Disclaimer : Masashi Kishimoto
Tittle : Love Affair
Pairing : ItaHinaKaka
Genre: Hurtcomfort/Romance
Rated: T chap 1
Warning : OOC (demi kelancaran cerita), amatir, Typos, SECOND POV.
Saya mencoba menulis dengan gaya berbeda.
.
.
.
.
Putri pertama Hyuuga itu menangis, sebabnya?
kemarin siang gadis itu mendadak bagai terkena sambaran petir di siang yang cetar, ayahnya, Hiashi Hyuuga telah memutuskan secara sepihak tanpa persetujuan gadis yang tengah menangis ini, apalagi jika bukan pernikahan dengan orang asing yang tak dikehendakinya. Hinata memang putri yang sangat penurut, namun tak menyangka karakternya yang begitu; bisa disalah arti oleh ayahnya, yang mengira dia oke-oke saja dijodohkan.
Hinata baru Sembilan belas, baru mulai meraba hidup selepas masa sekolah. Wajar jika begitu banyak hal yang ingin dia kecap, baru setahun lulus sudah dijodohkan, yang benar saja! Jika aku jadi kau Hinata maka aku akan melawan Hiashi, tapi bagaimanapun, aku adalah aku, dan dirimu? Tentu Hinata si penurut.
Kau bukannya manekin yang hanya diam tak berperasaan, namun terlalu halus budi untuk menolak kehendak raja, baginya, kau hanya bidak yang bisa dia korbankan, tentu saja menjadi produk gagal bukan maumu, produk gagal menurut ayahmu tentu saja, karena bagiku, kau adalah aktris sempurna, makanya kupilih menceritakan dirimu.
Dia meredam dalam-dalam tangisnya ke bantal bulu angsa, hidupnya terlihat sempurna dari luar, kemewahan, kecukupan, derajat, perlindungan, hanya satu yang dia tidak punya, kekuasaan menentukan hidup. Terbayang ingatan tentang pagi ini.
"Apa?! Kenapa harus putus Hinata-chan?" raut gusar pemuda blonde jabrik terpampang jelas mendengar gadis yang sudah menjadi kekasihnya selama enam bulan. Ditarik dari tempat kerja saat istirahat untuk mendengar kabar buruk bukanlah hal favoritnya.
"A-Aku, aku akan dijodohkan.." Naruto, pemuda yang mencintai gadis ini kesal bukan main,
"Apa kau tidak bisa menentukan hidupmu sendiri?!" isak tangis mewarnai ucapan Hinata yang tersendat tidak jelas, membuat tangan pemuda itu terkepal menahan getaran tubuhnya.
"Gomen, Naruto-Kun.." dia meninggalkanmu sendiri, di taman, dikelilingi banyak orang yang menatap heran.
Kurasa ingatan itu membebani pikiranmu, apalagi tentang kata tak bisa menentukan hidup sendiri, betapa dalam kata itu untukmu, berulang kali kau mengatakan pada dirimu bahwa kau memang bodoh dan pengecut yang tidak bisa menentukan hidup, bahkan adikmu, Hanabi telah jauh melampauimu dalam mendekati Hiashi.
Tangisan malammu tak mungkin didengarnya Hinata, kamarmu terlalu rapat untuk dikuntit, tentu saja hal itu mustahil dilakukan oleh seorang dengan harga diri tinggi; atau bisa disebut keangkuhan sebesar Hiashi.
Pernikahan terjadi, hanya pernikahan tertutup dengan orang-orang yang tak begitu kau kenal, oh! Tidak kau kenal sama sekali, bahkan tak ada teman yang datang ke pestamu, tentu saja karena ayahmu tak mengizinkan orang yang tidak penting menghadiri acaranya. Hanya ada tangisan, untungnya penata riasmu sepertinya tahu bahwa ini hari yang akan menjadi hari paling menyedihkan untukmu, dia memoles wajah putih porselenmu dengan make up waterproof, yang artinya kau bebas menangis sepuasmu. Jika bukan karena tatapan tajam Hiashi membungkam bibir mungilmu, matamu mungkin masih menganak sungai.
