Minna! Aku kembali dengan cerita baru dan fandom baru. hohohoho... terus cerita sekaiichi hatsukoi kamu yang multichap itu mau dikemanain? mau dijadiin draft doang huh?! okeoke minna, maaf ya, entah mengapa Suki jadi pengen buat cerita beru. tapi tenang aja kok, dua cerita SH akan saya Update cepat. tentunya sesudah UTS wkwkwkw...*plak*
Disclaimer : Tite Kubo-sensei
Rated : T
Warning : Sho -ai, AU, OOC, Typo(s), and anything.
I DO NOT OWN BLEAC AND I'M WARNED YOU!
LOVE CONTRACT
Chapter 1
By : Sukikawai-chan
"Shiro-chan, maafkan Neechan-mu ini."
Laki-laki bertubuh mungil dan memiliki rambut perak itu tidak bergeming sama sekali. Entah ia tidak mengerti atau berusaha untuk tidak dimengerti olehnya. Yang jelas ia hanya menatap pemandangan di depannya dalam diam. Sama sekali tidak memerhatikan seseorang yang terus menangis berada di sampingnya.
"Kau tahu? Otousan dan Okaasan sengaja membuatkan rumah ini untuk kita berdua," lanjut perempuan di samping laki-laki mungil itu, "Sudah 10 tahun kita berada di sini bersama Okaasan. Meskipun kita tidak tahu Otousan menghilang kemana, tapi kita bisa hidup bahagia bersama Okaasan. Hanya kita bertiga."
Hening. Sepasang iris emerald itu tetap memandang ke depan. Memandang tepat rumah besar di depannya. Rumah yang telah menjadi bagian dari dirinya. Dan rumah dimana semua kenangan tersimpan di memori otaknya.
"Dan meskipun Okaasan sudah tenang di alam yang berbeda, kita masih bisa memiliki rumah ini untuk kita berdua." Sebelah tangannya menggenggam erat laki-laki mungil yang berumur 8 tahun di sampingnya. "Jika saja aku tidak tertipu oleh kedua temanku, mungkin rumah ini akan tetap milik kita."
Perempuan yang menjadi kakak si laki-laki menoleh, menatap dengan sayang namun penuh dengan penyesalan di dalamnya. "Shiro, suatu hari nanti, entah itu kapan…aku ingin kau mengambil kembali alih rumah ini. Tidak perlu ada pembalasan dendam atau semacamnya. Karena bagaimana pun juga, rumah ini tetap milik kita berdua. Hanya kita. Tidak akan ada seorang pun yang bisa memilikinya. Maka dari itu, Shiro…"
Dengan perlahan, dipeluknya tubuh adik kecil kesayangannya. Walaupun berusaha tegar, ia tidak bisa menghentikan air mata yang keluar dibalik pelupuk matanya. Dibenamkannya wajah yang penuh air mata itu di bahu sang adik. Anggota keluarga satu-satunya.
"Kau harus bisa mendapatkan rumah ini. Suatu hari nanti…."
Laki-laki berambut perak itu hanya mengangguk samar. Untuk yang terkahir kalinya, ia menatap rumah kenangannya. Terakhir kalinya ia mendengar sang kakak menangis. Terkahir kalinya ia menyimpan kenangan buruk di rumah itu. Kenangan yang mungkin tidak bisa terlupakan meskipun ia ingin melupakannya.
"Aku akan mendapatkan rumah ini kembali, Neechan. Bagimana pun caranya."
.
.
.
9 Tahun Kemudian
"Shiro-chan! Sudah kukatakan berapa kali cepat habiskan sarapanmu itu! Ingatlah kalau kita ini sedang berhemat, jadi tidak perlu menghabiskan persediaan bahan makanan lagi jika perut sudah terisi penuh."
"Aku tahu Neechan , aku tahu." Sahut laki-laki bertubuh mungil itu yang disebut Shiro-chan, yang memiliki nama lengkap Hitsugaya Toushiro. "Dan aku minta berhentilah memanggil namaku dengan embel-embel chan! Aku ini sudah berumur 17 tahun, bukan lagi anak yang masih berumur 10 tahun!"
Tanpa mempedulikan protesan adiknya, perempuan yang dipanggil Neechan, yang sebenarnya bernama Hinamori Momo, hanya mengibaskan sebelah tangannya dengan cuek. Mengacuhkan protes sang adik.
"Ulang tahunmu masih beberapa hari lagi, jadi sekarang ini kau masih 16 tahun."
"Tap—"
"Tidak perlu membantah dan cepat habiskan saja sarapanmu! Aku tidak ingin ada sisa sedikit pun di piringmu."
Hitsugaya memberenggut sebal. Tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memakan sarapan yang dihidangkan Hinamori. Meskipun hanya sepotong roti bakar dan segelas susu, Hitsugaya berusaha menikmatinya dengan lahap. Karena jia sudah menyangkut soal makanan, Hinamori selalu berbicara panjang lebar. Atau lebih tepatnya, hal yang dibicarakan adalah uang untuk membeli bahan makanan agar bia bertahan hidup mereka berdua.
