Summary :

Ketika aku membuka mata, aku teramat sangat bersyukur. Aku masih hidup, dan aku masih berada di sampingmu. Ingin rasanya aku menangis di dalam kebahagiaan ini. Namun nyatanya aku tak bisa. Karena aku tau, aku hanyalah bebanmu semata.

.

.

Namaku Hinata, Hinata Hyuuga.

Di akhir bulan Desember ini, umurku 22 tahun.

Aku merupakan salah satu dari mahasiswi berprestasi di Jurusan Kedokteran Universitas Tokyo.

Sanak keluarga menyayangiku. Aku anggun dan cantik. Otakku pintar. Aku juga memiliki seorang kekasih tanpan yang mencintaiku.

Kata orang, hidupku bagaikan sebuah impian.

Mereka semua ingin sepertiku.

Mereka semua ingin memiliki apapun yang aku punya.

Namun... ketika aku mengalami musibah kecelakaan—yang membawa dampak besar bagi kelangsungan hidupku... segala persepsi itu berubah.

Tak ada satu pun yang ingin menjadi sepertiku lagi.

Tentu saja.

Siapa yang mau menjadi orang lumpuh?

Iya, kan?

Tidak ada lagi yang mau merasakan apa yang aku rasakan.

Dan aku pun... sebenarnya tidak mau.

Tapi takdir memaksaku.

Syarafku bermasalah. Aku tak bisa lagi bergerak bebas; tak bisa berbuat banyak hal. Aku hanya dapat terbaring di ranjang rumah sakit dengan berbagai peralatan medis yang ditancapkan ke dalam tubuhku. Bahkan di tahun pertama aku dirawat oleh dokter, untuk bernafas saja aku harus menggunakan alat bantu.

Sehari-hari, aku selalu terbaring di rumah sakit. Menghabiskan dana yang entahlah berapa ribu yen per harinya. Itu juga tak jelas kapan sembuhnya. Yang pasti, apabila aku tak meminum obat, organku akan berhenti berkerja, dan hidupku akan tamat di detik yang sama.

Keluarga. Penampilan. Kepintaran.

Itu semua; segala yang kupunya di awal, seperti tak berguna lagi.

Keluarga?

Bagaikan telah bosan mencemaskan keadaanku yang tak menuai hasil, keluargaku tidak pernah lagi datang ke rumah sakit. Sekalinya menjengukku, tak jarang aku menemukan secarik kesinisan yang seolah-olah mengatakan 'cepatlah mati; kau sudah terlalu banyak menghabiskan harta keluarga Hyuuga' dari sorot mata mereka.

Kecantikan? Otak yang pintar?

Apa itu bisa dimanfaatkan di kondisi seperti ini?

Apa itu semua bisa menyembuhkanku?

Tidak bisa, kan?

Namun...

Di kesendirianku ini, ada satu hal yang masih kumiliki...

Satu hal yang dapat kulihat secara langsung, sewaktu aku membuka kedua kelopak mataku...

"Ah! Hinata... kamu sudah sadar."

...dan itu... sangat kusyukuri.

"Baguslah..."

Aku menoleh kepadanya.

Ia tersenyum.

Aku masih merasakannya.

Ia menggenggam tanganku.

Aku masih mendengar suaranya.

"Dari tadi aku mencemaskanmu..."

Dia Naruto.

Kekasihku.

Kekasih yang masih mencintaiku.

Sekalipun keadaanku seperti ini.

.

.

.

INTENSIVE CARE

"Intensive Care" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Naruto Uzumaki x Hinata Hyuuga]

Romance, Tragedy, Angst

AU, OOC, Typos, etc.

.

.

Dedicated to NHTD #4 [NaruHina Tragedy Day]

.

.

Malam ini aku sedang tertidur di dalam ruang inap kelas III [1] RS Korouha. Ranjang aluminium berkasur usang menopang tubuhku yang terbaring di sana. Tak lupa, jarum dari selang infus yang tertusuk di tangan kiriku, menyalurkan cairan bening yang entahlah mengandung apa.

Ruang ini luas, namun tak dilengkapi oleh fasilitas yang memadai. Lagi pula ini bukan kamarku pribadi. Masih ada 3 ranjang di dalamnya—yang masing-masing diberikan tirai hijau yang cukup tinggi untuk dijadikan pembatas antar pasien.

"Keadaannya sudah sedikit stabil..."

Suara bariton yang familiar tadi sedikit membuatku tersadar. Aku mengerutkan kening, sebuah kebiasaan yang sering kulakukan apabila aku baru saja terbangun.

