Sosok cantik berbalut gaun pengantin putih berdiri menghadap cermin besar di salah satu sudut kamar. Pantulan dirinya menatap balik dirinya. Sosok sempurna dengan polesan make-up sederhana berupa bedak, shimmer, mascara, dan lipstick berwarna peach yang membuat dirinya terlihat anggun.
Namun polesan make-up sama sekali tidak bisa menutupi pancaran matanya. Begitu pula senyum yang berusaha ia sulingkan di bibirnya. Matanya kosong. Sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan sebagaimana yang tampak dalam lengkung bibirnya.
Ia merapikan poni coklat bergelombang yang sudah ditata rapi sejak pagi tadi. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Ia gugup. Tentu saja.
Dua jam ke depan, marganya bukan lagi Zhang, melainkan Wu dalam sebuah ikatan suci pernikahan yang suda dipersiapkan sejak berbulan-bulan lalu. Sebuah pesta kebun di belakang villa milik calon suaminya ini. Dari jendela besar di sampingnya, ia bisa melihat siluet orang-orang yang mulai berdatangan memenuhi lokasi pernikahannya pagi ini.
Ia kembali menatap cermin. Ia sama sekali tidak mengenal sosok yang terpantul di sana. Benarkah itu dia? Benarkah pernikahan ini yang ia inginkan? Benar, kah?
Ia memejamkan matanya. Membuka kilasan memori di benaknya. Berusaha menelisik lebih jauh hatinya. Mengambil langkah sebelum semuanya terlambat.
.
.
.
Kazuma House Production proudly
Present…
.
.
.
True Love
® 2013
.
.
.
Pagi itu ia sengaja datang pagi-pagi ke sekolah karena buku fisikanya tertinggal, padahal ia punya PR dari sana. Ia buru-buru berlari menuju kelasnya di koridor lantai empat. Memecah keheningan pagi.
Ia sudah berkeliling kelas, namun ia sama sekali tidak menemukan bukunya. Berkali-kali ia merutuki dirinya kenapa ia bisa lupa menaruh buku itu di mana. Kalau bukan karena guru fisikanya yang killer, ia tidak akan mau berepot-repot ria seperti ini. Ia hanya tidak mau mendapat detensi setelah semua tugas akhir yang merepotkan baru selesai ia kerjakan kemarin.
"Apa ada di ruang dance? Terakhir kan aku di sana," gumamnya pada diri sendiri.
Masih dengan ransel yang ia gendong di punggung, ia berjalan menuju lantai dua, tempat ruang dance berada. Ia tidak peduli dengan kakinya yang sudah terlanjur pegal karena tadi pagi ia pakai untuk mengayuh sepeda, ditambah lagi berlari menuju lantai empat, dan sekarang berlari lagi menuju lantai dua.
Ia membuka pintu ruang dance, mendapati sosok laki-laki berambut coklat kemerahan sedang berbaring di lantai dengan tangan yang menutupi sebagian wajahnya. Ia mengerjap matanya bingung. Baru pertama kali ia menemukan orang tertidur di ruang dance.
"Hei. Hei," katanya sambil menggoyangkan bahu orang itu.
Tak lama orang itu mulai mendengung, lalu membuka kedua kelopaknya, menampilkan mata berwarna gelap yang terlihat masih mengantuk. Orang itu tidak banyak bicara, langsung melihat jam tangannya. Kemudian dahinya berkerut.
"Sudah jam enam?" tanyanya entah pada siapa.
"Hei, kau siapa? Kenapa malah tidur di sini?" tanya Lay tanpa dapat menahan rasa penasarannya.
Akhirnya orang itu menyadari kehadiran Lay. "Ng? Kau tidak tahu aku?" Lay menjawab dalam gelengan. "Aku Kim Junmyeon, kau bisa panggil aku Suho kalau kau mau–teman-temanku biasa memanggilku begitu. Aku terkunci di sekolah dari semalam," jawab Suho. "Kau sendiri ngapain pagi-pagi sudah ke sekolah. Pelajaran baru dimulai satu jam lagi."
Lay teringat tujuan awalnya. "Aku mencari bukuku. Kau melihatnya? Warnanya merah," terang Lay.
