Pernikahan. Menjadi suatu hal yang sangat membahagiakan dalam hidupnya. Berdiri di depan altar dengan seseorang yang sangat ia cintai. Tuxedo putih yang membalut tubuh mungilnya. Surai baby blue lembutnya ditata sedemikan rapinya. Ia mempesona. Sangat mempesona. Orang-orang yang hadir dalam upacara sucinya tersenyum bahagia—seolah ikut merasakan kebahagiaannya.
Namun semua kilasan itu hanya pengandaian yang terlalu tinggi untuknya. Impian yang terlalu tinggi untuknya. Menikah dengan orang yang ia cintai?
Tentu saja.
Tapi apakah orang yang menikahinya itu juga mencintainya?
Shadow
AkashixKuroko
Angst. Drama
1/2
Sho-ai. Typo(s). T. Alur tidak tertata dan segala kekurangan lain.
Janji suci itu sudah terucap dari bibir keduanya. Pendeta yang membimbing mereka menginstruksikan mereka untuk segera menautkan bibir.
Para saksi yang hadir bertepuk tangan, tak jarang dari mereka yang menitikkan air mata—karena terlalu bahagia melihat kedua insan didepan sana sudah menautkan bibir mereka, yang menandakan mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri.
Pemuda mungil yang merupakan sang mempelai tersenyum memandangi suaminya yang hanya melirik kearahnya. Pemuda mungil itu menghela nafas, melirik saja sudah sangat membahagiakan untuknya.
Pemuda mungil itu pun memutuskan untuk berbaur bersama para tamu yang nampaknya ikut merasakan kebahagiaan yang tengah meletup-letup dibenaknya. Setidaknya, dengan begini, ia tak perlu lagi merasa canggung dengan orang yang kini telah resmi sebagai suaminya.
.-.-.
1 bulan telah berlalu dari hari dimana ia dan pemuda yang sekarang menjadi suaminya mengucap janji. Tak ada perubahan yang berarti di kehidupannya. Terbangun pada pagi hari, sarapan, memulai kesibukan sebagai seorang penulis dan kembali tertidur di malam hari saat ia mulai lelah.
Pemuda mungil yang akrab disapa Tetsuya, tersenyum getir, saat manik baby bluenya tak sengaja menatap potret dirinya bersama teman-temannya dimasa kuliah dulu. Dirinya ada disana, juga suaminya. Tersenyum bahagia. Sangat bahagia.
.-.-.
Tetsuya tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya. Bangun dipagi hari dan menemukan sosok suaminya, Seijuurou, tengah duduk di ruang tengah rumah sederhana mereka—hadiah pernikahan dari orangtua Seijuurou.
Tetsuya menghampiri Seijuurou yang tengah terfokus pada layar televisi yang menyala, sama sekali tak menyadari kehadiran Tetsuya.
"Kau tidak ada jadwal?" ucapnya begitu ia mendudukkan dirinya disamping sang suami. Matanya menatap lembut pemuda itu.
Diam.
Pemuda itu hanya terdiam.
Seharusnya Tetsuya tau, berbicara pada sosok itu hanya akan menambah satu lagi goresan dihatinya yang sudah terluka.
Perih. Bagai luka yang ditabur garam.
.-.-.
Masih jelas diingatannya, dulu mereka tak begini. Bagai orang asing yang saling tak mengenal. Bahkan, dulu mereka itu bagaikan kertas dan lem yang tak bisa dipisahkan begitu saja.
Jika boleh jujur, Tetsuya merindukan masa dimana dulu ia masih duduk dibangku kuliah. Bercanda bersama teman-temannya. Begadang semalaman untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Menghabiskan seharian penuh dengannya... dengan Seijuurou.
Tetsuya merindukan saat dimana Seijuurou dengan manisnya memberikan kejutan-kejutan kecil saat mereka menghabiskan waktu bersama.
Tetsuya merindukan Seijuurou yang masih mempedulikannya.
.-.-.
Tetsuya terkejut, ketika teman kuliahnya dahulu—Kise Ryouta, menyinggung hal-hal intim yang seharusnya wajar dilakukan dalam sebuah rumah tangga.
Ia hanya bisa tersenyum dan mengarang cerita.
Menceritakan bahwa Seijuurou adalah sosok suami impian, begitu lembut dalam memperlakukannya, selalu membisikkan kata-kata manis saat mereka tengah bercinta.
Namun sekali lagi, itu semua hanyalah kebohongan. Karena pada kenyataannya Seijuurou sama sekali tak pernah menyentuhnya.
Bukankah ia memang sangat berbakat untuk menjadi seorang penulis?
.-.-.
Tetsuya menghampiri suaminya yang tengah memasukkan beberapa helai pakaian kedalam koper yang berukuran cukup besar. Hanya kemeja, dasi dan jas saja yang ia bawa. Tetsuya menghela nafas, ia tau alasan suaminya mengepak pakaian.
"Kali ini berapa lama kau akan pergi?" ucapnya memecah keheningan yang menyelimuti kamar mereka. Ia mendudukkan dirinya diranjang.
Seijuurou terdiam sejenak, lalu ia kembali berkutat dengan pakaian-pakaiannya, "Seminggu mungkin."
Tetsuya menghela nafas kembali, kali ini lebih berat. "Selama itukah?"
Sosok suaminya itu mendengus, ia menatap tajam Tetsuya yang terduduk dipinggir kasurnya—kasur mereka, "Seminggu itu bukanlah waktu yang lama. Jangan berlebihan."
Tak taukah dirinya, bahwa ia baru saja menorehkan sebuah luka baru dihati orang yang dua bulan terakhri sudah menjadi istrinya.
Tetsuya berusaha mati-matian menahan air mata yang hendak menetes dari matanya. Ia harus kuat. Ia tak boleh lemah dihadapan suaminya, karenanya suaminya tak pernah menyukai orang yang bersikap lemah dan cengeng.
.-.-.
Ini adalah malam pertama dimana suaminya pergi untuk menjalankan tugas perusahaan—yang entah apa Tetsuya sama sekali tak mengerti.
Suaminya adalah seorang direktur muda diperusahaan milik ayahnya, seharusnya Tetsuyalah yang menjadi direkturnya, namun karena Tetsuya lebih memilih untuk menjadi seorang penulis, maka perusahaan itu jatuh kepada Seijuurou, yang berstatus sebagai suaminya.
Tetsuya menatap jendela yang basah akan tetesan air hujan. Tetsuya menyukai hujan, namun malam ini hujan petirlah yang turun membasahi bumi. Sesekali ia menutup kedua telinganya menggunakan tangannya ketika suara petir saling bersahutan diluar sana.
Tetsuya memang menyukai hujan, namun bukan hujan petir seperti ini.
Tangannya bergetar—mungkin tak hanya tangan, tubuh mungilnya itu juga bergetar karena efek dingin dan juga... takut. Ia memang memiliki phobia. Phobia terhadap cuaca buruk seperti ini.