Matamu terlalu penuh air mata sampai kau tak menyadari suamimu bertampang seperti apa. Saat sadar, dia tengah menciummu di depan altar. Suaramu bergetar merapal janji secara teaterikal, Hinata, panggung teater telah kehilangan pemain terbaiknya, kau sangat pintar memainkan peran.
Doa masa kecilmu adalah punya suami yang menyayangimu, tak peduli dengan cara apa kau dipertemukan. Hadapilah Hinata, bukankah tuhan selalu mengabulkan apa yang ada dalam hati? Ini permintaanmu, seharusnya kau bersuka cita.
Semua undangan yang berjumlah sedikit pergi memuji mempelai wanita yang anggun menandingi kecantikan calon ratu britania raya. Pucat seperti porselen dengan surai biru indigo gelap keunguan tergerai sempurna. Balutan gaun sutra dengan renda berekor, simple namun memancarkan aura putri-mu. Sampai saat ini kau belum memandang suamimu. Dia yang tersenyum simpul, berulang kali memujimu, namun ucapannya bagai angin lalu.
Perlukah kuceritakan malam pertamamu Hinata? Untuk yang ingin tahu seperti kalian, aku tanya, apa yang kalian harapkan? Kedua orang itu memadu kasih? Sayangnya tidak. Hinata; gugup bukan rekayasa. Dia sudah menyelesaikan mandinya, di kamar mandi rumah baru suaminya~atau bisa dikatakan rumahnya juga. Dia begitu gugup hingga bergetar. Tubuhnya telah berbalut gaun satin yang tak kalah indah dari gaun pengantin tadi, namun yang ini menunjukkan kesan menggoda karena gaun ini memeluk tubuh Hinata hingga tercetak jelas. Dia berjongkok di samping bathub, memeluk kaki-kaki jenjang miliknya~hanya miliknya.
Ketukan pelan dari sang pemilik rumah membawa pikirannya menuju hal-hal terburuk yang mungkin terjadi. Perut Hinata bergolak keras, ketakutan, mual dan pusing. Hinata, jika malam ini kau tidak siap mengapa kau pakai baju begitu menggoda?
Jawabannya karena, hanya baju itu yang tergeletak, atau bisa dikatakan digeletakkan dengan maksud tertentu oleh sang empunya kamar.
Ketukan itu makin keras, Hinata mengerut, dingin, tubuhnya menggigil berkat pendingin ruangan di kamar mandi, pintu berhasil didobrak paksa. Suamimu terperangah melihatmu, rambutmu basah, tubuhmu belum sepenuhnya kering, gaun itu menempel menyerap air sisa mandi, menonjolkan lekukan dahsyat yang mampu membuat lelaki normal manapun meneteskan liur untuk menjamah tubuh remajamu.
Dia menggendongmu paksa, tubuhmu sekaku papan, tak mampu menolak lebih keras. Hawa kamar mandi semakin dingin, kau sendiri khawatir dirimu pingsan disana. Penghangat ruangan telah dinyalakan di kamar kalian, dia hanya membaringkanmu di ranjang kalian yang lebih mewah dari ranjangmu yang memang sudah kelewat mewah daripada gadis lain seusiamu.
Lelaki yang kini menjadi suamimu, bisa kulihat dia menahan hasratnya begitu rupa melihatmu sengsara. Kau membalikkan tubuh, menghindari berhadapan dengannya, namun dia masih mampu memeluk pinggangmu dan mendekatkan hidungnya ke lehermu. Sentuhannya membuatmu geli, hembusan napasnya membuatmu tak bisa tidur semalaman, sedangkan ia terlelap pulas merangkulmu tanpa atasan apapun, ~membuat setruman antara kulitmu dan kulitnya yang terpapar udara hangat.