"Buku ini maksudmu?" Suho menunjukkan sebuah buku bersampul merah di dekatnya.
Lagi-lagi Lay segera mengangguk. "Ya! Terima kasih!" ucap Lay sambil menerima buku itu dari tangan Suho. "Omong-omong, kenapa kau tidur di sini? Bukannya lebih enak tidur di ruang kesehatan. Kan ada kasur di sana."
"Kau tidak tahu ya? Katanya ruang kesehatan itu menyeramkan. Terutama kasur paling ujung," kata Suho.
"Ya! Kau jangan menakut-nakutiku!" kata Lay kesal. Masalahnya ia adalah salah satu anggota PMR, jadi dia sering mendapat tugas menjaga ruang kesehatan saat jam istirahat atau pulang sekolah sendirian.
Suho tertawa. "Aku hanya bercanda. Bisa-bisanya kau percaya dengan yang begituan. Kau kan sudah besar. Oh ya, aku belum kenal siapa kau."
"Aku Zhang YiXing. Panggil saja Lay."
.
.
.
.
.
Lay kembali membuka matanya. Bayangan lelaki bersenyum malaikat memenuhi pikirannya. Suho, cinta pertamanya. Malaikat pelindungnya, sesuai namanya. Lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat hanya dengan mendengar suaranya.
Harus Lay akui, ia tidak mencintai Kris, calon suaminya. Ia hanya menganggap Kris sebagai kakak. Begitu pula dengan Kris yang ia yakini hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak ada hubungan yang spesial di antara mereka, kecuali kenyataan mereka adalah tunangan.
Lay tahu, Kris memiliki hubungan lain di belakangnya. Kris memiliki kekasih. Dan kekasih Kris adalah adik sepupu Lay sendiri, Huang Zi Tao.
Masih kuat dalam ingatan Lay bagaimana wajah kecewa Tao ketika mendengar ia dan Kris akan menikah. Gadis manis berkantung mata itu memang tidak menunjukkan air matanya. Namun mata sembab dan suara bindeng sama sekali tidak bisa menutupi kenayataan bahwa ia menangis.
Bukan hanya Tao saja yang menangis, Lay juga menangis. Ia merutukki dirinya sendiri kenapa keluarganya harus memiliki perjanjian konyol dengan keluarga Wu. Kenapa pula harus dia yang dijodohkan dengan Kris. Kenapa bukan kakaknya, LiYin?
Bahkan ia tidak sampai hati mengatakan pada Suho bahwa ia akan segera menikah. Kalau saja Suho tidak menemukan salah satu undangan pernikahan itu di apartemennya, mungkin sampai hari ini lelaki itu tidak akan tahu.
.
.
.
.
.
"Sebentar! Kurasa aku kehilangan ponselku!" kata Lay ketika ia dan Suho akan pergi menghabiskan malam minggu.
Suho hanya memaklumi sikap ceroboh Lay yang sering melupakan barang-barangnya. Mengenal Lay selama delapan tahun sejak SMA membuatnya bisa memahami perempuan berdarah China itu. Suho hanya duduk di ruang tamu, menunggu Lay yang sibuk mencari ponselnya.
Matanya tak sengaja mendapati sebuah karton berwarna putih pucat dengan pita biru muda di tumpukan majalah lama. Suho yang penasaran mengambilnya, dan semakin ingin tahu ketika melihat namanya tercetak dengan jelas di bagian depan undangan tersebut.
Ia membaca dalam diam. Tidak perlu menjadi jenius untuk tahu undangan yang ada di tangannya adalah undangan pernikahan. Pernikahan Lay dengan Kris–laki-laki yang sama sekali tidak ia tahu siapa itu.
"Akhirnya ketemu," kata Lay setelah menemukan ponselnya di kursi meja makan. "Ayo berangkat."
"Kau akan segera menikah?" tanya Suho tiba-tiba.
Lay yang tidak mengerti keadaannya mengerutkan dahi. Ia baru sadar ketika melihat undangan yang seharunya sudah ia berikan pada Suho sejak seminggu lalu ada di tangan lelaki Korea itu. Bibir Lay terkatup rapat. Ia sama sekali tidak menjawab Suho.
