A/N:FF ini merupakan sequel dari FF Death Note-ku yang lain yaitu Lost,jadi aku sarankan untuk membaca Lost dulu sebelum membaca kisah ini, karena di sana dijelaskan asal-usul salah satu tokoh OC yang cukup berpengaruh di sini dan dasar kisah ini.
.
.
.
Ada sebuah nama yang terus menghantui Light hingga akhir hayatnya.
Nama yang tak pernah ia yakin pasti siapa pemiliknya. Atau mungkin, nama itu memang tak dimiliki siapapun. Hanya sebatas nama yang terucap tanpa pernah ada sosok yang memikulnya.
Sampai mati, benaknya terus dipenuhi oleh nama ini. Nama yang sekeras apapun dia cari kaitannya dengan sang pengucap namun tak pernah didapatinya. Yang ada padanya hanya sekedar misteri tak berbatas. Misteri yang tak akan pernah terpecahkan meski dia berusaha sekeras apapun. Karena, satu-satunya sosok yang menjadi kunci atas misteri ini, adalah sosok yang sudah mati dalam pelukannya.
.
…*…
.
Disclaimer: Death Note belongs to Tsugumi Ohba, Takeshi Obata.
Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: (semi) BL, OC, OOC, Semi-Canon, Miss Typo(s), etc.
Merupakan sequel dari fanfisi Lostdan dipersembahkan untuk Li Chylee. Terima kasih karena sudah bersedia aku ganggu untuk pembuatan FF ini.
OC Glass is mine.
OC yang masuk adalah teman sekaligus rival L selama berada di Wammy's House. Silakan bayangkan Glass sebagai Light versi perempuan secara fisik.
.
...*...
.
Hideki Ryuga.
Nama yang diperkenalkan orang yang mengaku sebagai L di universitasnya. Nama yang tak bisa dia tulis dalam death note-nya tanpa membuat dirinya membunuh seorang artis ternama dan akhirnya tertangkap sebagai Kira. Nama yang menjebaknya dalam suatu teka-teki tanpa pemecahan. Dan nama yang membuatnya rela membuang segalanya untuk mengetahui nama yang tersembunyi di baliknya. Nama asli sang pemuda dengan rambut berantakan dan dandanan eksentrik.
Ryuga—begitulah dia akan memanggilnya—tampak begitu tertarik akan dirinya, mengamati tiap detail tubuh dan gerak-geriknya dengan mata hitam kosong itu. Seolah ingin menelanjanginya dan memaksanya untuk mengatakan apa yang ingin diketahuinya. Menebak dengan tepatnya jika dia adalah Kira.
Namun seperti perkiraannya, sosok pemuda itu tak pernah lagi terlihat dalam lingkungan universitas setelah pembicaraan mereka. Tampaknya kedatangan sang pemuda murni sebagai pemancing agar persentasenya sebagai Kira dapat diakuratkan.
Light melewati lapangan tenis dengan bosan. Yakin tak akan menemukan pemuda dengan mata panda di sana. Dan tempat itu membosankan tanpa kehadiran entitas aksentrik sang kawan. Kini lapangan itu kosong, ditinggal para penghuninya yang tengah mengikuti kejuaraan. Light ingat, ketua klub tenis telah memintanya untuk berpartisipasi di acara tersebut, namun ia menolaknya.
Tenis tak akan berarti apapun tanpa lawan yang seimbang. Tanpa pemuda bernama palsu Hideki Ryuga.
Namun ia salah, lapangan itu kini tengah dihuni oleh seorang gadis dengan payung matahari. Berdiri diam di tepi lapangan tanpa melakukan apapun.
Entah apa yang membuatnya menghentikan langkah. Mungkin rasa bosanlah yang menjadi penyebabnya. Atau mungkin gadis itu menggelitik rasa ingin tahunya dengan menonton lapangan yang kosong. Entahlah, Light tak mengerti. Dan saat ia sadar, dia sudah berdiri di belakang gadis berpayung itu.
"Permisi," ia berusaha menarik perhatian sang gadis. Menyunggingkan senyum ramah yang biasanya mampu menjerat hati banyak wanita. "Tempat ini tak akan digunakan sampai klub tenis kembali dari perlombaan di ibu kota."
Sang gadis menoleh, mengembangkan senyum manisnya. Mata cokelat berbinar riang, rambut cokelat susu panjang dan kulit putih. Light merasa seolah tengah memandang cermin yang membalikkan jenis kelamin seseorang.
"Ah, maaf. Aku hanya sedang mencari seseorang. Kudengar dia berada di sini beberapa minggu yang lalu."
Light hanya memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. "Universitas ini luas. Mengapa kau hanya mencarinya di tempat yang tak ada siapa-siapanya ini?"