"Neechan hari ini tidak mengambil cuti?" Hitsugaya melirik sekilas Hinamori yang tengah sibuk merapihkan rambutnya, lalu kembali lagi pada sarapannya. "Tidak baik jika Neechan terus memaksakan diri bekerja."
"Tidak usah menceramahiku, Shiro-chan." Sahut Hainamori begitu selesai menggelung rambutnya, ia mengambil tas di bangku denpan Hitsugaya lalu memeriksanya kembali. Memastikan tidak ada yang tertinggal. "Jika aku tidak serius bekerja, mungkin saat ini kita tidak akan bisa makan."
Hitsugaya mengangguk-anggukan kepalanya. Ia malas berdebat di pagi hari ini bersama Hinamori. Pasti akan menghabiskan waktu banyak dan dijamin ia akan terlambat pergi ke sekolah. Dengan tenang tanpa berkomentar apa-apa lagi, ia berusaha menghabiskan sarapan paginya.
"Baiklah kalau begitu, Shiro-chan. Aku pergi dulu, jangan lupa kunci pintu begitu kau pergi ke sekolah. Dan kalau kau lapar makan saja, kau pasti bisa membuat kare atau ramen. Dan ingat, cepatlah pulang! Kau tidak perlu kerja sambilan," Hinamori mengacungkan jari telunjuknya, isyarat ia memperingatkan. "Di sini aku yang bertanggung jawab untuk membiayai hidup kita, hanya aku yang bekerja, jadi kau tidak perlu menghabiskan waktu belajarmu dengan bekerja! Kau mengerti?"
Hitsugaya menghela napas pendek. Untung ia sudah menghabiskan sarapan paginya sebelum nafsu makannya hilang karena diceramahi ini dan itu. "Aku mengerti Neechan. Kau sudah sering memberitahuku tentang hal itu, jadi mana mungkin aku tidak akan mengerti."
Hinamori tersenyum lalu menepuk-nepuk puncak kepala adiknya, "Ja, Ittekimashu. Tidak perlu menungguku pulang jika aku terlambat." Selesai menceramahi sang adik, Hinamori berjalan ke cepat ke pintu depan, lalu melesat keluar agar tidak terlambat.
"Itterashai, Neechan." Teriak Hitsugaya yang dibalas dengan seruan Hinamori dari luar.
Hitsugaya mengembuskan napasnya dengan berat. Meratapi sikap Hinamori. Kakak perempuan sekaligus anggota keluarga satu-satunya memang seperti itu. Tidak pernah membiarkan ia bekerja untuk membiyai hidup mereka berdua. Hitsugaya tahu, dibalik ketegaran dan sikap pantang menyerah Hinamori, terdapat kesedihan yang melandanya. Meskipun Hinamori selalu mengatakan bahwa dirinya-lah yang hanya harus bekerja dan membiayai hidup, Hitsugaya bisa menyadari kalau kakaknya itu begitu kelelahan dan terbebani. Bahkan tak jarang Hitsugaya selalu menemukan Hinamori dalam keadaan tertidur di sofa ketika pulang dari bekerjanya. Atau sakit karena rasa lelah namun Hinamori tidak pernah mengakuinya. Dan yang membuat Hitsugaya sedih, ketika ia melihat Hinamori terisak di kamarnya. Memendam beban, sedih, dan lelah dalam hatinya. Tidak pernah Hitsugaya menemukan sang kakak mengeluh akan hidup yang dijalaninnya.
Tidak sebelum harta peninggalan orang tua mereka hilang tak berbekas.
Ya, saat ini Hitsugaya dan Hinamori tinggal di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Selain tempat sewanya yang murah, tempat ini juga terasa nyaman bagi mereka berdua. Namun, semurah apa pun harga sewanya, jika uang selalu timpang tindih dengan biaya hidup makanan, tidak jarang Hinamori telat membayar biaya sewanya. Terlebih karena gajinya sebagai seorang sekertaris di seorang perusahaan digunakan bukan hanya untuk dirinya saja.
Beruntung karena kecerdasan otak Hitsugaya, ia bisa mendapatkan beasiswa di sekolah yang ber-khususkan orang-orang kaya. Jika bukan karena Hinaomri yang selalu membanting tulang sebagai sekertaris, Hitsugaya lebih memilih sekolah di sekolah biasa-biasa saja. Namun karena pindah sekolah memerlukan biaya lagi, akhirnya ia tetap bertahan di sekolah yang baginya menyebalkan. Dan bagaimana pun juga, Hitsugaya melakukannya demi rumah yang akan harus didapatkannya kembali.
"Baiklah, kali ini aku yang berangkat. Itekimashu!" meski Hitsugaya tahu tidak akan ada seorang yang menjawab, ia tetap mengatakannya lalu berjalan ke luar. Berharap tidak aka nada hal yang aneh terjadi si hari seperti ini.
.
.
.
"Ichigo! Ichigo!"
Merasa dipanggil, pemuda dengan rambut orange mencolok refleks menolehkan kepalanya. Kedua bola matanya langsung membulat dan seulas senyum di bibirnya mengembang begitu melihat sosok seorang gadis dengan tubuh yang lebih kecil darinya berlari-lari kecil ke arahnya.