"Lay?" tanya Suho. Lelaki itu bangkit berdiri, membuat dirinya berhadapan dengan Lay dalam jarak kurang dari setengah meter. "Chukhahaeyo."
Lay yang tadi menunduk, langsung mendongakkan kepalanya. Ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Melihat Suho yang kini tersenyum karena pernikahannya malah membuatnya merasa seperti ditusuk ribuan jarum kasat mata.
"Kau tidak menghentikanku?" tanya Lay dengan suara nyaris bergetar.
"Kenapa? Bukannya aku harus bahagia melihat temanku segera menikah?" tanya Suho.
Teman? Jadi mereka hanya teman, ya? pikir Lay sambil tersenyum pahit. Tanpa sadar ia mencengkeram ujung-ujung syal-nya. Syal yang sengaja ia rajut, dan dibikin dua yang sama untuknya dan Suho.
"Ayo pergi. Kita bisa kehabisan tiket," ajak Suho, "anggap saja ini acara melepas lajangmu sebelum akhirnya ganti marga." Suho tertawa. Dan Lay sama sekali tidak menemukan sesuatu yang lucu di sana. Memang tidak ada yang lucu dari kalimat Suho.
Sedikit banyak Lay merasa Suho mulai menjaga jarak dengannya malam ini. Lelaki itu sama sekali menggandeng dirinya seperti yang biasa mereka lakukan. Ataupun merangkul pundak Lay–meski Lay selalu merasa risih saat dirangkul Suho.
Ya. Mereka hanya teman. Tidak seharusnya Lay berharap banyak dari Suho. Mereka hanya sebatas teman.
.
.
.
.
.
Hanya dengan mendengar bunyi pintu, Lay bisa tahu ada seseorang yang masuk ke sana. Ia tahu bahwa Kris yang masuk setelah melihat pantulan diri lelaki jangkung berambut pirang dari cermin di depannya.
Kris tidak jauh berbeda dengannya. Terlihat sempurna dalam jas putih yang ia kenakan. Namun tidak dengan wajahnya yang tidak dihiasi senyum sama sekali. Lelaki itu bahkan tidak mau repot-repot berpura-pura bahagia di depan semua orang.
"Kau menerima pertunangan ini?" tanya Kris entah yang keberapa kalinya pada Lay. Bukan sekali atau dua kali Kris menanyakan hal ini. Sejak mereka mengetahui mereka dijodohkan, Kris selalu bertanya padanya dengan pertanyaan yang sama.
"Bisakah aku menolaknya?" tanya Lay balik. Baik Kris maupun Lay sama-sama tahu, mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan kedua orang tua mereka.
Pernah sekali Kris mencoba melawan, dan berakhir dengan wajah lebam di sana-sini. Orang tuanya sama sekali tidak menerima satu bentuk penolakan. Semua harus berjalan sesuai keinginan mereka. Lay juga tidak ingin melihat Kris sekarat seperti waktu itu.
Kris menarik pergelangan tangan Lay hingga gadis itu menatap Kris secara langsung. "Ayo pergi dari sini."
Lay membulatkan matanya. Jauh di lubuk hatinya ia ingin melakukan itu. Tapi dengan semua hal yang sudah terjadi hari ini? Undangan sudah disebar. Hadirin sudah datang. Persiapan sudah 98 persen. Hanya tinggal ia dan Kris saling mengikat janji setia di depan pendeta.
Nyatanya Lay sama sekali tidak melakukan apa yang ada dalam pikirannya. Ia membiarkan dirinya dituntun oleh hatinya. Untuk kali ini saja, biarkan ia mengikuti kata hatinya. Hatinya memilih Suho. Bukan Kris atau yang lain.
Melalui pintu belakang, mereka menuju Lamborghini milik Kris yang sudah menyala. Mereka langsung masuk. Dengan jalan yang sama sekali tidak Lay tahu, mereka berhasil keluar dari wilayah villa milik keluarga Kris tanpa diketahui siapapun. Ia harus berterima kasih pada Kris.
.
.
.
.
.
"Kenapa, Oppa?" tanya Kyungsoo, salah satu pekerjanya. "Daritadi kau bengong saja."
