Mission Approved
KnB © Tadatoshi Fujimaki
Warning: Sengklek!Kisedai, author mabok, typos, alur berantakan, seenaknya, why so serious?
.
.
.
Cerita ini bermula ketika lambungan bola terlempar masuk ke dalam ring, menciptakan tiga poin sempurna tak terelakkan, dilanjutkan dengan gerakan kilat pemuda dim, berusaha merebut bola dari tangan putih susu yang memasang pose defensif elegan. Bola kembali melayang, yang memegang sudah membalikkan badan, trademark rekan satu timnya yang selalu dibanggakan.
"Akashi!"
Akashi berdiri santai di tengah lapangan, membelakangi ring lawan sambil membiarkan sepoi angin melambaikan rambut merahnya. Keringat jatuh menyusuri lekuk lehernya sebelum mendarat di atas aspal yang terbakar, terevaporasi. Pemuda dengan julukan sejuta pesona itu menikmati semilir angin menyejukkan sambil menutup mata, bibir menyunggingkan seringai tipis beraura enigmatis, menambah sejuta persen kegantengan yang sukses membuat para gadis labil di pinggir lapangan menjadi gila dan histeris. Ah, siapa itu yang memuja-muja namanya bagai dewa Yunani? Telinganya sudah dipenuhi euforia perempuan kelaparan akan pelayanan memanjakan hasrat di depan mata.
Oh, sempurna.
Tidak, sampai teriakan dari arah belakang mengganggu semua adegan tampan yang dipertontonkan.
"Akashi!"
Suara siapa, sih? Jelek amat!
"WOY, AKASHI SEIJUUROU! TELINGAMU DI MANA!"
Apa? Telinga Akashi hilang?
Akashi tanpa sadar mengangkat tangannya ke arah wajah, tepatnya sedikit ke samping. Masih utuh. Dua. Setengah tersembunyi di balik helai rambut merahnya yang halus mempesona.
"―KASHI, TELINGAMU MANAAA?!"
Yang dipanggil menoleh ke belakang, asal suara berada. Matanya menatap heran pada Aomine yang memposisikan dua tangan di depan mulut, agar suaranya terdengar lebih kencang. Jari Akashi langsung menunjuk ke samping wajah, tempat telinganya berada, masih memperhatikan Aomine dengan mata yang seakan mengatakan 'kau tidak lihat telingaku masih menempel erat di sini? Salahmu terlalu sering menonton porno, mungkin matamu sudah katarak'.
Kise di sampingnya menutup rapat-rapat pendengarannya dan berlari ke belakang Murasakibara. Ia berharap badan raksasa dan perut elastis pemuda berambut ungu itu dapat meredam suara yang memekakkan milik Aomine.
Midorima hanya diam bergeming, headphone berbulu berbentuk telinga kelinci terpasang rapih di kepala―jangan tertawa! Oha-asa selalu benar. Lucky item hari ini sangat berguna.
"TELINGAMU MANAAA?!" ulang Aomine dari jauh.
Akashi makin bingung. "Masih ada," jawabnya dengan sangat yakin.
"BODOOOH!" Aomine makin berteriak sekuat tenaga. Setidaknya biarkan ia mengakselerasi kekuatan penuh (atau lebih tepatnya menghina Akashi sepuasnya) sebelum mati di tangan tuan muda itu. "KAU INI BODOH, TULI, ATAU KEDUANYA, HAH?!" Aomine memang bosan hidup rupanya. "Bola yang kau lempar TIDAK masuk ring, PENDEK! Kena Araki-sensei. Dia di sampingmu! MINTA MAAF CEPAT!"
Sebelum Akashi benar-benar mengeksekusi Aomine di penjara bawah tanah di rumahnya (ia sendiri yang akan menjadi algojo hari ini), beri waktu untuknya menoleh ke samping dengan gerakan patah-patah beberapa detik dulu. Araki Masako sudah berdiri di sisinya, kedua tangan terlipat di depan dada, dan mata memicing tajam. Apa itu benjolan di atas kepala? Aneh. Pertama, Akashi tidak pernah dan tidak akan pernah meminta maaf. Kedua, mustahil seorang Akashi Seijuurou salah memperkirakan arah tukikan bolanya.