Sang gadis mengedipkan mata perlahan, kemudian mengumbar senyum manisnya lagi. "Karena di tempat inilah seharusnya dia berada." Sang gadis mengalihkan pandangannya pada lapangan yang kosong tak berisi. "Dia pernah memenangkan kejuaraan tenis kemarin dulu, kupikir mungkin dia ada di tempat ini"
Nama Hideki Ryuga, atau L, kini terlintas di benaknya. Bukankah pemuda itu pernah mengatakan hal yang sama? Ia menggelengkan kepalanya. Para pemain tenis di kampus ini tidak bisa dikatakan sebagai amatiran, banyak yang pernah menyabet penghargaan hingga ke taraf nasional—beberapa wajahnya pun Light ingat pernah bertanding melawannya. Jadi belum tentu jika Ryuga—L—adalah orang yang dimaksud.
"Perlukah kutemani mencari? Mungkin kita bisa menanyakannya pada bagian administrasi jika keperluanmu dengannya sangat penting."
Sang gadis menggeleng. "Tidak perlu. Lagipula dia pasti tak ingin bertemu denganku."
Ia tidak menimpali. Tak ingin melanggar batas privasi sang gadis.
Gadis itu memutar payungnya. Angin sepoi menerbangkan anak-anak rambutnya hingga sedikit menutupi wajahnya. Light terpaku. Merasakan sebuah perasaan de javu saat sang gadis kembali membuka mulutnya, suara dingin itu akrab di telinganya. Suara yang sama dengan yang kerap dikeluarkannya saat tengah mengeksekusi mati para penjahat.
"... aku hanya ingin membunuhnya. Dan menunjukkan bahwa akulah keadilan di dunia ini."
Light terpaku. "Maaf?"
"Aku hanya bicara pada diriku sendiri." Sang gadis kembali tersenyum. Menata rambutnya yang berantakan dan memandang lembut Light yang berdiri di hadapannya. "Ah, betapa tidak sopannya aku. Aku belum menanyakan namamu."
Light mengangguk pelan. "Yagami Light."
"Light?"
"Ya, apa ada yang salah?"
Sang gadis tertawa pelan. Mulai berjalan meninggalkan sang pemuda dengan langkah-langkah kecil. "Tidak. Hanya saja ... lagi-lagi aku menemukan satu lagi cahaya di tempat ini. Namun, kali ini yang kutemukan adalah cahaya hitam. Cahaya hitam yang begitu gelap dan pekat. Entah mengapa aku tak bisa tidak menganggapmu sebagai sainganku."
Light merasakan tubuhnya menggigil. Ada perasaan aneh yang didapatkannya dari gadis itu. Tubuhnya seolah tengah demam, dan angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduknya merinding. Sang gadis kian menjauh, namun perasaan tidak enak itu masih menyelimuti. "Tunggu!"
Sang gadis menoleh sebentar. "Maaf, aku sudah ditemput." Tangan putihnya menunjuk pada sebuah mobil mewah yang terparkir di luar. Dua orang pria berpakaian hitam dan seorang wanita dengan jas putih keluar dengan wajah panik. "Tak kusangka aku akan tertangkap secepat ini. Selamat tinggal ... ah, maksudku, sampai jumpa kembali, Light-kun."
Pemuda itu terdiam. Merasakan sisa hawa dingin yang bersarang pada tubuhnya.
Ia adalah dewa dunia yang baru, jadi mustahil jika dia merasa takut. Apalagi pada seorang gadis ramah seperti itu.
Ramah.
Bukankah itu adalah kata yang melekat pada imejnya juga?
Light mengikuti langkah ringan sang gadis dengan matanya. Menangkap momen-momen saat gadis itu digiring masuk ke dalam mobil. Mata mereka bertabrakan sejenak. Kembali ia merasakan kemiripan di antara mereka.
Ia menghela napas panjang. "Aku belum menanyakan namanya."
.
...*...
.
"Light-kun."
"Ya?"
"Pernahkah Light-kun memikirkan tentang arti sebuah nama?"
Mendengar pertanyaan itu Light terdiam sejenak. Mencoba mencari jawaban yang dikiranya memuaskan. "Nama adalah sesuatu yang penting. Sebuah penanda akan keberadaan kita di dunia ini. Sebuah pengenang jika kelak kita mati. Kurasa itulah makna sebuah nama."
"Begitu kah?" L memandang lurus ke depan, menatap data paya layar komputer yang tak dibacanya. Ibu jari bergerak naik, menekan-nekan bibir, menandakan jika dia tengah terjebak dalam sebuah asumsi. "Bagaimana dengan saya?" tiba-tiba ia bertanya kembali.
"Bagaimana ... denganmu?" Light membeo. Teringat jika nama Ryuzaki, Hideki Ryuga, L atau nama apapun yang pernah L sebut untuk dirinya sendiri bukanlah nama yang sesungguhnya. "Tentunya kau juga memiliki nama asli sebagai penandamu bukan?"
"Nama asli saya tidak berarti apapun lagi sekarang. Nama itu sudah lama mati dan menghilang." Mata hitam mengedip cepat. "Sekarang, nama hanya menjadi sebuah bumerang yang akan membawa saya menuju kematian."
Light mengagguk setuju. "Tapi tidakkah kau ingin seseorang memanggilmu dengan nama aslimu, Ryuzaki?"
