Judul : The Demon Girl
Disclaimers: One Piece is belongs to Oda-Sensei forever. Saya Cuma nyolong charanya aja *digeplak Oda-Sensei pake bakiak*
Genre: Crime/ Suspense/ and Romance(soon)
Warning: Gaje, OOC, abal, typo, dan segala macam kenistaan ada di fic perdana saya yang juga nista ini. Harap maklum ya?
DON'T LIKE DON'T READ!
Kalau nggak suka, lempar aja laptop, komputer, ato hp kamu ke tong sampah terdekat
Summary: Aku kehilangan semuanya pada saat itu. Yang tersisa hanyalah perasaan dendam yang ingin kubalaskan. Aku akan membalasnya walau aku harus mati...
V
V
V
Chapter 1: Robin and Nami
Los Angeles, USA
Seorang gadis dengan rambut panjang tergerai dan mengenakan mantel hitam sedang terlihat di depan sebuah pintu yang besar. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Aman. Tidak ada siapa pun. Ia kemudian membuka pintu itu perlahan. Di dalam ruangan, seorang pria sedang berdiri membelakanginya sambil memandang keluar jendela.
"Kau benar-benar datang, Gadis Iblis," katanya dengan nada suara sinis.
"Ya," jawab gadis itu singkat.
Pria itu membalikkan badannya dan mendekati sang gadis. Gadis itu hanya diam saja. Sekarang lelaki yang sedang menghisap cerutunya itu hanya berdiri kurang dari satu meter dengannya. Pria itu menyeringai lebar, "Kau adalah pembunuh bayaran paling hebat saat ini. Bekerjalah untukku. Berapa pun yang kau inginkan akan kubayar. Kau harus membantuku melenyapkan semua saingan bisnisku."
Gadis itu tersenyum kecil, "Tawaran yang sangat menarik," ia diam sejenak lalu kembali melanjutkan, "Aku ingin bayaran awal dulu. Setelah itu, aku akan langsung bekerja untukmu, Crocodile."
"Heh, begitu rupanya. Baiklah. Tak kusangka kau mau menerima tawaranku."
Pria bernama Crocodile itu berjalan menuju brankas yang tersimpan di balik lukisan yang tergantung di sebelah meja kerjanya. Ia lalu memasukkan kode brankasnya. Brankas itu terbuka, lalu ia hendak mengambil sejumlah uang yang ada di brankas itu.
DOR!
Crocodile terkejut dengan suara tembakan yang berasal dari belakangnya.. Tapi, yang membuatnya lebih terkejut adalah bahwa dada kirinya terasa panas, pandangannya mengabur, dan mulutnya mengeluarkan darah. Ia berusaha membalikkan badannya. Tampak olehnya, gadis itu masih mengacungkan mulut pistolnya ke arahnya.
"Kau..."
"Maaf, Crocodile. Aku tak sudi bekerja sama denganmu. Kau hanyalah mafia yang selalu memanfaatkan orang lain demi dirimu sendiri. Setelah kau selesai dengan mereka, kau membunuhnya. Dan kau pasti juga akan melakukan itu padaku. Jadi kurasa aku tak perlu bekerja sama dengan orang sepertimu."
"Jadi, kau membohongiku?" tanyanya geram.
"Ya, sebelum kau membohongiku," jawab si gadis, "lagipula, kau memang sudah masuk dalam daftar targetku."
"Wanita sialan!"
DOR!
Sekali lagi, gadis itu menembakkan pistolnya tepat ke dahi Crocodile. Pria itu langsung terjatuh dan tewas seketika. Cerutunya terlepas dari mulutnya. Gadis itu hanya memandanginya sejenak. Ia lalu mengambil ponsel yang disimpan di balik mantelnya, mengetik sebuah nomor lalu menempelkan ponselnya ke telinga kanannya.
"Bagaimana?" tanya suara seorang lelaki di seberang sana.
"Positif tewas," jawab gadis itu.
"Kerja yang bagus sekali," puji lelaki itu.
"Tidak. Membunuh lalat seperti dia terlalu gampang."
"Hmm.. memang terlalu mudah bagimu. Ya, sudahlah. Sebaiknya kau cepat pergi dari sana sebelum ketahuan."
"Baik."
