"Petualangan legendaris senantiasa berawal dengan sederhana."
FINAL FANTASY VERSUS
BUKU SATU
AWAL
001
REGIS
29.08.736 M.E. | 09.00 PM
Pria itu berusia tiga puluh tahun, namun dia bukanlah pria sembarang. Dia adalah seorang Raja ketiga belas dari Kerajaan Lucis Caelum, yang memimpin Lucis—negara dengan wilayah benua terluas di Eos. Teknologi astronomi mengungkapkan bahwa Eos adalah satu-satunya planet yang dilimpahi kehidupan di galaksi. Satu matahari, satu bulan, bintang-bintang lain tak bernama yang tak terhitung jumlahnya, satu planet berhabitat, satu Kerajaan dan satu Raja. Seistimewa itulah eksistensinya di seantero alam semesta. Takhtanya berada di Citadel di Insomnia, yang merupakan ibu kota Lucis. Semua orang mengenal beliau sebagai Regis Lucis Caelum XIII.
Sambil melangkah ke kamar tidurnya, Regis dikawal ketat oleh empat orang Crownsguard yang terbagi menjadi dua kelompok sama rata di depan dan di belakangnya. Dia baru menyelesaikan rapat selama satu hari penuh dengan Royal Council. Kepalanya penat dan tubuhnya amat lelah. Citadel didominasi oleh dinding celcon hitam, lantai marmer dengan pola kombinasi garis putih dan abu, dan plafon akustik berwarna serupa dengan dinding. Perjalanan dari satu ruang ke ruang lain terasa lama karena dekorasi Citadel dipenuhi oleh koridor-koridor panjang yang tampak seperti terowongan. Hanya ada satu jendela setinggi langit-langit di sudut utara dan selatan gedung pencakar langit tersebut. Lampu-lampu persegi panjang di dinding dinyalakan begitu matahari terbenam agar Citadel tidak diselimuti oleh kegelapan pekat.
Begitu sampai di tujuan, salah seorang Crownsguard mengetuk pintu kamar berbahan emas. Ketukan itu terdengar berat karena ketebalan pintu yang tidak biasa. Berselang sepuluh detik, seorang wanita berambut hitam legam dan panjang membuka pintu. Senyuman merekah di wajah wanita itu untuk menyambut kepulangan Regis. Semua personil Crownsguard membungkuk hormat kepada Regis, lalu serentak pergi ketika sang Raja telah masuk ke dalam.
"Selamat malam, Cintaku," sapa wanita itu. Dia mengecup bibir suaminya. Ada rasa stroberi yang segar pada bibir istrinya, meskipun polos tanpa hiasan lipstik. Sejak dulu, Regis menyukai aroma itu. Satu ciuman hangat yang mampu mengembalikan energinya dalam sekejap.
"Selamat malam juga, Aulea-ku tersayang," balas Regis lembut. Dia mengelus-elus perut istrinya yang menggembung seperti balon di balik kain sutera terusan khusus ibu hamil, membuat Aulea tertawa geli. "Dan halo, putraku. Apa kamu rindu pada Dad?" tanyanya dengan ujung bibir berjarak tiga senti dari perut Aulea. Sampai hari ini, Aulea sudah mengandung putra pertama mereka selama sembilan bulan. Mereka mengantisipasi kelahiran sang bayi dalam waktu dekat. Regis telah menyiapkan seorang ahli bidan berkualitas di dalam Citadel sejak seminggu silam, sekedar memastikan bahwa penerus takhtanya nanti lahir selamat ke dunia.
Aulea bergerak ke belakang Regis, membantu melepaskan jubah dan jas hitamnya yang memanjang sampai ke ujung kaki. Setelan kemeja dan celana panjang formal berkualitas tinggi berwarna gelap tertinggal di tubuh Regis. Sang Raja melepas pantofel dari kakinya, meletakkannya di dalam lemari khusus sepatu. "Kamu pasti lelah. Aku telah menyiapkan kopi Eboni untukmu," kata Aulea.
"Terima kasih," Regis membalas lembut, tersentuh oleh perhatian istrinya. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Aulea ketika berumur tujuh tahun. Pada waktu itu, bersama ayahnya, Mors Lucis Caelum XII, Regis mengikuti konferensi pers yang digelar di dalam aula Citadel. Dia kerap menerima bimbingan khusus Kerajaan dari dini untuk menjadi seorang pewaris sebijak Raja-Raja Lucis terdahulu. Tak seperti dirinya yang murni berdarah bangsawan, Aulea berasal dari warga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Beruntung bukan sebuah tabu bagi keturunan Lucis Caelum untuk menjalin hubungan romantik dengan rakyat jelata. Sembilan belas tahun persahabatan mereka berakhir bahagia dengan pernikahan megah pada tahun 732 M.E (Modern Era).
