Tittle : Wolf
Author : Katniss Jung
Main Casts :
Janeth Chung (OC)
Wu Yi Fan a.k.a EXO-M Kris
Huang Zi Tao a.k.a EXO-M Tao
Genre : Fantasy, Drama, Romance, Brothership, Friendship, Action
Type : Chaptered
Rating : T
Backsounds : Wolf – EXO, Black Pearl – EXO, Let Out The Beast – EXO
Summary : Mereka ada, dan mereka nyata. Ketika kau tidak percaya, maka kau tidak akan melihatnya. Ketika kau percaya, kau akan melihatnya. Jadi, percayalah. Maka kau akan melihat dan mengetahui bahwa mereka benar-benar nyata dan benar-benar ada.
.
.
.
Halo! ^^ *lambai-lambai bareng Chanyeol*
Balik lagi dengan FF baruuu. Kali ini nggak yaoi. hahaha *ketawa nista*
Langsung aja yah.
Check this out! :D
.
.
.
.
Sudah selama enam bulan aku tidak libur sekolah. Bahkan hari Minggu pun harus aku habiskan di sekolah untuk mengejar materi pelajaran. Sekarang, ujian akhir sudah berlalu. Aku mendapatkan nilai yang bisa dibilang lumayan. Dan, aku bisa mendapatkan liburanku.
"Jangan terlalu sering main ke danau. Jangan terlalu sering main ke hutan," pesan mama saat aku sedang mengemasi pakaian.
"Iya, Ma," timpalku singkat.
"Jangan makan sembarangan. Nanti perutmu sakit," lanjutnya.
"Iya, Ma,"
"Jangan keluar malam," ia menambahi.
"Iya, Ma. Aku sudah tahu. Aku bukan anak kecil lagi." timpalku dengan sebal.
Mama tidak melanjutkan pesan-pesannya lagi. Ia hanya diam sambil terus memperhatikanku yang sedang memasukkan pakaian-pakaian yang di rasa perlu ke dalam koper.
"Perasaan mama tidak enak, Jane," aku rasa mama mulai mengeluarkan ganjalan yang ada di dalam hatinya.
"Jane bisa menjaga diri, Ma."
"Aku tahu. Tapi, hanya saja.. aku.. tidak seperti biasanya yang membiarkanmu mengunjungi rumah nenek," mama menatap ke luar jendela.
"Tidak akan terjadi apa-apa, Ma," aku meyakinkan mama.
"Tapi.."
"Ma, biarkan aku berlibur." aku memohon.
Mama menghela nafasnya. Aku tahu ia sudah menyerah untuk mencegahku pergi berlibur. Aku tersenyum gembira. Mama selalu kalah dalam beradu argumen. Terutama denganku.
Aku diantar oleh mama menuju stasiun menggunakan van. Di sepanjang perjalanan aku dan mama hanya diam. Tak ada yang kami bicarakan. Aku rasa mama masih berkutat dengan rasa khawatirnya. Ia memilih diam daripada harus beradu argumen lagi denganku, kurasa.
Terbukti. Ia terus menahan tanganku ketika kereta menuju Guangzhou hampir berangkat. Kalau saja aku tidak memperingatkannya, mungkin aku harus menunggu kereta selanjutnya, atau bahkan batal berangkat ke Guangzhou.
Ponselku bergetar ketika aku sedang memakan ubi rebus di dalam kereta. Sebuah panggilan masuk. Dari mama. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Aku anak durhaka. Tapi aku berjanji akan menelfonnya ketika di Guangzhou, sungguh.
Aku memasukkan ponselku ke dalam tas lagi. Aku melanjutkan memakan ubi rebus yang masih panas sembari melihat hamparan sawah hijau dari jendela. Sudah lama sekali aku tidak seperti ini. Terakhir aku melakukannya, mungkin, sekitar empat tahun yang lalu. Ketika aku berlibur ke Guangzhou bersama papa.
"Dari Beijing ?" tiba-tiba seseorang mengajakku berbicara. Perhatianku teralihkan pada laki-laki yang duduk di hadapanku sedari tadi, dan aku sama sekali tidak menyadarinya.
"Iya," jawabku.
"Mau ke Guangzhou ?" tanyanya lagi. Aku mengangguk. "Kita satu tujuan." lanjutnya. Aku hanya tersenyum kaku.
