"Hei, kamu!

Sudikah menanti uluran tanganku, lagi?"


[How Are You?]

—bagaimana kabarmu?

By Alea

Non-profitable fanwork.

|Warning! Ditulis dalam suasana mellow berlebih, kantuk berat dan saat orang lain sedang tidur. Penuh oleh konversasi pure roman. Silahkan tutup jika merasa tidak kuat. Diluar kendali bilamana pembaca terserang mual-mual setelah membaca coretan dibawah. Thx :)

.

#1


.

Jam sepuluh malam sekian menit kala itu, ponsel di bawah bantal mengirim nada monoton serta getaran di fabrik seprai. Cepat-cepat diraihnya benda tersebut. Layar digeser lembut lalu dibawa melekat di telinga.

"Bolehkah aku membisikkan rindu?"

Kalimat pembuka asing bagi orang lazimnya. Tapi terdengar sangat manis diucap suara rendahnya. Bibir bawah dicepit gigi depan. Palet merah jambu pecah di kedua kulit pipi. Anggukan tersembunyi sebelum jawaban diluncurkan. Kelopak mawar berhambur di dada. Mendesak organ hepar bekerja dalam tenaga berkali lipat. Maafkan dia, jantung.

"Apa disana langit dipenuhi bintang? Seterang apa? Cukupkah sebuah jotos untuknya karena telah menggodamu dengan kedipan nakalnya itu?"

"Kedipan mereka takkan pernah seindah rupamu, jangan khawatirkan itu. Bagaimana dengan sang bulan? Berhasilkah dia membuatmu berpaling?"

"Harusnya dia sedang menangis bersama nyanyian malam sekarang, setelah kalah indah dengan pesona dirimu."

Senyum mengimplikasi dua ciptaan Tuhan yang melebur menjadi satu. Satu oleh afeksi paling rumit dalam jagat raya.

.

.

.

"Disini hujan, apa ini kiriman tangis darimu? Sudah kubilang, biarkan saja hujan menangis sendirinya!"

"Kau tahu, hujan menangis karena tak bisa menatap mentari, pandangannya selalu di hadang oleh awan kelabu jadi dia turun mengadu pada bumi. Aku menangis hanya dalam pelukanmu saja, kok."

Kasat mata, namun terasa hangat melingkupi hati. Kepala tenggelam dalam bantal bulu angsa, ditarik selimut menutupi setengah kaki. Bersandar di kepala tempat tidur. Secuil rasa membelit tiba-tiba.

.

.

.

"Sudah kubilang aku merindukanmu?"

"Tidak akan pernah kenyang dengan itu."

Tawa berderai hangat.

"Kalau begitu, aku merindu nyaris gila disini."

.

.

Tawa itu terhenti disaput angin. Kembang api artifisial meledak merusak ritme jantung. Jemari bergetar dalam melodi liar pacuan deru napas. Rasanya sesak sekaligus membuat kecanduan. Ingin merasakan lagi, lagi,dan lagi. Jauh lebih berbahaya dari narkotika jenis manapun.

Yang barusan itu benar, bukan Cuma pemanis bibir belaka. Perasaan menyebalkan yang menggerogoti sekujur badan, membuat fungsi otak menjadi tidak relevan serta kehilangan sisi logis miliknya. Kapan terakhir kali mereka bertemu sapa dalam suasana nyaman? Sejak saat itu mengharuskan pertemuan sembunyi-sembunyi. Demi menyingkir dari pembicaraan khalayak di luar sana. Menambahkan dan mengurangi beberapa hal dapat berujung runtuhnya mereka juga orang-orang sekelilingnya.

Relasi klandestin ini, tetap terasa manis. Tetap bagai dunia fantasi ciptaan pribadi.

.

.

.

"Suatu saat, kita akan bersama lagi. Aku berjanji, suatu saat itu akan datang. Jika perlu, aku akan menjemputnya yang lelet sekali datangnya. Menyeretnya ke hadapan kita kalau dia membangkang."

"Kupasang alarmnya, ya?"

"Dia akan sampai sebelum alarm weker kesabaranmu berbunyi. Sebelum sabarmu terkikis habis, pasti!"

Sekali lagi, ikrar mengikat keduanya menuju perjalanan berombang-ambing yang disebut takdir. Membentangkan layar kian lebar seirama detikan waktu. Mencari daratan impian nun jauh disana. Menghadapi badai penghalang di depan mata. Sekali lagi, mereka akan pergi berlayar di samudera harapan.

Malam semakin larut saja. Purnama naik semakin tinggi di luar sana.

.

.

.

"Masihkah kau disana, Sehun?"

"Aku akan selalu disini bersamamu, Luhan."

.

.

.

.


END


Tercipta setelah merenungi LDR yang menimpa dua sumber inspirasi manis saya: uri Hun and Han.

.

Vielen dank,

C. Azalea.