"Kau tidak perlu berlari-lari seperti itu Rukia. Kau tahu kan lantai koridor sekolah kita ini sangat licin. Aku tidak ingin menolongmu jika kau terjatuh," sahut laki-laki yang dipanggil Ichigo. Sama sekali tidak bermaksud menyinggung. Sedangkan si gadis yang dipanggil Rukia hanya tertawa sambil memukul bahu Ichigo pelan.
"Kau merusak mood bagusku Ichigo,"
Ichigo menngakat sebelah alisnya, "Mood? Mema—ah! Aku mengerti sekarang." Melihat ekspresi berseri-seri Rukia, Ichigo langsung tahu hal apa yang melanda gadis di depannya. "Ada berita bagus yang membuatmu senang hari ini?"
Rukia mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat, "Ya! Apa kau tahu? Hari ini Grimmjow akan pulang setelah menyelesaikan studi nya di Jerman,"
Lengkung huruf U yang menghiasi wajah Ichigo kini berubah menjadi datar. Tanpa sadar ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat.
Grimmjow? Pulang? Mengapa tidak sekalian saja laki-laki berambut biru itu pindah ka Jerman? Mengapa Grimmjow tidak selamanya di sana sehingga ia tidak perlu mengganggu hubungannya dengan Rukia? Hah….hubungan?
Ya, sebenarnya ia, Rukia, dan laki-laki yang disebut Grimmjow itu memang sudah berteman sejak kecil. Maka tidak ada salahnya jika mereka benar-benar sudah tidak bisa terpisahkan. Saling membantu di saat salah satunya mengalami kesusahan. Tapi lain bagi Ichigo. Baginya, Grimmjow adalah orang yang telah mengganggu hidupnya. Orang yang menghalangi garis antara ia dan Rukia. Dan orang yang telah membuat hatinya selalu tersimpan pada Rukia.
Ichigo memang menyukai Rukia. Menyukai gadis itu dengan caranya sendiri sejak mereka masih kecil dan lugu. Menyukainya selama 12 tahun, hingga kini mereka sudah beranjak menjadi remaja 17 tahun. Perasaan Ichigo belum pernah berubah.
Namun, ironisnya, Rukia tidak pernah menyadari perasaannya. Perasaan Rukia sudah tersimpan untuk Grimmjow. Sehingga Ichigo hanya sebatas sahabat bagi Rukia. Tidak lebih. Hanya sahabat.
"Benarkah itu? Kau pasti senang sekali." Ichigo memaksakan seulas senyum,
"Aku sangat….sangat…merindukan Grimmjow. Sudah lama sekali kita tidak berkumpul lagi seperti dulu. Jika kita sudah bertiga lagi, aku jadi selalu ingat masa kecil."
Tidak akan pernah mau! Ichigo tidak akan penah mau sekali pun bertemu dengan laki-laki itu lagi. Atau lebih tepatnya, laki-laki itu bertemu dengan Rukia.
"Eh…dan kau tahu Ichigo? Akan ada pesta penyambutan untuknya nanti."
Damn shit! Mengapa harus ada pesta penyambutan segala? Apakah karena Grimmjow Jaegerjaques adalah anak dari pemilik Karakura High School?
.
.
.
Hitsugaya menyesap jus watermelon nya dan menikmatinya dengan senang. Jarang-jarang ia beli makanan mahal di kantin sekolahnya. Selain jus itu berasal dari buah kesukaannya, jus itu juga lah minuman yang menurutnya paling murah di antara yang lainnya. Meskipun membelinya pun butuh mengumpulkan uang beberapa hari.
Kedua kakinya dilangkahkan dengan semangat, sekarang ini tujuan utamanya adalah….perpustakaan. Tempat yang menjadi tempat favoritnya selama berada di sekolah. Selain keadaannya selalu sepi dan hening, bahkan ia tak habis pikir, siswa-siswa yang bersekolah di sekolah elit seperti Karakura Hihg School bisa melewatkan tempat menyenangkan seperti perpustakaan yang begitu besarnya. Terkadang Hitsugaya merasa kasihan pada banyak buku yang berdebu dan tidak pernah dibuka. Apalagi dibaca.
Dinaikinya tangga satu per satu, karena letak perpustakaan berada di lantai tiga. Sesekali ia senyum-senyum sendiri karena terlalu senang dengan jus-nya sampai ia tidak menyadari sesuatu.
Bruukk!
"Uwaaahh!"
Mungkin saat ini Hitsugaya sudah terkapar pingsan dengan darah yang mengucur. Mungkin saat ini kepalanya akan sukses mencium lantai di bawahnya. Semuanya bisa menjadi mungkin jika bukan kerena sebuah lengan yang dengan gesit menarik pergelangan tangannya. Tidak hanya itu, ia bahkan merasakan seseorang memeluk pinggangnya hingga wajahnya terbenam di dada seseorang.
"Ck! Bisakah kau melihat ke mana arah jalanmu?"
Hitsugaya terpana. Suara laki-laki. Dengan pelan ia mendongakan kepalanya dan terbelalak sesaat begitu ditemukannya sepasang iris berwarna cinnamon. Membuat Hitsugaya mematung seketika menatap mata caramel itu. Karena terlalu lama menatapnya, Hitsugaya segera melepaskan diri dari pelukan orang itu. Menyadari sebenarnya ia dipeluk!