Sekelebat memori berputar dalam ingatannya. Saat dimana ia juga pernah mengalami hal seperti ini, meringkuk ketakutan karena phobianya. Bedanya, saat itu ada Seijuurou disampingnya. Membisikkan kata-kata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tapi sekarang berbeda. Ia hanya sendiri—ditemani dengan selimut tebal yang kini tengah membungkus sempurna tubuhnya, meredam suara petir yang masih menggelegar diluar sana.
"Seijuurou-kun..." isaknya lirih.
Namun, sebanyak apapun ia memanggil nama Seijuurou, sosok pria yang ia cintai itu tidak akan menampakkan dirinya dihadapannya.
.-.-.
Tetsuya menatap kalender mini yang tergelatak manis diatas meja kerjanya. Sudah empat hari Seijuurou meninggalkannya, itu berarti tiga hari lagi Seijuurou akan pulang—dan itu bertepatan dengan ulang tahun suaminya yang ke 24.
Memikirkan kepulangan suaminya saja sudah membuat dirinya sangat bahagia. Ia mengambil buku agenda berwarna coklat tua yang selalu ia bawa kemanapun. Ia menuliskan rencananya untuk menyambut kepulangan suaminya.
Menyambut kepulangannya dengan sebuah pesta kecil-kecilan tentu bukan masalah bukan? Siapa tau, dengan kejutan ini bisa meluluhkan hati Seijuurou sedikit demi sedikit.
.-.-.
Tetsuya tersenyum puas ketika ia sudah selesai dengan sebuah kue coklat berukuran cukup besar dan berbagai macam makanan kesukaan suaminya. Semua makanan itu sudah ia tata dengan rapinya diatas meja makan diruang makan rumah kecil mereka.
Hari ini adalah hari kepulangan suaminya dari tugas luar kota yang harus ia selesaikan—dan itu artinya hari ini adalah hari ulang tahun suaminya. Senyum terus terlukis diparas manisnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi suaminya nanti.
Suara bel berdenting, Tetsuya buru-buru melepas apronnya dan berlari menuju pintu untuk membukakan pintu yang memang ia kunci. Ia tersenyum lembut kearah seorang lelaki yang baru saja melangkah masuk kedalam rumah mungil tersebut. Akashi Seijuurou.
Tetsuya mengikuti arah langkah kaki Seijuurou yang menuju ruang makan. Dalam hati, Tetsuya berdoa kepada Tuhan. Ia berdoa, semoga Seijuurou menyukai apa yang sudah ia persiapkan. Ia berdoa, semoga hal ini benar-benar membahagiakan suaminya dengan kejutan ulang tahun kecil-kecil yang telah ia siapkan.
Bagaikan doanya yang didengar oleh Tuhan, malam itu, menjadi malam yang sangat indah untuknya.
Malam itu, suaminya, Akashi Seijuurou tersenyum padanya dan mengucapkan satu kata sederhana yang begitu menyenangkan hatinya.
"Terimakasih."
.-.-.
Hari beranjak siang, matahari bersinar terang, tidak tertutup awan. Membuat udara musim dingin di Tokyo sedikit menghangat. Terlihat Tetsuya tengah berjalan sendirian menyusuri jalan yang dipadati oleh orang-orang.
Ditangan mungilnya tergenggam sebuah tas yang berisikan makan siang untuk suaminya. Tetsuya memutuskan untuk mengantarkan makananan kepada Seijuurou dikantornya. Setelah reaksi Seijuurou yang menurut Tetsuya positif, Tetsuya memutuskan untuk mengatarkan makanan kepada Seijuurou setiap istirahat makan siang. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Seijuurou.
Manik baby bluenya melirik arloji yang melingkar manis ditangannya. 15 menit lagi jam makan siangnya akan segera habis. Tetsuya mempercepat langkah kakinya. Ia tidak ingin Seijuurou menunggu terlalu lama. Selain itu, Tetsuya tidak ingin terlambat kembali ke kantornya yang jaraknya cukup jauh dari perusahaan Seijuurou.
Tetsuya tersenyum ramah ketika ia menginjakkan kakinya di perusahaan Seijuurou, banyak karyawan disana yang tersenyum dan menyambut Tetsuya dengan ramah. Bagaimana tidak? Tetsuya merupakan putra dari pemilik sebelumnya, dan sekarang ini statusnya adalah istri dari Direktur Muda Akashi Seijuurou.
"Seijuurou-kun?" panggilnya ketika ia membuka pintu ruangan kerja suaminya setelah mengetuk pintu. Tetsuya tersenyum lembut ketika mendapati sosok suaminya yang tengah sibuk dengan berbagai berkas yang berserakan diatas meja kerjanya.
Tetsuya berjalan mendekat, "Seijuurou-kun, aku membawakanmu makan siang. Kau makanlah du—"
"Aku sudah makan." Potong Seijuurou cepat.
Tetsuya terdiam, Seijuurou sudah makan? Benarkah?
"Jangan berbohong, aku tau kau sibuk, tapi paling tidak sempatkan waktumu untuk sekedar makan siang." Ucap Tetsuya sambil meletakkan kotak makan siang yang sudah ia siapkan untuk Seijuurou diatas meja kerja suaminya.
Seijuurou menatap tajam sosok Tetsuya, "Sudah kubilang aku sudah makan."
PRAK
"Berhenti bersikap seolah kau peduli padaku." Desisnya sambil meninggalkan sosok suami—atau istrinya—yang tengah membatu ditempat.
Air mata mengalir dari pelupuk mata Tetsuya. Tak ada isakan yang keluar dari bibir mungilnya. Paras manisnya masih tetap datar, namun raut terluka sangat jelas terpancar dari manik baby bluenya. Tangannya bergetar ketika ia berusaha membersihkan makan siang untuk Seijuurou yang sudah dibuang secara tak berperikemanusiaan oleh suaminya.
Tetsuya pikir, setelah kejadian kemarin, mereka akan membawa perubahan kearah yang lebih positif. Namun nyatanya?
Masih sama saja, bahkan ini lebih menyakitkan.
Tetsuya tak tau, haruskah ia menyesal karena kejadian ini? Tetsuya rela bangun lebih pagi dari biasanya hanya untuk menyiapkan makan siang ini, bahkan ia rela melewatkan jam makan siangnya sendiri demi mengantarkan hasil masakannya ini kepada suaminya.
Tapi semua perjuangannya sia-sia.
Seijuurou membuang hasil jerih payahnya.
.-.-.
Terkadang Tetsuya bertanya pada Tuhan. Dosa apa yang sudah ia perbuat sebelumnya hingga Seijuurou mengacuhkan sampai sekarang.
Dulu mereka tak seperti ini. Dulu Seijuurou mencintainya, dan ia juga sangat mencintainya.
Masih jelas diingatan Tetsuya, memori ketika ia pertama kali bertemu dengan Seijuurou.
Di perpustakaan kampus.
Dimana saat Tetsuya kesulitan untuk mengambil sebuah buku yang terletak dirak yang sulit dijangkaunya. Padahal buku itu adalah referensi terpentingnya untuk menyelesaikan tugas dari dosen kali ini. Tetsuya hendak beranjak untuk memanggil Kise—sahabatnya, sebelum sebuah tangan membantunya mengambil buku itu.
