Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: OOC, OC(s) in future chapters, typo(s), shonen-ai, semi canon / canon modified.
~First Meeting~
.
.
Kalajengking pasir merah adalah julukan dari seorang pria berambut merah yang kini duduk menyendiri di ruangannya, hanya ditemani oleh beberapa boneka kayu yang tergeletak di sekelilingnya. Sepasang manik Hazel menatap potongan boneka kayu di pangkuannya. Jemarinya yang terbuat dari kayu—kualitias terbaik yang pernah ia temukan di muka bumi—mengusap-usap lengan kayu dari boneka di pangkuannya guna memastikan tak ada cacat sedikitpun pada karya seninya tersebut. Pikirannya memang tak sepenuhnya terfokus pada pekerjaannya, hanya saja ia sangat menikmati keheningan di ruangan tersebut. Sang pengendali kugutsu ini menikmati keheningan yang mungkin tak akan lagi ia dapatkan ketika tiba saatnya ia harus membagi ruangan dengan partner yang baru. Ya, setelah sekian lama dirinya menjalankan misi seorang diri, hari ini ia akan mendapatkan rekan baru.
Sedikit menggerakkan pergelangan tangan salah satu hasil karyanya dengan gerakan memutar, ia menerka-nerka seperti apa partner barunya nanti. Ia tak ingin mendapatkan partner yang sama dengan partnernya terdahulu, manusia ular yang—menurutnya—menjijikkan. Kali ini ia mengharapkan partner yang bisa mengimbangi sikap tenangnya, mungkin seperti Itachi. Hanya saja sang pengendali kugutsu ini tidak mencoba memikirkan apa yang akan terjadi jika pria sedingin dan setenang Itachi menjadi partnernya. Tak ada satupun dari mereka yang akan memulai pembicaraan. Ruangan akan sunyi. Misi akan berjalan tanpa suara. Tapi sepertinya itu bukanlah hal buruk. Sang kalajengking menyukai ketenangan.
Ia hanya bisa berharap partnernya yang baru nanti bisa memberinya ketenangan. Kalau bisa, seseorang yang berusia lebih tua darinya agar ia tak perlu mengurusi partner yang kekanak-kanakkan. Setelah berpikir sesaat, ia merasa sedikit lega karena ia yakin organisasi mematikan seperti Akatsuki ini tidak akan mencari anggota yang kekanakkan. Setidaknya kesimpulan itu bisa membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Partnernya adalah seorang pria dewasa yang kuat, memiliki pemikiran jauh ke depan, berkepribadian yang tenang dan dingin, juga mengerti tentang seni yang sesungguhnya. Begitulah harapnya.
.
.
Tetapi harapan hanyalah sekedar harapan. Jika Sang Pencipta tidak menyetuji harapannya, tiada guna untuk memaksa.
Calon partnernya sangat jauh dari prediksinya.
Bocah ini yang akan menjadi partnerku? Tunggu, dia bahkan terlihat seperti perempuan.
Itulah yang bersarang di pikiran Sasori ketika ia berhadapan dengan seorang remaja berambut pirang di sebuah kuil desa Iwagakure. Untuk beberapa alasan,mata Hiruko—boneka yang melindungi tubuh Sasori—tak henti menatap remaja di hadapannya. Beribu pertanyaan menghujani kepalanya ketika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa remaja laki-laki yang usianya tak lebih dari enam belas tahun itulah yang akan menjadi partnernya.
Ketua pasti bercanda.
Sayangnya tidak. Ketua Akatsuki tidak bercanda, bahkan tidak pernah bercanda dalam hal apapun.
Harapan dan prediksi Sasori meleset jauh, berbeda seratus delapan puluh derajat. Bukan pria kuat, dewasa, tenang, dan dingin yang akan menjadi partnernya. Melainkan seorang remaja berambut pirang panjang sepinggang dengan bagian bawah rambutnya diikat, wajah kirinya tertutupi oleh rambutnya, wajah muda yang menunjukkan semangat, dan sikap yang meledak-ledak. Tubuhnya bisa dikatakan cukup mungil untuk laki-laki seumuran dirinya. Dari bentuk tubuh dan wajahnya, Sasori hampir yakin bahwa remaja itu adalah seorang perempuan. Jika seandainya Pein sang ketua tidak mengatakan sejak awal bahwa partner baru Sasori adalah seorang laki-laki, Sasori tidak akan percaya remaja di hadapannya adalah seorang laki-laki.
Sasori tidak habis pikir apa yang istimewa dari calon partnernya yang belakangan diketahui bernama Deidara ini. Selain terlihat lemah dan tipe yang cepat mati, Deidara sangat berisik. Saat itulah Sasori mulai membenci calon partnernya.
"Akan kuntunjukkan seni yang sesungguhnya, un!"
Belum lagi saat ia mengatakan ia tahu seni yang sesungguhnya.
Yang benar saja?, Sasori meringis. Bocah sepertinya tak mungkin tahu arti seni yang sesungguhnya.
Ditambah dengan cara bicara remaja itu, seperti 'un' yang ia gunakan untuk mengakhiri hampir semua kalimatnya.
Belum lagi saat Deidara melemparkan tanah liat berbentuk laba-laba kepada Itachi lalu meledakkannya. Ia mengatakan dirinya akan menunjukkan seni yang sesungguhnya tapi malah menghancurkan seni itu sendiri? Konyol, Sasori membatin.
Detik demi detik berlalu, rasa benci Sasori pada Deidara kian meningkat.