Regis mengambil cangkir kopi dari meja kecil di samping ranjangnya. Dengan perlahan, dia meneguk cairan hitam itu. Bertahun-tahun mengonsumsi minuman yang sama, lidahnya menjadi kebal terhadap rasa pahit yang menyengat dari kopi hitam itu. Uap menyembul dari cangkir di tangannya, menerpa kulit wajahnya hingga memerah. Kumis dan jenggot hitam panjangnya tidak mampu melindungi panas minuman kesukaannya itu. Dia tahu kafein tidak dianjurkan untuk diminum malam hari, tapi zat itu tak membuatnya kesulitan tidur. Dia mudah terlelap ketika kedua mata birunya menutup sekurang-kurangnya lima menit.
Kulit kakinya bergesekan dengan karpet beludru sementara dia berhati-hati menuntun Aulea ke atas ranjang. Regis menutup permadani di sekeliling ranjang, kemudian berbaring dengan posisi tubuh miring ke kiri untuk memerhatikan paras istrinya dengan cermat. "Kamu cantik sekali. Seperti malaikat yang turun dari langit," puji Regis sambil tersenyum.
Aulea tertawa. "Ingat umurmu, Cintaku. Sebentar lagi kita akan menjadi orangtua. Hanya pasangan muda yang gemar menggombal."
Regis tertular istrinya, dan dia tertawa lebih nyaring. "Yah, anggaplah aku seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh pria dewasa," candanya, lalu dia menyentil lembut ujung hidung Aulea. "Lagipula kamu suka mendengar rayuanku, bukan begitu?"
Spontan Aulea merona seperti tomat. "Kamu tidak pernah berubah. Aku berharap kau tetap seperti ini ketika putra kita lahir nanti. Dia akan bahagia memiliki Dad sepertimu."
"Begitu pula denganmu. Dia pasti bahagia memiliki Mum sepertimu. Aku berjanji akan membesarkan dia sebagaimana yang dilakukan ayahku dulu padaku," kata Regis tanpa ragu.
Jemari kiri Regis dan kanan Aulea saling bertautan. Istrinya melihat penuh kecemasan pada sebuah cincin hitam pada jari manis Regis. Kemudian dia menaruh telapak tangannya pada wajah Regis, meraba garis-garis urat yang semakin hari semakin tampak jelas hingga menjadikan sang Raja terlihat lebih tua dari pria-pria sebaya.
"Apa cincin itu semakin membebanimu? Aku takut membayangkan dirimu meninggalkanku berdua dengan putra kita karena pengorbananmu mempertahankan Dinding…," ucap Aulea. Dia memasang raut wajah gusar. Selalu seperti itu ketika dia menyinggung benda pusaka itu. "Aku tahu permintaanku ini terlalu muluk-muluk, tapi bisakah kamu menghentikan peperangan ini secepatnya? Aku tidak mau putra kita mengenakan cincin itu. Seberapa pentingnya keberadaan Dinding, tetap saja membayangkan dia memikul beban seberat itu membuatku bermimpi buruk."
Sang Raja memahami kekhawatiran istrinya. Reaksi yang wajar bagi calon seorang ibu untuk menjamin kesejahteraan darah dagingnya. Sayangnya, dia tak mampu menjawab pertanyaan itu sekarang. Di tengah perdamaian semu Insomnia, terjadi perang ratusan tahun yang masih berlangsung antara Kerajaan Lucis dan Kekaisaran Niflheim. Sumbernya adalah sebuah benda mistik yang dikenal sebagai Kristal Agung. Kekuatan suci dari Kristal Agung telah melindungi Eos beserta isinya selama berabad-abad. Tetapi kekuatan ini malah menjadi pemicu peperangan antara kedua belah pihak tersebut. Regis dan segenap Royal Council mampu menggunakan sihir berkat keberadaan Kristal Agung itu. Sedangkan Niflheim, sebuah kekaisaran besar, dipersenjatai oleh mesin-mesin militer yang diperkuat oleh teknologi magiteknya. Kekaisaran Niflheim secara agresif melakukan invasi ke negara-negara lain karena kelebihannya dalam hal teknologi yang tidak tertandingi. Untuk mempertahankan diri, almarhum Raja Mors Lucis Caelum XII, yang diteruskan oleh Regis menciptakan Dinding sihir tak kasat mata—dikenal juga dengan sebutan Dinding Baru—di langit Insomnia. Seberapa besar Kekaisaran menembakkan meriam menggunakan kapal perang mereka di udara, mereka tak berdaya menembus pertahanan Dinding sihir.