Tetsuya terdiam dengan wajah bodohnya ketika sang penolong itu memberikan buku itu kepadanya. Tetsuya tak tau, sosok yang berada didepannya ini manusia atau malaikat.
Tetsuya berani bersumpah, sosok didepannya ini bahkan lebih mempesona dari sosok malaikat yang biasanya berada dalam fantasinya. Tetsuya tersadar dari ketercengangannya ketika sosok itu tertawa kecil padanya dan mengulurkan tangannya pada Tetsuya.
"Aku Akashi Seijuurou. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Tetsuya."
Tetsuya tediam. Bingung lebih tepatnya, ia tidak paham bagaimana orang yang baru saja beremu dengannya ini tau mengenai namanya.
Namanya Akashi Seijuurou mahasiswa Manajemen, jurusan yang berbeda dengannya mengingat Tetsuya mengambil jurusan Sastra, pemuda yang cukup dingin namun terkenal karena kesempurnaannya—itulah yang Tetsuya tau dari sahabatnya.
Awalnya Tetsuya merasa pasti akan sangat mustahil jika dirinya ingin mengenal sosok Seijuurou lebih jauh, namun nampaknya takdir tak berkata seperti itu. Seijuurou—entah mengapa—selalu membututi Tetsuya kemanapun—layaknya bayangan.
Dimana ada Tetsuya, maka kau akan menemukan sosok Seijuurou disekitarnya dan sedang menatap Tetsuya secara diam-diam. Seiring berjalannya waktu, Seijuurou memberanikan diri bukan hanya sekedar menatap Tetsuya dari kejauhan, ia memutuskan untuk mendekati Tetsuya—dengan status teman atau sahabat.
Kurang dari setahun, Tetsuya dan Seijuurou resmi mengubah status persahabatan mereka dari sekedar teman menjadi sepasang kekasih.
.-.-.
Tetsuya berjalan gontai menuju kembali ke kantornya. Ia tersenyum lemah ketika sahabatnya—Kise menanyakan penampilan Tetsuya yang terlihat menyedihkan.
Air mata yang mengering. Mata sembab dan tangan yang terlihat kotor.
Tetsuya hanya bisa menggeleng dan mengatakan 'aku baik-baik saja' untuk menutupi keadaannya. Ia tau, Kise menatapnya dengan pandangan menuntut, tidak puas atas jawaban yang terlontar dari mulutnya.
Namun tentu saja Tetsuya tidak bisa menceritakan ini kepada orang lain. Ini masalah pribadinya. Masalahnya dengan Seijuurou.
.-.-.
Tiga tahun menjalin tali kasih bukanlah waktu yang sebentar. Tiga tahun itu, waktu yang cukup lama, cukup lama hingga kau mengetahui segala seluk-beluk tentang pasanganmu. Begitupula dengan Tetsuya, tiga tahun menjalin hubungan dengan Seijuurou, membuatnya semakin mengenal sosok malaikatnya.
Seijuurou yang terkadang manja. Seijuurou yang suka sup tofu. Seijuurou yang sangat menyukai basket—seperti dirinya.
Bagaikan sebuah novel, dimana kehidupan tokohnya tidak akan baik-baik saja, dimana akan ada konflik yang akan muncul menguji tokohnya.
Itu pula yang dialami oleh Tetsuya.
Tetsuya tak tau dengan pasti, sejak kapan Seijuurou perlahan mulai menjauh dari pandangan matanya. Menjauh dari genggamannya.
.-.-.
Ia memaksakan matanya untuk tetap terbuka. Tak mempedulikan jarum jam yang sudah menunjukkan tengah malam. Ia akan tetap berada disini, menunggu sosok suaminya yang tak kunjung pulang.
Tetsuya menghela nafas, jarum jam terus bergerak hingga tak sadar sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Tetsuya menyerah, ia tak bisa menahan rasa kantuk yang menyergapnya. Maka ia pun jatuh terlelap di sofa putih itu sambil menunggu suaminya—Seijuurou.
Tetsuya baru terbangun saat ia merasakan badannya terasa sangat amat pegal karena tertidur di sofa. Manik baby blue itu menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi.
Pandangan matanya jatuh kearah pintu rumahnya yang masih terkunci rapat. Helaan nafas berat terdengar dari sosoknya. Seijuurou tak pulang malam ini.
Ia merasa khawatir, berbagai pertanyaan merasukinya. Dimana? Dimana suaminya saat ini?
.-.-.
Sudah sebulan belakangan ini Seijuurou sangat jarang pulang kembali kerumah. Tetsuya bertanya-tanya, apa yang dilakukan oleh suaminya diluar sana hingga dirinya lupa untuk sekedar kembali kerumahnya.
Tidak. Tetsuya tidak diam saja, ia sudah bertanya kepada teman-teman Seijuurou, apa Seijuurou menginap dirumah mereka atau tidak, namun pada nyatanya Seijuurou tak pernah menginap disana. Tetsuya pun sudah bertanya pada orang-orang di perusahaan, apakah Seijuurou memiliki jadwal lembur atau rapat diluar kota lagi.
Nihil. Jadwal Seijuurou tidak padat, bahkan terkesan seperti Seijuurou sengaja mengosongkan waktunya di hari tertentu.
Tetsuya berusaha bersabar, ia ingin bertanya langsung kepada suaminya, namun ia tau, Seijuurou tak mungkin akan menanggapinya. Tetsuya memilih untuk terdiam saja, ia tak mau hatinya terluka lagi—walaupun pada kenyataannya sekarang hatinya sudah tertoreh banyak luka.
Tapi tentu saja yang namanya manusia pasti memiliki batas kesabaran bukan? Begitu pula dengan Tetsuya, ia punya batas kesabaran, ia bukanlah malaikat dengan hati bersih dari prasangka buruk. Ia tetap saja seorang manusia biasa yang terkadang memiliki prasangka buruk terhadap orang lain.
Tetsuya ingin berseru kepada Seijuurou, Tetsuya ingin menumpahkan segala beban hatinya kepada Seijuurou.
Tapi bagaimana bisa? Untuk melihat sosoknya saja Tetsuya tak bisa.
Hanya bisa terdiam sendiri dan memendam semuanya sendiri. Berimbas kepada kesehatan Tetsuya. Pola makannya berantakan. Ia juga jarang beristirahat—selain karena sibuk mengkhawatirkan Seijuurou, ia juga disibukkan dengan deadline bukunya. Berkali-kali Tetsuya jatuh sakit—dan mau tak mau ia merepotkan Kise yang bersikeras untuk merawatnya.
.-.-.
Seorang lelaki bersurai crimson tampak memakirkan mobilnya didepan sebuah rumah minimalis bercat putih. Rumah itu terlihat begitu nyaman dengan berbagai bunga yang ditaman dihalaman depannya yang terlihat sangat terawat.
Lelaki itu hendak membuka pintunya, namun ia urungkan niatnya ketika ia melihat seorang lelaki mungil bersurai baby blue keluar dari pintu rumah itu. Retina matanya menangkap sosok itu tengah berbincang-bincang sejenak dengan lelaki lain bersurai pirang yang berdiri diambang pintu. Tak lama, lelaki mungil itu keluar dari halaman rumah itu.
