, diamlah." Si jabrik angkat bicara.
"B-baik! Ahahaha…"
Keadaan berbalik menjadi menyebalkan bagi sang leader. Ia terlihat malas melanjutkan perkataannya ynag terpotong.
"Baik, pertemuan kali ini selesai."
Si jabrik melangkah keluar, tapi dicegah oleh protes dari bawahannya.
"Leader, bukankah tadi belum selesai?" protes seorang berambut abu-abu cepak dengan sebuah pedang bermata tiga.
"Mengapa tidak dilajutkan saja?" tambah seorang pemuda berambut hitam gondrong.
"Tidak. Kita lanjutkan di lain pertemuan. Bukan tugas yang mendesak." Ia melangkah ke pintu otomatis, meletakkan jarinya ke sebuah panel, dan pintu itu terbuka dengan sendirinya.
"Baiklah kalau begitu. Kita masih bisa istirahat dengan tenaaang."
"Dasar leader moody-an."
Meja panjang itu terlihat lengang sekarang. Beberapa penghuni kursinya sudah mulai keluar ruangan sekarang. Kecuali si pirang yang masih sibuk dengan lukanya.
"Ada apa dengan leader?" Tanya si pirang pada Konan yang masih sibuk dengan peralatan obatnya.
"Dasar Deidara baka! Itu karenamu! Kau membuatnya kesal sekarang!"
"Masa karena aku un? Aauu, Konan, sakit!"
Sasori segera berlindung ke reruntuhan bangunan. Pahanya mengeluarkan cairan pekat berwarna merah yang makin banyak. Ia mengerang perlahan. Membunuh seorang perdana menteri ternyata tak semudah yang ia bayangkan.
Bodyguard yang disewa begitu kuat dan cerdik. Pembunuh bayaran sekelas Sasori saja belum tentu bisa mengalahkannya dengan mudah.
"Dimana orang tadi?"
Sekelompok intelijen itu dikomandoi oleh Gaara, seorang anggota FBI paling muda di sana. Ia dan anak buahnya menyamar menjadi bodyguard perdana menteri ketika mendengar desas-desus bahwa perdana menteri diincar oleh pembunuh bayaran. Dan mereka tepat pada waktunya.
"Dia pasti belum jauh." Ujar pemuda berambut coklat kemerahan. Itu Gaara. "Periksa reruntuhan yang di sebelah sana dan tetap waspada."
"Baik."
Anak buah Gaara langsung berlari menuju reruntuhan bangunan yang ditunjuk. Mereka mengendap-endap sebentar, di tangan mereka masing-masing sudah ada pistol dengan peredam suara yang sudah di todongkan. Gaara juga melakukan hal yang sama, namun ia menyusuri tempat yang lain.
"Shit! Kalau begini terus, aku bisa mati di sini." Sasori mendengarkan suara langkah yang semakin mendekat di belakangnya. Otaknya berpikir keras. Pistolnya belum habis, pelurunya masih cukup jika digunakan. Yang ia khawatirkan bukan anak buah FBI ini, tapi sang komandan di belakang, Gaara.
Mungkin pekerjaannya akan lebih mudah jika Deidara ada di sini…
Mereka semakin mendekat.
"Mungkin ini satu-satunya cara…"
Sasori bangkit, menarik pelatuk pistolnya dengan cepat, sebelum anak buah Gaara sempat bertindak. Ketiga orang itu tersungkur seketika.
Ini waktunya lari!
Gaara menoleh. Mendapati ketiga rekannya sudah tersungkur tanpa perlawanan. Pembunuh bayaran yang satu ini boleh juga.
"Lari Sasori, lari!" rutuk Sasori dalam hati. Darah memang belum sepenuhnya kering, tapi jika tidak segera berlari, ia bisa celaka.
"Sial, ia melarikan diri."
Gaara berlari dan menodongkan pistolnya. Berlari ke arah reruntuhan tadi, tapi orang yang diharapkannya tak di sana lagi. Tunggu, ada jejak darah… Gaara menyeringai. Jejak itu berakhir di sebuah tikungan. Rupanya luka Sasori cukup parah.
Sementara Sasori sudah berada di balik reruntuhan yang lain. Ia lupa jika lukanya meninggalkan jejak yang mudah di telusuri.
"Shit!" umpatnya.