Dengan cepat, Regis menggenggam erat tangan istri yang menempel di wajahnya, lalu menciumnya lembut. "Tenanglah. Aku bersumpah akan menghentikan ambisi Kekaisaran sesegera mungkin. Putra kita tidak perlu mewarisi kutukan ini," dia berdusta untuk menenangkan Aulea. Namun Aulea tidak mudah dibohongi. Informasi perkembangan yang diterimanya setiap waktu mengumbarkan fakta bahwa Lucis semakin melemah dan Niflheim semakin menguat. Aulea mengangguk lemah, lalu tidak berkomentar apa-apa lagi.
Mereka saling menatap lurus selama sepuluh menit dalam keheningan. Sebuah tatapan penuh arti yang mewakili jutaan ungkapan cinta antara sepasang suami istri itu. Regis menggeser tubuhnya, semakin lama jarak antara mereka semakin menyempit. Hidung mereka menempel, dan Regis tak kuasa menahan diri untuk mencium Aulea lagi. Dia merasa temperatur tubuhnya memanas. Peluh keluar dari pori-pori, membasahi wajah hingga pangkal kaki. Tanpa berlama-lama, mereka bercinta.
Selain memuaskan hasrat seksual sang istri, seorang dokter kandungan pernah berkata bahwa seks pada usia kehamilan tua memiliki banyak manfaat baik untuk membantu proses persalinan menjadi lebih lancar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hormon positif seperti endorfin, oksitosin, dan DHEA yang dilepas melalui hipofisis. Tiga hormon yang membuat tubuh menjadi rileks dan mendorong pengerahan serat otot saat kontraksi nanti.
Regis tak tahu bagaimana akhirnya, tapi sekarang dia sudah terlelap. Kehangatan istrinya membuatnya cepat mengantuk. Dia tak pernah mengingat isi mimpinya. Pikirannya kosong melompong saat tidur. Napasnya memelan dan otot-otot tubuhnya mengendur. Dan tiba-tiba saja, tidurnya terinterupsi oleh jeritan Aulea dalam dekapannya.
"Cepat, Sayangku, panggil bidan kemari! Aku… aku tidak bisa menahannya lagi!" seru istrinya, meringis kesakitan.
Regis melihat air ketuban bercampur darah segar mengalir dari selangkangan Aulea, merembes begitu dalam ke selimut dan seprei. Sontak sang Raja berpakaian seadanya, mengambil telepon genggam yang berada dalam jangkauannya, menghubungi bidan dan memberi perintah untuk mempersiapkan kelahiran anaknya. Tidak lama kemudian, sang bidan bersama dua orang suster datang tergopoh-gopoh. Suasana menjadi hiruk-pikuk ketika kabar kelahiran tersebar begitu cepat ke setiap telinga penghuni Citadel, meski hari masih subuh.
Atas dasar anjuran Regis, sang bidan melakukan persalinan di kamar tidur mereka karena waktu yang kian menipis. Regis segera keluar, duduk menunggu dengan tidak sabar di kursi yang sengaja diletakkan di samping pintu kamar. Teriakan Aulea menggema di koridor Citadel. Dia tak sempat memakai alas kaki, kedua telapak kakinya bergerak tanpa henti mengetuk lantai. Satu jam kemudian, dua orang pria, dengan pakaian formal serba hitam menghampiri dia.
"Terima kasih atas kedatangan kalian, teman-teman," kata Regis, tulus.
"Anda tidak perlu berterima kasih, Yang Mulia," balas seorang pria dalam intonasi sopan. Dia bertubuh tinggi dan tegap dengan rambut coklat yang dipotong pendek. Jenggot pendek tumbuh di dagu kotaknya. Namanya adalah Cor Leonis, Tangan Kanan Raja merangkap Kapten Crownsguard. "Sebuah kehormatan bagiku untuk melihat langsung pewaris Kerajaan Lucis."
Regis menoleh kepada teman lainnya yang bernama Clarus Amicitia, sang pemimpin Royal Council. Jauh sebelum Regis resmi menjadi Raja, Clarus telah menjadi Tameng dan pengawal pribadi dia di dalam Crownsguard. Wajahnya lonjong dan bersih dari kumis maupun jenggot. Saat muda dulu dia mengecat silver rambutnya dan penampilannya urakan seperti preman. Namun, semenjak dia menduduki posisi penting dalam Royal Council seusai Regis menjalani koronasi menjadi Raja, dia bertobat dan caranya berpakaian menjadi lebih sopan. Uban mulai tumbuh di kepalanya yang dipangkas. "Terutama kamu, Clarus. Kau datang jauh-jauh dari rumahmu kemari. Bagaimana kabar keluargamu?" tanya Regis.