Setelah memutuskan sambungan telepon, gadis itu lalu berjalan ke arah jedela. Ia membuka jendela itu. Ruangan tempat ia berada sekarang ada di lantai tiga. Ia menjulurkan kepalanya untuk melihat keadaan di bawah. Tidak ada siapa pun. Karena di bawah adalah gang kecil yang jarang dilalui orang, maka sangat mudah untuk melarikan diri. Gedung ini pun memang hanyalah markas kecil milik Crocodile tempat ia biasa melakukan transaksi narkoba dengan pembelinya. Gadis itu langsung melompat ke bawah tanpa ragu.
Setelah sampai di bawah, ia mendengar suara ribut dari lantai tiga tempat Crocodile terbunuh.
"Tuan!"
"Tuan Crocodile!"
"Apa yang terjadi? Cepat panggil ambulans!"
Para anak buah Crocodile langsung panik mengetahui bos mereka sudah mati di tangan sang Gadis Iblis. Sementara si pelaku sendiri mempercepat langkahnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
^v^v^v^v
Tokyo, Jepang
"Hah! Lelah sekali!"
Seorang gadis berambut ikal panjang berwarna oranye sedang berjalan di pinggiran jalan bersama dengan seniornya yang berambut raven panjang diikat ponytail dan mengenakan kacamata. Gadis itu adalah mahasiswa tingkat 3 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian di Universitas Ohara. Sementara yang berambut raven adalah mahasiswi Fakultas Sejarah tingkat 4. Mereka sedang berjalan menuju cafe tempat gadis berambut oranye itu kerja sambilan.
"Fufufu, kau terlihat menderita, Nami."
Gadis bernama Nami itu terlihat sebal dan menoleh kepada seniornya, "Robin-nee-chan, harusnya kau tahu, kan, aku terlalu lelah untuk kuliah gara-gara kerja sambilanku ini. Aku selalu pulang malam sampai tak sempat mengerjakan tugas-tugas dari dosen yang banyaknya minta ampun."
"Kenapa tidak berhenti kerja saja? Uang kiriman dari ayah angkatmu itu lumayan besar, kan?" tanya Robin lagi.
"Aku tahu. Tapi, aku ingin mandiri. Kalau hanya mengandalkan uang kiriman Genzo, kapan aku bisa mandiri. Toh, belum tentu saat aku lulus aku langsung dapat kerja, kan?"
"Fufufu, kau semakin dewasa, ya?" Robin tersenyum senang melihat perubahan Nami. Ia masih ingat saat pertama kali Nami ikut Ospek. Ia sangat galak bahkan pada seniornya. Robin tahu karena ia juga ikut meng-ospek Nami. Semua senior malah takut padanya kecuali Robin. Setelah masa Ospek, Robin mulai mendekati Nami dan mereka saling cocok satu sama lain hingga mereka sedekat sekarang.
"Sudah sampai," kata Nami pelan, membuyarkan lamunan Robin, "Aku ganti baju dulu, ya," kata Nami pada Robin. Ia berlari menuju pintu belakang cafe dan langsung menuju ruang ganti karyawan untuk mengganti bajunya dengan seragam cafe.
Sementara itu, Robin masuk dari pintu depan dan langsung duduk di dekat sebuah jendela besar yang menghadap ke arah jalan raya. Ia mengeluarkan buku sejarah dari tasnya dan mulai membaca. Sepuluh menit kemudian, Nami datang dengan membawa secangkir kopi hangat di atas nampan.
"Ini dia, kesukaanmu," kata Nami sambil menaruh cangkir kopi itu di meja Robin.
"Terima kasih, Nami," balas Robin tersenyum.
"Ngomong-ngomong, apa kau akan menungguku sampai aku selesai kerja?" tanya Nami ingin tahu.
"Maaf, ya. Hari ini aku ada urusan. Jadi kau pulang sendiri, ya. Tidak apa-apa, ya?" Robin tersenyum menyesal.
"Yah, tidak apa-apalah. Aku paham, kok. Lagipula, selama ini kau kan memang selalu menungguku sampai aku selesai kerja. Tapi, yah, kurasa sesekali pulang sendiri bukan masalah," Nami menghela napas pelan. Ini akan jadi yang pertama kalinya ia pulang tanpa Robin. Biasanya, ia selalu bersama Robin karena kebetulan mereka tinggal di satu flat.
"Terima kasih."