Sasori berusaha mengalihkan pikirannya ke pistolnya. Pelurunya masih tinggal beberapa. Gaara belum terlihat sampai saat ini. Ide untuk menghubungi Pein terbersit sesaat, tapi ia mengurungkan niatnya itu. Tidak akan ada bantuan meskipun ia menghubungi Pein. Sama saja.
SREETTT. Dengan perlahan, pembunuh bayaran muda itu merobek celananya dan membebatkan sobekan itu ke lukanya. Sakit, tapi cukup untuk menjebak Gaara dalam perangkapnya.
Gaara masih berjalan lamat-lamat mengikuti jejak darah yang ditinggalkan itu. Firasatnya mengatakan jika pembunuh itu belum kuat untuk berlari—tembakan pertamanya hampir membuat pembunuh itu lumpuh sesaat. Dia berada di balik reruntuhan itu. Pasti.
Tapi—HEI! Dimana orang itu?
"Mencari aku?"
Sebuah tendangan dilayangkan Sasori, tepat mengenai wajah Gaara. Gaara dan pistolnya tersungkur bersamaan. Sasori segera menyerangnya lagi, tapi Gaara lebih cepat. Komandan itu berhasil menghajar perut Sasori. Membuat Sasori menghantam dinding yang sudah runtuh.
"Kau lumayan ternyata." Gaara sudah berdiri, pistol sudah ditangannya. Pelatuk siap ditarik.
Sasori menelan ludah bercampur darah. Dalam saat seperti ini, ia malah tersenyum—menyeringai tanpa perlawanan.
"Silahkan saja. Tangkap aku jika itu tugasmu."
Pemuda anggota FBI terhenyak. Tangannya tetap tertodong. Namun, tampaknya pemuda bermanik hijau itu memilih terdiam, terhanyut dalam ingatan lamanya. Sekejap mata, pendangannya menajam lagi.
"Pergilah."
Sasori mendongak. Otaknya mencerna maksud perkataan pemuda di depannya.
"Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran lagi."
Lagi-lagi Sasori tersenyum—menyeringai tepatnya. Cepat-cepat ia bangkit kemudian berlari ke arah berlawanan, kemudian meloncat ke atas reruntuhan tertinggi.
Walau diterpa silaunya matahari, Gaara masih bisa mendengar pembunuh bayaran itu berkata lantang.
"Terima kasih… Gaara."
Keadaan markas sebetulnya tidak lebih baik dari bangunan yang ditinggali sekelompok orang yang bekerja secara diam-diam. Terdapat beberapa kamar di sana, sebuah lapangan untuk latihan, dan sebuah lab. khusus untuk bagian mata-mata. Bagian depan bangunan yang bisa dibilang elit itu hanyalah sebuah bangunan tua yang tak terurus. Tak bisa dibayangkan ada sebuah markas rahasia yang tersembunyi di baliknya.
Ucapkanlah pujian-pujian itu pada Pein yang telah mencarikan markas ini.
Pantas jika pemuda jabrik bertindik itu dinobatkan menjadi leader di sini.
Dan ia sedang mengatur sejumlah berkas ketika Sasori mengetuk pintu kantornya.
"Masuk."
Sasori dengan darah yang sudah tak mengalir lagi di bibirnya, duduk di sebuah kursi dan mulai menyiapkan suara.
"Perdana menteri telah tewas," lapornya. "Dengan begini, tugasku sudah selesai."
Pein, berdehem sebentar sebelum menimpali perkataan Sasori, dengan wibawa ia mulai membuka mulut.
"Bagus." Ia menoleh sebentar kepada berkas-berkasnya. "Ada korban?"
"Ada. Tiga orang dan semuanya anggota FBI."
"FBI?"
"Ya, bodyguard yang disewa perdana menteri ternyata anggota FBI. Mereka sempat mengejarku tadi."
"Hm. Begitu rupanya." Sang leader berhenti sejenak kemudian melanjutkan. "Gaara. Benarkah?"
"Apa?"
"Salah satu dari mereka adalah Gaara. Benarkah itu?"
Sasori tidak langsung menjawab pertanyaan atasannya. Matanya menerawang seakan dapat menembus dinding besi yang kokoh, mengingat-ingat lagi kejadian barusan. Walaupun ia tahu, tanpa dipikir keras pun, ia masih teringat jelas, yang anggota FBI tadi adalah Gaara.