Laki-laki ini tipikal Beijing, menurutku. Rambutnya lebat, hitam, dan bersih, dengan sedikit warna kemerahan. Wajahnya nyaris tidak ada jerawat. Ia memiliki kantung mata yang sangat besar. Seperti anak panda.
Sneakers dengan merk Nike, yang sangat terkenal dengan harganya yang selangit. Jaket mantel Center Pole, celana jeans Burberry, tas ransel Gucci, dan tindik di kedua cuping telinganya menunjukkan bahwa ia tipikal orang ibu kota dan berasal dari kalangan borjuis.
Menurutku, err... Dia tampan. Haha. Lupakan.
"Apakah kau sedang ingin berlibur ?" tanyanya lagi.
"Iya. Aku juga ingin mengunjungi nenekku," jawabku. "Bagaimana denganmu ?"
"Aku hanya ingin berlibur. Aku lelah dengan pekerjaanku," jawabnya.
"Kau sudah bekerja ?" tanyaku, sedikit shock. Aku kira ia masih anak SMA sepertiku, atau mungkin anak kuliahan.
"Sudah. Kuliah sambil kerja. Membantu ayahku untuk mengurus perusahaan." jawabnya. Ada perasaan lega karena ia masih anak kuliahan.
Aku diam, tidak melanjutkan pembicaraan lagi. Aku bingung harus berbicara soal apa pada laki-laki itu. Lagipula ia sedang asyik memandang ke luar jendela kereta.
Dan aku benar-benar menyukai wajahnya dari angel ini. Hidung mancung dan rahang tegasnya terlihat begitu sempurna. Kulit putih langsatnya terlihat semakin bersinar ketika tertimpa sinar matahari.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri begitu menyadari apa yang sedang aku lakukan. Aku merasa malu pada diriku sendiri karena telah memperhatikan wajah laki-laki itu. Dan aku yakin, aku sama sekali tidak berkedip tadi.
"Oh, iya, siapa namamu ?" pertanyaan itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku. Dengan cepat pandangannya teralihkan padaku.
"Huang Zi Tao. Panggil saja Zitao," jawabnya dengan antusias.
"Aku Janeth Chung. Panggil saja Jane. Senang bertemu denganmu." timpalku.
Kecepatan kereta mulai menurun. Lalu berhenti di sebuah stasiun kecil. Aku tidak tahu apa nama daerah ini. Tapi yang jelas, ini sudah sangat jauh dari Beijing. Sudah selama dua jam aku berada di dalam kereta. Dan mungkin aku sudah 200 kilometer jauhnya dari kota Beijing.
Sepasang kakek-nenek yang membawa tas besar berjalan ke arahku. Tiba-tiba Zitao menarik tanganku dan memintaku untuk duduk di sebelahnya agar kakek-nenek itu bisa duduk berjejeran.
"Terima kasih, anak muda." ucap kakek itu. Zitao mengangguk sambil tersenyum ramah.
Kereta kembali berjalan setelah tiga puluh menit berhenti di stasiun. Kereta lebih penuh. Kurasa orang-orang memilih untuk ke Guangzhou di musim gugur karena suasananya sangat menyenangkan. Termasuk aku.
"Apa kau lapar ?" tanya Zitao.
"Tidak," jawabku.
"Aku lapar." timpal Zitao sembari mengelu-elus perutnya.
Aku terkekeh sambil mengambil kotak makanan di dalam tas ranselku. Aku mengeluarkan dua ubi rebus yang tinggal hangat-hangat kuku.
"Aku hanya punya ini. Mau ?" aku menyodorkan kotak makananku pada Zitao. Ia tersenyum lebar.
"Tentu," jawabnya. Ia mengambil salah satu dari ubi rebusku.
"Maaf, aku hanya bawa itu. Kau pasti tidak terbiasa memakan ubi murahan,"
"Memang. Aku malah tidak pernah makan ubi. Jadi aku senang sekali diberi ubi."
Zitao mulai memakan ubi rebusku. Matanya berbinar ketika ubi itu melewati lidahnya. Berulang-kali ia memuji rasa ubi rebus buatan ibuku ini. Dasar anak orang kaya, makan ubi saja tidak pernah.
"Xie xie –terima kasih."
Zitao tersenyum lebar setelah menghabiskan ubinya. Ia merogoh tas ransel Gucci-nya. Lalu mengeluarkan sebotol air mineral. Ia mulai minum. Jakunnya bergerak-gerak saat air melintasi tenggorokannya. Dia benar-benar sexy.
Ya ampum, Jane! Hentikan!