"Aah…gomen. Aku tidak sengaja,"
"Dan kau ingin mengatakan kalau itu juga sengaja?"
Alis Hitsugaya terangkat, ia mengikuti arah telunjuk laki-laki yang menolongnya tadi, tepat menuju lantai beberapa anak tangga di bawahnya. Begitu Hitsugaya melihatnya, kedua matanya langsung membeliak.
"Jus watermelon-ku!" teriak Hitsugaya histeris. Bagaimana tidak? Jus itu seharga 5000 yen! Hitsugaya mati-matian menanbung uang untuk membeli jus itu! Dan sekarang….belum saja diminum sampai habis bahkan setengah pun tidak, jus itu sudah jatuh dan berceceran. Melayang lah sudah uang 5000 yen miliknya.
"Oi! Kau tidak perlu berteriak seperti itu! Kalau tumpah seperti itu kenapa tidak beli lagi saja?" ujar laki-laki itu ketus melihat tingkah Hitsugaya yang berlebihan. Hitsugaya mengangkat alisnya, beli? Tinggal beli lagi?
"Kau pikir hara jus itu berapa?! Seenaknya saja menyuruhku untuk beli lagi! Ini semua gara-gara kau! Jika kau tidak menabrakku, mungkin jus itu sudah habis olehku! Bukan karena tumpah!"
"Apa?! Hei…chibi. Memang siapa yang menabrakku? Kalau ku tahu kau akan marah-marah seperti itu, pasti tidak akan ku tolong, sama sekali tidak tahu terima kasih!"
"Chibi? Siapa yang kau sebut Chibi?!"
"Tentu saja kau kalau bukan siapa lagi. Saat ini hanya ada aku dan kau, dan yang bertubuh pendek adalah kau, Chibi!"
"Ahh! Dasar kepala orange!"
Twitch! Empat tanda siku berhasil hinggap di dahi laki-laki itu. "Apa kau bilang? Memang kau siapa? Seenaknya saja memanggilku seperti itu. Dasar O-chibi!"
"Berhenti memanggilku chibi, sekarang lihat ulahmu! Aku minta sekarang juga kau ganti rugi untuk jus watermelonku!"
"Hah?! Kenapa aku harus ganti rugi segala? Bukankah kau yang salah karena tidak melihat saat jalan."
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus ganti rugi!"
"Enak saja! Hanya jus watermelon saja aku harus menggantinya. Menyebalkan sekali! Kau pasti menginginkan uang karena miskin! Dasar miskin!"
Jackpot! Hitsugaya benar-benar dibuat mati kutu oleh laki-laki itu. Tapi, yang benar saja! Seenaknya saja laki-laki itu menyebut dirinya miskin!
"Apa kau maksudmu dengan miskin?!"
"Ya…ya..ya, terserah kau saja. Aku harus pergi sekarang," selesai berkata seperti itu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, laki-laki berambut yang membuat darah Hitsugaya naik langsung pergi dan berlari. Tidak dipedulikannya teriakan Hitsugaya di sepanjang tangga.
"Kembalikan jus watermelonku! Kepala Orange!"
.
.
.
"Shiro-kun, jika kau tidak melayani tamu dengan senyuman, aku akan menurunkan gajimu."
Mendengar suara atasannya berbicara seperti membuat Hitsugaya sweetdrop. Maka dengan cepat dan terpaksa ia memaksakan seulas senyum. Bukannya memuji, sang atasan seorang wanita yang memiliki rambut orange bergelombang dan berdada *waw* malah tertawa ketika melihat reaksi Hitsugaya. Lebih tepatnya wanita itu mengakak.
"Aduuh…Shiro-kun, senyummu itu akan menakuti pelangganku tahu! Lihat, aku saja yang melihatnya langsung sakit perut," ujar wanita itu di sela-sela tertawanya,
Hitsugaya mengembungkan pipinya, "Tidak lucu. Matsumoto-san,"
"Hahaha…baiklah, baiklah." Wanita yang dipanggil Masumoto itu menghentikan tawanya, "Bisa kutebak hari ini kau sedang bad mood,"
Memang benar. Gara-gara kejadian di tangga itu, mood Hitsugaya langsung berubah 180 derajat. Jus watermelon-nya yang jatuh dan seorang laki-laki bermabut orange yang memanggilnya pendek. Sungguh penghinaan yang besar.
"Hei, Shiro-kun, Neechan-mu itu tidak tahu kalau kau sedang bekerja?"
Hitsugaya terpaku mendengar pertanyaan Matsumoto. Memang benar Hinamori melarangnya untuk bekerja. Sangat dilarang malah. Tapi melihat Hinamori begitu lelah karena pekerjaannya, membuat Hitsugaya tidak bisa tinggal diam. Setidaknya ia bisa meringankan beban sang kakak untuk membayar sewa apartemen. Soal tahu atau tidak tahu dipikirkan nanti, yang penting saat ini Hinamori tidak tahu dirinya kerja sambilan. Dan Matsumoto yang tahu alasannya pun tidak melarang. Menjadi seorang pelayan café milik seorang Matsumoto Rangiku, sudah cukup membantu biaya hidupnya. Setidaknya untuk sekarang ini. sebelum Hinamori mengetahuinya.