Malam tadi tidak terjadi apapun. Dia masih sama, tidak mengenakan atasan. Baru kau sadari dia berwajah rupawan, bersurai hitam panjang, kau sempat berpikir, suamimu mirip tokoh dengan komik favorite-mu, Demos; iblis, tentu tanpa guratan yang menandakan kelelahan di sekitar hidung.
Uchiha nama barumu; Hinata Uchiha.
Seperti permintaanmu pada tuhan; suami yang menyayangimu, maka kau memutuskan melupakan masa-masa bersama kekasihmu dulu, Naruto. Namun kau .tidak akan berusaha memaksa perasaanmu yang belum mencintainya, Tapi kau juga bukanlah perempuan yang mengabaikan kehendak ayahmu menikahkan dirimu pada Uchiha ini~penyelamat kalian dari kebangkrutan. Syarat yang mudah dengan membuang produk gagal. Betapa beruntungnya Hyuuga, Uchiha sulung mencintai Hinata! Entah dimana, karena apa, dan bagaimana.
Kau akan melakukan hal yang kau bisa. Kau menerimanya sebagai suamimu. Kau tidak terlalu larut dalam kesedihan. Kau bukanlah tipe wanita yang akan mengakhiri suatu hubungan hanya berdasar perasaan pribadi. Kau memilih berkorban, meski tak mungkin mendatangkan kebahagiaan. Kau tidak akan lari dari kenyataan, memegang janjimu pada tuhan. Itulah dirimu, aku selalu kagum padamu, Hinata Hyuuga ~maksudku, Hinata Uchiha.
Pagi ini, kau ingin menebus dosamu semalam, ~mengecewakan suamimu di malam pertama kalian. Seluruh ruangan kosong, hanya kalian berdua di rumah megah. Pembantu diungsikan, hanya datang saat dibutuhkan, begitulah Uchiha menginginkannya. Kau tidak tahu apa makanan kesukaan suamimu, bicara pun belum, ah … bahkan kau lupa namanya!
Dia terbangun mendengar bunyi peralatan masak yang sulit diredam bahkan oleh tangan terampil seperti dirimu, dia menuruni tangga bak malaikat, wajah tampannya tak mempengaruhi perasaanmu yang tidak mudah menyukai seseorang tanpa kualitas, namun taukah Hinata, kurasa suamimu punya kualitas yang mencengangkan bagi banyak orang, kuharap kau tidak mengecewakannya.
"Ohayo gozaimasu…" sapamu malu-malu. Dia duduk masih dengan topless, membuatmu memerah sendiri. Kau menyajikan shabuki di atas panci alumunium kecil dengan sumbu menyala di bawahnya. kau berharap masakanmu menghasilkan pujian, ~atau paling tidak bukan cercaan.
"Ohayo Gozaimasu, Hinata" Kau tak menatap matanya, takut, malu, sedih, kecewa pada dirimu. Jika saja kau melihatnya, suamimu sedang gusar, rikuh, penuh aura keruh, yang kita tahu penyebabnya.
"A-aku tidak tahu apa makanan kesukaan …" Rasa bersalahmu bertambah-tambah. Wanita macam apa yang bahkan tidak tahu menikah dengan siapa!
"Itachi, Itachi-kun, panggil begitu" pungkas suamimu.
"Y-ya, aku tak tahu makanan kesukaan Itachi-kun…" Dia mencicipi shabuki berisi ikan dan cumi, menyesap kuah makanan khas Thailand, Tom Yam. Sepertinya dia menyukai masakanmu, karena selanjutnya dia makan dalam diam. Tak ada pujian, namun kelegaan membanjirimu kala melihat supmu tandas.
Itachi tak mengambil libur seperti yang lainnya, dia tetap bekerja. Tahukah kau Hinata? Jika saja kau menghabiskan malam dengannya, mungkin dia akan bolos kerja seharian menemanimu.