"Uhm, sesampainya di Guangzhou nanti, kau mau menginap di mana ?" tanyaku dengan suara pelan karena kakek-nenek yang duduk di hadapanku ini sudah mulai tertidur. Zitao tertawa pelan.
"Kau tahu, sebenarnya aku tidak punya tujuan," jawabnya.
"Maksudmu ?" aku bingung.
"Aku naik kereta ini tanpa tujuan. Aku tidak tahu mau kemana. Lalu aku bertemu denganmu. Kau bilang ingin ke Guangzhou. Makanya aku juga bilang mau ke Guangzhou," ia memamerkan gigi rapihnya. Laki-laki ini gila.
"Kau sinting," timpalku.
"Memang," Zitao tersenyum singkat. Ia mulai menyandarkan punggungnya ke kursi. "Masih ada lima jam. Lebih baik kau tidur." Zitao menyamankan posisi kepalanya pada kursi.
Aku sedikit jahat pada Zitao. Aku memintanya bertukar posisi, aku di dekat jendela, ia di pinggir. Aku bilang aku tidak bisa tidur jika tidak bersandar. Dan dengan polosnya Zitao mau-mau saja aku curangi.
Mata Zitao memang terpejam. Tapi ia terlihat tidak nyaman dengan posisi tidurnya sekarang. Berulang kali ia merubah posisi kepalanya. Zitao benar-benar terlihat tidak nyaman. Dasar anak orang kaya.
Aku membimbing Zitao agar bersandar di bahuku. Beberapa detik kemudian aku bisa mendengar denguran halusnya. Ia sudah tidur. Zitao terlihat semakin polos jika matanya terpejam. Bahkan, tindik berbentuk tengkorak di kedua cuping telinganya tidak membuat Zitao menakutkan. Malah semakin menggemaskan.
Jane, hentikan! Kau melakukannya lagi.
.
.
.
.
"Jane, bangun. Kita sudah sampai," Zitao mengguncang lenganku.
Aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling. Orang-orang mulai berdiri dan berjalan menuju pintu. Kakek-nenek yang duduk dihadapan kami juga sudah tidak ada. Aku menoleh keluar dan mendapati kami sudah berada di stasiun. Kaca gerbong basah. Menandakan bahwa di luar sedang gerimis.
Aku meregangkan lengan dan leherku yang terasa sedikit pegal karena harus tidur dengan posisi duduk.
"Apa kau baik-baik saja ?" tanya Zitao.
"Aku baik-baik saja," jawabku sambil berhenti meregangkan lenganku.
"Maaf. Aku tidak sopan. Aku tidur di bahumu. Tadi," ia menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal. Aku meninju lengannya pelan.
"Tidak masalah."
Aku tidak mau mengaku jika aku yang membimbingnya agar bersandar pada bahuku. Bisa-bisa dia berfikir yang macam-macam. Atau mungkin kalian juga ? Aish! Sungguh, aku hanya ingin membantunya. Aku tidak ada maksud apa-apa.
"Ayo turun."
Zitao berdiri. Ia mulai menurunkan tas ransel super besarnya. Lalu ia juga menurunkan milikku. Setelah itu kami mulai mengantre turun. Zitao berjalan terlebih dahulu. Sesekali ia menoleh ke belakang dan tersenyum kepadaku. Mungkin ia memastikan apakah aku tertinggal atau tidak.
Setelah beberapa menit berdesak-desakan, kami berhasil turun dari kereta. Seketika ada banyak joki yang menawari kami untuk membawakan barang bawaan. Tapi dengan sigap Zitao merengkuh bahuku dan menolak dengan mengangkat tangannya.
"Mereka sering memaksa," ucap Zitao sambil terus membawaku keluar dari peron yang dipenuhi orang-orang.
"Kau seperti sudah ke sini jutaan kali," sindirku.
"Memang. Untuk mengunjungi teman-temanku," seketika Zitao memelukku. "Jangan dorong dia." ucapnya pada seorang laki-laki paruh baya yang baru saja menyenggol bahuku.
Aku bisa merasakan bau tubuh Zitao. Sangat maskulin dan menenangkan. Bau yang tidak pernah aku temukan pada teman laki-laki di sekolahku. Mungkin karena Zitao anak orang kaya dan sudah kuliah, makanya ia bisa membeli parfum yang tidak pasaran.
"T.. terima kasih," ucapku sambil melepaskan pelukan Zitao. Suasana berubah menjadi kikuk.