"Hai, Akashi Seijuurou-sama."
Uh, oh.
.
.
.
Sudah diakui secara de facto maupun de juro kalau bola yang Akashi lempar tak pernah meleset. Tanya saja pada Dewan Perserikatan Basket Basket, kapan ada sejarah Akashi salah melempar bola? Barang sepersekian mili saja tidak. Itulah kenapa Akashi ditunjuk menjadi kapten klub basket. Tim didikannya sudah terkenal seantero Jepang bahkan disegani banyak sekolah. Ia selalu pulang membawa kemenangan dan piala. Absolut. Pasti menang.
Maka, sungguh mengherankan kalau pemandangan siang itu, di saat orang-orang asik menikmati bekal makanan atau camilan istirahat, ada Akashi yang duduk di tengah lapangan dengan spidol di tangan, menulis kalimat 'saya, Akashi Seijuurou, anak dari Akashi Masaomi, cucu dari Akashi Hizashi, cicit dari Akashi Junnichiro sungguh-sungguh berjanji dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga kalau saya tidak akan pernah melempar bola basket sembarangan lagi, apalagi pada guru di sekolah' di atas lapangan yang maha mega luas ini―sejak satu jam yang lalu. Ia tidak mau mengaku salah, atau minta maaf. Tapi jika ia diberi tanggung jawab, ia akan melaksanakannya. Catat, Akashi bukan dihukum, ia hanya menjalankan tugas sebagai murid ... teladan. Catat, teman-teman! Catat!
Absurd memang. Normalnya, hukuman terbatas sampai di kertas, maksimal papan tulis. Bukannya lapangan yang tidak bisa dikatakan sempit. Dan lebih parah lagi adalah fakta bahwa keempat temannya yang lain hanya berjongkok di pinggir lapangan, ikut diam, memperhatikan saja. Cih! Mana janji persahabatan yang mereka umbar-umbar dulu untuk saling membantu? Tahu begini sejak awal Akashi berteman dengan Kerosuke saja, juga Yukimaru.
Lagipula, apa Araki tak tahu panasnya matahari sekarang dapat membuat Kise menjadi sehitam Aomine dalam hitungan detik (makanya Kise bawa payung saat itu juga)? Untung raja siang itu segan dengan Akashi.
"Semangat, Akashicchi!"
"Kalau lapar, kau boleh ambil maiubo-ku, Aka-chin. Tapi, aku doakan kau tidak lapar."
"Panaaaaas. Aku duluan ke kelas. Tidur siang."
"Sudah kuingatkan kau ke sekolah hari ini pakai maid dress, Akashi. Oha-asa tidak pernah salah, nanodayo!"
Pura-pura tak dengar, anggap saja bukan teman. Tapi peringatan terakhir diingat Akashi jelas-jelas. Benar, kalau pakai baju memalukan begitu, mana mau ia keluar, yang berarti tidak ada kesialan. Besok harus mulai rutin mengikuti oha-asa.
Akashi tetap stay cool meski panas meradiasi. Ia malah cenderung menikmati huku―ehem, tugasnya. Meski bel masuk sudah berbunyi, menandakan murid-murid tak lagi ramai di luar kelas, Akashi tetap tenang sendirian. Bukan, bukan berarti ia senang tidak ikut jam pelajaran. Oh, ayolah. Yang kita bicarakan adalah Akashi Seijuurou! Ia bukan tipe murid yang mempunyai slogan 'no teacher no lesson which mean lots of sleeps and happiness'. Akashi adalah jenius yang sudah mendapat perhatian dari Oxford dan Cambridge University di luar sana. Semua juga tahu itu bukan hal mustahil. Jangankan sehari bolos, sebulan saja ia tak sekolah, sama sekali tidak mempengaruhi nilai raportnya.