"Apakah ini salah satu rencana Kira untuk membujuk saya menyebutkan nama asli agar dapat membunuh saya?"
"Sudah berapa kali kukatakan padamu, aku bukan Kira." Light menghela napas panjang. "Kita sedang bicara dalam posisi sebagai sahabat, aku tidak sedang mengintrograsimu atau apa."
Pemuda bermata panda menoleh sejenak, memandang rekannya, menebak apa yang tengah dipikirkan pemuda itu. "Jadi Light-kun menganggap diri sendiri sebagai sahabat saya?"
"Ada yang salah dengan itu?"
"Tidak." Pandangan matanya menggelap, sebuah kekosongan yang tak terjelaskan muncul. "Namun saya sudah telanjur beranggapan jika sahabat ada hanya untuk memperdaya sahabatnya. Meski saya akan sangat tersanjung karena Light-kun mau menganggap saya sebagai sahabat."
"Kau ini selalu berpikiran buruk tentang orang lain, Ryuzaki."
Sang detektif tak lagi menyangkal atau menyahut. Dia hanya diam sembari menghisap ibu jarinya.
Helaan napas panjang tak dapat Light tahan. "Jujur saja, sebenarnya aku ingin tahu siapa nama aslimu." Pandangan mata berminat menjawab pernyataannya. "Dan itu jelas bukan untuk membunuhmu atau apapun yang ada dalam pikiranmu, Ryuzaki. Aku bukan Kira."
"Saya tidak mengatakan apapun. Apakah itu suatu kepanikan karena jati diri yang hendak terbongkar?"
"Sudah kukatakan aku bukan Kira."
"Kalau begitu, mengapa Light-kun ingin tahu?"
Terdiam sejenak, Light tak langsung menjawab pertanyaan dari rekannya. "Entahlah. Aku ingin tahu saja." Melihat pandangan tak puas yang dilemparkan L, Light melanjutkan. "Kurasa hampir semua orang yang mengenal sosok L sang detektif nomor satu dunia yang menyembunyikan identitasnya pasti ingin menguak siapa sesungguhnya orang itu."
"Apa hanya karena itu?" Ia kembali bertanya.
"Tidak juga. Alasan berikutnya mungkin berdasarkan kegelisahanku semata." Light memberikan jeda yang sangat panjang sebelum menjelaskan kata-katanya. "Kita berada dalam suatu kasus berbahaya bukan? Di mana nyawa kita adalah sebuah jaminan untuk menyelesaikan kasus ini. Ayah, Matsuda-san, aku, kau dan semua orang yang ada di sini sedang mempertaruhkan nyawa masing-masing dari kita. Jika nanti ada yang meninggal, maka kita akan memakamkannya dan memberikan sebuah penghormatan padanya sebagaimana mestinya ..."
Keheningan memotong sejenak narasi panjang Light.
" ... dan jika kau lah yang meninggal, maka aku tak akan bisa memberikan penghormatan padamu. Aku bahkan tak tahu, nama apa yang harus kuukir pada nisanmu."
.
...*...
.
"Glass."
Terucap bagaikan tetesan air jatuh di padang pasir. Menghilang secepat diucapkannya, tenggelam dalam deru napas yang memburu dan sikap tubuh ganjil tak biasa, gelisah yang tak dapat digambarkan. Hanya kedutan kelopak mata yang melukiskan akan perasaan kalut saja yang menjadi saksi akan terucapnya kata itu.
"Ryuzaki?" Ditepuknya pundak pemuda yang tengah tertidur dalam posisi yang tak nyaman di kursinya. Niat awal untuk membiarkannya beristirahat setelah tiga malam tergeser melihat wajah sang rekan yang jauh dari kata damai. "Hei, Ryuzaki!"
"Glass ..."
Nama yang sama kembali terdengar. Light menghentikan niatannya untuk membangunkan sang detektif nomor satu dunia. Dipandanginya sosok yang masih menggeliat tak nyaman itu. Ia menghela napas panjang, bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kursi sang rekan. Suara gemerincing rantai yang menghubungkan mereka anehnya tidak membangunkan sang pemuda. Light menurunkan kaki yang masih ada dalam posisi berjongkok, menjadikannya posisi duduk yang lebih nyaman. Dokumen yang ada di pangkuan pun disingkarkannya. Keringat di dahi diseka dengan punggung tangan.
Perlahan napas pemuda yang hanya dikenal dengan nama L itu kian melembut, dan ekspresi wajahnya sudah lebih tenang.
Light tersenyum kecil. Sebelum bibir pucat itu kembali menggumamkan nama yang sama untuk ketiga kalinya.
" ... Glass ..."
Pandangan matanya menajam. Aura di sekitarnya menggelap, membuat mata cokelat madunya tampak berkilat kemerahan. Andai kata kini L tengah membuka matanya, pemuda itu pasti akan tersenyum puas dan mengatakan jika dirinya adalah Kira. Ya, pandangan matanya kini pasti sangat mengerikan. Pantulan sosoknya pada layar komputer yang mati pun mengejek dengan cara yang sama.