"Sama-sama," aku rasa, ia juga merasakan hal yang sama.
"Ayo."
Kami kembali berjalan menyusuri peron yang tidak kunjung sepi. Setelah beberapa saat berdesak-desakan, kami berhasil keluar dari stasiun. Beberapa kali kakiku terinjak karena badanku yang terlalu kecil, sehingga orang-orang tidak menganggapku ada. Untung saja ada Zitao. Kalau tidak, mungkin aku sudah terinjak-injak.
Saat kami hendak menghentikan taksi, ada dua orang yang mengangkat barang bawaanku dan Zitao.
"M.. maaf, kami tidak ingin menyewa joki." ucapku sambil berusaha merebut barangku.
Mereka tidak bergeming. Mereka hanya diam saja sambil menatap Zitao dan aku secara bergantian. Dan aku mulai takut karena dandanan mereka terlihat seperti dept collector. Jaket hitam, syal hitam, kacamata hitam, semuanya hitam. Dan aku mulai takut.
Aku bergerak dan bersembunyi di balik punggung Zitao. Ia menggenggam tanganku dan ini jauh lebih baik.
"Kalian mau apa ?" tanya Zitao dengan suara dingin. Salah satu dari dua laki-laki jangkung itu terkekeh.
"Kami tidak mau apa-apa, Huang Zi Tao."
Kedua laki-laki itu membuka kacamata hitam mereka. Hening sesaat. Dan dalam hitungan detik Tao menghambur untuk memeluk mereka berdua. Aku hanya bisa memaku di tempat karena bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Apa karena kau terlalu sibuk dengan perusahaanmu itu hingga kau melupakan wajah kami, huh ?" tanya laki-laki dengan badan paling tinggi. Zitao melepaskan pelukannya.
"Tentu saja tidak. Aku sudah tidak kesini selama lima tahun, Gege–Kakak. Mana mungkin aku mengingat wajah kalian," Zitao memukul lengan laki-laki itu.
"Ya – hey, kau melupakan Hyung–kakak–mu ini, huh ?" laki-laki yang lain menyambung. Zitao memeluknya.
"Tentu saja tidak." timpal Zitao.
Mereka mulai bercengkerama soal masa kecil mereka. Berkali-kali Zitao memukul lengan mereka karena membicarakan aib masa kecilnya. Dan aku hanya bisa memperhatikan mereka sambil sesekali ikut tertawa.
Dua laki-laki itu memiliki fisik yang menakjubkan. Salah satu dari mereka, si laki-laki yang paling tinggi, memiliki kulit yang sangat bersih. Wajahnya tirus. Bibirnya tipis dengan warna agak kemerahan. Alisnya sangat tebal. Tatapan matanya tajam. Gestur wajahnya benar-benar sempurna. Di tambah dengan rambut hitamnya yang dipotong cepak. Semakin menunjukkan bahwa laki-laki ini sempurna.
Lalu, laki-laki yang satunya. Ia tidak kalah tinggi dengan laki-laki beralis tebal tadi. Ia tinggi dan putih. Rambutnya juga hitam dan lebat. Dipotong pendek dengan poni rata. Hidungnya mancung. Meskipun ia tidak tersenyum, aku bisa tahu kalau ia sebenarnya adalah orang yang periang. Terlihat jelas dari matanya. Entahlah, gaya cool-nya terlihat sangat dipaksakan.
Mereka sama-sama jangkung, putih, dan tegap. Aku yakin mereka memiliki otot yang terlatih dibalik jaket hitam mereka.
Jane, kau mulai lagi.
"Ya Tuhan, aku hampir lupa," Zitao menarik lenganku untuk mendekat. "Jane, ini Wu Yi Fan. Dia kakak sepupuku. Dan yang ini Park Chanyeol, teman Wu Yi Fan," terang Zitao.
"Jane," aku mengulurkan tanganku pada laki-laki bernama Wu Yi Fan itu.
"Panggil saja Kris. Agar lebih mudah," sahutnya. Ia membalas uluran tanganku. Tangannya terasa sangat hangat.
"Jane," aku menjabat tangan Park Chanyeol. Tangan Chanyeol tidak jauh berbeda dengan Kris. Padahal ini musim gugur.
"Chanyeol,"
"Aku rasa sekarang aku menemukan tempat untuk menginap," ucap Zitao.
"Aku kira, nenekku harus menerima satu tamu lagi," candaku.
"Tidak. Pasti nenekmu sudah kerepotan mengurusimu," balas Zitao.