"Nah, bukan masalah besar. Mereka baik-baik saja. Istriku memaksa ikut, tapi aku memintanya untuk menjaga putraku. Tapi kesampingkan dulu hal itu. Yang terpenting saat ini adalah putramu, Temanku. Semoga dia lahir sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Aku juga berdoa untuk keselamatan Ratu Aulea."
Seorang pelayan wanita datang mendekat. Dia membawa sebuah nampan dengan tiga buah gelas berisikan teh chamomile dan menawarkannya kepada tiga pria terhormat itu. Serta merta Regis mengambilnya dan meminumnya cepat. Teh chamomile berkhasiat menenangkan jasmani. Menunggu proses persalinan jauh lebih menegangkan daripada berhadapan dengan Niflheim. Clarus mengikuti Regis, tapi Cor membiarkan gelasnya terlantar di sebuah meja kayu kotak.
"Apa Anda sudah menentukan nama untuk Pangeran?" tanya Cor. Dia melipat tangan dan dahinya mengerut.
Regis menggeleng. "Aku belum menemukan nama yang tepat untuknya. Ada kekuatan tersembunyi di balik setiap nama. Aku tidak boleh memberikan sembarang nama pada anakku."
"Aku mengerti," timpal Cor sambil tersenyum tipis. "Maaf, aku membuat Anda bingung. Aku yang melajang tak pernah memikirkan soal itu sama sekali."
Terkadang Regis bertanya-tanya mengapa Cor tidak berniat mencari pasangan hidup. Pria legendaris seperti Cor, yang terkenal sebagai tentara terbaik di Lucis, tentu dapat dengan mudah menggaet setiap wanita di Eos. Bahkan Niflheim seringkali kewalahan menghadapi Cor, sang Marshal atau Immortal Shogun, yang memimpin Crownsguard di medan perang. Kerajaan Lucis mengandalkan kemampuan tempur Cor, dan Regis berharap dia tidak membebani Cor dengan tanggung jawab sebesar itu.
Menyadari Regis yang kalut, Clarus berkomentar, "Hampir semua calon ayah mendadak kehilangan kesabaran ketika menunggu bayinya lahir." Dia memberikan tatapan simpatik kepada sang Raja. "Ini bukan gurauan. Aku sudah mengalaminya saat kelahiran Gladio."
"Sebelum aku lupa, Cid menitipkan pesan untuk Yang Mulia melalui telepon padaku," kata Cor. "Dia meminta maaf karena tidak bisa datang kemari. Seperti Yang Mulia tahu, Cid terlalu lemah untuk menempuh perjalanan panjang."
"Aku bisa memaklumi itu. Usianya hampir mencapai kepala enam. Perjalanan dari Hammerhead kemari tidak bisa secepat warp," balas Regis. "Apalagi kemunculan daemon di tengah perjalanan bisa membahayakan nyawanya."
"Tepat sekali," Clarus menyetujui.
Sekonyong-konyong, pintu kamar tidur terbuka. Sang bidan menyapa dengan muka penuh keringat, tapi kelegaan terpancar darinya. Dia berkata bahwa proses persalinan telah selesai tanpa sedikit pun hambatan. Sebelum meninggalkan ruangan bersama dua asistennya, dia mempersilakan Regis dan kedua temannya masuk ke dalam.
"Sebaiknya kita beri privasi bagi Regis untuk menemui keluarga kecilnya," ujar Clarus, meletakkan tangan pada bahu lebar Cor. Menanggapi atasannya, Cor menyetujui tanpa berkomentar apa-apa.
Regis masuk ke kamar dengan langkah kaki yang dipercepat. Seprei dan selimut ranjang sudah diganti dan bersih dari noda darah maupun keringat. Kamar terasa hangat karena AC dipasang setara dengan suhu ruangan. Di ranjang, Aulea sedang beristirahat, keningnya menempel pada sang bayi yang sudah dimandikan dan diberi pakaian. Regis mencium pipi istrinya dan berbisik, "Aku sangat bersyukur kamu baik-baik saja."