"Glass ya?" gumamnya. Mengangkat dagu L yang masih tak sadarkan diri. "Siapa dia?"
Tentu saja tak ada jawaban dari pemuda itu. Lelah akibat tiga hari meneliti dokumen mengenai Kira sudah pasti merenggut tiap kesadaran yang ada. Light mendekatkan wajahnya pada L. Mengamati tiap detail wajahnya hingga ke pori-pori yang tersembunyi. Mendapati ketegangan yang tak wajah terselip.
Bukan untuk pertama kalinya Light menyadari, dia sama sekali tak tahu apapun tentang pemuda itu. Selain pekerjaan dan keeksentrikannya yang di luar batas pemahaman manusia, dia sama sekali tak memiliki gambaran tentang sang detektif misterius yang dipanggilnya Ryuzaki itu.
Bahkan nama asli pun tidak.
Namun itu wajar saja, namanya kini sama berharganya dengan seluruh emas di dunia. Kira akan menukar seluruh yang ada miliknya untuk mendapatkan nama itu. Maka dari itu, ia tak bisa mengatakannya pada siapapun. Bahkan pada sang sahabat sekalipun.
Terutama jika sang sahabat adalah salah satu tersangka utama Kira.
Light menghela napas panjang sebelum dia kembali ke bangkunya dan meneliti laporan yang sama untuk ketiga kalinya, mencoba mencari celah untuk menemukan sang pembunuh dengan kekuatan gaib. Namun otaknya masih terus terpatri pada nama yang sama.
Glass.
Dan satu hal yang ia tahu, ia membenci nama itu.
.
...*...
.
"Ryuzaki, kau sudah bangun?"
L terbelalak. Light mengerutkan alisnya melihat reaksi detektif itu.
"Ryuzaki? Wajahmu pucat."
Membenarkan posisi duduknya sembari mengemut ibu jari, L membalas, "Saya tidak apa-apa, Light-kun. Wajah saya sudah lama seperti ini."
"Tidak." Light membungkuk di hadapan L untuk melihat wajah sang detektif lebih jelas. "Wajahmu pucat. Lebih pucat dari biasanya. Aku yakin itu."
"Sejak kapan Light-kun memperhatikan rona wajah saya?"
Mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar, Light mendengus pelan. "Jangan kau coba-coba untuk mengalihkan pembicaraan, Ryuzaki. Tidak seperti kau yang biasanya saja." SLight menyeringai lebar, hendak menggoda sang detektif. "Atau jangan-jangan kau… bermimpi buruk?"
Satu menit berlalu. L mengernyitkan alisnya sambil terus menghisap ibu jari. Mata hitam besarnya memandang Light dengan tatapan yang tak dapat didefinisikan. "Mungkin Light-kun ada benarnya juga."
"Itu kah alasannya mengapa kau jarang tidur? Kau takut bermimpi buruk?"
"Mengapa Light-kun sepertinya ingin mengetahui segala hal tentang saya?" L balas bertanya sambil tersenyum polos—seperti anak kecil yang tak berdosa. "Apa ini salah satu taktik Kira untuk menjatuhkan saya?"
"L, harus kukatakan berapa kali? Aku. Bukan. Kira." Light memijat kepalanya yang pening dan menghela napas panjang. Tangannya diletakkan di sandaran kursi L sementara ia balas memandang pria di hadapannya dengan tenang. "Aku hanya sedikit khawatir saja melihat kantung matamu itu. Semakin kuperhatikan kau semakin mirip panda China saja."
"Light-kun mengkhawatirkan saya?"
"Tentu saja. Kau adalah sahabatku, mana mungkin aku tak mengkhawatirkanmu."
L tampak menimbang-nimbang alasan partner yang tengah dirantai bersamanya itu. "Saya tidak yakin. Saya tidak pernah memiliki sahabat sebelumnya."
"Tidak juga saat kau masih kecil?"
"Tidak. Jangan bandingkan masa kecil Light-kun dengan masa kecil saya. Saya hidup di dunia yang berbeda dengan yang Light-kun kenal." L mengalihkan kembali pandangannya pada layar komputer. "Bagaimana dengan perkembangan kasus Kira, Light-kun?"
Light menghela napas panjang. "Lagi-lagi kau berusaha mengalihkan pembicaraan, Ryuzaki."
"Itu tidak benar. Saya hanya mencoba untuk tetap fokus," L membela diri. "Kasus Kira harus tetap harus diutamakan."
Light memandang sang detektif nomor satu sejenak, mencoba membaca perasaan yang disembunyikan di balik wajah tenang tanpa ekspresi pria itu. Ia mengangkat bahu pelan, menyadari jika masih banyak hal tentang L yang tak ia tahu. Bukan hanya nama. Keluarga, kehidupan pribadi, bahkan masa kecilnya pun tak Light ketahui.
L baginya… adalah sebuah misteri yang tak terkira dalamnya.