"Kalau Neechan tahu aku bekerja, ia bisa memarahiku habis-habisan." Ujar Hitsugaya ketus, sambil merapihkan piring dan gelas yang sudah dicuci bersih ke dalam rak-nya.
Matsumoto mengangguk mengerti tapi tidak berkomentar apa-apa. Untuk sesaat keheningan menyelimuti mereka. Hanya terdengar suara pelanggan dan pelayan lain yang mengantarkan ini dan itu dari luar dapur. Hingga akhirnya keheningan berakhir ketika Matsumoto menjentikan jarinya. Mendapatkan sebuah ide.
"Ne, Shiro-kun, kau mau makan gratis?"
Hitsugaya mengerutkan keningnya tidak mengerti, "Makan gratis?" bagi orang lain yang mendapatkan pertanyaan sepert itu mungkin akan langsung menjawab iya. Tapi begitu melihat raut wajah Matsumoto, Hitsugaya jadi maragukan keputusannya.
"Iya, kau mau kan? Sekalian membantuku. Kau akan mendapatkan makanan gratis dan aku akan menaikkan gajimu. Bagaimana?"
Hei itu terdengar sangat menyenangkan! Tapi Hitsugaya bisa mencium hal-hal yang membuat bulu kudunya merinding. "Aku ragu penawaranmu itu, Matsumoto-san."
"Tidak perlu ragu. Yayaya… aku mohon. Kau mau kan?"
Melihat tatapan memohon Matsumoto, atau lebih tepatnya tatapan memaksa, sambil menelan ludahnya dengan susah payah, Hitsugaya mengangguk yang langsung dihadiahi pelukan Matsumoto.
.
.
.
Hitsugaya mengembuskan napasnya dengan keras. Hari ini sungguh melelahkan, tanpa diduga pelanggan yang datang ke café Matsumoto begitu membudal. Hitsugaya dan pelayan yang lainnya begitu kalap mengahadapi para pelanggan.
"Hari ini sungguh melelahkan…." Sambil meregangkan otot-ototnya, Hitsugaya menghirup napas panjang-panjang. Merasakan angin malam menerpa wajahnya.
"Ck! Menyebalkan!"
Pandangan Hitsugaya teralihkan begitu mendengar umpatan seseorang. Dilihatnya sosok laki-laki bertubuh jangkung, rambut berantakan yang berwarna biru, dan kedua lengan kekar terbalut dengan kameja putih yang digulung sampai siku-siku. Sebelah kakinya menendang kaleng kosong yang berada di dekatnya. Ada apa dengan orang itu? Terlihat sangat kesal.
Biasanya Hitsugaya tidak akan mempedulikan hal-hal semacam itu. Toh itu memang tidak perlu mencampuri urusan orang lain. Namun kali ini berbeda. Hitsugaya menarik pemikirannya begitu kedua matanya melihat orang itu menjatuhkan sesuatu ke tanah. Setelah itu ia pergi dengan santainya. Hitsugaya cepat-cepat mendekat ke tempat benda itu, betapa kagetnya begitu yang dilihat adalah sebuah dompet. Laki-laki berambut biru itu menjatuhkan dompetnya! Tidak, tapi membuangnya!
Ya Tuhan….sebenarnya ada apa dengan pikiran orang itu? Seenaknya saja membuang dompetnya sembarangan? Dompet tebal pula!
"Hei, Tuan!" Hitsugaya berlari mengejar laki-laki tadi, merasa dipanggil, laki-laki berambut biru itu pun menoleh. Dan Hitsugaya bisa melihat sepasang ocean blue di kedua iris matanya. Sungguh indah.
"Kau menjatuhkan dompet milikmu, Tuan." Ujar Hitugaya begitu sampai di depan laki-laki itu, sebelah tangannya yang memegang dompet terulur. Bukannya diambil, laki-laki berambut biru itu hanya mendecak dan mendengus.
"Kenapa kau tidak langsung ambil saja?" Tanya nya sarkasme, Hitsugaya mengerutkan keningnya, laki-laki di depannya ini benar-benar sudah gila.
"Tapi ini milik orang lain. Bukan milikku,"
"Ambil saja! Aku tidak membutuhkannya," Oh! Mana ada orang yang menyuruh mangambil dompetnya sendiri. Dengan tampang menyebalkan pula.
"Maaf Tuan," terpaksa Hitsugaya menarik sebelah tangan laki-laki di depannya, sedikit membuatnya terkejut. Tanpa penjelasan apa-apa lagi, Hitsugaya menaruh dompetnya di tangan orang itu. "Karena dompet ini bukan milikku, jadi aku tidak bisa mengambilnya begitu saja. Kalau Tuan tidak menginginkannya lebih baik Tuan berikan saja kepada orang yang lebih membutuhkan."
Di dalam lubuk hati Hitsugaya, sebenarnya ia juga ingin memilikinya. Namun, karena hati nurani yang dimilikinya, Hitsugaya masih memiliki otak untuk tidak menjadi seorang pencuri. Sedikit terkejut, laki-laki bermata ocean blue itu menatap Hitsugaya dengan penuh selidik. Tanpa ucapan terima kasih atau apa pun. Berkali-kali tatapannya berpindah dari Hitsugaya lalu beralih ke dompet yang berada di tangannya.