Kau menyiapkan pakaian kerjanya kemeja; dasi, jas, celana, dan sabuk. Uap kamar mandi mengepul bersama keluarnya Itachi. Kau bingung harus melakukan apa, akhirnya nyonya Uchiha memalingkan pandangan ke arah lain saat suaminya berganti pakaian. Saat tiba memakai dasi, kau menawarkan diri membantu. Tentu saja suamimu senang tak terkira. Walaupun masih kecewa atas kejadian semalam, tak ada penolakan atas kebaikanmu pagi ini.
Itachi menghilang di pintu depan, mencium keningmu yang ditutupi poni bak gorden. Sebelum pergi dia berpesan akan pulang jam empat tepat. Kau harus ada saat dia pulang, yang bisa diartikan bahwa kebebasan milikmu selama Itachi belum pulang.
.
.
.
Tempat favoritmu sebelum jadi nyonya adalah taman, tak salah jika kau selalu mengajak Naruto ke taman yang jauh dari kata romantis karena terlalu ramai oleh riuh-rendah suara anak kecil bermain. Hari ini pun kau membawa peralatan menulis. Tanpa sadar tanganmu mulai menuangkan kegundahan hati ke kertas polos.
Hari kemarin terasa sangat berat, ayah begitu tidak pedulinya pada perasaanku, tanpa perlu bertanya, dia menikahkanku dengan seseorang yang bahkan tidak pernah kukenal. Aku takut, sehari setelahnya, aku dibawa menuju rumah lelaki itu, rumahku juga sekarang, semalam aku bertindak bodoh dengan meringkuk di kamar mandi, membuatnya kecewa padaku, namun tak mengatakan apapu. Dia orang baik, kuharap aku bisa mencintainya, kuharap hatiku tak cukup jahat untuk menyeretnya dalam kubangan derita yang sama denganku.
Kami-sama, semoga aku tidak melihat keburukannya melebihi kebaikannya padaku. Aku begitu takut tak dapat mencintai anakku kelak jika mereka lahir,aku tidak akan membiarkan mereka menderita tak dicintai seperti ibunya dulu... Kumohon, kumohon… berikan aku rasa cinta untuk membalas kebaikannya menyelamatkan keluargaku.
Aku juga bukan wanita yang akan mencampakkan dia demi perasaan bodohku. Aku akan melayaninya sepenuh hati, berusaha yang terbaik, aku akan membuatnya merasa bahagia denganku, aku tidak peduli pada rasa apapun yang masih tertinggal untuk buat aku lupa.
Esoknya, setelah Tuan Uchiha pergi, Kau mengunjungi tempat itu lagi. Dan lagi-lagi menuangkan cerita.
Dia sangat baik padaku, dia mungkin tahu aku belum sia. Dia membiarkanku tidur, tetapi dia memelukku, rasanya aneh. Dia bukan orang yang banyak bicara, aku merasa sedikit sepi di rumah baru ini. Terlalu besar, namun menyesakkan dadaku, tak ada yang mampu kulakukan untuk lebih membuatnya terasa hangat.
Dia tidak pernah mencibir masakanku, yang baru kukecap ternyata rasanya terlalu asin, tapi dia tak menghabiskannya.
Baru aku tahu dia benci makanan manis. Aku tak dapat menebak kepribadiannya, tak ada sapaan lembut, tak ada obrolan santai, kami berdua canggung. Tak ada yang lebih melegakan daripada dia selalu pulang cukup larut dan mendapatiku sudah tidur, apakah dia sengaja mengindariku?
Aku tidak kenal banyak keluarganya, kecuali dia punya adik seumuran denganku.
Lelah menulis, kau, Nyonya Uchiha, menekuri satu-persatu wajah anak-anak yang berlarian, manis sekali mereka. Bangku disampingmu terisi oleh sentakkan lelaki aneh berwajah tertutup masker, yang kita kenal sebagai Kakashi. Sebelah tangannya menggendong anak bersurai Pink, yang sibuk menjilat eskrim.