"Jadi, hari ini ada dua puluh dua narapindana yang…"
Light terus membacakan data-data dan kemungkinan yang didapatnya, namun ia tahu jika L sama sekali tak mendengarkannya.
"Sahabat ya… bukan berarti saya tak pernah merasa memilikinya."
Bisikan lirih itu menghentikan mata Light yang tengah mencermati tiap kata dalam komputernya. "Ryuzaki, kau mengatakan sesuatu?"
"Mungkin daya pendengaran Light-kun mulai menurun. Sebaiknya Light-kun segera mengatur jadwal pertemuan dengan dokter."
Namun ia tahu, L mengatakannya. Dan nama Glass yang ia igaukan dalam tidurnya menempati tempat tertinggi atas kecurigaannya.
.
...*...
.
"Ryuzaki."
"Watari. Setengah tahun lagi, jadwalkan saya untuk kembali ke Inggris."
"Saya mengerti. Kau masih selalu memikirkan dia."
"Dia adalah orang yang penting. Saya tidak bisa semudah itu mengabaikannya."
"Mengejutkan sekali jika secara kebetulan Yagami Light memiliki wajah yang mirip dengannya bukan? Dan nama itu…"
"Tolong jangan sebutkan, Watari. Saya sudah melupakan nama itu. Saya adalah L. tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Anda sudah berjanji pada saya bukan?"
"Maafkan saya, Ryuzaki."
"Dan mengenai dia…, Light-kun tidak sama dengannya. Mereka adalah dua orang yang berbeda."
"Saya mengerti. Saya akan berhati-hati dalam berbicara mulai saat ini."
Pintu kembali terbuka dan kemudian menutup. Light tahu jika Watari kini telah keluar. Kasur berderit pelan tanda jika L tengah mengubah posisinya. Dalam hati Light berdoa, semoga saja pemuda itu tak menyadari jika dia masih terjaga dan telah mencuri dengan pembicaraan krusial sang detektif dengan pengasuhnya. Dan siapa sangka, L akan membuat pengakuan setelahnya.
"Light-kun. Maafkan saya. Mungkin saya memang ingin Light-kun adalah Kira. Mungkin saya melakukannya agar saya tak perlu lagi mempercayai jika sahabat itu benar nyata. Sama seperti saya ingin mempercayai jika saya tidak pernah menganggap diasebagai sahabat."
Dia.
Sosok tanpa nama. Sosok yang berasal dari masa lalu L. Sosok yang menurut Watari begitu serupa dengannya.
Bayangan gadis dengan payung matahari singgah.
Dan Light sadar, dia masih tak tahu siapa namanya.
.
...*...
.
Light tak dapat melupakan bagaimana rasanya saat kedua lengannya memeluk tubuh yang daya kehidupannya telah direnggut paksa. Tubuh yang biasanya begitu lentur dalam memberikan tendangan menyakitkan, terasa begitu kaku. Mata hitam yang biasanya terasa kosong terbelalak lebar, entah karena sakit atau akibat terkejut akan kenyataan yang begitu jelas di hadapannya.
Dugaannya selama ini memang tepat. Yagami Light adalah Kira.
Namun waktu empat puluh detik dan tenaga yang terkuras untuk menahan rasa sakit di dadanya telah membungkam mulutnya. Membuatnya hanya mampu bergeming sembari menyesapi detik-detik terakhir yang dimilikinya.
Light menyeringai. Puas.
Akhirnya mata hitam itu hanya terpaku padanya. Hanya melihatnya. Tak ada lagi yang lain selain dia di dalam kelamnya. Yang ada hanya dia, dia dan dia. Light benar-benar tersanjung. Penghargaan apa yang lebih baik dibandingkan menjadi satu-satunya orang yang dipikirkan menjelang kematian?
Namun mata hitam itu kembali terlihat kosong. Tampak menerawang menuju masa-masa di mana Light tak pernah mengenalnya
Apa? Mengapa? Seharusnya kau hanya melihatku seorang, L! Seharusnya akulah satu-satunya orang yang ada di pikiranmu saat ini! Seharusnya hanya namakulah yang ada dalam benakmu! Tak ada yang lain. Hanya aku. Hanya Yagami Light.
Namun hingga mata itu terpejam sempurna, kekosongan itu masih tetap menyeruak. Menembus kelopak mata berhiaskan kantung hitam yang menutup. Merangsek ke dalam otak Light, membuatnya murka.
Apakah namanya sebegitu hinanya hingga L tak mau mengenangnya di detik-detik terakhir kehidupannya? Light mengatupkan bibirnya kuat-kuat. Perasaan menang yang tadi bergemuruh dalam rongga dadanya tiba-tiba lenyap, digantikan oleh perasaan kalah yang tak dapat ia jelaskan dari mana asalnya.
Tidak, ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal seperti itu. Light memejamkan matanya. Sandiwara yang sesungguhnya baru dimulai sekarang.