"Kau tidak ingin melepaskan tanganmu?"
Sadar dengan kebodohannya, Hitasugaya langsung melepaskan tangannya yang menggenggam tangan orang itu. Membuatnya menjadi salah tingkah.
"Kalau begitu, jaga dompet anda baik-baik." Selesai berkata seperti itu, Hitsugaya melenggang pergi. Bertepatan dengan kepergiannya, sebuah sedan putih menghampiri laki-laki berambut biru tadi. Lalu sayup-sayup terdengar,
"Maafkan atas keterlambatan kami, Jaegerjaques-sama."
Hitsugaya melongo. Jaegerjaques? Mengapa nama itu terdengar tidak asing di telinganya? Iseng, Hitsugaya menolehkan kepalanya, kedua matanya membelalak ketika melihat seringai laki-laki berambut biru itu. Tepat ke arahnya sebelum akhirnya melnghilang karena masuk ke dalam mobil, dan mobil pun melaju cepat.
Jaegerjaques? Bukankah…itu nama marga pemilik sekolah Karakura High School?
.
.
.
"Ichigo, akhirnya kau datang juga." Suara nyaring milik Rukia membuyarkan lamunan Ichigo yang tengah asik memandang langit bertaburan bintang. Saat ini ia berada di taman sebuah gedung mewah tempat diadakannya pesta datangnya kembali anak dari seorang pengusaha kaya Jaegerjaques. Termasuk Karakura High School. Karena sang ayah dan kakeknya adalah teman baiknya Jaegerjaques, maka Ichigo pun jadi ikut ke acara pestanya. Begitu pula dengan Rukia, perusahaan Kuchiki yang bekerja sama dengan Jaegerjaques. Tapi, dibandingkan dengan datang ke acara pesta yang menurutnya membosankan, Ichigo lebih baik mengahabiskan waktunya dengan bermain game.
"Hai, Rukia. Malam ini kau terlihat cantik," ujar Ichigo sambil memandang Rukia dengan balutan dress simple berwarna violet-nya.
"Benarkah?"
"Yup. Kau terlihat indah malam ini,"
"Kau tahu? Aku sengaja memakai gaun ini karena akan bertemu dengan Grimmjow. Aku ingin ia memujiku."
Ah, lagi-lagi Grimmjow. Sebenarnya kapan Rukia bisa mengerti perasaannya?
"Kau…ada apa dengan Grimmjow?"
Rukia membulatkan kedua matanya, lalu tersenyum malu-malu. Senyum yang Ichigo tahu tidak bisa didapatkan olehnya. Senyum yang membuat hatinya sakit mengingat kalau gadis yang disukainya manyukai orang lain.
"Aku….akan menyatakan perasaanku pada Grimmjow malam ini."
Terkutuklah kau Grimmjow Jaegerjaques! Apa yang dilihat gadis ini darimu? Mengapa dia bisa begitu menyukaimu?
"Benarkah?" Ichio memaksakan seulas senyum, "Aku harap kau berhasil."
"Terima kasih Ichigo. Kalau begitu aku pergi dulu menemui Grimmjow."
Kedua iris cinnamon Ichigo tidak lepas dari punggung Ruki yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Ia menutup kedua matanya, mengambil napas pelan berusaha menghilangkan beban yang menghimpit dadanya. Sebelah tangannya terangkat dan menyentuh bagian dimana rasa sakitnya terasa. Tempat hatinya dulu berada.
Sakit.
.
.
.
"Bersikaplah tenang, Shiro-kun. Kau terlihat tampan malam ini dengan tuksedo yang kupilihkan,"
Hitsugaya memberenggut sebal habis-habisan. Seharusnya ia sudah menyadarinya sejak awal. Permintaan Matsumoto memang aneh-aneh. Ternyata yang dimaksud makan gratis adalah datang ke sebuah acara pesta. Ia bahkan harus menemukan alasan yang tepat pada Hinamori.
"Kalau ku tahu datang ke acara pesta seperti ini, pasti akan langsung ku tolak." Ujar Hitsugaya ketus, terlebih saat melihat Matsumoto yang terkikik geli.
"Maaf, maaf. Aku harus menggantikan Ayahku untuk mengahadiri pesta ini. karena bosa sendiri, jadi aku minta ditemani olehmu saja yang menyamar sebagai otoutouku." Matsumoto mencubit pelan pipi kanan Hitsugaya. Yang langsung diprotes oleh si empunya.
"Menyebalkan!"
"Sudah," Matsumoto memandang keadaan sekeliling nya, berusaha mencari hal yang menarik. "Sekarang kau cari makanan gratis-mu. Aku ingin cuci mata dulu,"
"Ah…Matsumo—" belum selesai Hitsugaya memanggil, Matsumoto sudah menghilang entah kemana. Seperti vampire yang mencari mangsanya. Hitsugaya menghentak-hentakan kakinya dengan kesal. Karena bingung harus bagaimana, akhirnya Hitsugaya memilih untuk mengisi perutnya yang kosong.