"Menemani anak Nyonya?" Kakashi sebenarnya hanya bergurau memanggil Hinata dengan sebutan Nyonya, berharap mendapat penolakkan namun sepertinya dia harus menelan kecewa.
"Sa-saya belum punya anak," ujar Nyonya Uchiha yang memerah.
"Berarti anda belum bersuami?" Kakashi masih mengusap pipi bocah tembam itu yang berlumur eskrim, namun tak peduli wajahnya sudah abstrak,
"Eh, saya tidak berkata begitu ..." Kakashi diam-diam mengharapkan jawaban belum, namun kecewa dua kali sepertinya harus membuatnya puas menahan diri menggoda istri orang. Jika saja Hinata tak cukup ceroboh karena tergopoh melihat jam sudah hampir menunjukan waktu kepulangan suaminya, dia tidak akan mungkin meninggalkan diarinya di bangku.
Ini adalah awal dari parade perasaan manusia, ini awal dari entah kebahagiaan satu atau dua orang dan kesedihan yang lain, ~selalu begitu.
Kakashi, tahu jelas buku kecil itu tertinggal, namun rasa penasaran menuntunnya membiarkan perempuan muda yang sudah menjadi nyonya itu pergi tanpa membawa hal yang berharga untuknya, ~catatan perasaan.
Kakashi terhenyak, sesuai dugaan, dia masih sangat muda. Usianya bagu 19, buku diari ini mengatakan biodata lengkapnya. Buku usang yang sedari SMA Hinata simpan dan telah menjadi bagian hidupnya. Buku yang mungkin sumber dari segala yang akan datang mendekatinya.
.
.
.
"Hari ini aku pulang larut, jangan menungguku." Itachi bicara pada satu-satunya orang di rumah itu yang sedang memakaikan dasi untuknya. Berikutnya, kau mencium pipi Itachi, berharap rasa cinta akan menyambangi. Taukah kau Hinata? Dia begitu terkejut. Jika kau tidak menunduk seperti itu, aku yakin kau akan mendapati keajaiban baru tepat di depan matamu; Uchiha merona. Hal yang mustahil jika dibandingkan dengan batu bertumpuk terbalik yang ada di Britania.
Seperti biasa, kau menyantroni taman untuk mencari buku diari yang ceroboh kau tinggal. Berulang kali melihat dari berbagai sudut, kau sadar, buku itu hilang. Selamanya, kau khawatir, buku itu memaparkan dengan jelas siapa dan apa dirimu. Betapa kau malu mengakui bahwa kau menyesal menuangkan catatan itu, atu lebih tepatnya menyesal meninggalkannya dengan ceroboh.
Kau menghempaskan dirimu ke bangku yang sama, berharap tidak ada orang yang membacanya. Matamu terpejam menyesapi segarnya udara di bawah pohon besar itu. Saat membuka mata, orang di depanmu menggoyang-goyang buku. Jika saja itu buku lain tentu kau tidak seterkejut ini hingga melonjak dari sandaranmu.
"Akhirnya…. " Kau merampas dari tangan orang itu, yang kemarin membawa anak pink. Wajahmu padam menyadari bahwa dia sudah membaca semua yang ada dalam buku itu. Mata malas pemuda awal tiga puluh itu segera menukas pikiran-pikiranmu yang dirudung awan gelap.
"Tenang saja, aku tidak membaca apapun." Bohong atau tidak Kau akan tetap mempercayai lelaki itu. Kau tidak peduli. Kau hanya ingin berpura-pura menganggap rahasia hati yang dicurahkan di buku tetap menjadi rahasiamu.
The secret makes woman, woman. (Vermouth)
Sebagai ganti atas kebaikan Kakashi, kau tidak menolak ajakan makan siang di restoran dekat taman. Memang itulah yang diiharapkan Kakashi. Kakashi … Kakashi … untuk kali ini, kuharap jangan mencampuri urusan Hinata. Namun sepertinya itu sukar diharapkan.