Lelaki yang berada didalam mobil—Seijuurou, melangkahkan kakinya keluar dari mobil dan memasuki halaman rumah minimalis yang merupakan tempat tinggalnya. Seijuurou tau, sudah sebulan lebih ia jarang menginjakkan kakinya dirumah mungil ini.
Sesaat setelah Seijuurou melangkahkan kakinya memasuki pagar, lelaki mungil yang tadi hendak masuk kedalam rumah itu menolehkan badannya kearah Seijuurou. Ia tersenyum lemah, rambut baby bluenya bergoyang lembut dimainkan angin.
Tetsuya, akhirnya ia bisa melihat suaminya memasuki rumah mereka kembali. Tetsuya hanya bisa tersenyum lemah dan kembali masuk kedalam rumah, mengabaikan Seijuurou yang memandangnya dengan tatapan bingung.
Bukan maksud Tetsuya untuk mengacuhkan Seijuurou. Tetsuya hanya terlalu lelah. Ia lelah menjadi sosok bayangan Seijuurou. Lelah menjadi sosok yang selalu berada disekitar suaminya namun terlampau sering diacuhkan. Memikirkannya saja sudah membuat kepala Tetsuya ingin meledak, ia memutuskan untuk masuk kedalam kamar tamu dan mengunci pintunya dari dalam. Ia tak ingin menggunakan kamar utama, karena Tetsuya tau, Seijuurou pasti akan menggunakan kamar utama.
Seijuurou hanya bisa terdiam kebingungan ketika ia melihat sosok suaminya—istrinya—melangkah memasuki kamar tamu dan mengunci pintunya dari dalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Seijuurou tak mengerti. Namun ada satu hal yang mengganjal pikirannya, mengapa tubuh Tetsuya terlihat lebih kurus dibandingkan terakhir ia melihatnya?
.-.-.
Tetsuya terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia beranjak dari kamarnya dan bergegas menuju dapur untuk membuatkan sarapan untuk suaminya. Setelah selesai, Tetsuya beranjak untuk bersiap-siap berangkat ke kantornya. Ia bahkan sengaja melewatkan sarapannya.
Ia hanya ingin menjauh sebentar dari Seijuurou. ia tak sanggup jika ia melihat wajah Seijuurou sekarang, ia takut... akan ada air mata yang membasahi pipinya.
Sepeninggal Tetsuya, Seijuurou terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia berjalan dengan gontai kearah ruang makan, ia mengernyit bingung ketika sudah tersiap berbagai makanan diatas meja makan. Seijuurou berjalan menuju kamar tamu.
"Tetsuya?" panggilnya. Sunyi tak ada sahutan. Seijuurou memutuskan untuk langsung masuk kedalam kamar itu. Ia kembali dibuat bingung ketika ia tak mendapati sosok Tetsuya dimanapun. Apakah Tetsuya sengaja pergi pagi-pagi?
.-.-.
Lelaki mungil bersurai baby blue terlihat keluar dari sebuah gedung dengan helaan nafas panjang. Lelaki itu adalah Tetsuya. Ia baru saja dimarahi oleh atasannya. Karena? Itu karena Tetsuya memaksakan diri untuk berangkat kekantor, padahal seharusnya Tetsuya bisa bersantai-santai karena buku novelnya tengah dalam proses, sehingga Tetsuya tak perlu datang kekantor, selain itu, sang atasan khawatir dengan keadaan Tetsuya yang masih terlihat pucat.
Tetsuya hanya melangkah tak tentu arah. Ia tak tau harus kemana.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di otaknya. Ia memutuskan untuk menemui Seijuurou saja. Ia ingin membicarakan masalah ini dengan Seijuurou. Ia tak ingin berbagai pertanyaan menganggu benaknya.
Lagipula, ia tidak suka menghidar dari masalah. Dan yang terpenting adalah, ia sangat merindukan sosok Seijuurou.
Maka ia pun segera bergegas kembali menuju rumahnya.
.-.-.
Tetsuya menghela nafas lega ketika retina matanya menangkap sosok Seijuurou tengah terduduk disofa ruang tengah dan menonton televisi. Tetsuya berjalan perlahan dan mendudukkan dirinya disamping sosok suaminya.
Seijuurou hanya melirik kearah Tetsuya dan kembali fokus ke kotak persegi yang berada didepannya. Menghiraukan sosok Tetsuya.
Lelaki mungil itu besuaha sekuat tenaga untuk tidak menangis detik itu juga. Terlalu perih, ketika orang yang ia cintai justru mengabaikannya.
"Seijuurou-kun." Panggil Tetsuya. Seijuurou diam tak bergeming.
"Seijuurou-kun." lirih Tetsuya sekali lagi. Masih sama, tak ada jawaban dari sosok suaminya. Tetsuya menyentuh pundak Seijuurou.
PLAK
"Jangan sentuh aku." Desisnya.
Tetsuya tersentak, ia menarik tangannya. "Maaf." lirihnya dengan suara bergetar. Tetsuya menundukkan kepalanya dalam, berusaha menahan air mata yang seakan mendesak keluar dari manik matanya.
"Seijuurou-kun!" panggilnya lagi, ketika ia merasakan sosok disebalahnya itu beranjak meninggalkannya.
"Katakan padaku... kemana kau sebulan terakhir ini?" Tetsuya memberanikan diri untuk bertanya. Seijuurou tersentak. Namun sedetik kemudian ia menatap tajam Tetsuya.
"Bukan urusanmu."
Seiring dengan langkah kaki Seijuurou yang menjauhi Tetsuya, air mata berlomba keluar dari mata indahnya.
.-.-.
Merasa tak puas dengan jawaban Seijuurou, Tetsuya memberanikan diri untuk mencari tau apa yang membuat Seijuurou belakangan ini terkesan semakin menjauhi dirinya. Berhubung ia juga sedang dalam masa tenang karena novelnya akan segera rilis.
Tetsuya memutuskan untuk membututi Seijuurou. Pagi hari seperi biasanya, Seijuurou akan berangkat menuju kantor. Tetsuya mengikuti Seijuurou secara diam-diam, dia bahkan berpesan pada seorang karyawati untuk memberitahunya jika Seijuurou beranjak keluar dari ruangannya. Ia lebih memilih untuk menunggu di sebuah kafe kecil yang terletak berseberangan dengan perusahaan Seijuurou. Ia tidaklah bodoh untuk sampai ikut masuk kesana.
Tetsuya merasakan ponselnya bergetar, ia membuka ponselnya dan menemukan sebuah pesan yang berasal dari karyawati yang tadi disuruhnya, dipesan itu mengatakan bahwa Seijuurou keluar dari ruangannya.
Lelaki mungil itu kembali memperhatikan pintu masuk perusahaan Seijuurou. Ia memicingkan matanya ketika retina matanya menangkap siluet Seijuurou keluar dari sana dan menuju mobilnya—hendak pergi. Tetsuya langsung bergegas keluar dan memanggil sebuah taksi untuk kembali mengikuti Seijuurou.