Begitu melihat hidangan makanan yang tersedia, mulut Hitsugaya benar-benar menganga. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Meja panjang dengan taplak berwarna putih susu itu dipenuhi dengan banyak makanan. Termasuk buah yang disukainya. Kerena bingung harus dimulai darimana, akhirnya ia memilih dari yang paling disukainya, jus watermelon.
Dan ia mendapatkannya secara gratis.
"Hei, Chibi, kau benar-benar menyukai jus watermelon ya?"
Hampir saja minuman yang baru memasuki tenggorokannya dikeluarkan kembali dan membasahi wajah orang di depannya. Karena tidak dikeluarkan, akibatnya air yang seharusnya memasuki jalur pencernaannya malah masuk ke dalam jalur pernapasan. Membuat Hitsugaya terbatuk-batuk.
"Astaga, pelan-pelan saja. Chibi,"
"Kau!" begitu sadar dari batuknya, Hitsugaya menunjuk orang di depannya dengan kasar, "Kau yang membuat jus watermelonku habis!"
"Ssstt! Tidak perlu keras-keras seperti itu! Kau tahu para tamu melihat kita," ujar orang itu sambil meletakan jari telunjuknya di depan bibir. Dan memang benar, beberapa pasang mata sedang memerhatikan mereka berdua.
"Aku tidak peduli! Aku tetap ingin ganti rugi," tetap dengan penderiannya, Hitsugaya mengulurkan telapak tangannya, "Kau harus bertanggu jawab."
"Hei, Chibi, jangan di sini. Memalukan, orang-orang mentertwakan kita…"
"Aku tidak peduli dan namaku bukan Chibi. Kepala orange!"
"Ck! Benar-benar denganmu ini!" tanpa penjelasan apa pun lagi, dan tanpa meminta persetujuan Hitsugaya, laki-laki berambut orange itu langsung menarik pergelangan tangan Hitsugaya dan menyeretnya keluar. Tidak dipedulikannya protes yang dikeluarkan Hitsugaya.
"Kau…kau mau membawaku kemana?"
"Ikut saja aku,"
.
.
.
"Grimmjow!"
Mengenali suara yang memanggil namanya, laki-laki berambut biru yang disebut Grimmjow itu menoleh dan langsung tersenyum begitu melihat seorang gadis cnatik yang berlari ke arahnya.
"Rukia! Lama tidak berjumpa," merentangkan kedua tangannya, ia memeluk Rukia yang langsung dibalas dengan pelukan lebih erat. Melepaskan rindu satu sama lain.
"Ya Tuhan, aku sangat merindukanmu, Grimmjow." Suara Rukia terdengar lirih saking senangnya, "Aku tidak menyangka bisa melihatmu lagi."
"Hei…hei…jangan mengatakan hal yang ambigu seperti itu. Orang akan mengira aku sudah mati," canda Grimmjow sambil melepaskan pelukannya lalu mengacak-acak rambut Rukia.
"Aku hanya senang begitu melihatmu."
"Aku juga senang melihatmu, Rukia."
Mendengar Grimmjow berkata seperti itu, membuat rona merah di wajah Rukia. Untung saat itu malam hari, jadi Grimmjow tidak akan melihatnya dengan jelas.
"Jadi, ada apa memanggilku kemari? Kau bilang ada yang ingin kau bicarakan?"
Deg! Saat itu debaran jantung Rukia dua kali lebih cepat. Hal yang selalu dirasakannya ketika Grimmjow menatapnya seperti itu. Berbicara seperti itu. Dan tersenyum seperti itu. Hal yang ingin dimiliki Rukia seorang.
"Aku…." Rukia menggingit bibir bagian bawahnya, bersaha menenangakan hatinya yang mulai berdetak tak karuan. "Aku…."
"Hm?"
Ayolah Rukia, katakan! Kau pasti bisa!
"Aku…menyukaimu, Grimmjow."
Hening.
Satu detik….dua detik….tiga…empat….hingga lima bergulir.
Grimmjow tersenyum lembut, lalu mengelus puncak kepala Rukia. Membuat kedua bola mata Rukia membulat, kami-sama….aku mohon….
"Aku juga menyukaimu, Rukia."
Oohhh…rasanya seperti kupu-kupu bertebrangan dalam perut Rukia. Ia seperti terbang dan melayang tinggi. Seperti dunia hanya milik mereka berdua. Seperti waktu berhenti berdetik.
"Kau memang adik kesayanganku…."
Eh? Kebahagiaan Rukia surut seketika, apa katanya tadi, adik? Hanya adik? Jadi selama ini…
"Adik?"
Grimmjow mengangguk, "Kau adalah adikku yang kusayangi."
"Hanya adik?" tanpa sadar bulir-bulir air turun membasahi kedua pipi Rukia, "Kau hanya menganggapku sebagai adik?"
Grimmjow mengerutkan keningnya, "Kenapa kau menangis Rukia?"
"Apa kau tidak tahu Grimmjow, aku menyukaimu. Aku menyukaimu bukan sebagai kakak, sahabat atau pun semacamnya. Tapi aku menyukaimu sebagai pria. Sebagai Grimmjow Jaegerjaques. Aku mencintaimu, kau tahu itu?"
Grimmjow membelalakan matanya. Rukia menangis, apakah karena dia?