"Jadi Hinata, kau sedang sibuk apa?" Kakashi menyerang, memecah kebekuan es diantara mereka. Hinata terperangah, darimana dia tahu namanya? Itu berarti dia telah…
Kakashi menjelaskan, sebelum dapat berondongan tuduhan yang memang patut terbukti, walaupun bukan sekarang.
"Aku hanya melihat biodatamu, kau sangat manis dengan seragam." Matanya yang sayu, dan malas jika boleh kutambahkan, ~terlihat membesar penasaran. Hinata, kau boleh berlega hati sekarang, ya Hinata, jika kubilang sekarang, maka hanya sekarang.
"A-aku hanya istri seseorang…" dia menjawab malu-malu, tak ada kebohongan.
"Tak kusangka… kau sudah menjadi nyonya, betapa aku kecewa kita tak bisa bertemu lebih awal…" pernyataan itu membuat Hinata kaku, nalurinya merasakan hal buruk, namun Kakashi mengganti topik lain yang lebih melegakan, Hinata terhibur.
Rasa bersalah menjalari hatimu, haruskah kau bercerita pada Itachi tentang pertemuan itu? Akan bertambah buruk jika Itachi tahu buku diari bodohlah penyebabnya. Sungguh malang Hinata, kau seperti penjahat yang mengelabui Itachi. Dalam hati, Hinata terus meminta maaf pada Itachi. Siapa yang akan dengar Hinata? Andai saja Itachi punya kemampuan pembaca pikiran, maka kau akan mati saat ini menelan kekecewaan mengecewakan lelaki paling sempurna.
Keputusannya bulat, lebih bulat dari mata Rock lee kawan SMA-nya yang aneh. Kau melempar buku ke tungku perapian begitu Itachi pergi. Kau berjanji tak akan menyakiti Itachi dengan menulis hal buruk perasaannya pada Itachi mengingat resiko yang ditimbulkan cukup besar dan mengerikan. Kau juga menghindari taman. Kau takut bertemu Kakashi, lelaki yang terang-terangan mengatakan suka padamu. Ini harus dicegah! Pekikmu pada diri sendiri. Hinata puteri Hyuuga haruslah menjadi wanita terhormat, akan buruk jika berakhir dengan perasaan yang tak sewajarnya pada lelaki itu.
Kakashi, dia jenaka, penghibur dan pendengar yang baik. Sabar, namun kadang sarat ambisi. Tak perlu kuberitahu kan jika mereka bertemu lebih dari sekali setelah mengembalikan buku? Hinata jadi takut pada perasaannya sendiri, ~takut menghadapi hal yang tak seharusnya, beruntung dia tidak meninggalkan jejak apapun untuk lelaki jenius itu.
Kau tidak ingin terjebak lebih jauh dengannya. Kau berdoa supaya tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu, lelaki yang nyaris merebut separuh hatinya… kau bergidig mencerna naluri untuk mencintanya timbul.
Pikiranku terlalu jahat, menginginkan dia, sedangkan Itachi terlalu baik untuk dikhianati.
Hinata tidak pernah berharap menjadi pihak yang mencederai hubungan dengan orang sebaik Itachi.
Kakashi, sudah hampir merebut hati gadis itu, dia pembaca handal. Hinata sudah termakan perhatiannya, seandainya kontrol diri gadis itu sedikit kendur, Kakashi pasti mampu meyakinkannya untuk meninggalkan siapapun yang jadi suaminya. Namun pahit, Kakashi kehilangan jejak. Gadis itu, ~yang Kakashi yakin masih tetap gadis, tak pernah meninggalkan sidik jari dalam penelitian detektif yang dia buat. Tak ada nomor telepon, alamat atau e-mail. Hanya nama; Hyuuga Hinata.
.
.
.
TBC….
Trims sudah mampir… harap tinggalkan jejak. Arigato…
Seta^_^