Ia tampak resah, terbukti dari—entah sudah berapa kali ia mendesak sopir taksi itu agar mempercepat laju taksinya dan tak kehilangan keberadaan Seijuurou. Tetsuya mengernyit heran ketika ia tau kemana jalan ini mengarah. Ia semakin merasa bingung ketika matanya melihat mobil Seijuurou berhenti di sebuah gedung berwarna putih yang terlihat cukup padat.
Tetsuya merasa tak asing dengan bangunan ini.
Rumah Sakit Tokyo. Ia sudah cukup sering berkunjung kemari karena beberapa hari terakhir kesehatannya terganggu. Tetsuya masih mengernyit bingung, ketika ia melihat sosok Seijuurou berjalan memasuki rumah sakit.
Ia menggelengkan kepalanya ketika berbagai kemungkinan merasuki kepalanya. Ia pun memutuskan untuk turun dari taksi dan kembali mengikuti Seijuurou.
Ia tak perlu khawatir, Seijuurou tak akan menyadari keberadaanya. Karena ia bagaikan bayangan Seijuurou, yang akan selalu mengikutinya kemanapun ia berada namun tak pernah disadari keberadaannya.
.-.-.
Hari sudah beranjak sore. Tetsuya masih terdiam di sebuah taman yang tak jauh dari rumahnya. Setelah acara membututi Seijuurou yang tak kunjung menampakkan dirinya setelah tanpa sengaja Tetsuya kehilangan jejaknya, Tetsuya memutuskan untuk beristirahat sebentar disebuah taman yang terlihat begitu lengang.
Manik matanya menatap iri sebuah keluarga yang tampak sangat bahagia bermain dengan buah hatinya di taman itu.
Jika dibandingkan dengan keluarganya, nampaknya juga sama saja. Ibu—sosok istri—di keluarga itu juga sama dengan dirinya, bergender laki-laki. Ya, keluarga yang dilihatnya adalah pasangan sesama jenis.
Tak jauh berbeda bukan?
Tapi tetap saja, mereka terlihat sangat bahagia, apalagi ditambah dengan sosok malaikat kecil yang berada disana. Melihat mereka tertawa bersama, saling menyayangi membuat Tetsuya merasa sangat iri—dan sedih.
Kapan?
Kapan dirinya dan Seijuurou bisa seperti? Kapan dirinya dan Seijuurou bisa kembali lagi seperti dulu?
Kapan?
Kapan?
Dan kapan?
.-.-.
Tetsuya tersenyum lembut kearah sosok suaminya yang baru saja memasuki rumah mungil mereka. Walaupun ia tau itu semua percuma, karena Seijuurou akan selalu mengacuhkannya.
Tetsuya sudah memutuskannya tadi, ia akan tetap bersikap baik. Ia akan berhenti membututi Seijuurou walaupun rasa penasaran menggerogotinya, ia hanya merasa bersalah sudah melakukan hal itu pada Seijuurou. Ia merasa... ia terkesan seperti tak mempercayai sosok suaminya.
Ia akan terus tersenyum, akan terus perhatian, akan terus berusaha tegar, demi Seijuurou. Ia tak peduli jika dirinya yang seperti itu akan nampak seperti bayangan semu untuk Seijuurou.
Melakukan semua hal yang terus-menerus diabaikan oleh Seijuurou. Ia merasa seperti dirinya tak lah ada didalam lingkungan hidup Seijuurou.
Ia akan berusaha mengabaikan semua rasa perih didalam hatinya. Ia kan tetap mendekati Seijuurou. Ia akan berusaha menbuat Seijuurounya kembali seperti dulu.
Meski itu artinya ia harus menambah luka dihatinya
.-.-.
Hari ini merupakan hari penting untuk Tetsuya. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari penerbitan novel perdananya. Tetsuya tak pernah merasa sebahagia ini. Bagaimanapun juga. Ini adalah novel perdananya.
Pagi-pagi ia sudah berangkat kekantor untuk memenuhi panggilan atasannya. Tetsuya harus menyelesaikan beberapa urusan dulu, sebelum ia bisa merasakan kebebasan setelah pekerjaan pertamanya sukses.
Siang harinya, Tetsuya baru bisa bernapas lega setelah semua urusannya selesai. Ia memutuskan untuk mampir sebentar ke perusahaan Seijuurou dan mengajaknya untuk makan siang. Ia tak peduli jika pada akhirnya ia harus kembali menelan rasa sakit karena Seijuurou kembali mengacuhkannya—atau bahkan lebih buruk, mengusirnya.
Tapi bukankah Tetsuya sudah bertekat dalam hati? Jika ia akan terus berusaha untuk membawa kembali Seijuurounya yang dulu, tak peduli jika ia harus mengorbankan kebahagiannya.
Dengan keyakinan yang tinggi, Tetsuya pun bergegas menuju perusahaan Seijuurou.
Setengah jam kemudian, ia baru sampai di perusahana Seijuurou. Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Tetsuya langsung menuju ruang kerja Seijuurou. Perlahan ia membuka pintu tersebut.
DEG
Mata Tetsuya memanas. Tidak. Ini pasti bohong. Ini pasti ilusi.
Seijuurou. Seijuurou tak mungkin...
BRAK!
"Ah maafkan saya Tuan, saya tidak senga—Tuan hei Tuan!" Tetsuya mengabaikan suara orang yang tak sengaja ia tabrak saat ia berlari menjauh dari ruang kerja Seijuurou.
Tetsuya hanya merasa... hatinya sakit.
.-.-.
Dan disinilah Tetsuya sekarang. Duduk terdiam disebuah ayunan yang terletak ditaman yang beberapa hari yang lalu baru ia kunjungi. Matanya masih memerah karena menangis.
Hatinya terasa perih. Sangat.
Ia tak pernah merasa hatinya sesakit ini. Rasanya sangat sesak, bahkan untuk menghirup udara saja rasanya ia tak sanggup.
Bukan bermaksud untuk berlebihan, tapi, melihat orang yang ia cintai tengah bercumbu mesra dengan orang lain—bahkan dengan baju yang tersingkap dimana-mana.
Hati istri mana yang tidak hancur?
Pemuda mungil itu mengusap air matanya. Senyum getir terulas diparas manisnya.
Apakah... karena orang itu Seijuurou menjadi acuh kepadanya?
.-.-.
Dua hari semenjak kejadian itu, Tetsuya menjadi sosok yang lebih pendiam. Ia hanya akan tersenyum kecil kepada Seijuurou, tak lagi menyapanya—atau menanyakan hal-hal kecil lainnya pada Seijuurou.
Tetsuya tak tau mengapa, ia hanya merasa tak sanggup jika harus melihat Seijuurou lebih lama, saat melihat sosok Seijuurou, seakan ingatannya tentang hari itu dipaksa untuk diputar kembali layaknya sebuah film.