"Ya."
"Baiklah. Silahkan keluar kalau begitu. Masih banyak berkas yang harus kuselesaikan hari ini juga."
Pemuda bersurai merah berdiri, setelahnya berjalan ke pintu dengan sedikit terpincang. Jauh dalam lubuk pikirannya, ia bertanya-tanya mengapa dan dari mana leader bisa tahu jika anggota FBI itu adalah Gaara. Namun, ternyata ia melupakan fakta jika masih ada Konan dalam kelompok ini.
Pein kembali berkutat dengan laporan-laporan dan surat-surat juga permintaan-permintaan kliennya. Dari semua surat yang dikirim ke alamatnya, ada beberapa permintaan—yang sebetulnya sama intinya—mendominasi surat-suratnya itu: permintaan pembunuhan suatu keluarga perusahaan terkenal.
Memang bukan hal baru suatu kelompok pembunuh bayaran mendapatkan permintaan semacam itu. Tapi yang paling mengejutkan, surat-surat itu meminta semua anggota keluarga—keluarga besar—harus benar-benar terbunuh, sampai tidak ada yang tersisa keturunannya. Satu pun. Dan yang menghalangi misi ini, harus dibereskan juga. Sampai tak tersisa.
"SA-SU-KE! SA-SU-KE! SA-SU-KE!"
Kerumunan para remaja berseragam terlihat dari kejauhan. Mereka membentuk sebuah pagar dengan dua orang yang tengah sibuk di tengah-tengahnya. Beberapa murid perempuan terlihat antusias, meneriaki salah satu dari dua pemuda yang berada di tengah kerumunan. Salah satu pemuda—pemuda beriris gelap, tentu saja.
Bibir pecah dan mengeluarkan darah bukan hal baru bagi kerumunan ini. Jangan lupakan baju compang-camping dan omelan sensei-sensei setelahnya. Ajaibnya, kegiatan ini dilakukan turun-temurun, seperti pohon keturunan yang tak akan pernah habis.
"Cih."
Yang disoraki meludah. Ludah bercampur darah, karena bibirnya sobek dipinggir.
"Segitu saja kekuatanmu? Payah."
Lelaki di seberang, berambut pirang dengan luka lebam di pipinya, menyeringai merendahkan dengan pose badan yang masih tegap. Melihat lawannya hampir saja tersungkur adalah sebuah pemandangan yang menyenangkan di sini.
Sasuke, pemuda yang bibirnya berdarah itu, kini menyangga badannya. Berusaha menopang badannya yang mulai berat dengan satu tangan di lutut. Ia ingin lebih tegak dari itu, tapi nyatanya terlalu berat bagi perutnya untuk melakukan hal itu. Tendangan dari lawannya pasti membekas sekarang.
"Kau tidak akan membiarkanku menang kan? Bukan begitu?"
"Kau… CEREWET!"
Kata-kata selanjutnya sepertinya tidak akan digubris lagi oleh Sasuke. Karena ia sudah mulai menyerang. Lawannya, belum siap mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, lengah, segera di hantam dengan pukulan telak di wajahnya.
"Akan kubungkam mulutmu yang tidak bisa diam itu."
BRUUK!
Si rambut pirang jatuh, dengan bekas luka yang bertambah hitam di pipinya. Sekarang malah disertai dengan darah yang mengalir dari ujung bibir, sama seperti lawannya.
"Shit."
Dalam sorakan yang memenuhi kerumunan, si rambut pirang sempat mengumpat dengan wajah masam, mengelap darah dengan kasar, kemudian berdiri lagi. Tidak setegak sebelumnya, karena rasa sakit yang dirasakannya semakin parah.
Sasuke kini berusaha berdiri. Ia menyunggingkan senyum mengerikan yang sontak membuat seluruh gadis di kerumunan itu berteriak-teriak histeris, gila.
Ketika melihat lawannya sudah bangkit lagi, Sasuke menyiapkan kuda-kudanya. Tangannya terkepal dengan pandangan yang fokus ke pemuda blonde di depan.
Satu kepalan tangan akan sukses melayang…
"NARUTO! Hentikan!"