"Kekuatan Kristal Agung selalu memberkati kita," kata Aulea. Suaranya terdengar lemas. Dia menarik satu lengan Regis dan meletakkannya pada tubuh mungil sang bayi di sampingnya. "Gendonglah dia. Dia ingin mengenal ayahnya."
Dengan hati-hati, Regis mengangkat sang bayi dan menimang-nimangnya di dekat dadanya. Tubuh putranya sangat ringan seperti kertas, mungil dan begitu rapuh. Dia memerhatikan setiap inci bayinya dan perasaannya berbunga-bunga saat dia memikirkan hari-hari ke depan di mana dia akan membesarkan anaknya layaknya seorang ayah. Yang membedakan hanyalah status sang bayi yang memiliki darah Kerajaan mengalir dalam tubuhnya. Sang bayi akan menjalani hari-hari yang berbeda dari anak-anak pada umumnya, mempelajari tata krama keluarga Kerajaan, makan-makanan terbaik dengan gizi seimbang untuk mendukung pertumbuhan fisik ideal, keahlian bertarung dengan berbagai jenis senjata, dan bahkan ketrampilan sihir dari Kristal Agung.
Namun, di balik kilasan kebahagiaan itu, tiba-tiba Regis teringat akan konflik tidak berujung dengan Kekaisaran. Regis sadar bahwa Niflheim tak segan menghalalkan segala cara untuk menghabisi nyawanya, istrinya, dan bahkan bayi mungil dalam pelukannya. Keselamatan putranya menjadi prioritas utama dia sekarang sampai menjalani koronasi menjadi penerus singgasananya.
Jam dinding menunjukkan pukul empat subuh. Regis menatap cahaya matahari yang mulai terbit dari liangnya dan menembus jendela kamar mereka seolah dunia yang tadinya tertidur ikut merayakan kelahiran sang bayi. Sebuah ide cemerlang timbul dalam benak dia seketika itu juga.
Sayup-sayup Aulea bertanya kepada sang suami, "Apa kamu sudah menentukan nama yang tepat untuk bayi kita?"
Regis mengangguk. "Dia lahir tepat saat fajar menyingsing. Noctis Lucis Caelum XIV. Itulah nama putra kita, sang Pangeran dari Kerajaan Lucis."
27.08.744 M.E. | 11.00 AM
Hampir delapan tahun berlalu sejak kelahiran Noctis. Putra tunggalnya itu tumbuh begitu pesat dan tidak pernah jatuh sakit sekalipun. Regis masih ingat sensasi unik ketika dia pertama kali menggendong putranya, kebahagiaan tak terbendung yang mengawali peran barunya sebagai seorang ayah. Namun, tugasnya sebagai Raja membuat dia tidak mampu membaktikan seluruh waktunya untuk menemani Noctis. Dia mengandalkan Aulea untuk menyalurkan kasih sayang orangtua yang berlimpah bagi Noctis.
Tentu saja Regis tahu bahwa tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri yang mampu menggantikan absennya keberadaan ayah bagi darah dagingnya. Dalam satu hari, barangkali hanya dua sampai tiga jam yang dia lalui bersama Noctis, yaitu ketika sarapan, makan siang, dan makan malam. Alasan ini menyebabkan jarak di antara mereka melebar bagaikan jurang yang dalam. Regis mengerti bahwa Noctis tidak nyaman berada di dekat dia karena putranya tidak ingin membuka topik pembicaraan duluan dan mukanya selalu cemberut. Tapi dia meyakini jam-jam lain yang dia korbankan bermanfaat untuk menjaga kelestarian rumah tangganya dan warga Insomnia seperti rapat yang dia jalani siang hari ini bersama para anggota Royal Council di ruang rapat tertutup di Citadel.
Royal Council adalah sebuah kelompok elit yang berisi sepuluh personil pria dan wanita yang bertugas untuk menjaga kestabilan ekonomi, politik, dan militer Lucis. Mereka berbagi akses pada kekuatan sihir Kristal Agung yang ditampung Regis sebagai medium utama. Setiap personil memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Clarus menonjol dalam bidang ilmu dan praktek militer, sedangkan sembilan lainnya lebih banyak berkutat di bidang ekonomi dan politik. Kebanyakan dari mereka berusia sepantaran dengan Regis. Loyalitas mereka kepada sang Raja tidak perlu dipertanyakan lagi karena mereka sudah turun-temurun melayani Kerajaan Lucis sejak Raja Lucis Caelum generasi pertama. Seperti dewan-dewan pada umumnya, mereka memberi saran-saran yang sekiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Regis sebelum mengambil keputusan final.