Suho mendongak, menghadap sosok imut bermata besar tengah menatapnya. Ia kemudian tersenyum. "Tidak apa-apa." Matanya beralih pada seikat bunga di tangan Kyungsoo. "Pesanan bunga tangan lagi, ya?"
Kyungsoo mengangguk. "Orangnya minta dibuatkan dua puluh satu bunga yang dijadikan tanda minta maaf," kata Kyungsoo. "Aku ke belakang dulu," katanya lalu meninggalkan Suho sendiri di meja kasir.
Ini hari Rabu pagi. Pertengahan minggu. Sudah biasa bagi Suho bila di pagi hari keadaan florist-nya sepi. Ia hanya perlu mengecek stok bunga, pesanan, dan biaya-biaya lainnya.
Suho menghela napas. Ia kembali mengecek laporan keuangan bulan kemarin. Sesekali matanya memandangi bunga-bunga yang dimasukkan dalam ember berair agar tetap segar. Kemudian ia kembali menghela napas berat.
Ia mencoba menghilangkan bayang-bayang sosok cantik berdimple yang selalu mengganggu pikirannya sejak delapan tahun lalu. Sosok yang sebentar lagi akan menikah dan tidak mungkin dapat di raih lagi olehnya.
Ia cukup sadar, ia dan Lay berasal dari golongan yang berbeda. Ia hanya seorang pemilik toko bunga, sementara Lay berasal dari keluarga berada. Tentu saja yang nantinya akan dinikahkan dengan Lay harus berasal dari keluarga berada juga. Suho tahu diri.
Toko bunga ini mungkin satu-satunya kenangan Suho dan Lay yang paling nyata. Toko bunga yang berdiri sejak tiga tahun lalu ini tidak mungkin akan berdiri bila tidak ada Lay. Lay memang hanya membantu Suho sekitar setengah tahun pertama. Gadis itu yang memilihkan bunga, membantu Suho melayani pelanggan, meyakinkan Suho bahwa ia bisa berhasil.
Bukan hanya teman-teman Suho, keluarganya pun bingung dengan pilihan Suho membuka sebuah toko bunga. Ia bisa saja memilih membuka café kecil, berhubung Suho sekolah sebagai juru masak. Anehnya meski lulusan sekolah masak, dalam benak Suho tidak terlintas untuk membuka café sendiri.
Suho melepaskan kaca matanya, lalu memijat batang hidungnya. Ia memejamkan matanya sebentar. Mengistirahatkan matanya setelah sejak tadi meneliti deretan angka di buku. Pikirannya mulai berfantasi ke masa lalu.
Kalau saja Lay masih di sini, gadis itu mungkin akan membawakannya secangkir teh serta beberapa potong camilan buatan sendiri. Atau menawarinya dengan sekantung kripik kentang kesukaannya. Atau menyuguhinya segelas kopi panas.
Andai…
Cling…
Suho buru-buru memakai kacamatanya kembali setelah mendengar lonceng di pintu masuk berdenting. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Berusaha mempercayai apa yang ia lihat. Sesosok perempuan cantik bergaun putih panjang tengah berdiri di depannya. Gadis itu terdiam sambil tersenyum dan menangis.
Suho bangkit dari duduknya, berdiri dihadapan gadis itu. "Yixing, ini kau, kan?"
Lay mengangguk. "Ne, ini aku. Aku membatalkan pernikahanku," jawabnya.
Tanpa banyak bicara, Suho memeluk Lay. Menyamankan kepala Lay di pundaknya. Ia tidak bisa berbohong lagi pada dirinya sendiri. Ia mencintai Lay. Sangat. Ia tidak ingin melepaskan Lay lagi. Tidak dengan siapapun.
"Aku mencintaimu sejak lama," jujur Suho, "maaf baru mengatakannya sekarang."
Bisa Suho rasakan, Lay mengangguk. "Aku juga. Aku mencintaimu, Kim Junmyeon."
.
.
.
DONE
.
.
.
1.962 words
Sign,
Uchiha Kazuma Big Tomat
Finished at:
Friday, March 08, 2013
07.03 P.M.
Published at:
Monday, March 18, 2013
04.04 P.M.
True Love © Kazuma House Production ® 2013