Kedua pemuda itu terdiam. Sorakan-sorakan maupun teriakan-teriakan itu kini bungkam. Terkatup rapat oleh perintah keras, suara seorang gadis.
Si pemilik teriakan menyeruak ke dalam, mata indigonya menyiratkan kekhawatiran yang segera ditangkis dengan teriakan lain.
"SASUKE! Apa-apaan ini?!"
Manik emerald setajam silet menujam langsung ke mata Sasuke, masih dengan posisinya yang menerima serangan. Nyali pemuda rupawan itu ciut seketika.
Sementara di sisi lain, paras pemuda pirang yang tadinya garang, kini melunak setahap demi setahap ketika wajah gadis lugu itu menyiratkan kekecewaan. Mereka berpandangan. Ia—pemuda pirang itu—mencoba mengalihkan pandangannya, yang ternyata tak bisa dan tetap terpaku pada satu objek di hadapannya, walau dengan jarak yang lebih jauh dari lawannya saat ini.
Sosok lain juga ikut menyeruak ke dalam, membagikan pandangan buas kepada semua orang di kerumunan itu. Matanya berkata tanpa kata-kata dan saat itu juga, kerumunan murid-murid langsung bubar, disertai dengan sorakan malas yang kentara.
Neji Hyuuga membuka mulut, mentralisir keadaan.
"Naruto! Sasuke! Ikut aku ke kantor. SEKARANG!"
Kedua pemuda dengan penampilan yang tidak bisa didefinisikan sebagai murid sebuah sekolah mulai mengayunkan kaki. Gontai.
Tanpa dijelaskan pun, mereka tahu dimana letak kantor yang dimaksud.
Tuan Namikaze keluar dari ruangan. Sebuah map hitam ada di tangannya. Ia baru saja membicarakan proyek baru perusahaannya bersama sebuah perusahaan besar yang sama-sama bergerak di bidang saham, seperti perusahaannya, Uchiha Corp. Bukan hal yang sulit, karena pemegang kekuasaan di perusahaan itu adalah sahabat lamanya. Jadi, ia kembali menyusuri koridor gedung perusahaan, melepas lelah yang sedari tadi ditanggungnya.
Langkah laki-laki pirang itu terhenti di sebuah café. Setelah duduk di salah satu kursi, ia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jasnya. Ia sudah mengutak-atik beberapa program di elektronik keluaran terbaru itu, tapi anehnya, seperti ada yang tidak bekerja.
"Aneh, kenapa begini ya? Padahal, kemarin baru saja di-upgrade." gumamnya.
"Hei Minato. Ada masalahkah?"
Seorang bersurai gelap tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Seperti ikut melihat apa yang sedang terjadi pada sahabatnya.
"Ehm, tidak ada masalah. Hanya saja… lihatlah."
Minato menyerahkan ponselnya kepada orang berambut raven itu. Sementara laki-laki paruh baya itu mengutak-atik ponselnya, Minato memandang sahabatnya dengan pandangan harap-harap cemas yang tidak kentara.
"Apa ada yang salah, Fugaku?"
Orang yang dipanggil Fugaku itu berpikir sejenak. Kemudian, ia menghela napas sambil mengangkat kepala ke sahabatnya.
"Aku harap dugaanku ini salah, Minato. Kurasa, emailmu telah dihack."
"Apa!?"
Sesuai dugaan Fugaku, Minato pasti juga akan terkejut mendengar hal ini. Apalagi, email ini berisi data-data perusahaan yang sangat penting. Bukan Minato jika ia tak menjaga emailnya dengan sangat hati-hati. Sebenarnya, bukan salah Minato, tapi hacker yang melakukan ini juga sangat handal.
"Bukannya bermaksud menakutimu, Minato, tapi aku yakin seratus persen kalau emailmu telah dibajak. Aku pernah mempelajari ini sebelumnya, dulu. Dan aku rasa, kau harus mengganti email perusahaan."
Diceramahi begitu, pendiri Namikaze Corp itu malah bertambah was-was. Ia belum siap menghadapi kemungkinan ini. Ia sudah tahu dari dulu kalau Namikaze Corp sudah banyak diincar, tapi ia tidak tahu jika caranya akan begini.
"Aku akan membantumu Minato. Mau tidak mau, karena perusahaanku juga banyak berutang budi padamu."