Karena aku menoleh, aku mengetahuinya; ada seorang dokter bernama Kakashi Hatake yang berdiri di sebelah ranjangku. Ia adalah dokter spesialis syaraf yang telah merawatku selama satu tahun terakhir ini. Dari sela mata yang sedikit kubuka, dapat kulihat tangannya yang memegang sebuah laporan kesehatan—yang mungkin milikku.

Tanpa menyadari diriku yang sedang mengamatinya, ia melanjutkan pembicaraannya ke sosok yang berdiri di depannya. Ia adalah kekasihku. Namanya Naruto Uzumaki.

"Tapi ia harus tetap mendapatkan perhatian penuh..." Kedua mata sayunya memandang lurus ke arah pria jabrik yang berada di hadapannya. "Sepertinya besok Hyuuga-san harus kembali menjalani terapi."

"Baiklah. Terima kasih, Sensei [2]..."

"Ya. Sama-sama."

Kemudian Dokter Kakashi memandangnya. Memandangi Naruto yang sedang memberikannya sebuah senyuman. Ia hela nafasnya sejenak, lalu menepuk pundak pria itu.

"Kau beristirahatlah. Ini sudah tengah malam." Ujarnya sambil berlalu. "Pejamkan matamu sebentar. Selama kekasihmu masih ada di bawah pengawasan kami, ia tak akan pergi ke mana-mana."

"Hm..." Naruto tak menjawabnya dengan kata-kata. Walau tetap tersenyum, sudut bibirnya sedikit menurun.

Dalam diam aku menggigit lidahku sendiri.

Pasti Naruto menjadi kelelahan karena dialah yang seharian ini terus menjagaku.

Diriku kembali diselimuti oleh perasaan bersalah.

"Ya, mungkin aku harus tidur..."

Gumaman Naruto membuat lamunanku terpecah. Aku teralih ke langkah kakinya. Naruto menghampiriku. Dan dari permukaan ranjang yang sedikit bergerak, tanpa melihat pun aku dapat menebak bahwa ia sedang berada di sisiku—dengan posisi kedua tangan yang bertengger di pagar pembatas ranjang.

Naruto termenung. Tak ada suara.

Perlahan, bersama gerakan yang lembut dan hati-hati, telapak tangannya menyentuh punggung tanganku. Ia menggenggamku. Erat, hangat, dan menenangkan.

"Apa kamu dengar kalimat Kakashi-sensei yang tadi, Hinata?" Bisiknya, seolah tak ingin membuatku terbangun. Kesenangan terpancar dari nada yang Naruto keluarkan. "Keadaanmu membaik. Aku turut senang mendengarnya..."

Dia dekat lalu mengecup keningku sekilas.

"Cepat sehat, ya?"

Hatiku menjadi berat. Tanpa sadar aku menelan ludah. Cukup keras—yang mungkin bisa membuat Naruto sadar atas pergerakan yang terlihat dari leherku.

"Eh, Hinata?"

Sudah...

"Jadi dari tadi kamu belum tidur, ya?"

Hentikan nada ceriamu, Naruto-kun...

"Ayo, coba buka matamu..."

Aku tau kalau kamu sudah sangat lelah.

Terlebih lagi, besok kamu harus bangun pagi untuk bekerja.

"Hehe, buktikan kalau kamu masih terjaga..."

Seperti keinginannya, aku memiringkan wajah, tepat menghadapnya. Sembari membuka kelopak mata, tak terasa ada sebuah butiran bening yang menyusul keluar dan mengaliri di pelipisku.

"Be-Beristirahatlah, Naruto-kun..."

Kali ini tanganku yang menggenggamnya. Ia membisu.

"Tidur..."

Sudah cukup kamu selalu menemaniku hampir setiap hari di sini. Sudah cukup kamu membuatku merasa aman.

Aku sudah cukup bahagia.

Karena itu sekarang... kumohon...

"Tidurlah..."

Karena aku tak ingin merepotkanmu.

Tapi aku tak mengucapkannya. Aku sudah ratusan kali mengutarakan hal tersebut kepada Naruto, namun selalu diabaikannya dengan candaan.

Air mataku semakin banyak yang berlinangan.

10 detik terlewat begitu saja tanpa sedikit pun suara dari mulut Naruto.

"Oke, oke. Aku akan tidur..." Ia menjawab. Menggunakan tangan kanannya, ia menghapus air mataku yang terus mengalir. Lagi, senyuman manis ia berikan untukku. "Tapi jangan nangis, ya?"