"Kau ini. Aku tidak merepotkan tau." aku menonjok lengannya pelan.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan ponselku, sebuah panggilan dari nenek. Aku meminta izin sebentar untuk mengangkat telefon. Zitao melanjutkan mengobrol dengan Kris dan Chanyeol.
"Halo, Nenek!" sapaku.
"Mei kau berada di mana ?" tanya nenek.
Nenek lebih suka memanggilku Mei daripada Jane. Aku sendiri tidak tahu mengapa. Karena nenek sudah memanggilku seperti itu sejak aku kecil, aku sih senang-senang saja dipanggil seperti itu.
"Aku masih berada di stasiun, Nek,"
"Apa Paman Ko perlu menjemputmu ?" tanya nenek.
"Aku rasa, iya. Aku membawa banyak barang dan aku rasa.. aku sudah lupa jalan menuju rumah nenek," jawabku.
"Baiklah. Tunggu setengah jam dan Paman Ko akan berada di sana."
Aku menutup telefonku.
"Sudah selesai ?" tanya Zitao.
"Sudah," jawabku.
"Baiklah. Aku pergi dulu. Terima kasih untuk ubi dan bahumu. Aku berharap kita bisa bertemu lagi nanti. Bye, Jane!"
"Bye, Zitao, Kris, Chanyeol!"
Zitao, Kris, dan Chanyeol melambaikan tangan padaku. Lalu mereka mulai berjalan meninggalkan area stasiun. Aku terus menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Aku masih belum bisa mempercayai bahwa aku bisa akrab dengan Zitao dalam waktu singkat.
"Hati-hati, Zitao."
.
.
.
.
Rumah nenek tidak banyak berubah sejak empat tahun yang lalu. Masih rumah kayu khas Cina dengan pintu gesernya. Hanya saja, sekarang ada kolam ikan koi di halaman rumah nenek.
Ada banyak lampion merah tergantung di teras. Juga di pohon oak yang masih berdiri dengan kokoh di halaman rumah nenek. Kandang Butsy juga masih ada di bawah pohon itu. Meskipun Butsy – anjingku – sudah meninggal, nenek tidak pernah membuang kandangnya.
Sekarang nenek punya banyak sekali ayam. Kata Paman Ko, akhir-akhir ini nenek sangat terobsesi dengan ayam hingga membeli dan memelihara puluhan ekor. Sampai-sampai Paman Ko ikut kerepotan mengurusi ayam-ayam nenek.
"Mei, ayo makan!"
Nenek memanggilku saat aku sedang membereskan pakaianku. Aku tidur dengan nenek di kamarnya. Kamar yang dulu sering aku tempati kini sudah disulap nenek menjadi kandang ayam. Alhasih hanya ada satu kamar di rumah ini.
"Tunggu sebentar, Nek!"
Saat aku hendak memasukkan pakaian ke dalam lemari, aku melihat sebuah figura foto di atas meja kecil. Dengan segera aku memasukkan pakaian ke dalam lemari. Lalu meraih figura foto itu.
Ini adalah foto yang diambil enam tahun yang lalu. Saat aku lulus sekolah dasar. Ada aku, nenek, mama, dan papa. Nenek terlihat lebih muda dari sekarang. Ibu juga. Ayah juga. Dan yang jelas aku masih kecil.
Ayah tersenyum lebar sembari menggenggam pialaku. Aku juara satu kelas pada saat kelulusan. Hingga aku membuat ayah menangis di depan umum saat pembagian piala. Aku rindu masa-masa itu.
Ayah, apa yang sedang kau lakukan di sana ? Apa kau bahagia ?
"Mei! Cepat makan!"
Nenek kembali berteriak. Aku meletakkan figura itu di atas meja, kembali pada tempat asalnya. Lalu aku berlari menuju teras sebelum nenek benar-benar mencekokiku dengan minuman alang-alangnya.
"Apa yang sedang kau lakukan ?" tanya nenek sambil mengaduk sepanci ayam kuah.
"Menata pakaian," jawabku singkat. Aku duduk di hadapan nenek. "Kelihatannya enak,"
"Tentu saja. Cepat makan sebelum dingin." nenek menyodoriku sendok.
Aku mulai memakan ayam kuah yang masih sangat panas itu. Sudah lama sekali aku tidak makan masakan nenek. Hingga rasanya nikmat sekali.