Entah sudah berapa hari Tetsuya menjadi seperti ini. Ia cenderung lebih menghindari Seijuurou—yang tentu saja itu tak dipermasalahkan oleh Seijuurou sendiri. Ia terlalu sibuk, ya, ia disibukkan oleh pekerjaannya. Novelnya sukses, dan ia berkali-kali harus mengadakan fansign.
Pernah suatu hari, di hari pertama fansignnya, Tetsuya meminta Seijuurou untuk datang, namun Seijuurou hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Sepanjang acara itu, Tetsuya terus berdoa agar Seijuurou datang. Datang demi dirinya. Tapi lagi-lagi Tetsuya harus menelan bulat-bulat harapannya, karena Seijuurou tak akan pernah datang untuknya.
Karena Seijuuoru sudah memilikinya. Malaikat baru untuk hatinya.
.-.-.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tetsuya tak tahan. Ia tak tahan lagi dengan keadaan seperti ini. Keadaan dimana ia dan Seijuurou saling mengacuhkan, bagaikan dua orang asing yang dipaksa tinggal dalam satu atap. Maka ia pun memutuskan untuk langsung menanyai Seijuurou.
Ia menghampiri Seijuurou yang baru pulang dari kerjanya. Ia langsung mencengkram tangan Seijuurou saat Seijuurou hanya meliwatinya dengan acuh.
"Aku... ada yang ingin kubicarakan padamu." Ucapnya.
Seijuurou memandang Tetsuya dingin, "Jika yang kau inginkan itu adalah penjelasan tentang siapa orang yang kau lihat itu, maaf saja, aku tidak akan menjelaskannya padamu."
Tetsuya merasakan satu lagi luka tertoreh pada hatinya. Memang itu yang ia ingin bicarakan pada Seijuurou. Tapi melihat respon Seijuurou yang seperti itu, membuatnya harus kembali menelan kekecewaan.
Tetsuya memutuskan untuk menggeleng, ia masih punya satu pertanyaan lagi untuk Seijuurou.
"Seijuurou-kun jawab aku, untuk apa kau pergi setiap satu minggu sekali ke rumah sakit? Apa yang kau sembunyikan dariku?"
"Bukankah sudah kukatakan padamu jika itu sama sekali bukan urusanmu?" desisnya.
Tetsuya mengepalkan tangannya, cukup. Ia sudah lelah terus bersabar.
"Tentu saja itu urusanku Seijuurou-kun! Kau pikir aku ini apa?! Aku istrimu Seijuurou-kun. Aku istrimu..." suara Tetsuya melemah diakhir. Ia mulai terisak.
Seijuurou memandang remeh Tetsuya, "Oh ya? Maaf aku lupa, jika aku sudah memiliki seorang istri."
DEG
Tubuh Tetsuya membatu. Apa?
"A-Apa katamu?"
"Aku lupa jika aku sudah punya seorang istri, ku kira aku hanya tinggal sendirian disini."
Tubuh Tetsuya bergetar. Ia merasakan hatinya sakit. Sangat!
"Kau bukan Seijuurou-kun yang dulu! Kembalikan Seijuurou-kun yang dulu! Hiks! Kau bukan Seijuurou-kun!" raung Tetsuya sambil memukuli tubuh Seijuurou. Bukan pukulan yang keras memang, mengingat ukuran tubuh Tetsuya yang tergolong kecil.
PLAK
Tubuh mungil itu terhuyung kebelakang. Matanya membelalak lebar. Seijuurou... Seijuurou menamparnya.
Seijuurou terdiam, ia menatap tangannya dan Tetsuya secara bergantian. Tidak.
"A—Seijuurou-kun... Seijuurou-kun membenciku... Seijuurou-kun tak menginginkanku lagi..." lirih Tetsuya. Ia menangis. Matanya terlihat kosong. Tersirat luka yang begitu dalam dikedua manik mata itu.
Tanpa basa-basi Tetsuya langsung berlari keluar dari rumah itu. Menjauh dari Seijuurou.
Meninggalkan Seijuurou yang tengah terpaku.
.-.-.
"Kau benar-benar terlihat seperti mayat hidup-ssu." Ucap Aomine Ryouta—Kise Ryouta yang baru saja resmi mengikat janji dengan seseorang bernama Aomine Daiki—kepada sosok Tetsuya yang masih terdiam sambil menatap langit pagi di balkon kamar tamu dirumahnya.
Ya. Semenjak insiden itu, Tetsuya memutuskan untuk pergi sejenak dari rumah mungilnya dan pergi ke rumah sahabatnya, Ryouta.
Sebenarnya ia merasa tak enak kepada Ryouta, ia telah banyak merepotkan sahabatnya ini, namun ia tak tau harus bagaimana lagi. Ia tak tau harus pergi kesiapa lagi.
Ia hanya seorang diri. Kedua orang tuanya berada Hokkaido. Ia tak lagi punya siapa-siapa disini.
"Seharusnya kau menceritakan masalahmu kepadaku. Bukankah kita sahabat-ssu?" ucap Ryouta lagi. Ia menatap sendu sosok Tetsuya yang hanya mampu menatap kosong kedepan.
Tetsuya menggeleng, ia menatap Ryouta dan tersenyum lemah, "Aku tidak mau mengganggu waktu bahagiamu Ryouta-kun. Bukumu baru saja sukses, dan kau baru saja pulang dari acara bulan madumu bersama Aomine-kun."
Ryouta menghela nafas, ia memang sedang berbahagia. Bukunya sukses dipasaran—sama seperti Tetsuya, dan karena keberhasilannya itu, Aomine Daiki—suaminya memberinya hadiah dengan acara jalan-jalan seminggu ke Eropa. Tapi, Ryouta merasa tak enak kepada Tetsuya. Dirinya sedang berbahagia, namun... sahabatnya sendiri tengah terpuruk.
"Bukan salahmu, ini bukan salahmu Ryouta-kun. Memang aku yang telalu lemah." Ucap Tetsuya seakan bisa membaca pikiran sahabatnya itu.
Lelaki bersurai pirang itu menghela nafas, jika sudah seperti ini, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selai menghibur sosok sahabatnya.
"Tetsuyacchi, ayo ikut aku jalan-jalan sebentar." Ajaknya dengan ceria. Tetsuya hanya mengangguk. Ia paham. Ryouta tengah berusaha untuk menghiburnya.
.-.-.
Tetsuya memandang keluar. Jalan-jalan dikota Tokyo dipenuhi oleh salju yang sudah mulai turun. Uap tipis terlihat keluar dari bibir mungilnya ketika ia bernafas.
Kira-kira sudah satu bulan lebih ia pergi meninggalkan rumah. Tanpa Seijuurou yang mencarinya—atau minimal mengkhawatirkannya.
Tetsuya menghela nafas berat, kepulan asap kembali terlihat. Ia menatap sahabatnya yang tengah sibuk dengan secangkir coklat hangat ditangannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan kembali karena ragu.
"Aku tau kau ingin mengatakan sesuatu padaku-ssu. Katakanlah." Ucap sahabatnya tatkala Tetsuya kembali melemparkan pandangannya ke sosoknya.
Tetsuya tersenyum samar, "Aku tak pernah tau kalau kau seorang peramal, Ryouta-kun." Ucapnya datar.