Minato hanya terpekur. Dalam hatinya ia berdoa, semoga tidak akan ada masalah yang lebih serius dari ini.
Semoga saja.
"Apa?! Naruto berulah lagi? Baik, saya akan ke sana sekarang juga."
Minato berdecak kesal, walaupun wajahnya jelas-jelas tak terlihat kesal. Sigap, ia mengambil kunci mobil di atas meja, kemudian pergi segera.
Ia tahu, ini kesekian kalinya ia datang ke sekolah Naruto, sampai-sampai ia hafal betul dimana ia akan diajak bicara.
Kami-sama, mengapa banyak cobaan hari ini?
"Hinata-chan, maafkan aku~"
Lirih, Naruto membuat wajah yang dimelas-melaskan. Ia sama sekali tidak menyangka orang tersayangnya itu akan datang ke 'ritual' sehari-harinya ini. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin agar gadis lembut keturunan Hyuuga ini tidak melihat tayangan tidak mendidik yang dilakukannya. Tapi, semua terlambat.
"Kau sudah berjanji padaku, bukan?"
Sementara di bagian yang lain, gadis permen kapas itu masih meminta jawaban. Namun, jawaban yang ditunggu tak kunjung datang. Sasuke malah mendengus keras sambil melengos.
"Baiklah kalau begitu."
Si gadis menyerah. Ia menatap koridor di depannya. Malas jika orang spesialnya bertambah ngambek.
Setelah tiga menit, mereka sampai. Naruto berpikiran begitu karena langkah Neji benar-benar terhenti di depan sebuah kantor.
Di sana, sudah ada orang yang menunggu mereka—salah satu dari mereka, maksudnya.
Minato berbalik ketika ia merasa putra tunggalnya sudah sampai.
"Aku sudah mendengarnya. Dan aku hanya ingin mendengar penjelasanmu."
Ia melihat anaknya ragu sejenak, kemudian membuka mulut dengan takut-takut.
"I-itu Otou-s-san…" Naruto meneguk ludah. "TEME YANG MENANTANGKU! DIA LANGSUNG MENANTANGKU BEGITU SAJA! DAN.. DAN—"
"HEI! Kata siapa aku menantangmu? KAU sendiri yang berjanji akan melawanku! Dan janji HARUS DITEPATI!"
Mata Sasuke melotot marah. Begitu pula dengan Naruto, sementara Hinata, ia sibuk menjauhkan Naruto dari pemuda raven karena ia mulai mencakar-cakar ingin menyerang.
"Kau brengsek teme!
"Kau yang bodoh dobe!"
"DIAM!"
Zet. Semuanya diam. Neji yang berada di samping Minato mengangguk angkuh, sok pamer ketegasan di depan orang penting itu. Naruto meludah kesal. Begitu pula dengan Sasuke. Kemudian, Minato berbicara lagi.
"Naruto, sudah berkali-kali kukatakan ini padamu. Sampai aku lelah mengatakannya. Jangan berbuat masalah lagi atau motormu akan kusita, uang jajanmu kupotong dan semua gadgetmu akan—"
"JANGAAAN!"
"Jangan Tou-san, kumohon jangan!"
Tanpa disadari semua temannya, Naruto sudah sembah sujud di depan ayahnya. Meminta-minta dan meronta-ronta.
"Kasihan." ejek Sasuke.
"Sasuke, sebentar lagi, Fugaku juga akan datang ke sini."
Sekali sentakan, mimik pemuda tampan itu berubah drastis. Ini kesekian kali otousan-nya datang ke sini. Mengingat bagaimana otousan-nya akan memperlakukannya, hampir sama seperti Minato memperlakukan Naruto, hanya lebih dingin saja.
"Jadi," Minato melanjutkan ceramahnya. "Uang jajanmu akan kupotong selama sebulan, kau tidak akan naik motor lagi dan ponsel juga semua gadgetmu akan kusita."
"TIDAAAKKKKKK. Kenapa otousan begitu padaku?"
"Karena kau kelewat batas! Oke, berarti sudah selesai tugasku di sini. Masih banyak yang harus kuselesaikan sekarang. Neji, terima kasih atas bantuanmu."
Neji membungkuk sempurna kemudian berkata. "Ini memang kewajiban saya, Tuan."
Di sana, Naruto dan Sasuke keki setengah mati sambil berharap sama:
Akan kuhajar Ketua OSIS sialan itu nanti.