Tapi, bukan itu masalahnya.
Alasan kenapa Akashi betah berlama-lama di lapangan ini adalah karena tempatnya duduk merupakan posisi paling sempurna untuk melihat ke sebuah ruangan di lantai dua itu, tepatnya melihat wajah pemuda berambut coklat yang serius memperhatikan guru di depan kelas. Di sela-sela kegiatannya menulis, ia kerap mencuri pandang ke atas sana. Dua kali Akashi mendapati pemuda itu balik menatapnya dengan wajah gemetar dan bibir bergetar.
Manisnya. Anak siapa, sih? Akashi kan jadi gemas sendiri.
Sebenarnya, sudah semenjak dua bulan yang lalu Akashi menaruh perhatian pada pemuda itu. Tak sengaja bertemu dengannya di depan perpustakaan sepulang sekolah. Tapi, setiap Akashi berniat memperkenalkan diri, ia sudah berlari menjauh duluan. Malu, mungkin. Lucunya. Hanya itu yang terlintas di benak Akashi, tanpa mau mencari tahu arti sesungguhnya gestur aneh pemuda itu.
Sungguh, Akashi tak mau macam-macam, hanya ingin tahu namanya saja. Tapi, ternyata hal sesederhana itu lebih sulit dibandingkan menghapal semua persamaan trigonometri, mulai dari integral sampai limit.
.
.
.
Aomine paling benci jika Akashi memaksa berkumpul di tempat tertentu, sementara yang meminta belum hadir meski lima belas menit sudah berlalu. Ini hari minggu, haruskah Akashi masih mengganggu hidupnya di satu-satunya hari ia bisa bersantai dua puluh empat jam penuh?
Midorima tak berhenti bolak-balik gelisah di tempatnya berdiri, membuat Kise pusing melihatnya dan memilih diam sambil tiduran di atas kursi.
Entah sudah berapa banyak bungkus camilan yang dibuang Murasakibara di tempat sampah, atau pulang pergi ke mini market terdekat.
"Maaf menunggu lama."
Akhirnya yang ditunggu tiba. Akashi, dengan wajah tanpa bersalahnya muncul begitu saja di hadapan mereka. Sebagai permohonan maaf (bagi Akashi hanya traktiran untuk basa-basi, tidak ada namanya minta maaf) untuk keterlambatannya, Akashi mengajak mereka ke tempat makan terdekat.
Sambil menunggu makanan yang dipesankan datang, Akashi membuka mulutnya mengutarakan tujuan perkumpulan mendadak mereka hari ini. "Aku ingin bertanya, tapi kalian jangan tertawa."
Diperingatkan begitu, Kise langsung menutup mulutnya menahan tawa yang hampir keluar. Untung Akashi langsung memberikan pelototan menyeramkan.
Aomine yang pertama menjawab, "Tergantung," ucapnya santai sambil menyilangkan tangan di belakang kepala dan merebahkan diri di sandaran kursi. "Kalau itu menyangkut aibmu yang memalukan, aku akan tertawa. Kalau perlu sampai berguling di lantai ini."
Perempatan muncul di pelipis Akashi. Kurang baik apa ia kemarin tidak jadi membunuh Aomine, tapi nyatanya sekarang mencari mati lagi.
Aomine sebenarnya tidak begitu peduli. Paling juga Akashi akan bertanya tentang sains seperti 'kalau Newton tidak duduk di bawah pohon apel saat itu, apa hukum gravitasi akan ada? Apa yang terjadi jika ia duduk di bawah pohon durian?' atau 'apa benar perbandingan masa Hidrogen dan Helium sebesar itu? Bagaimana kalau aku teliti dan hasilnya salah?'
Pertanyaan yang Aomine yakin tidak akan ia jawab.