Ryouta—sahabatnya—mendelik kesal kearah Tetsuya, "Dan aku tak pernah tau seorang Tetsuyacchi yang katanya tegar hanyalah seorang bayi besar." Gerutunya. Tetsuya menyipitkan matanya, "Tidak lucu."
Ryouta mengangkat bahunya acuh dan kembali menyesap coklat hangatnya, "Kau tidak berpikir untuk kembali kerumah-ssu? Seicchi pasti mengkhawatirkanmu."
Tetsuya menggeleng, ia kembali menatap jalanan diluar cafe kecil di sudut Tokyo, "Tidak."
Lelaki mungil itu bisa mendengar helaan nafas yang berasal dari sosok sahabatnya yang kini tengah menatapnya dengan serius. Tetsuya yang jengah dengan tatapan Ryouta menolehkan kepalanya, "Aku tau kau pasti memiliki maksud tersendiri berkata seperti itu padaku, Ryouta-kun. Mengusirku misalnya."
"Aku tidak akan mengatakan tidak-ssu. Karena memang itu salah satu tujuanku."
Tetsuya menahan napas, "Ingatkan aku untuk menyuruh Aomine-kun menghukummu nanti."
Ryouta mendengus kesal, "Hidoi-ssu, aku 'kan hanya bercanda Tetsuyacchi."
Tetsuya menatap Ryouta tajam, pertanda bahwa ia sama sekali tidak terhibur dengan candaan dari sahabatnya tersebut.
"Baiklah-ssu, aku kalah. Kau menang. Kita bahas hal lain saja, bagaimana perkembangan kesehatan, Tetsuyacchi?" tanya Ryouta. Ia kembali berkutat dengan coklat kesukaannya.
Lelaki mungil yang menjadi korban pertanyaan Ryouta terdiam sejenak, ia melakukan hal yang sama dengan Ryouta, bedanya, ia hanya menghirup aroma coklat hangatnya tanpa niat untuk menyesapnya.
"Cukup baik Ryouta-kun. Sebelum seseorang datang untuk curhat kepadaku tentang suaminya yang pergi bisnis ke Eropa selama seminggu penuh tanpa henti."
Ryouta menyipitkan matanya,"Hidoi-ssu. Aku tau yang Tetsuyacchi maksud itu pasti aku kan?"
Tetsuya tertawa ringan, "Ryouta-kun, kau mau menemaniku? Kurasa aku sudah memiliki rencana sendiri."
"Rencana apa-ssi? Dan hei, aku tidak ingin membantumu jika itu adalah hal yang aneh-ssu."
Tetsuya memutar matanya bosan.
"Tidak akan. Percayalah."
.-.-.
Seorang lelaki tampan terlihat terduduk terdiam di sofa yang berada di dalam rumah mungilnya—ralat—rumah mungil miliknya dan istrinya. Lelaki itu adalah Seijuurou.
Ia terlihat hanya terdiam. Tak berniat melakukan apapun. Ingatannya kembali melayang ke kejadian beberapa minggu yang lalu. Apakah dirinya keterlaluan?
Sepertinya iya. Mengingat sosok yang disakitinya tak lagi menginjakkan kakinya disini. Meninggalkan semua barang dan pakaiannya disini.
Seijuurou tidak menyesal, ia pikir begitu.
Ia hanya khawatir. Khawatir bagaimana keadaannya ditengah dinginnya musim dingin yang melanda Tokyo. Apakah ia kedinginan diluar sana atau tidak? Apakah—
Cukup. Seijuurou tak peduli.
Iya. Ia tak peduli.
.-.-.
Katakanlah Tetsuya gila. Katakanlah Tetsuya bodoh.
Karena memang begitu adanya.
Ryouta tak pernah habis pikir dengan jalan pikir orang yang menjadi sahabatnya semenjak mereka duduk di bangku sekolah menengah.
Bagaimana bisa, seorang yang sudah memiliki seorang suami justru memilih untuk tinggal disebuah rumah mungil yang letaknya cukup jauh dari kota.
Sebenarnya, ini juga sebagian dari kesalahannya, ia ingat dengan jelas, ketika dirinya berhasil dikelabui oleh Tetsuya.
Tetsuya mengatakan bahwa dirinya ingin mencarikan sepupunya yang tinggal tak jauh darisini sebuah rumah, agar dirinya dengan mudah bisa mengunjunginya dan tak perlu merepotkan Ryouta seandainya Tetsuya sedang tak ingin berada di rumah.
Dan Ryouta langsung menyetujuinya tanpa tahu bahwa,
Tetsuya tidak memiliki satupun sepupu yang tinggal di Tokyo. Semua keluarga besarnya tinggal di Hokkaido.
Dan saat itu pula, Ryouta merasa ia adalah orang yang paling bodoh didunia karena berhasil ditipu oleh seorang lelaki manis bernama Akashi Tetsuya.
"Aku hanya butuh ketenangan. Ya hanya ketenangan." Jawab Tetsuya ketika Ryouta menanyakan alasan mengapa Tetsuya harus rumah mungil ini.
"Apa kau ingin menulis sebuah novel lagi-ssu?" tanya Ryouta kepada Tetsuya saat mereka berdua tengah bersantai diberanda rumah setelah sebelumnya membersihkan keadaan rumah yang cukup berdebu karena cukup lama sudah tidak ditinggali.
Tetsuya tersenyum tipis, ia menatap hamparan salju yang berjatuhan, "Kurasa begitu."
Ryouta tersenyum lebar, "Kuharap novelmu akan sukses lagi-ssu."
"Terimakasih."
.-.-.
Tetsuya tak tau bagaimana ceritanya ia bisa sampai didepan pagar rumah minimalis yang terlihat sedikit tak terawat. Lelaki mungil itu terlihat ragu untuk memasuki rumah itu. Tapi keraguan sirna ketika ia merasa benar-benar merindukan suasana rumah ini, sekaligus merindukannya, orang yang sudah melukai hatinya.
Tetsuya heran, ketika ia mendapati rumah dalam keadaan tak terkunci dan tak ada satupun orang dirumah.
Lelaki mungil itu menghela nafas, betapa cerobohnya suaminya.
Oh masih pantaskah dirinya menyebut Seijuurou sebagai suaminya setelah semua kejadian yang ia alami?
Ia menggelengkan kepalanya. Tidak ingin terlarut dalam berbagai pikiran negatif yang merasuki otaknya, ia memutuskan untuk merapikan rumah mungil ini yang terihat sedikit tak terawat.
Sedikit heran, karena yang ia tau Seijuurou adalah tipe orang yang rapi dan tidak ceroboh, tidak mungkin bukan ia meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan dan juga tidak terkunci?
Atau mungkin... Seijuurou tengah dilanda suatu masalah?
.-.-.
Lelaki mungil itu terbangun dengan badan yang terasa begitu pegal. Manik baby bluenya melihat jam yang tergantung manis diruangan itu. Pukul 5 sore. Sudah waktunya ia memasakkan makan malam untuk suaminya.
