Warning!!!
OOC, Canon, Gaje, Typo berserakan
.
.
.
.
.
UsagiNekoMoon
.
.
.
.
.
Masashi Kishimoto
.
.
.
Naruto
.
.
Hujan turun dengan derasnya di Tokyo, membuat sebagian orang memilih untuk berteduh, namun sebagian lagi tetap melanjutkan aktifitas berjalan mereka, salah satunya adalah Hyuuga Hinata.
Seorang gadis SMU yang tetap berlarian kecil disepanjang gang sempit untuk mencapai tempatnya tinggal. Hujan yang seperti ini bukan masalah bagi Hinata, toh ini sudah hampir sampai.
Dekapan tangannya memeluk erat beberapa buku miliknya yang tidak muat dimasukkan kedalam tas, rambutnya yang sudah hampir basah sempurna bergerak mengayun mengikuti langkah kaki.
"Hoshh, hoshh"
Sungguh, ini melelahkan baginya. Berlari disaat hujan dalam keadaan membawa banyak buku.
"Ah, sampai juga" Hinata langsung berdiri tepat dibawah naungan atap rumahnya.
Meletakkan tas dan buku yang sudah di bawa di dekat keset kaki, memeras rambut biru gelap nya beberapa kali agar tidak terlalu membasahi lantai ketika dia masuk nanti.
"Tadaima" Ucap Hinata pelan, memutar knop pintu dan melangkah masuk. Walaupun tidak akan ada yang menyambut dia pulang, tapi itu sudah kebiasaan bagi Hinata setiap hari. Mau bagaimana lagi, dirumahnya yang kecil ini hanya dia yang tinggal seorang diri.
"Hari ini enaknya masak apa ya?" Hinata bergumam kecil.
"Ah, karena aku belum belanja, sepertinya aku hanya makan tamago goreng saja"
Sebagai seorang gadis yang hidup sendiri, Hinata
sudah terbiasa dengan semua pekerjaan rumah yang harus dikerjakan perempuan. Bahkan, empat hari dalam seminggu dia akan bekerja paruh waktu disebuah cafe untuk menambah biaya kelangsungan hidupnya.
Orangtua Hinata tentu saja masih hidup, namun keduanya tinggal didesa sekitar pegunungan di Hokkaido. Kedua orangtua nya bekerja sebagai petani. Dari sejak Hinata kecil, segala kebutuhan hidupnya terpenuhi berkat kerja keras orangtua.
Menjadi salah satu gadis paling pintar disekolah merupakan salah satu balas budi yang bisa Hinata berikan untuk mereka. Dan tentu saja mendapat beasiswa disalah satu sekolah terkenal di Tokyo membuat kedua orangtua Hinata menjadi bangga.
Dan perihal rumah kecil ini, ini adalah rumah peninggalan bibi nya untuk Hinata agar dapat tinggal di Tokyo, setidaknya tidak perlu menyewa rumah lagi.
"Baiklah, waktunya membuat makan malam!"
Kesepian bagi Hinata adalah hal wajar. Dirumah tidak ada yang bisa diajak bicara atau bahkan sekedar untuk disapa. Tapi tak apa, dia selalu bersyukur.
.
.
.
.
.
.
'tap tap tap tap tap'
Suara kaki yang berlari kencang terdengar jelas diseluruh koridor sepi ini.
'Hoshhh hoshhh hoshhh'
Napas tersengal-sengal yang sudah mencapai batasnya tidak bisa membuat dia berhenti berlari.
'Aku harus keluar dari tempat ini'
Keringat yang terus mengalir, kantung mata yang begitu gelap, rambut hitam yang acak-acakan, kulit putih pucat dan kedua taring besar yang nampak menakutkan.
Dipergelangan tangan kiri nya terdapat gelang yang bertuliskan 'Sasuke'.
.
.
.
.
.
.
"Hoammmm~" Hinata membuka matanya perlahan, menyingsing rasa kantuk dengan sabar.
Diliriknya kalender yang berada tepat disamping ranjangnya.