Sementara Neji, kembali memusatkan pandangan pada dua berandal di depannya, hanya tersenyum santai namun sinis, kemudian berlalu tanpa kata-kata.
Melihat Neji kembali, Sakura dan Hinata ikut melangkah menjauh, seperti melupakan kedua pemuda yang masih terpekur di tempatnya.
"Hei hei hei! Mengapa kau mengikuti sialan itu?" omel Sasuke, melihat gadis pink berlalu tanpa tanda-tanda pertolongan atau apapun.
"Karena kau kelewat batas, Sasuke!" Sakura tersenyum sebentar, kemudian berlalu sambil menggandeng tangan Hinata.
Sasuke melihat sahabatnya terpekur begitu lama, ikut sedih juga. Ia memikirkan bagaimana tousan-nya akan datang ke sini dan menghujatnya dengan hukuman bertumpuk-tumpuk seperti yang ayah Naruto lakukan kepada anak satu-satunya itu. Namun, ia segera menghapus pikiran itu karena tousan-nya tak muluk-muluk seperti ayah Naruto—dan ia beruntung karena ia bukan Naruto.
"Hei dobe! Kau tidak apa-apa kan?"
Naruto tetap tidak bergerak. Sasuke curiga ada apa-apa dengan sahabat bodohnya itu.
"Dobe—"
"TEME! Kau harus menyelamatkanku!" Naruto mengguncang-guncang bahu Sasuke dengan brutal. Refleks, Sasuke mendorong Naruto dengan ketakutan. "Aku mohon teme!"
"B-bantu apa? Bicara yang jelas!"
"Apa kau tidak dengar!? Aku tidak akan naik motor lagi! Dan kau masih ingat kejadian saat di bus itu kan?!"
Sasuke tidak paham apa yang dibicarakan Naruto, tapi otaknya mulai mengingat kejadian sebulan yang lalu…
Sama seperti sekarang, Naruto dihukum. Ia tidak naik motor selama satu minggu dan sebagai gantinya ia naik bus pulang pergi. Naruto, santai-santai saja dengan bus itu. Sampai suatu hari, saat hukumannya hampir habis, ada seorang gadis perempuan, berambut kuning dan bermata violet dengan girangnya memeluk Naruto dari belakang. Naruto kaget setengah mati, jika ada Hinata di sini, pasti ia sudah dibabat habis. Gadis itu menjerit-jerit girang seperti kesetanan, dan Sasuke juga tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang di bus juga terganggu, tapi apa yang bisa dilakukan untuk gadis yang histeris saat bertemu dengan idolanya? Untunglah sekolah sudah dekat, dan sebelum gadis itu berbuat macam-macam Naruto sudah meloncat dan berlari hingga terjerembab ke salju saking takutnya.
Dan ternyata… nama gadis itu Shion, adik kelas Naruto, yang tergila-gila dengan Naruto sejak dulu. Sasuke tak habis pikir, mana ada orang yang tergila-gila pada Naruto? Sejak itu, berandalan pirang itu tidak mau lagi naik bus. Apalagi, Sasuke juga trauma berat dengan kejadian itu. Gadis itu hampir mencakar-cakar Naruto! Berandalan seperti Naruto saja tidak bisa melepaskan tenaga perempuan yang notabene di bawah laki-laki. Mungkin salah satu penyebabnya: gadis itu gila.
Lamunan pemuda itu buyar seketika.
"Sudah jangan diingat-ingat lagi! Teme, bantu aku!"
Sasuke tersenyum jahil. Sepertinya tidak ada pikiran untuk membantu sahabatnya.
"Bagaimana jika kubocorkan kepada Hinata?"
"TEME!"
"Akan kuberitahu kalau…"
"JANGAAAN!"
"Kau…"
"TEME! Jangan macam-macam!"
"Dengan Shion…"
"Sudah…"
"Perna—"
DUAK!
"Hei! Apa-apaan ini?!"
Dengan mengerang, Sasuke mengelus-elus kepalanya. Ia tak pernah memperkirakan jika ia menggoda Naruto, akibatnya akan seperti ini.
"Jangan begitu, teme! Aku serius!" Naruto merengut persis anak kecil.