Aku menyadari nenek terus memperhatikanku. Namun tatapannya terasa aneh. Seolah-olah ia sedang mencari sesuatu pada diriku. Aku menghentikan aktivitasku dan bertanya pada nenek.
"Ada apa.. Nek ?" tanyaku takut-takut.
"Apa yang kau lakukan saat perjalanan ?" tanya nenek dengan tatapan kosong.
"Tidak ada. Memangnya, aku terlihat sudah melakukan sesuatu yang salah ?" aku balik bertanya. Aku memang tidak melakukan apa-apa. Seketika nenek mengalihkan pandangannya. Lalu tersenyum lembut padaku.
"Ah, tidak." nenek melanjutkan makannya.
Aku ingin bertanya lebih lanjut. Tapi, Paman Ko dan keranjang jeruknya benar-benar mengalihkan perhatianku. Aku berlari melintasi halaman dan membantu Paman Ko membawa keranjang yang penuh dengan jeruk sunkist dari kebunnya.
"Panen banyak ?" tanyaku antusias.
"Iya. Ini untukmu dan nenekmu," jawab Paman Ko sambil meletakkan keranjang dengan diameter lima puluh sentimeter itu.
"Terima kasih, Paman!"
Aku mulai melihat-lihat jeruk yang masih segar itu. Sudah lama sekali aku tidak makan jeruk dari kebun Paman Ko.
"Lebih baik kau diamkan satu hari lagi. Rasanya akan benar-benar manis," sahut Paman Ko.
"Baik."
Aku memasukkan keranjang jeruk ke dalam ruang tamu. Lalu kembali ke teras untuk mengobrol dengan nenek dan Paman Ko.
"Jane, apa kau mau ikut Paman besok ?" tanya Paman Ko.
"Ikut kemana ?" tanyaku antusias.
"Berburu di hutan," jawab Paman Ko. Baru aku mau menjawab, nenek memotong.
"Jangan!" nenek kelihatan khawatir.
"Kenapa... Nek ?" tanyaku. Aku sedikit kecewa jika nenek tidak memperbolehkanku ikut berburu.
"Jangan," nenek menatapku dengan pandangan memohon. Mungkin ia tidak memiliki alasan kuat untuk melarangku.
"Nek, sudah selama empat tahun aku tidak ke sini. Kau tega membiarkanku tetap berda di rumah ?" tanyaku dengan nada memelas. Nenek melemparkan tatapan minta tolong pada Paman Ko.
"Biarkan saja. Aku akan menjaganya," timpal Paman Ko.
"Ko Yi Er!" nenek seolah tidak percaya.
"Nah, jadi, besok aku akan pergi berburu."
Aku memberi keputusan final sambil membereskan piring dan mangkuk makan siang kami. Lalu membawanya masuk ke dapur. Aku tidak ingin beradu argumen dengan nenek lebih lanjut lagi. Bisa-bisa ia akan benar-benar melarangku pergi berburu.
Aku mencuci piring di halaman belakang. Sesekali aku berhenti sambil mengamati ayam-ayam nenek yang sedang berlari-lari. Lalu tatapanku terhenti pada sebuah ayunan yang menggantung di pohon belakang rumah nenek.
Aku jadi ingat ayah. Ayunan ini dibuat oleh ayah pada saat aku kelas tiga sekolah dasar. Ayah membuatkan ini karena aku terus menangis. Aku rindu pada ibu karena waktu itu ibu tidak bisa ikut pulang ke Guangzhou.
Ayunan itu masih ada di sana. Nenek tidak merubahnya. Hanya saja, tali tambangnya sedikit lebih kotor. Mungkin karena anak-anak kecil di sekitar sini suka bermain di sini. Aku sih tidak masalah. Toh, aku tidak berada di sini setiap hari.
Aku melihat sekelebat bayangan di balik pohon ayunan itu. Seketika bulu kudukku meremang. Aku yakin di balik pohon itu ada seseorang. Tapi aku takut untuk memastikannya. Aku takut jika bayangan tadi ternyata hantu.
Akhirnya aku memutuskan untuk mendekati pohon itu setelah mencuci tangan. Aku mengendap-endap. Jantungku berdetak tidak karuan, menunggu siapa – atau apa – yang ada di balik pohon.
Aku berjalan memutari pohon dan tidak menemukan siapa pun. Aku menunduk dan menemukan sesuatu.
"Nenek! Ayammu ada yang mati!"
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
.
Yoshhh XD
bagaimana ? Ditunggu review nya yaaa ^^