Saat pukul 7 malam, Robin terlihat memanggil seorang pelayan dan membayar kopinya setelah itu dia keluar dari cafe. Nami yang melihat Robin keluar hanya menghela napas lagi. Jam kerjanya baru selesai 2 jam lagi. Ia kembali bekerja sambil berpikir, urusan apa yang dimaksud Robin tadi? Kadang-kadang, Robin memang suka keluar malam tanpa memberitahu kemana dia mau pergi. Ia juga kadang-kadang bolos kuliah selama 2-3 hari, setelah itu kembali kuliah lagi. Tapi Nami tak pernah menanyakannya. Pernah sekali, sih, ia bertanya. Tapi Robin tak memberitahunya. Maklum saja, soalnya Robin kan pendiam.
Tanpa terasa sudah pukul 9. Nami pamit pada Caemi, pemilik cafe untuk pulang.
"Tidak apa-apa kau pulang sendiri, Nami?" Caemi terlihat khawatir.
"Ayolah, Caemi. Aku sudah 20 tahun. Bukan anak kecil lagi," keluh Nami.
Caemi terlihat berpikir sebentar lalu ia mengangguk, "Benar juga, sih. Tapi hati-hati, ya. Sangat rawan buat seorang gadis sendirian malam-malam begini."
"Tidak usah khawatir. Aku bisa jaga diriku,kok. Selamat malam, Caemi," pamit Nami sambil keluar dari pintu.
"Ya, hati-hati!"
Nami melangkah keluar. Udara dingin Tokyo membuatnya memasukkan tangannya ke saku jaket oranye miliknya. Mencari kehangatan. Ia melihat sekeliling. Suasana terlihat remang-remang. Dalam hati, ia jadi takut. Di saat seperti inilah yang sebenarnya sangat rawan terjadi kejahatan. Ia langsung meningkatkan kewaspadaannya.
Tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan. Satu? Bukan. Dua. Yang satu lagi sedang mengikutinya dari belakang. Nami menyadarinya sejak keluar cafe. Tapi, ia tidak peduli dan tetap berjalan ke depan.
DOR!
Nami limbung. Ia terduduk di tanah yang dingin. Ia memegang tangan kirinya yang terasa perih. Dilihatnya darah keluar dari lengannya. Kemudian, ia menyadari ada yang berlari ke arahnya. Ia menoleh ke belakang. Tampak bayangan seseorang yang akan menerjangnya. Nami melompat ke samping, berusaha berkelit. Ternyata orang itu membawa pisau yang lumayan besar dan Nami sadar kalau nyawanya benar-benar bahaya.
Tunggu! Mereka ada dua orang, kan? Kalau begitu dimana yang seorang lagi?
Belum sempat menemukan jawaban pertanyaannya, orang kedua yang menguntitnya tadi juga menerjang ke arahnya. Nami tak sempat bergerak lagi. Ia memejamkan mata, pasrah dengan apa yang terjadi.
Dua menit berlalu. Tidak ada yang terjadi. Kemudian, ia membuka kedua matanya. Dua orang itu terkapar di atas tanah. Di antara mereka dan dirinya berdiri seseorang. Nami menduga kalau orang inilah yang menyelamatkannya. Nami bisa melihat orang ini walaupun dalam keadaan samar karena kurangnya cahaya. Laki-laki dengan rambut blonde dan Nami tahu lelaki ini merokok. Ia bisa mencium bau rokoknya.
Lelaki itu membalikkan badannya dan jongkok dengan bertumpu pada lutut kanannya.
"Anda baik-baik saja, Nona?"
~~TBC~~
Waw, akhirnya fic pertama saya jadi juga. Awalnya saya pengen buat fic canon tentang Robin, tapi akhirnya malah jadi fic AU dengan genre Crime yang—menurut saya—lagi menjamur di FOPI.
Disini saya buat usia mereka sama seperti di canon yang setelah timeskip. Kecuali untuk Robin dan Hancock—yang bakal muncul di chap 2 atau 3—saya buat usia mereka 21 dan 22 tahun. Sisanya sama dengan yang di canon.
Mungkin para reader sekalian masih bingung dengan fic ini. Sebenarnya sih, fic ini tetap menggunakan agen rahasia dan semacamnya. Organisasi dan anggota-anggotanya baru saya jelaskan di chapter berikutnya.
Baiklah, karena saya masih noob dan karena fic ini menurut saya masih jelek jadi bersediakan Anda para author dan reader untu mereview fic jelek ini?