"Hinata-ku cengeng sekali sih, sampai nangis seperti ini hanya untuk memintaku tidur..." Perlahan, ia melepaskan tanganku. Lalu ia merebahkan tubuhnya di sebuah sofa—yang meski sedikit keras, untungnya masih cukup panjang untuk menampung tinggi badan seorang Naruto—sambil mendesah lega.

"Oyasumi, Hinata."

"Oyasumi..."

Aku membalas ucapannya. Lalu aku terdiam, dan kembali memejamkan kedua kelopak mataku.

.

.

~zo : intensive care~

.

.

"Apa kamu tau berita heboh pagi tadi, Sakura?"

Tepat di jam 07.00 pagi, dari balik tirai yang berada di sebelah, terdengar suara bisikan kecil dari suster yang sedang membereskan ranjang kamar.

"Tentang apa dulu?"

"Itu, ada sebuah keluarga yang meminta RS menghentikan proses pengobatan salah satu pasien..."

"Eh? Bukannya sudah biasa, ya? Apalagi kalau keluarga tersebut mengaku tak bisa lagi menyanggupi biaya administrasi pasien?"

"Tidak. Yang ini tidak. Dengar-dengar, keluarga tersebut sebenarnya mampu, namun mereka sudah pasrah—karena lambat laun, pada akhirnya mereka yakin pasien itu akan meninggal." Jelasnya.

"Eh, benarkah?"

"Iya. Terus ada lagi. Kehebohan utamanya pas ada seorang laki-laki yang mendadak datang dan marah ke mereka. Bahkan sampai ada baku hantam di antara kedua belah pihak. Lagian keluarga tersebut juga aneh sih. Mereka seperti sudah tak peduli lagi sama si pasien..."

"Ah, ya ampun... keluarganya jahat sekali..." Suster yang memiliki nama Sakura Haruno di ID card-nya berujar pelan. "Tapi kamu tau dari mana, Ino?"

"Aku dengar sendiri seruannya. Laki-laki tadi bilang akan membiarkan si pasien untuk tinggal di rumahnya, dan bahkan menanggung semua biaya pasien selama ia berobat jalan. Jadi secara tidak langsung, itu menjelaskan kalau keluarga tersebut seperti membuang si pasien, kan?"

"Iya sih..." Gumamnya, dan lantas ia tersadar. "Tapi sebaiknya kita jangan bicarakan di sini deh..."

"Benar juga." Ino meringis. Kalau ada suster atasan yang melihat, mungkin mereka akan kena ocehan lagi. "Yuk ke pantry. Sekalian bikin teh. Kita sudah selesai kan beres-beres di sininya?"

"Iya."

Tak lama, mereka pun meninggalkan ruangan.

Sreek.

Sesudah mendengar suara pintu geser yang tertutup, aku yang sebelumnya tertidur membuka mataku dengan perlahan. Sekalipun aku mengantuk, tampaknya aku masih dapat mengingat jelas obrolan sepasang suster yang sempat berbincang-bincang di dalam ruangan.

Kuhela nafasku panjang-panjang.

Dari semua informasi yang kudapatkan, tidak tau kenapa aku merasa ada sesuatu yang membuatku terlibat dengan situasi yang para suster itu paparkan. Seolah-olah, apa yang mereka ceritakan tadi, adalah kisah hidupku—yang bisa saja... suatu saat nanti terjadi.

Akankah keluargaku memperlakukan hal yang serupa kepadaku?

Seperti... membuangku dari rumah sakit, dan membiarkan aku meninggal dengan perlahan di rumah?

Ya. Itu bisa saja terjadi.

Namun aku tersenyum pelan.

Jika dipikir-pikir... rasanya tidak mungkin juga. Karena suster itu juga menjelaskan kalau ada seorang laki-laki yang marah ke keluarga itu, dan berniat menanggung si pasien di rumahnya.

Kalau itu benar kisahnya, memangnya siapa yang mau menanggungnya?

Naruto?

Gerahamku otomatis saling menekan.

Tidak mungkin.

Sekalipun Naruto mengatakan bahwa dia mencintaiku, dan selalu bersikap baik kepadaku... rasanya tetap saja mustahil.

Memangnya seberapa besar Naruto mencintai gadis cacat sepertiku?

Membayangkan kehidupanku seperti itu, benar-benar membuatku seperti berada di dalam drama.