"Rukia….maaf, tapi aku tidak mencintaimu sebagaimana yang kau katakan. Aku menyukaimu karena kau adalah adikku. Hanya sebatas itu," Grimmjow berusaha mengusap air mata Rukia, tapi segera ditepisnya kasar.
"Kenapa kau tidak mencintaiku, Grimmjow?"
Grimmjow terdiam, lalu mengembil napas pelan, "Kau harus lihat orang yang berada di dekatmu. Ia adalah orang yang tulus mencintaimu,"
"Bohong! Kau pembohong Grimmjow," teriak Rukia, tangisnya pecah karena rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Tanpa mempedulikan panggilan Grimmjow, Rukia langsung berlari tak tentu arah. Namun pikirannya saat ini hanya satu,
Ichigo.
.
.
.
"Hei, kepala orange! Kemana kau akan membawaku pergi?"
"Berisik Chibi! Jangan panggil aku kepala orange!"
"Kalau begitu berhenti memanggilku chibi dan lepaskan tanganmu," Hitsugaya menepis tangan laki-laki yang menariknya dengan kasar. Ia mengusap-usap pergelangannya yang terasa perih.
"Tega sekali kau!" sahut Hitsugaya sebal, ia menatap laki-laki di depannya dengan tajam
"Salah sendiri membuat keributan di tengah-tengah tamu pesta. Dasar tidak tahu malu!"
"Oh ya? Lalu siapa yang seenaknya menumpahkan jus watermelonku?"
Laki-laki itu melotot ke arah Hitsugaya, "Sekali lagi kau bilang jus watermelon, aku benar-benar akan mencincangmu menjadi potongan kecil-kecil, chibi."
Hitsugaya memicingkan matanya, masih tetap menatap orang di depannya. "Sekali lagi kau sebut aku chibi, aku benar-benar akan mencekik mu kepala orange. Namaku bukan chibi, tapi—"
"Rukia!"
Kedua orang itu serentak menoleh.
Mendapati seorang laki-laki yang mengejar seorang gadis yang sedang menangis.
Hitsugaya mengerutkan keningnya tidak mengerti. Apa ini? Sedang diadakan syuting film? Hitsugaya celingukan, mencari-cari kamera, kru, atau pun layar. Tapi tidak ada sama sekali. Lalu kedua orang itu sedang apa?
"Rukia…."
Hitsugaya tertegun. Sekilas ia melirik laki-laki berambut orange di depannya. Ia heran, kedua mata laki-laki itu memancarkan binar kesedihan serta harapan di dalamnya. Dan yang membuat Hitsugaya terpana adalah cara laki-laki itu memanggil nama yang disebutnya. Rukia.
Penasaran, Hitsugaya mengikuti arah pandangan laki-laki di sampingnya. Dan saat itu pula kedua matanya membelalak, bukan karena si gadis, tapi karena laki-laki bertubuh jangkung bersama si gadis. Laki-laki itu…?! Laki-laki berambut biru yang menjatuhkan dompetnya secara sengaja! Yang bernama Jaegerjaques. Ya ampun! Kebetulan macam apa ini?!
"Ichigo…"
Kali ini tatapan Hitsugaya beralih ke si gadis. Rambut hitam pendeknya sangat pas sekali dengan gaun violetnya. Tapi bukan hal itu yang saharusnya dipikirkan saat ini. Dan menurut pendengarannya, gadis itu memanggil laki-laki di sebelahnya dengan nama Ichigo? Ohh…jadi si kepala Orange ini namanya Ichigo. Akan Hitsugaya ingat itu.
"Apakah kau menyukaiku?"
Glek! Kedua bola mata Hitsugaya membeliak kaget. Bagaimana tidak terejut, ia mendengar pernyataan cinta seseorang secara langsung. Tepat di depan matanya! Mimpi apa ia semalam?
Yang Hitsugaya ingin lakukan saat ini adalah pergi dari tempatnya sekarang juga.
"Cepat jawab aku Kurosaki Ichigo! Apakah kau menyukaiku?"
Tapi mengapa rasa penasaran akan jawaban oleh orang yang bernama Ichigo itu membuat kakinya tidak bisa bergerak. Bahkan dua orang itu tidak mempedulikan kehadirannya dan laki-laki berambut biru yang menatap setiap adegan yang mereka lakukan. Kaki…cepatlah bergerak….
"Ya….."
Lagi! Hitsugaya benar-benar terkejut kali ini. Bukan terkejut karena jawaban Ichigo, bukan terkejut karena gadis yang bernama Ruki itu membelalakan matanya termasuk laki-laki berambut biru di belakangnya, bukan juga terkejut karena adegan pernyataan cinta tepat di depan matanya.
Tapi terkejut….
"Aku menyukaimu,"
Begitu dirasakannya seseorang menarik pergelangan tangannya dan merasakan bibirnya disentuh oleh orang lain. Termasuk sepasang cinnamon yang beradu begitu dekat iris emeraldnya.
.
.
.
Hueeee...Ini sebenarnya fic apaaan. Minna pasti tahu cerita ini terinspirasi darimana coba? hehehe... tebak aja.
Oke minna sampai sini dulu Chap 1, apakah pantas TBC atau stop di sini? *smirk*
Okey, Review Please! ^_^