Tetapi tak dapat dipungkiri hadirnya beberapa hal dari Deidara yang membuat Sasori terdiam untuk mengamati lebih dalam. Seperti rambutnya. Rambut Deidara terlihat begitu halus dan lembut, terlihat dari bagaimana rambut pirang itu menari perlahan saat angin berhembus melalui pintu kuil yang terbuka. Untuk memiliki rambut yang sedemikian indah, bahkan lebih indah dari perempuan, tentu bukan hal yang mudah. Hal lain yang yang Sasori perhatikan diam-diam adalah seringaian yang sejak awal terukir di bibir seniman ledakan tersebut. Seringaiannya membuat pipinya terdikit terangkat, membuat sudut yang sempurna di wajahnya.
Sasori tidak akan mengakuinya, tetapi calon partnernya—yang kini sudah kalah dari genjutsu Itachi—adalah seorang remaja yang unik. Tetap saja, hal ini tidak membuat rasa benci Sasori padanya berkurang. Membayangkan bagaimana hari-hari yang harus ia jalani dengan remaja yang berisik, keras kepala, dan tidak mau kalah itu membuat gigi Sasori gemeretak.
Hanya saja, Sasori tidak menyadari betapa dirinya mengagumi iris biru sewarna langit yang dimiliki oleh Deidara.
.
.
'Pria tua yang aneh' adalah pemikiran Deidara saat pertama kali ia melihat Sasori. Ia tak pernah melihat seseorang begitu buruk rupa dan bungkuk, terlebih lagi suaranya berat dan terdengar tidak alami. Sebenarnya Deidara tidak ingin menjelek-jelekkan pria tua yang akan menjadi partnernya itu di dalam pikirannya. Hanya saja cap 'tipe yang cepat mati' yang diberikan pria itu pada Deidara membuat Deidara kesal bukan main. Tentu Deidara memang sudah merencanakan untuk mati dalam ledakannya sendiri di usia yang masih produktif, masa di mana ia masih bisa berkarya dengan baik. Tetapi itulah yang membuat Deidara membenci calon partnernya yang bernama Sasori itu.
Sasori bisa membacanya dengan mudah.
Itulah yang membuat Deidara membencinya.
Deidara bukanlah sebuah buku terbuka yang bisa dibaca dengan mudahnya. Deidara adalah sebuah gulungan rahasia yang tidak bisa dibuka karena beberapa segel yang melindungi. Tetapi hanya dalam sekali pertemuan, Sasori bisa membacanya dengan mudah –membuka semua segel yang melindunginya dengan sekali tatapan.
Kekesalannya bertambah ketika mereka berdebat untuk yang pertama kalinya. Saat itu dirinya, Sasori, Itachi, dan Kisame baru saja tiba di markas Akatsuki yang tersembunyi di balik sebuah pegunungan. Saat mereka ingin mempertemukan Deidara dengan ketua dari organisasi yang seluruh anggotanya mengenakan jubah hitam bercorak awan merah tersebut, Kisame tiba-tiba berucap, "Kurasa kalian akan menjadi partner yang hebat," seraya melirik Sasori dan Deidara yang berjalan di belakangnya. Dengan sedikit menyeringai, ia melanjutkan. "Karena kalian berdua sama-sama seniman. Kalian bisa berkolaborasi dengan sempurna."
Saat mengetahui bahwa Sasori juga merupakan seorang seniman, Deidara merasa bersemangat kembali.
"Benarkah, un? Kau seniman juga?" tanyanya antusias kepada Sasori. "Berarti kau membuat ledakan juga?"
"Ledakan katamu?" Suara berat Hiruko menggema di dalam ruangan berdinding batu. "Seni sama sekali tidak berhubungan dengan ledakan. Sedikit pun tidak. Seni berhubungan dengan keindahan dan keabadian."
"Keabadian?" Salah satu alis berwarna pirang terangkat. "Hey! Yang benar saja, un? Seni yang sesungguhnya haruslah berumur singkat. Menunjukkan keindahan untuk beberapa saat, lalu , bang! Lenyap dan habis sudah. Tidak ada yang tersisa, tidak ada celah bagi orang lain untuk mencari-cari kekurangan dari seni itu, un!"
"Keindahan macam apa yang hanya bisa dinikmati dalam waktu beberapa detik? Keindahan seperti itu akan dengan mudahnya dilupakan oleh orang lain. Tidak akan ada apresiasi, tidak ada yang bisa dikenang."
"Tidak, tidak." Remaja itu menyeringai. "Justru karena keindahannya berlangsung sesaat, orang-orang akan terkesan dan akan terus mengenangnya dalam ingatannya, un!"
"Apa katamu?" ekor Hiruko yang berbentuk serupa ekor kalajengking menyembul dari balik jubah hitamnya. "Kau jangan bermain-main, bocah. Prinsip seni konyolmu benar-benar kenakan-kanakkan."
Dan perdebatan mereka terus berlanjut, tanpa pemenang.
Kisame—anggota Akatsuki yang memiliki rupa layaknya hiu—menghela napas, namun seringaian di bibirnya belum sirna.
"Bukankah mereka pasangan yang menarik, Itachi-san?" bisiknya.
Sang pemuda Uchiha tetap menatap lurus ke depan dan hanya merespon dengan gumaman. "Hm."
Pertemuan pertama ini tentunya tak akan pernah mereka lupakan. Walaupun hanya terjadi sesaat, namun kenangannya abadi, bukan?
_TBC_
1.250 words.
Yak inilah chapter 1 dari fic yang spesial saya tulis untuk 2nd SasoDei Month. Tapi sayangnya fanfic ini belum selesai saya tulis alias masih on-progress. Tapi saya akan berusaha untuk tetap mem-publish 1 chapter setiap hari.
Jadi, bagaimana tanggapan kalian mengenai chapter 1 ini?