"Atau kupanggilkan Shion sekarang!" kata Sasuke. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan cepat-cepat mengetik beberapa nomor.
"TEME!" teriak Naruto. "Memang kau tahu nomornya Shion?"
"Benar juga." Sasuke tidak jadi menempelkan ponselnya ke telinga dan memasukkannya kembali ke dalam saku dengan bodohnya.
Sejak kapan Sasuke berubah menjadi begini?
Ampunilah Sasuke, Kami-sama.
Keduanya terdiam sejenak. Larut dalam pikiran masing-masing.
"Tapi aku juga akan menjemput Sakura, dobe."
"Iya. Aku juga tahu itu."
"Bagaimana jika kau ikut dengan otousan-mu saja?"
"Kau mau aku berangkat jam lima pagi?!"
"Ah, merepotkan! Sudahlah dobe, naik bus saja!" Naruto terpekur. Jika ia naik bus… jika gadis gila itu datang lagi… jika ia…
"Hei."
Tidak akan! Ia tidak akan pernah naik bus lagi.
"Aku akan kembali ke kelas."
Naruto mendongak, melihat Sasuke sudah berdiri, siap-siap kembali ke kelas.
"Memangnya sekarang waktunya siapa?" tanya Naruto. Matanya menatap pohon-pohon ke lapangan, memikirkan sesuatu.
"Asuma-sensei."
"Tidak. Aku di sini saja, aku alergi pada asap rokok."
Mendengar kalimat klise itu, Sasuke mendengus. "Aneh."
Musim panas yang cerah. Semua orang terlihat sangat sumringah, menikmati pemandangan yang sangat nyaman ini. Seperti berpikir, tidak pernah ada musim panas yang seperti ini. Mereka menikmati hari dengan senyuman. Senyuman yang berarti lain bagi Naruto. Ketika semua orang terlihat begitu bahagia, ia merasa semua orang itu meledeknya. Mengejeknya. Sungguh menyebalkan.
Apalagi ketika pikirannya melayang ke rumah.
Ia menjalankan motornya pelan. Motor khas pembalap itu sempat berhenti sebentar di sebuah rumah megah, walau mesinnya belum dimatikan dan pengendaranya belum turun. Hatinya ingin sekali masuk dan menemui orang yang tinggal di rumah itu, tapi segera ia buang jauh-jauh pikiran itu dan kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
"Hinata-chan, mungkin aku tidak akan bisa menjemputmu lagi…"
Naruto menggeleng-gelengkan kepala kemudian memutar gas dengan brutal, langsung melesat ke kediamannya.
Dalam benaknya yang sudah penuh dengan masalah, hanya satu yang Naruto pikirkan. Satu tujuan saat kakinya benar-benar menginjak lantai rumah. Satu hal yang bisa membuat masalahnya meguap segera: ia ingin makan ramen. Ramen jumbo dan super pedas. Dan tidak ada yang boleh mengganggunya, saat itu juga.
Bayang-bayang ramen yang menyergap otaknya membuat konsentrasinya terpecah menjadi dua. Fokus antara lampu lalu lintas yang menyala merah dan ramen yang belum hilang, menjadi satu saat ia sempat melihat jarum speedometernya mengarah ke angka… ah, ia tidak tahu pasti. Tapi jarum itu mengarah ke kanan dan bertambah cepat tiap detiknya. Sekelebat sedan hitam yang melaju cepat, menjadi pemandangan terakhir sebelum semuanya hitam dan gelap.
Potongan-potongan gambar otou-san, okaa-san, dan semua sahabat-sahabatnya menghilang dalam sekejap saat tubuhnya terasa melayang kemudian jatuh dengan benturan yang teramat keras.
CKRAK!
BRRUUUAAAAKKK!
Move to next chapter…
A/N: Alhamdulillaaaaaahhhh *sujud syukur* Akhirnya chapter ini benar-benar selese. Saya harus dengerin lagunya Evanescence kalo mau cepet selesai. Makanya makasih buat Kak Amy Lee yang ada di sana *big hug* Maaf kalo fic ini rada maksa atau gimana karena fic ini fic genre pertama yang buat saya banting setir. Dari yang nangis-nangis pake air mata jadi nangis-nangis pake darah. Ah udah deh ngomongnya, satu hal penting; mohon review dari minna. Makasih udah baca :''')
Domo arigatou!