"Tanya apa saja, Akashicchi. Kita kan teman, pasti akan membantumu, ssu!" Kise dengan ceria mengalungkan lengannya pada bahu Akashi yang kebetulan duduk di sampingnya.
Dusta! Akashi menjerit dalam hati. Tapi, ia benar-benar butuh bantuan mereka saat ini. Baiklah, Akashi akan langsung saja bertanya. "Bagaimana caranya melakukan pendekatan?"
Spontan, Midorima memutar badannya pada Akashi yang duduk di antara ia dan Kise, sementara Kise sudah jatuh dari kursi dengan sangat memalukan. Aomine mendadak berdiri sambil menggebrak meja dan Murasakibara ... ia menjatuhkan keripik kentang dari tangannya (dan mulut juga) dengan dramatis.
Akashi tak terpengaruh reaksi berlebihan mereka. Memang biasanya juga aneh. Ia masih diam menatap Aomine datar yang memelototinya terkejut. Tiba-tiba, Midorima menarik pundak Akashi dan mengguncangkan tubuhnya brutal.
"K-kau siapa, iblis jahanam yang merasuki tubuh Akashi? Katakan kalau aku masih berbicara dengan Akashi Seijuurou, nanodayo!" Demi dewi fortuna, kenapa Akashi bisa berbicara begitu? Siapa yang meracuni otaknya? Ada apa dengan dunia? Kenapa akhir-akhir ini banyak bencana banjir di Indonesia? Apa benar gosip LPG 3 Kg itu akan ditukar dengan yang 5 Kg? Tolong maafkan Midorima yang lengah menjaga Akashi sampai ia kehilangan memori dan jati diri.
Akashi dengan gaya arogannya menepis tangan Midorima, tersinggung. Seenaknya saja ia mengatakan kalau Akashi kerasukan setan. Begini-begini juga iman Akashi tidak lengah! Ia melipat tangannya di depan dada dengan wajah ditekuk, mirip anak bangsawan yang merajuk.
"Aku tanya, bagaimana caranya melakukan pendekatan?" ulang Akashi, agak menekankan suara pada kata terakhir, semoga makna kalimatnya dapat terserap otak berkapasitas minimun orang semacam Kise, Aomine, dan Murasakibara.
Ummm ... gimana, ya?
Tepat setelah Akashi selesai dengan pertanyaannya, seorang pelayan datang membawakan makanan yang sudah ditunggu sedari tadi. Kise dan Aomine sudah duduk di tempatnya semula. Dalam beberapa detik, semua sudah sibuk dengan makanannya masing-masing, duduk dengan kalem.
Akashi sama sekali tak menyentuh makanannya. Jujur, ia tak lapar. Akashi hanya duduk menatap ke bawah, "Pemuda berambut coklat, adik kelas, kelas 1-C yang duduk di dekat jendela barisan kedua dari belakang," ucapnya sekenanya.
Keempat pemuda berambut pelangi yang lain tak mengalihkan pandangan dari santapan di depan mereka, namun dalam diam mencerna kalimat Akashi. Oh, kecuali Murasakibara yang memusatkan seluruh perhatiannya pada sajian di atas meja.
"Aku rasa ... aku, entahlah, suka?"
Hening, bahkan tak ada suara sendok beradu dengan piring. Hanya bunyi napas tercekat dan pecahan gelas yang merosot dari cengkraman longgar Midorima. Mungkin kejadian kemarin membuat Akashi sangat syok sampai menyebabkan disfungsi otak. Oke, lebih baik tak menjawab, jangan merespon. Pura-pura saja tidak mendengar. Anggap pernyataan ngawur tadi tidak pernah ada.
"Kalian janji membantuku, apalagi kau tadi sudah bilang Ryota."
Kise mengeluarkan keringat dingin di pelipisnya. Berusaha semampunya menulikan telinga.
Sayang, yang melontarkan objek keterkejutan adalah seorang Akashi Seijuurou. Sekali ia mendaratkan perhatiannya pada satu hal, harus juga tercapai.