'Tanggal merah'
Ya, sekolah memang tanggal merah. Tapi tidak untuk pekerjaannya. Seraya menguncir rambut panjangnya, Hinata berjalan kearah kamar mandi. Memandang datar dirinya dicermin, lalu terngiang ucapan Sakura kemarin pagi diotaknya.
"Hinata, kau ini gadis yang cukup manis, dadamu juga besar, tapi kenapa sampai saat ini kau belum juga punya pacar? Apa kau ini tidak normal, huh?"
'T-tidak normal katanya?'
Hinata mendengus sebal. Memang apa salahnya jika dirinya belum punya pacar? Toh, dia juga belum menemukan lelaki yang tepat.
Tanpa harus ambil pusing atas apa yang Sakura katakan, Hinata lebih memilih cepat mandi atau tidak dia akan terlambat.
.
.
.
.
.
.
'Bruak!!!'
Suara hantaman yang keras didepan pintu membuat Hinata kaget dikamar mandi. Dengan cepat dia sudahi mandinya, membungkus badan rampingnya dengan handuk dan berlari ke pintu depan.
"Apa itu kucing?" gumamnya.
Saat Hinata akan berlari ke pintu masuk rumahnya, dirinya diam membatu kala melihat sosok pria yang sudah terbaring didekat lemari bajunya.
'S-siapa dia? Bagaimana dia bisa masuk? A-apa dia penjahat? Apa dia akan m-membunuhku?'
Hinata takut bukan kepalang, bahkan tubuhnya yang hanya terbalut handuk itu semakin gemetar saat melihat banyak darah disekitar pria tersebut.
"Ponselku!" Dengan cepat Hinata berlari kearah ranjang guna mencari ponselnya. Saat ini yang ada dipikirannya adalah menelepon polisi.
Saat jarinya dengan gemetar mulai menyentuh layar handphone, tiba-tiba saja suara berat terdengar ditelinganya.
"J-jangan memanggil polisi" Suara yang begitu berat dan gemetar itu membuat Hinata semakin ketakutan. Dirinya tetap berusaha memencet beberapa tombol untuk menolongnya sekarang juga.
"Kau tidak dengar, huh? Sudah kubilang jangan memanggil polisi" Pria tersebut mengambil handphone Hinata dengan cepat dan membantingnya dengan keras kelantai.
Mata Hinata terbelalak, tubuhnya benar-benar lemas, bahkan ia merasa sudah tidak kuat untuk berdiri, dan perlahan merosot terduduk dilantai.
"T-tolong aku"
"E-eh?" Hinata berusaha menengak, mata bulannya memandang wajah pria didepannya yang masih berdiri.
Airmata mengalir dengan jelas diwajah pria tersebut.
'Brukkkk!'
Tubuh tegap dan kokoh itu tumbang, menimpa tubuh mungil Hinata.
"B-bagaimana ini?" Hinata berusaha mendorong tubuh besar nan berat ini.
'A-apa dia pingsan?'
Hinata melihat sejenak pada wajah pria tersebut. Kulitnya benar-benar putih pucat dan tidak ada sedikitpun cacat fisik diwajah, alis yang begitu tebal dan rapi, hidung mancung dan rahang yang benar-benar sempurna, hanya bagian bawah matanya saja yang sedikit menghitam.
Hinata sadar satu hal, pria ini benar-benar tampan.
'Kenapa dia m-menangis tadi? Tubuhnya bahkan tadi gemetar? Seharusnya aku yang t-takut padanya'
'A-apa dia mati?!'
Hinata mulai merasakan adanya deru napas didekat lehernya. Ya sepertinya pria ini tidak mati, mungkin hanya pingsan ataupun tertidur.
Sekarang apa yang harus Hinata lakukan? Haruskah dia memanggil polisi? Tapi Hinata tau jelas bagaimana pria tadi menatapnya, itu benar-benar mengisyaratkan ketakutan.
"Kami-sama, aku harus apa?" gumamnya pelan.
.
.
.
.
.
.
.
To be continue
Yoshhhhhh~~~~
Maaf jika absurd, ini sudah kemampuan maksimal ku.
selanjutnya, belum tau sih mau dibikin kaya gimana ini cerita :v
Ada yang punya saran harus seperti apa?
.
.
Dont forget to Review
Review kalian adalah penyemangatku*