Clarus membuka rapat dengan menyapa Raja Regis dan para bawahannya secara formal. Segenap Royal Council sama-sama membalas sapaan sang pemimpin dengan sopan. Dia memulai rapat dengan berkata, "Seperti Yang Mulia dan kalian semua tahu, kita memiliki kabar buruk mengenai penjajahan Niflheim yang semakin merajalela. Crownsguard tidak mampu merebut Cavaugh dari Kekaisaran sejak 150 tahun lalu. Meski tidak ada warga kita yang tinggal di sana, kita harus tetap memedulikan teritori itu untuk menunjukkan kepedulian kita. Terlebih lagi kita telah kehilangan otonomi atas Cleigne, Duscae dan Leide hanya dalam tujuh tahun terakhir. Tersisa kota kita sendiri, Insomnia, yang masih bertahan hingga saat ini. Jadi, melalui pertemuan ini, aku ingin meminta masukan kalian mengenai langkah pembalasan yang sebaiknya kita ambil dalam tempo waktu sesingkat-singkatnya."
Sembilan orang lainnya saling memberikan respon secara bergantian. Regis, yang duduk di kursi tengah, mengamati mereka dengan cermat dan memasang telinga untuk berkonsentrasi.
"Kita mendapat laporan dari warga di balik Dinding Insomnia yang mengeluhkan atas patroli Magitek Troopers Kekaisaran. Hal ini jelas membuat resah keseharian mereka. Apa kita perlu menyebarkan kekuatan militer kita ke tiga wilayah tersebut? Kita perlu menunjukkan bahwa kita peduli dengan keselamatan warga kita sendiri."
"Keselamatan mereka memang penting, tetapi aku rasa risikonya terlalu besar kalau kita mengurangi pertahanan Insomnia. Aku percaya serangan mereka ke tiga wilayah itu sekedar untuk memancing kecerobohan kita. Jangan sampai tertipu strategi mereka dengan mengendorkan penjagaan atas Kristal Agung di dalam ruang isolasi Citadel."
"Aku setuju dengan pertimbangan rekan kita. Apalagi Kekaisaran semakin intens mengerahkan pasukan untuk menjebol Tembok. Tidak hanya MT, mereka juga memanfaatkan monster dan daemon dengan perangkat pengendali di kepala mereka. Aku benar-benar ragu sampai kapan Tembok dapat bertahan lebih lama lagi."
"Mengetahui bahwa tersisa Tenebrae dan Galahd yang masih mempertahankan kemerdekaan, kurasa kita perlu membentuk aliansi dengan mereka secepat mungkin. Tetapi seperti yang kita semua tahu, Tenebrae tidak memihak kubu dalam perang ini. Mereka tetap bertahan pada pendiriannya sebagai negara netral. Mereka bahkan menerima para pasien dari Niflheim. Mustahil jika kita beraliansi dengan Tenebrae. Satu-satunya pilihan yang tersedia bagi kita adalah Galahd."
"Maksudmu negara yang penduduknya dilanda kemiskinan selama puluhan tahun? Bagaimana bisa kita mendapat manfaat dari bekerja sama dengan negara yang bahkan tidak bisa merawat warganya sendiri?"
"Saudaraku, justru di balik kemiskinan itu, Galahdian dikenal memiliki tekad baja yang kuat. Daya tempur mereka di atas rata-rata. Itulah yang membuat mereka mampu bertahan hidup sampai detik ini. Dan yang terpenting, mereka cinta mati dengan kampung halaman mereka. Mereka bersedia mengorbankan nyawa mereka demi kemerdekaan rumah mereka."
"Akan lebih buruk jika Galahd jatuh ke tangan Kekaisaran. Bisa kita bayangkan peningkatan kekuatan militer Niflheim jika ditambah dengan tentara Galahd."
"Hanya saja, aku mengkhawatirkan isu imigrasi yang akan timbul jika kita mengizinkan Galahdian melintasi Tembok. Di saat kritis seperti sekarang, sangat sulit untuk memercayai orang yang sama sekali asing bagi kita."
"Bagaimana jika logikamu aku balik? Kita perlu memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada orang asing, tentu dengan prinsip kehati-hatian, untuk mendapatkan sumpah setia mereka pada Lucis?"
Seisi aula rapat menjadi risuh karena perdebatan yang semakin memanas. Clarus menepuk meja tiga kali dan lambat laun keadaan menjadi terkendali lagi. "Jika aku simpulkan, untuk saat ini kita tetap memprioritaskan keamanan Insomnia. Oleh karena itu, kita perlu menambah pertahanan Tembok dengan menugaskan tentara di luar Crownsguard untuk bertempur di sana. Dan Galahd adalah pilihan terbaik." Pandangan Clarus mengitari meja, dan dia memberikan instruksi, "Yang setuju dengan keputusan ini diharapkan mengangkat tangan kanan."