"Bantu aku, tolong."
Midorima, Aomine, dan Kise memutar otak mengulang semua perkataan Akashi sebelumnya. Bagai kaset rusak yang dipaksa bersuara di dalam radio. Bagaikan memasang kumpulan puzzle yang berserakan. Pelan-pelan, ada sedikit bayangan, satu persatu huruf membentuk kata dan kalimat. Kalau tidak salah Akashi tadi bilang...
"HAAAAAH?!"
"Aka-chin, aku mau tambah."
.
.
.
Sejak mulai dari SMP mereka mengenal satu sama lain. Kalau dihitung, berarti sudah empat sampai lima tahun mereka berteman. Meski diselipi adegan di mana Murasakibara sempat pundung karena Akashi tak sengaja menghancurkan maiubo dengan kakinya dan Aomine yang merajuk tak boleh ikut bermain basket karena nilai ujiannya yang mengkhawatirkan, juga Akashi yang mengamuk dengan kelakuan kekanakan teman satu timnya, menyebabkan mereka saling menghindar satu sama lain selama dua tahun berturut-turut, namun berakhir dramatis di hari kelulusan dengan gelak tawa geli mengingat tingkah laku bodoh dulu. Mereka sudah tahu tabiat masing-masing. Apalagi, sekarang ditambah dengan masa SMA yang ajaibnya bisa sekelas dua tahun lamanya.
Akashi. Suka. Orang.
Parahnya, orang itu laki-laki, adik kelas lagi.
Bukannya mereka mempermasalahkan seksualitas Akashi. Lagipula, tidaklah aneh mengingat di dalam hidupnya, Akashi tak sekalipun berhubungan atau sekedar mendekati perempuan. Yang mereka pikirkan adalah fakta baru bahwa Akashi Seijuurou suka orang. Oke, bukan berarti juga mereka sempat berpikir Akashi akan berakhir menaruh hati pada Yukimaru, atau parahnya Kerosuke. Akashi jelas-jelas normal. Tapi, ini aneh.
Sekali lagi, kita ulangi.
Akashi suka seseorang!
Ada yang lebih mengejutkan dibandingkan hal ini? Bahkan jika berita tentang hewan bermata sepuluh dengan kaki manusia tiga pasang ditemukan di sungai terdekat, kalah menghebohkan!
Tolong tampar mereka sekarang, siapa saja!
"Akashicchi, kau bilang anak kelas 1-C, kan?"
Akashi menganggukkan kepala menimpali pertanyaan Kise. "Iya, aku suka adik kelas itu."
Sial, pakai diperjelas lagi. Perlukah Akashi membuat Kise, Aomine, dan Midorima terkena serangan jantung berulang kali dalam kurun waktu satu jam?
Kalimat yang tak pernah terlintas di benak mereka jika disatukan dengan kata Akashi. Midorima, sebagai teman terlama, hapal betul bagaimana jalan pikiran pemuda berambut merah itu. Akashi bagaikan buku yang terbuka dan mudah dibaca. Hanya saja, ia adalah buku kumpulan rumus yang bagi orang sejenis Kise, Aomine, maupun Murasakibara, sangat sulit dimengerti bahkan jika hidupnya dihabiskan untuk memecahkan isi buku tersebut. Beruntung, Midorima itu pintar, meski tak sejenius Akashi. Tapi setidaknya, ulangan matematika dan fisikanya tidak pernah di bawah 9.
Berbicara tentang rumus, Midorima jadi ingat, hidup Akashi Seijuurou sangatlah konstan cenderung monoton. Kepalanya hanya berisi; basket, shogi, sains, sosial, perusahaan, dan bisnis. Ironis memang, namanya saja tidak ada di sana. Namun tiba-tiba, pertama kali dalam hidupnya, Akashi mengatakan hal menggemparkan seakan ia adalah bayi yang baru lahir dan sudah dapat berbicara. Parahnya, kalimat pertama yang bayi itu ucapkan adalah 'aku tidak peduli meski kalian orang tuaku, tapi yang menghalangi jalanku haruslah enyah'. Oh, andai Midorima tahu dulunya Akashi begitu.