"Hei, Ryuzaki ..." dipanggilnya nama itu perlahan. "Ada apa? Bertahanlah! Ryuzaki! Ryuzaki!" diguncangnya tubuh yang sudah pasti tak lagi bernyawa. "Ryuzaki! Ryuzaki!" dipanggilnya nama itu, berulang-ulang. Tepat seperti orang yang tengah kehilangan.
Light tahu, dia adalah seorang aktor yang sempurna.
Dan perannya berikutnya adalah peran yang sangat mengagumkan. Peran sebagai Tuhan.
Dia akan membuktikan pada L. Meski dia sudah ada di alam yang berbeda—entah itu surga atau neraka—Yagami Light adalah seorang Tuhan. Tuhan dari dunia baru yang kekuasaannya absolut, mutlak. Dan akan dia pastikan, L tidak akan pernah tenang di alam baka. Dia akan terus dan terus memikirkan satu nama.
Dan nama itu adalah Yagami Light.
.
...*...
.
"Jika saya mati ... terlepas dari apakah Light-kun atau bukan yang membunuh saya ... maka Light-kun tak perlu melakukan penghormatan apapun untuk saya. Dan tak perlu ukir nama apapun dalam nisan saya. Cukup berada di sanalah sedikit lebih lama dibanding yang lain."
"Mengapa?"
"Saya tak peduli apakah Light-kun akan menangis atau justru tertawa karena telah berhasil mengalahkan saya, namun tetaplah di sana barang sebentar. Bukankah itu adalah cara seorang sahabat mengantarkan kepergian sahabatnya?"
Saat itu Light yakin pasti jika dia akan menangis. Menangis dan menangis tak mempedulikan jika dia adalah seorang laki-laki dewasa. Namun lihatlah kenyataannya sekarang, dia mengangkangi nisan itu. Tertawa terbahak-bahak dengan kepuasan dan kekosongan yang ia rasakan. Bersumpah akan memperlihatkan pada rival yang telah tiada jika dia adalah sosok keadilan yang sesungguhnya. Dia adalah pemenang dari pertandingan ini. Dia adalah pemenang yang sesungguhnya. Yang absolut. Dan dia tak akan terkalahkan. Baik sekarang ataupun di masa depan.
L telah mati. Dan dia meninggalkan banyak misteri bersamanya. Namun ada satu nama yang tersisa. Nama yang menjawab satu di antara seribu teka-teki.
L Lawliet.
.
...*...
.
Kembali ke universitas. Itulah yang harus dilakukan Light sekarang.
Hari-hari membosankannya dimulai. Rutinitas yang sama, yang akan terus berulang membuat jengah. Jangankan Ryuk yang mulai sakau dengan apel, Light sendiri pun mulai terserang akan penyakit yang bernama kebosanan itu.
Apa yang salah? Hidupnya sempurna. Dia tampan, memiliki keluarga yang mapan, otaknya tak perlu diragukan, kekasih cantik yang berprofesi sebagai model papan atas pun selalu dalam gandengan. Belum lagi fakta jika dia adalah sosok di belakang layar Kira. Tuhan yang mengatur dunia. Tuhan yang menciptakan neraka mengerikan untuk mereka yang tak mau mematuhinya. Ya, hidupnya sangatlah sempurna.
Namun sekarang ia kosong.
Tidak ada lagi orang yang akan menentangnya. Segalanya berjalan terlalu mudah, membuat jiwa haus tantangannya gersang.
Mungkin seharusnya dia tak membunuh L secepat ini.
Pemuda itu berjalan menyusuri jalan. Mengamati pepohonan yang sudah gugur daunnya. Sebuah kursi taman di tepi jalan tertangkap matanya. Kursi yang sama dengan yang digunakan Ryuzaki untuk duduk sebelum Misa disekap.
Dan seorang gadis duduk di atasnya-dengan cara yang normal. Tentu saja.
Rambut cokelat susu panjangnya terurai di bahu, sedikit tertutup oleh topi bertepi lebar yang memberi bayangan pada wajah cantiknya. Tangan berkulit putihnya membalik halaman buku tebal di pangkuan.
Light menghentikan langkahnya.
Sang gadis menoleh dan menyunggingkan senyum ramahnya. Senyum yang pernah Light lihat beberapa waktu sebelumnya. "Selamat siang, Light-kun," dia menyapa dengan suara lembut.
"Selamat siang." Dia berjalan mendekati sang gadis yang masih menyunggingkan senyum lembutnya. Senyum yang serupa dengan senyum di wajahnya. "Masih mencari seseorang?"
"Kali ini tidak," gadis itu menutup buku bersampul putihnya, di bagian muka terlihat gambar dua orang anak kecil yang tengah membaca buku bersama. Satu perempuan dan satu laki-laki. Yang laki-laki memiliki rambut hitam berantakan sementara yang perempuan memiliki rambut cokelat panjang berhias pita merah muda. "Orang yang kucari sudah tidak ada di sini. Dia sudah tidak ada di manapun juga."
Light diam. Masih mengamati sang gadis misterius. "Apa orang-orang yang waktu itu akan datang menjemputmu juga?"