Pemungutan suara menjadi cara pertama bagi mereka untuk menjalani prinsip demokrasi Lucis. Suara mayoritas menjadi saringan awal sebelum akhirnya disetujui oleh Regis. Apabila Regis menolak hasil voting, maka akan digelar rapat susulan untuk menarik kesimpulan lain dan dilakukan pengulangam voting. Kali ini, enam dari sembilan anggota mengangkat tangan kanan. Clarus juga melakukan hal yang sama. Total tujuh orang memberi suara positif. Lalu sang pemimpin Royal Council bertanya kepada Regis, "Bagaimana keputusan Anda, Yang Mulia?"
Regis berpikir untuk beberapa menit, berusaha untuk memilah manfaat dan risiko yang timbul. Semua poin yang diutarakan Royal Council masuk akal baginya, dan dia menghormati semua masukan itu tanpa ada rasa sentimen yang tidak berguna. Berkat akumulasi lima belas tahun pengalamannya menyusun strategi selama memimpin, Regis memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang baik. Dia pun akhirnya menjawab dengan tegas, "Aku setuju untuk membentuk aliansi dengan Galahd dengan pertimbangan keamanan Kristal yang akan terus kita pertahankan, dan jika memungkinan, kita tingkatkan." Dia menoleh kepada Clarus, "Tolong siapkan agenda pertemuan kita dengan Panglima Galahd dalam waktu maksimal tiga hari."
Clarus mengangguk patuh dan berkata, "Yang Mulia telah memutuskan. Apa ada yang keberatan atas keputusan ini?" Dia mengedarkan pandangan di seputar meja panjang tersebut sambil mengucapkan nama bawahannya satu per satu. Tidak ada respon selain anggukan kepala dari mereka semua. "Baiklah. Kalau begitu rapat siang hari ini dibubarkan."
Dua orang Crownsguard membuka pintu aula. Rombongan tetua itu bersalaman dengan sang Raja, lalu melangkah keluar. Regis dan Clarus tetap menunggu sampai tak tersisa seorang pun Royal Council di dalam sana. Cor menampakkan diri untuk menjaga Regis selama perjalanan menuju ruang makan keluarga Kerajaan. Kemudian tiga pria tersohor itu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.
Di balik hari-harinya yang padat, Regis selalu menyempatkan diri untuk makan bersama Aulea dan Noctis, kecuali jika ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda. Meskipun waktu makan itu tidak seberapa, tidak ada salahnya jika Regis menjalin hubungan ayah-anak bersama putranya daripada tidak sama sekali.
Di tengah perjalanan, Clarus menyarankan, "Yang Mulia, mengenai Pangeran Noctis. Aku rasa sekarang sudah waktunya bagi dia untuk mendalami ilmu bertarung. Walau sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam Citadel, akan lebih baik jika dia mampu mempertahankan dirinya sendiri sedari dini. Apalagi dia bersekolah di luar Citadel. Akan selalu ada risiko Niflheim untuk mencelakainya di saat lengang."
"Ya, Clarus. Aku sudah mempertimbangkan hal ini dari jauh hari. Hanya saja...," Regis termenung sesaat, "…aku masih ingin memberikan masa kanak-kanak tanpa beban untuk Noctis. Ketika dia sudah dewasa nanti, tidak akan ada hari yang normal yang tersisa baginya. Kau tentu mengerti pemikiranku, bukan?"
"Tentu saja," jawab Clarus simpatik.
Langkah Regis terhenti sebentar. Perhatiannya tertuju pada cincin hitam yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Dia teringat akan Pertanda Pertama yang didengarnya dari leluhur Raja-Raja Lucis dan Hexatheon ketika Noctis berusia lima tahun. Ramalan itu berbunyi bahwa Noctis telah dipilih Kristal Agung untuk menjadi Raja Sejati yang akan membersihkan Eos dari malapetaka. Regis tidak pernah sekalipun menyangka bahwa putranya akan mengemban beban seberat itu. Dan dia sangat membenci ramalan itu. Sayangnya, dia tidak mampu menolak ramalan tersebut dan dia membenci dirinya yang tidak berdaya. "Kurasa sudah saatnya bagi dia untuk belajar menjadi seorang Raja Sejati. Kuserahkan tugas ini padamu."