"Kalau tidak salah namanya Furihata Kouki, temannya Kurokocchi―itu loh, anak kelas satu rambut biru muda yang suka aku ajak main kalau berkunjung ke perpustakaan," Kise menimpali.
"Maksudmu anak kecil yang suka menghajarmu itu, Kise?"
"Enak saja kalau bicara, Aominecchi! Itu rasa cinta Kurokocchi padaku, tahu! Kau cemburu, ya?"
"Ndasmu!"
Midorima mengabaikan kedua pemuda yang malah adu mulut itu, menarik perhatian Akashi dengan ucapannya, "Biar kuluruskan, nanodayo. Kau, Akashi Seijuurou, suka pada adik kelas, dan dia laki-laki?"
Akashi mengangguk dengan tampang panci. Datar. Padahal di dalam, hatinya sudah memainkan orkestra saking bahagianya. Yes, tahu namanya, mamaaa!
"Dan kau meminta saran kami?"
Akashi masih mengangguk.
"Kau yakin meminta saran ... mereka?" Midorima menunjuk tiga orang lainnya.
Kali ini Akashi menggeleng.
Ia tahu, temannya itu bukan pemberi saran dan nasihat terbaik. Apalagi soal percintaan. Kise mungkin ada sedikit pengalaman, ah, tapi punya pacar saja belum pernah. Aomine terlalu vulgar. Murasakibara? Hah? Yang benar saja? Masa iya Akashi meminta tolong masalah cinta pada orang yang berkata akan menikahi makanan nantinya? Tapi mau bagaimana lagi, soalnya―
"Kenapa kau meminta saran kami, nanodayo?" tanya Midorima, masih ragu memenuhi permintaan sahabatnya.
"Temanku hanya kalian."
―begitulah.
Sedih, kan?
"Aku tidak mungkin bertanya pada Yukimaru ... atau Kerosuke."
Kenapa mereka lagi?
Midorima menghela napas berat dan panjang. Dilepasnya kacamata sejenak untuk memijat pelan tulang hidungnya. Kenapa hari ini ia mendadak pening?
Tapi, sebagai sahabat sejati, meski tak ada dalam daftar hidup Akashi, Midorima sudah membulatkan tekad untuk membantu temannya ini. "Baiklah, kami membantumu, nanodayo." Kise yang paling antusias merespon sementara Aomine hanya menyeringai. Akashi dalam hati merasa agak kesal. Kenapa rasanya ia seperti anak gadis yang baru menceritakan masalah percintaan pada orangtuanya saja?
Dan, esok hari, dimulailah misi pendekatan Akashi Seijuurou pada adik-kelas-laki-laki-teman-Kurokocchi itu. Dengan lahirnya misi ini, otomatis terbentuklah grup bernama Generation of Miracles, beranggotakan makhluk-makhluk ajaib yang bertugas menyelesaikan misi tak kalah ajaib.
Akashi tersenyum tipis melihat temannya sudah berdiskusi mengenai masalahnya. Memang teman-teman (budak-budak) yang baik. Tak salah Akashi mendekati (memperbudak) mereka sejak awal.
"Aka-chin, aku lapar, mau tambah lagi."
.
.
.
TBC.
(A/N: Saya ... nggak tahu ini lagi ngapain. Pokoknya lagi gemes aja sama kelakuan imbisil anak-anak Kisedai. Kebayang kan Akashi yang sok-sokan absolut ternyata cuman anak mami yang manja, kelakuan Kise kayak bapak-bapak idiot yang ceria, Midorima mirip emak-emak khawatiran, Aomine kakak berandal yang terus jadi kambing hitam, dan Murasakibara ... peliharaan lucu yang suka minta dibelai.
-nju)