"Ya. Cepat atau lambat mereka pasti tahu aku sudah menghilang. Perjalanan ke Jepang dari Inggris bukan perjalanan yang singkat, pesawat pribadi pasti lebih cepat dibandingkan pesawat komersial. Mereka akan segera datang."
Senyum kecil tersungging di wajahnya. "Sudah kuduga kau tidak berasal dari Jepang."
"Pasti karena logatku kan?" Sang gadis balas menyunggingkan senyum. "Aku datang ke sini untuk mencari teman masa kecilku. Aku ingin membuktikan jika aku lebih baik darinya dan aku pasti akan menang. Namun sebelum sempat membuktikan apapun, aku kalah."
"Temanmu yang memenangkan persaingan itu."
"Tidak. Dia juga kalah. Kami berdua kalah. Dia kalah dari orang yang seharusnya dijatuhkannya, dan aku kalah darinya. Namun tetap saja, aku kalah. Kekalahan ganda. Karena aku kalah dari sang pemenang juga."
Pembicaraan itu terhenti. Sang gadis memasukkan bukunya ke dalam tas, menangkap sehelai daun yang melayang turun sebelum jatuh ke pangkuannya. Tatapan matanya tampak tak berisi, hampa. Sama seperti tatapan mata Light. "Dan mulai sekarang, dunia akan terasa membosankan. Aku tak akan memiliki alasan lagi untuk pergi karena dia sudah mati. Aku akan membusuk di ruangan sempit dengan buku-buku tua itu. Kehilangan saingan satu-satunya. Menyedihkan."
Tanpa perlu mengatakan apapun Light sudah paham benar akan maksud sang gadis. Bagaimanapun juga, dia mengalami hal yang sama. L sudah mati, dan dia sudah tak memiliki saingan untuk mengadu kecerdasan dan taktik lagi.
"Tapi persaingan masih belum selesai untukmu."
Light membulatkan mata mendengar pernyataan dari gadis berambut cokelat di hadapannya. Mengernyitkan alis. "Maaf?"
"Kau mungkin sudah menang sekali—dua kali jika kau ikut menghitung kekalahanku. Namun bukan berarti kau bisa bersenang-senang untuk selamanya. Akan datang waktu di mana seseorang akan mengalahkanmu. Seperti aku yang dikalahkan temanku, seperti temanku yang kau kalahkan. Tidak ada yang namanya kemenangan absolut di dunia ini."
"Kurasa aku tak mengerti apa yang kau katakan." Angin musim gugur berhembus, cuaca sudah mulai mendingin akhir-akhir ini. Dalam waktu singkat musim dingin akan datang, dan salju akan menutupi tiap jengkal tanah yang terlihat. Namun bahkan dinginnya pun tak dapat mengalahkan ketajaman aura sang gadis. "Kau bicara seolah aku terlibat dalam persainganmu. Namun aku sama sekali tak tahu persaingan macam apa yang kau maksud."
Gadis itu tertawa pelan. "Tentu saja kau tahu. Kau kan yang sudah membunuh 'teman' dan 'ayah'-ku ..."
Angin kembali berhembus ...
"... Kira."
… menenggelamkan kata-kata sang gadis.
Dua pasang mata dengan warna yang serupa saling berhadapan, bertukar informasi dengan pandangan yang sama tajamnya, sama mengintimidasinya, sama liciknya. Senyum ramah penuh kepalsuan tak lagi ada di wajah mereka, segala topeng lepas. Hanya seringai buas yang menampilkan kepercayaan diri dan kegilaan saja yang terlihat.
"Bukankah sudah kukatakan? Aku tak bisa tidak menganggapmu sebagai sainganku."
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Membalaskan dendam temanmu itu?"
"Aku? Yang benar saja? Membunuhmu pun tak akan membuatnya hidup kembali. Dan jika dia tak kembali, maka apapun yang kulakukan sama saja percuma. Kau pun berpikiran sama bukan, Light-kun?"
Light mendengus. "Hanya L sainganku."
"Sama denganku. Namun bagimu, itu hanya berlaku untuk saat ini semata." Sang gadis bangkit berdiri, merapikan topi bertepi lebar yang dikenakannya. Di balik pagar terluar universitas, terlihat sebuah mobil hitam mewah terparkir rapi. "Mereka sedang mempersiapkan lawan baru untukmu. Dan akan kupastikan kau akan bersenang-senang dengannya."
"LIGHT-KUN~~!" Dari kejauhan terdengan suara melengking khas Misa Amane memanggil namanya. Sosok gadis dengan gaun renda-renda berlari ke arahnya, menarik perhatian tiap pasang mata yang tanpa sengaja berada di sana. Mata indah sang gadis menyipit menyadari kehadiran wanita lain bersama dengan sang kekasih. Lengan sang pemuda dipeluk mesra, menunjukkan siapa yang gadis yang lebih unggul di sana. "Siapa?" tanyanya dengan nada menuntut.