"Baik, Yang Mulia," jawab Clarus lagi, "aku akan mengutus Gladio untuk menempa Pangeran Noctis mulai besok."
Cor menambahkan, "Aku tidak bermaksud menambah pikiran Pangeran, tetapi di samping ilmu bertarung, dia juga perlu menguasai ilmu politik. Aku yakin dia akan menjadi penerus yang bijak bagi Yang Mulia jika Pangeran memiliki kapasitas otak yang seimbang dengan otot."
"Aku juga sudah memikirkan itu. Apa Ignis siap untuk membina putraku?" tanya Regis, menoleh kepada Cor di kanannya.
"Ignis telah memperoleh pendidikan Citadel secara memadai. Walaupun dia masih muda, dia memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Memang dia terlalu serius, tetapi Yang Mulia dapat mengandalkan dia untuk memantau aktivitas Pangeran Noctis. Dia juga bisa menjadi asisten pribadi Pangeran."
"Persis seperti ayahnya. Aku jadi merindukan masa-masa ayahnya mendampingiku beberapa tahun yang lalu," kata Regis disambung dengan canda tawa kecil.
Cor tersenyum tipis seakan dia paham bahwa Regis pasti akan menyukai pemuda ini. "Aku yakin mendiang Tuan Scientia bangga dengan putranya."
"Aku sepaham denganmu, Cor. Ajak dia untuk ikut serta dalam rapat kita selanjutnya. Aku ingin mengenal pemuda Ignis ini dengan lebih dalam," timpal Regis.
Tanpa disadari, Regis telah tiba di penghujung pintu ruang makan keluarga. Cor membukakan pintu, dan bersama Clarus, dia meminta izin untuk meninggalkan sang Raja menikmati waktu kebersamaan dengan keluarga kecilnya.
Di ruang makan, Aulea dan Noctis telah menunggu kedatangan Regis. Para koki Kerajaan telah menghidangkan menu makanan yang bervariasi dan lezat di meja makan yang panjang. Aulea selalu memastikan bahwa Noctis mendapat asupan gizi yang seimbang dari dietnya, walaupun itu berarti ada makanan yang tidak disukai sang Pangeran.
Regis dan Noctis duduk berseberangan dan Aulea di tengah mereka. Menu demi menu silih berganti disajikan kepada mereka bertiga oleh para pelayan hingga tiba pada sepiring penuh sayuran sup hijau. Noctis memandang makanan itu dengan jijik. Selera makannya menurun drastis ketika mencium bau tidak sedap dari piring yang terpampang di depan wajahnya.
Menyadari putranya yang berhenti makan, Regis bertanya dengan lembut, "Ada apa? Kamu tidak ingin menyentuh makananmu?"
Noctis menjawab sambil menggembungkan pipinya. Bibirnya cemberut dan tatapannya sedu. "Makanannya nggak enak. Aku benci sayuran."
Aulea menahan tawanya di balik celemek yang dipakainya untuk membersihkan sisa makanan dari bibirnya.
Senyum kecil merekah di wajah Regis. Dia memandang putranya seraya berkata, "Ah, kamu tidak boleh berkata seperti itu. Jangan buang-buang makanan, Noct." Dia mendorong niat makan putranya dengan menyeruput sup dari sendok. Noctis memperhatikan Regis dengan malu-malu. ketika cairan hijau itu terkocok dalam rongga mulut ayahnya. "Bweee," Regis mengeluarkan suara cicit aneh. Dia menjulurkan lidahnya yang kini berlapiskan lendir kehijauan pada Noctis.
Noctis tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah konyol ayahnya. Dia memberanikan diri memasukkan satu sendok sup ke dalam mulutnya dan berusaha menelannya.
"Bagaimana rasanya, Noct?" tanya Regis penasaran.
"Tetap nggak enak," jawab Noctis dengan sigap. Dia buru-buru mengambil gelas dan meminum air sebanyak-banyaknya hingga kerongkongannya terbebas dari rasa pahit yang membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi lambungnya.
"Pelan-pelan saja, Noct," saran Aulea. "Kalau dibiasakan, nanti kamu juga akan suka dengan sendirinya."
Regis menatap Aulea dan Noctis dengan penuh kasih sayang. Waktu-waktu kebersamaan sepele seperti ini adalah satu harta tidak ternilai yang ingin dia ingat selamanya.
Ya, pelan-pelan, putraku tersayang. Perlahan tapi pasti kamu akan tumbuh dewasa menjadi seorang Raja yang baik. Seorang Raja Lucis Caelum yang senantiasa berjalan dengan tegap.