Drama yang menyakitkan, dan juga membahagiakan.

Karena mataku yang mulai berair, kuluruskan pandanganku ke arah sofa merah pudar yang terletak di depanku.

Baru kusadari di sana tak ada lagi sosok Naruto.

Aku memejamkan mata. Mungkin saat ini pria itu sudah bekerja. Tapi memang sebaiknya seperti itu. Sebab aku sendiri jauh lebih senang Naruto berada di dunia luar. Entah bekerja, bermain, atau mengobrol bersama teman-temannya yang dapat membuatnya tertawa.

Ya, dibandingkan berada di sini dan melakukan beberapa hal yang tidak penting; dimulai dari membantuku minum, sampai menyiapkan pakaian saat aku mau mandi. Inti kegiatan Naruto di kamar ini hanyalah menjaga diriku yang tak pernah bisa membawa satu pun kebahagiaan untuknya.

Aku mengubah posisiku menjadi terbaring—membiarkan wajahku menghadap ke atas. Kutolehkan wajahku ke samping kanan, tepat ke tirai hijau yang menjadi pembatas di antara ruanganku dan ruangan milik pasien lain.

Kubentangkan tanganku, lalu menarik sedikit kain tersebut.

Kini ranjang pasien itu—yang sebelumnya dihuni oleh seorang wanita—telah kosong.

Ada kemungkinan diri orang itu sudah sehat, sehingga ia bisa pulang ke tempat keluarganya. Pantas saja suster-suster tadi membereskan ranjang ini.

Jadi itu tandanya di ruangan ini hanya ada aku sendirian. Tiga ranjang pasien di sebelahku tak ada yang menempati. Lagi, aku merasakan sepi yang lumayan pekat di kehidupanku yang sekarang.

Sreek!

Detik itu terdengar suara pintu dibuka dengan lumayan keras—nyaris seperti bantingan. Dirasa dari cara menggeser pintu dan juga derap langkah yang mulai mendekat, tampaknya itu bukanlah seorang dokter ataupun suster dari pihak rumah sakit.

Jadi itu... siapa?

Srak!

Tirai hijauku dibuka. Masuklah sesosok pria yang sangat familiar di mataku.

"Hinata..." Dengan nafas tersengal, kulihat Naruto yang mendatangi ranjangku. Ketika tangannya tertumpu di pagar kecil di samping ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk. Ia coba untuk meredakan engahan nafasnya yang memburu itu, dan menelan ludahnya keras-keras.

"A-Ada apa, Naruto-kun...?" Aku berusaha menegakkan tubuhku agar dapat terduduk. Kulihat wajah Naruto, dan kulirik juga sebuah koper besar yang barusan ia letakan di samping ranjangku. "Bukannya... k-kamu harus bekerja?"

"Tidak ada apa-apa. Jangan pikirkan." Ia berusaha tersenyum, tak mengindahkan beberapa bulir keringat yang menempel di permukaan kulit wajah tan-nya sendiri. "Ngomong-ngomong, ada berita baik..."

"Berita apa?"

"Kamu sudah diizinkan pulang."

'Itu, ada sebuah keluarga yang meminta RS menghentikan proses pengobatan salah satu pasien...'

Mendadak jantungnya berdetak cepat. Terlintaslah sebuah kalimat yang sempat diucapkan oleh suster yang tadi.

"K-Kok... tiba-tiba...? Setauku... eh?" Pertanyaan itu tak jadi kulontarkan. Karena kini ada hal yang membuat aku tersentak kaget. Sudut bibir Naruto sedikit sobek. Ada darah segar yang sedikit keluar dari luka itu.

'Kehebohan utamanya pas ada seorang laki-laki yang mendadak datang dan marah ke mereka. Bahkan sampai ada baku hantam di antara kedua belah pihak.'

Ah, kalimat yang tadi.

"Na-Naruto-kun... b-bibirmu... kenapa?"

"Tidak apa, ini hanya kegigit saat menggosok gigi."

"Tapi, itu—"

"Sungguh, Hinata. Aku tidak apa..."

Aku memandangnya tanpa berkedip. Hatiku berbenguk. Aku yakin ia berbohong.

"Aku bereskan pakaianmu, ya?"

Naruto mengabaikan dengan sengaja segala kekhawatiran yang tercetak jelas di wajahku. Ia segera bergerak ke sebuah lemari kayu yang terletak di sebelah kanan tiang infusku. Ia membukanya, lalu ia sibuk sendiri memindahkan semua pakaianku ke dalam koper yang—entah mengapa—sudah ia bawa.