Ia melangkahkan kakinya menuju dapur, ia mendesah berat ketika mendapati keadaan lemari dapur yang benar-benar kosong tanpa ada satupun bahan masakan yang bisa diolahnya.
Tetsuya pun memutuskan untuk berbelanja sebentar. Diraihnya mantel miliknya dan segera pergi untuk berbelanja.
Sepanjang perjalanan pulang—Tetsuya sudah selesai berbelanja disalah satu minimarket yang jaraknya selisih 3 blok dari rumahnya—Tetsuya memikirkan keputusannya, apakah tinggal terpisah sementara dengan suaminya adalah hal yang tepat?
Tetsuya menghela nafas berat. Semua ini melelahkannya. Ia lelah. Tapi ia tak ingin menyerah.
Langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti, layaknya dipause. Begitu juga dengan seluruh indranya.
Yang ia rasakan sekarang hanyalah satu.
Sakit.
.-.-.
Seijuurou tekejut, mendapati Tetsuya tengah terduduk di sofa ruang tengah dan tersenyum lembut seperti biasa. Ia tak pernah berpikir jika Tetsuya akan kembali lagi kerumah ini.
Ia lebih terkejut lagi, ketika ia mendapati berbagai makan makanan terhidang diatas meja makan. Seijuurou hendak duduk di salah satu kursi diruang makan, sebelum Tetsuya datang padanya dan mengatakan sesuatu—lengkap dengan senyum lembutnya.
"Seijuurou-kun kita perlu bicara."
.-.-.
Tetsuya tak tau, ia harus senang, terkejut, atau bingung ketika mendapati suaminya menanggapi permintaannya untuk berbicara tentang masalah mereka.
Tapi yang terpenting, Tetsuya merasa ia cukup lega. Jika Seijuurou mau berbicara dengannya, bukankah ini berarti sama saja masalah mereka akan lebih cepat selesai.
Ia menatap suaminya dengan tatapan teduh dan lembut seperti biasa.
"Seijuurou-kun, katakan padaku, apa yang kau sembunyikan dariku?" ucapnya memecah keheningan.
Seijuurou menatap Tetsuya tajam, "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak mencampuri sedikitpun urusanku?"
DEG
Luka dihatinya bertambah satu.
"Seijuurou-kun aku berhak tau... terutama tentang orang itu, pria yang sama yang pernah kulihat sedang bersamamu." Lirihnya. Ia tak tau harus bagaimana. Hanya itu satu-satunya hal yang ingin ia ketahui.
"Pria itu? Apapun dugaanmu saat ini itu adalah benar."
"Apa?"
"Seperti dugaanmu. Dia kekasihku."
DEG
Tubuh mungil itu menegang. Tetsuya merasakan seluruh oksigen didunia ini menipis dan suhunya menurun secara drastis ketika ia merasakan tubuhnya yang tiba-tiba mendingin dan paru-parunya yang tidak bisa bernafas dengan normal.
Tetsuya menggeleng, ia tidak ingin memercayai apa yang dikatakan oleh suaminya. Tidak ingin.
"Bohong." Ucapnya lirih. Tidak mau percaya dan tidak akan pernah percaya.
"Sayangnya itu kenyataan." Ucap suaminya dengan lugas, seolah ia samasekali tidak menyesal atas apa yang sudah ia lakukan.
Tubuh Tetsuya bergetar.
Menangis.
Ia kembali harus menumpahkan air matanya untuk sosok yang ia cintai.
"Sebenarnya apa kesalahanku? Kau berubah Seijuurou-kun. Kau berubah." Lirihnya. Ia hanya mampu menunduk.
"Kau bukan Seijuurou-kunku yang dulu. Kau—hiks. Aku tidak tau apa alasanmu hingga kau memiliki kekasih lain lagi. Bahkan aku tidak tau alasanmu bersikap dingin padaku seminggu sebelum pernikahan kita dan bahkan sampai sekarang...
...aku tidak tau Seijuurou-kun. Aku tidak tau. Apa ini artinya kau sudah tak lagi mencintaiku? Begitukah? Jika benar begitu, maka sikapmu selama ini memang benar. Menjauh dan bersikap dingin padaku."
Tetsuya menarik nafas sejenak, ia mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir lebih deras dari pelupuk matanya.
"Sejujurnya—hiks—aku lebih memilih kau seperti dulu, mengacuhkanku, mengasariku, mengabaikanku. Daripada mengetahui fakta bahwa kau tak lagi mencintaiku—bahkan sudah memiliki kekasih baru. Aku... aku merasa aku benar-benar menjadi bayanganmu. Selalu mengikuti kemanapun kau pergi, tanpa sekalipun kau perhatikan. Sampai akhirnya kau tak akan pernah peduli pada bayanganmu. Seperti itulah aku. Ya. Aku hanya bayanganmu. Tapi aku bahagia, menjadi bayangan orang yang kucintai."
"Tapi bukankah kau tau, jika bayangan hanyalah bayangan. Sosok semu. Berusaha sekeras apun, aku hanya akan menjadi sosok semu dalam kehidupanmu dan akhirnya... menghilang."
"Seijuurou-kun, maaf sudah merepotkanmu, maaf sudah menganggumu selama ini. Terimakasih untuk semuanya. Aku—aku tau, kau pasti terganggu dengan bayanganmu ini. Jadi lebih baik aku pergi."
Dan bersamaan dengan itu, air mata yang sudah berhasil ia kendalikan kembali lolos dari matanya. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, ia segera menyambar mantelnya dan pergi darisana. Pergi sejauh mungkin.
Sejauh mungkin dari sosoknya.
To be Continued
Kuro's corner:
Doumo minna-san.
Tunggu! Jangan rajam saya dulu. Iya saya tau saya nyebelin asem kuadrat karena lambat update ff yang lain.
Saya lagi krisis ide serius. Beneran. Jujur. Zumpah deh demi Kuroko.
Ide-ide saya yang sebelumnya mengalir lancar bak air terjun kini harus rela terkikis oleh materi-materi sekolah yang—cukup, kalau diomongin bikin saya nightmare.
Dan sejujurnya, fiksi saya yang ini sudah sangat amat teramat usang—mungkin dari jaman fir'aun, entahlah saya tidak tau. Saya secara tidak sengaja menemukan fiksi ini nyempil diantara folder tugas sekolah lama, di datenya itu tahun 2013 pertengahan.
Jadi, saya berpikir kok kayaknya mubazir kalau dibiarkan begitu saja dan menunggu digerogoti virus, mending diupload saja. Maaf jika gaya bahasa dan alurnya masih too amberadul. Saya sudah berusaha mengeditnya sedemikan rupa biar mirip-mirip dikit dengan gaya bahasa saya yang sekarang—walau kenyataannya saya cuman rombak 50% dibagian akhir doang.
Oh ya, ini tadinya oneshoot, cuman menurut saya 12K+ word itu terlalu panjang, jadi saya pisahkan jadi dua, dan kalau sinyal bagus akan saya upload besok atau lusa.
Dan sebelum saya menghilang dibalik tumpukan tugas, saya mau minta maaf dulu, karena beberapa character is too much OOC.
Last, review?^^