Sang gadis misterius mendengus kecil, kemudian kembali menyunggingkan senyum ramahnya. "Baiklah. Kurasa sudah saaatnya aku pulang. Terima kasih sudah menjadi teman bicara yang menyenangkan, Light-kun."
Gadis itu berjalan pelan. Melewati sang pemuda. Sempat Light berbisik pelan. "Kau belum mengatakan siapa namamu."
"Apa untungnya untukmu? Kalaupun aku menyebutkannya, kau tetap tak akan dapat membunuhku."
Light hanya diam menunggu jawaban.
"Kau ... bisa memanggilku G."
G.
Glass.
Matanya tak bisa meninggalkan punggung sang gadis yang kian menjauh. Otaknya terus meneriakkan jika ini adalah kali terakhir dia dapat melihat sang gadis. Namun dia tak merasa kesepian, dia tak akan merasa kesepian.
Misa merengek di sampingnya, meminta penjelasan akan identitas sang gadis.
Light hanya mendengus pelan. "Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya seseorang yang sangat beruntung. Terlalu beruntung. Dan dalam satu hal, dia berhasil mengalahkanku. Namun itu bukan masalah besar. Lagipula ... dia tak akan lama lagi berada di dunia ini."
Satu nama. Masih menjadi misteri. Namun setidaknya sekarang ada sedikit jawaban untuk menyangkalnya.
.
...*...
.
L sudah mati. Nama Lawliet yang tercetak indah di buku hitam itu adalah suatu piagam sempurna atas kejeniusannya merancang sandiwara kematian sang detektif.
Dan kini gilirannya lah menanti kematian. Ia tahu, namanya akan tertulis di salah satu lembar death note milik shinigami-nya.
Yagami Raito.
Ah, betapa dia menyesali keputusan sang orang tua memberikan namanya dalam aksara kanji. Pasti akan jauh lebih baik jika kata Light lah yang tertera di sana. Cahaya, sebuah cahaya baru yang menerangi kehidupan. Cahaya yang kini akan padam. Namanya akan terukir sebagai pengingat akan masa-masa emas kehidupan manusia. Bulan memang bukan arti yang buruk, namun bulan hanya mampu memantulkan cahaya, bukan sumber cahaya itu sendiri. Dan dia ... dia bukanlah orang yang mengikuti cahaya. Dia adalah cahaya. Cahaya yang paling terang.
Namun cahaya apapun kelak akan padam, digantikan oleh cahaya lain yang lebih terang.
Anak-anak kecil, itulah sosok cahaya baru yang mengalahkan dirinya. Lebih tepatnya lagi Near dan Mello. Meski pada kenyataannya dia berhasil mendorong si bocah pirang menyambangi kematian. Cahaya mereka telah mengalahkannya. Memaksanya untuk padam. Seperti dia memaksa pendahulu mereka untuk padam.
"Light-kun ..."
Dia membelalakkan matanya. Telinganya merasa seolah-olah mendengar suara yang seharusnya sudah menghilang sejak bertahun-tahun lalu. Kini matanya pun bersekongkol mendelusikan wajah sang pemuda bermata panda di antara cahaya yang menyilaukan.
"Light-kun ..."
Sakit yang terasa amat sangat menyiksa menghujam jantungnya. Ah, jadi seperti inilah rasanya kematian bagi para penjahat yang dulu namanya ia tulis. Denyutan itu terasa semakin kuat dan kuat. Hingga rasanya napasnya terputus.
"Light-kun?"
'Mengapa kau baru memanggilku sekarang, Ryuzaki?'
"Karena Light-kun membuat saya menunggu terlalu lama."
'Oh ...'
Tangan pucat itu terulur. Seolah hendak mengajak Light menuju suatu tempat. Tempat yang tak ia ketahui di mana. "Kita hanya memiliki waktu sebentar. Karena tempat yang saya tuju dan Light-kun tuju berbeda."
Ketiadaan.
Ya, itulah tempat yang Light tuju. Tempat di mana para pengguna death note pergi setelah kematiannya. Tempat yang dijanjikan untuk Tuhan baru yang telah mangkat seperti dirinya. Tempat di mana dia akan habiskan seluruh sisa kesadarannya dalam kesendirian tanpa ada orang yang menemani.
'Light-kun?'
"Hm?"
Namun setidaknya. Sekarang hanya namanya saja yang terucap dari bibir pucat itu. Hanya namanya seorang. Tak ada nama lain.
Dia sudah cukup puas akan hal itu.
.
...END...
.
A/N:
Jadi maksud cerita ini adalah obsesi Light untuk menjadi satu-satunya yang dilihat oleh L. Kira-kira begitu.
Terima kasih sudah membaca kisah ini, aku benar-benar lega dapat menyelesaikannya meski harusnya aku selesaikan November malah baru selesai sekarang. Dan selamat untuk Li yang sudah wisuda, selamat menempuh hidup baru ^^
Mungkin itu aja yang bisa aku sampaikan, terima kasih sudah mampir, mohon kritik dan sarannya ya.
Yogyakarta, 3 Maret 2015