Sekilas, ia melirik kepadaku. Aku yang kini sudah terduduk di ranjang pun masih terus memperhatikannya dengan pandangan murung.

"Jangan cemas seperti itu..." Ia terkekeh geli. "Setelah kamu keluar dari sini, kalau kamu sanggup jalan-jalan dengan kursi roda, aku akan membawamu ke tempat mana pun yang kamu suka. Museum... taman kota... planetarium... dan lain-lain."

"Naru..."

"Masih banyak tempat yang menunggu untuk kamu datangi."

"Naruto..." Aku mengulang panggilanku.

Naruto masih mengemasi pakaianku. Selagi tangannya bekerja, mulutnya terus berbicara. "Aku yakin kamu juga merindukan pemandangan itu. Iya, kan?"

Ia pasti sengaja tak menjawab.

"Naruto-kun..."

"Ah, aku tau! Ayo ke tempat di mana hanami dilaksanakan! Di awal musim semi seperti ini, keindahan pohon sakura benar-benar tidak ada yang bisa menandingi!"

Aku tak lagi mengeluarkan suara.

Pandanganku lah yang sekarang semakin berkaca-kaca.

"Tapi... ngg..." Naruto mendadak berbalik. Kedua iris sapphire-nya menghindariku. Ia menggaruk helaian pirang di kepala bagian belakangnya. "Ada satu hal yang mau kukatakan..." Tanpa menunggu respon dariku, ia lanjut berbicara. Tak lupa dengan nada suaranya yang memelan. "Sepertinya, mulai hari ini kamu harus tinggal di rumahku..."

'Ia bilang akan membiarkan pasien tinggal di rumahnya, dan bahkan menanggung semua biaya pasien selama ia berobat jalan.'

Aku pun menangis.

Jadi ternyata benar, ya...?

Yang suster-suster itu bicarakan, adalah mengenai... keluarga Hyuuga, aku... dan Naruto?

"Hi-Hinata, kenapa kamu menangis?"

"Kenapa?"

Setelah ia menyadari adanya air mata yang meleleh di pipiku, aku bertanya dengan suara parau. "Kenapa Naruto-kun mau menanggungku?"

Apabila itu benar...

Kenapa?

Kenapa Naruto mau?

Naruto terdiam. Kedua kakinya yang berniat menghampiriku mendadak tak jadi ia laksanakan.

"Kenapa Naruto-kun mau menanggungku!?" Ulangku, menuntut jawaban. Kupejamkan mataku rapat-rapat sambil meninggikan suaraku. "Kenapa!?"

Kepalaku tertunduk. Tubuhku bergetar. Air mataku semakin tak bisa dihentikan.

"Apa...? Apa maksudmu, Hinata?" Naruto membatu di tempatnya. Wajahnya sedikit memucat.

"Keluargaku saja sudah melepaskanku. Kalau kenapa kamu tidak?" Cara bicaraku kepadanya semakin kacau. Pemikiranku tak jelas akan berujung ke mana. Entah kenapa, aku hanya ingin menangis. Menangisi rasa haru dan tercampur ke dalam kebahagiaan yang kini kurasakan.

Namun nyatanya tidak bisa. Karena aku tau, aku hanyalah bebannya semata.

"Keluargaku saja sudah pasrah kepadaku!"

Naruto menarik nafasnya lewat hidung.

"Lalu kenapa kamu tidak!?"

"Hinata..."

"Kenapa kamu tidak membuangku, lalu membiarkanku mati sendirian—!?"

Grep.

Jeritanku terhenti. Itu dikarenakan oleh adanya kedua telapak tangan yang kini menghimpit wajahku yang memanas. Kedua pipiku dia tekan, lalu ia naikan agar aku dapat mengadah, dan bertatapan ke arahnya.

"Jadi... kamu sudah tau kalau ayahmu menghentikan biaya rumah sakit untukmu?"

Masih dengan terisak aku mengangguk. Kupandangi kedua iris sapphire Naruto yang memandangku dengan tatapan sayu.

"Dari mana kamu tau?"

"A-Aku tidak sengaja mendengarnya dari suster-suster... yang sempat menggosip di sini..."

Naruto memejamkan mata, lalu ia menghembuskan nafasnya dari hidung. Kekacauan di subuh tadi yang telah ia perbuat saat berpapasan dengan ayah dari Hinata memang sedikit menggemparkan. Tak heran jika ada warga rumah sakit—seperti dokter dan suster—yang membicarakan masalah itu di mana-mana.

"Oke. Maaf sebelumnya, aku harus mengatakan kalau hal itu benar. Hiashi-jisan tidak mau lagi membiayaimu di rumah sakit." Katanya, ia mencoba jujur kepadaku. Lalu menatapku lurus dan lekat. Membuktikan sebuah keyakinan dari sorot matanya itu. "Tapi aku serius. Aku akan menanggungmu..."

Aku berniat menunduk, ingin menyembunyikan air mata yang tak henti-hentinya dikeluarkan oleh kedua sudut mataku. Tapi tangan Naruto tetap menahanku. Ia tak mengizinkanku untuk memalingkan wajah darinya.

"T-Tidak mau..."

"Kenapa?"

"Aku... A-Aku tidak mau merepotkanmu, Naruto..."

"Kamu sama sekali tidak merepotkanku."

Aku menggeleng. "Aku tidak berguna..."

"Aku tidak menganggap seperti itu."

"Aku—"

"Sudahlah, Hinata!" Sergahan dari Naruto membuatku terdiam. Ia merendahkan intonasi suaranya. "Kamu tak perlu merasa tak enak hati. Kan aku sendiri yang bilang akan menanggungmu? Jadi apapun resikonya, akan kutanggung sendiri."

Jelas dari ucapannya, ia juga sudah bosan mendengar kalimat yang sering kukeluarkan untuk merendahkan diriku sendiri.

Tapi...

"Ta-Tapi... kenapa?" Aku terisak. "Kenapa kamu mau... s-sampai seperti ini memperjuangkanku?"

Naruto terdiam. Garis bibirnya kembali berubah datar.

Kemudian tangannya tak lagi menahan pipiku. Tangan itu turun, menjadi ke pundak.

Lalu ia mendekat, menyatukan kening kami berdua.

Nafasnya menghembus ke kulit wajahku.

"Apakah masih belum jelas, mengapa aku melakukan semua ini hanya untukmu, Hinata?"

Ia berbisiknya pelan. Tatapannya yang intens menatap kedua mata lavenderku.

"Tak ada alasan lain, selain karena aku mencintaimu."

Kupejamkan mataku yang masih basah, lalu membiarkan sebuah dua belah bibir mengenaiku. Membuat jantungku seolah tercelus, dan menjadi berdetak cepat.

Tak ada ciuman yang lebih dari sekedar menempel.

Tapi sentuhan itu, benar-benar lembut dan terasa tulus.

Di sela itu semua, air mataku tanpa henti mengalir.

Menangisi rasa cintanya... yang kini terasa sangat nyata; kalau ia sangat mencintaiku. Sangat dan sangat mencintaiku.

Antara sedih, dan juga bahagia.

"A-Aku sangat mencintaimu..." Masih dengan bibir yang saling menempel, aku berujar pelan. Bibir kami bergesekan.

"Aku sangat mencintaimu, Naruto..."

Kulepaskan ciuman kami, lalu kupeluk dirinya, erat.

Dan aku tangisanku pun pecah.

Tuhan...

Tolong berkati orang seperti Naruto-kun...

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note :

[1] Ruang inap kelas III; itu maksudnya ruang opname yang bisa dibilang lumayan murah/ekonomis. Biasanya satu ruangan bisa dipakai sama banyak pasien.

[2] Kakashi-sensei; embel-embel '-sensei' juga bisa digunain ke orang yang menjabat sebagai dokter.

Err... sebenernya sih aku pengen buat ini jadi twoshot, tapi berhubung waktu event-nya udah ngga cukup, jadi aku pajang The End deh di ending chap. Cuman kalo nanti ada kesempatan dan juga ada yang mau, akan kuusahain nge-update chap terakhir dari fict ini. Lagian aku juga lebih suka chap keduanya. Abis lebih NHTD sih, hehe :'D

Happy NaruHina Tragedy Day! Ngomong-ngomong, feel Angst-nya kerasa, ngga? :'| #takut.

.

.

Next Chap :

"Mau sampai kapan kau menanggungnya di sini?"

"Apa yang kau pikirkan, Hyuuga!? Kenapa kau malah membuat Naruto yang begitu baik kepadamu menjadi terluka!? Tak sadarkah kalau kaulah yang dari dulu selalu membebaninya di setiap saat!?"

"Uchiha-san bilang... aku ini beban."

"Ca-Carilah kekasih yang sehat... d-dan bisa membuatmu bahagia..."

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU