Gummysmiled's 38th fanfiction

MY SASSY BOY

.

.

.

.

My Sassy Boy

Cerita ini berporos pada kehidupan suatu pasangan yang menjadi tokoh utama kita; Jungkook dan Jimin.

Belum lama ini, Jeongguk dari keluarga Jeon dan Jimin dari keluarga Park telah bersama menggenggam janji di depan Tuhan, mengucap sumpah di hadapan keluarga, disusul bertukar cincin dalam sebuah prosesi pernikahan.

Perjalanan sebelum hubungan mereka menjadi legal di mata hukum bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan ketika pertemuan keluarga. Perjodohan adalah satu kata yang cukup jadi jawaban. Klise, tapi tidak banyak drama.

Pertemuan pertama keduanya juga merupakan momen yang tidak berkesan. Interaksi mereka terlalu dibuat-buat untuk menyenangkan keluarga, terlalu dipaksakan. Kendati demikian, tidak sekalipun pernah terpercik kebencian.

Perjodohan dengan licin segera menghasilkan persetujuan di antara kedua belah pihak, dan mereka mengadakan resepsi kecil-kecilan di sebuah kapel dekat toko roti keluarga Jimin.

Meski sejauh ini narasi masih hambar-hambar saja, namun daya tarik pasangan ini akan mengubah alur cerita dengan gaya mereka.

Jungkook dan Jimin menikah tanpa cinta. Tidak ada perasaan istimewa sama sekali, bahkan mereka belum lama saling mengenal. Pertanyaannya, mengapa masing-masing rela saja dijodohkan dengan orang asing?

Bagi Jimin, alasannya adalah terlalu malas. Terlalu malas dan tidak berminat akan beberapa hal; mencari istri, merawat istri, mengumpulkan uang untuk istri. Didukung pula oleh spekulasi bahwa orientasi seksual Jimin sepertinya tidak memberi peluang baginya untuk menjadi seorang suami dan kepala keluarga.

Alasan yang mengenaskan, namun yang lebih mengherankan adalah tanggapan keluarga Jimin yang tidak sesuai ekspektasi, terlebih Ayah Jimin. Mengetahui Jimin tidak tertarik menjadi seorang suami layaknya kodrat sebagai laki-laki, beliau dengan gencar melakukan sayembara bagi kolega-kolega bisnisnya untuk meminang putranya yang manis. Begitu dapat kandidat, langsung Jimin dilamar. Jimin senang-senang saja, walaupun ia tidak mengetahui apapun mengenai calon pasangannya, yang terpenting adalah ia akan dinafkahi dan hidupnya akan terjamin.

Jungkook, si pelamar yang kini naik pangkat menjadi suami Jimin, pun dari awal tidak keberatan. Padahal, si bungsu keluarga Jeon itu terkenal dengan sifat playboy yang mendarah daging, tercatat apik dalam komponen DNA-nya. Secara literal, playboy artinya cowok yang suka bermain. Bahasa rumitnya, ia suka mengembara mencari pengalaman asmara dengan banyak wanita. Entah angin apa yang membuat Jungkook bertaubat dan memutuskan untuk menikah di usia muda. Ia dengan mantap melamar istrinya yang berjenis kelamin sama dengannya serta terpaut dua tahun lebih tua.

Baik Jimin maupun Jungkook menurut dengan sukarela. Mengabaikan pemikiran masyarakat yang buruk-buruk mengenai menikah dengan perjodohan.

Setelah mengulik sebab-sebab lahirnya pasutri ini, sekarang kita akan mengupas dan menggali informasi lebih banyak tentang kepribadian mereka.

Park Jimin adalah seorang pendiam yang akan menginjak usia 25 tahun ini. Istri yang tidak banyak bersuara, tetapi ketika sudah bicara, cabai Thailand yang terkenal sebagai dewa cabai pun kalah, saking pedas omongannya. Berwajah selembut dan semanis permen kapas, tapi rautnya sedatar aspal. Ia didiagnosa mengidap penyakit malas berekspresi dan lebih suka menghanyutkan diri dalam kesunyian.

Jeon Jungkook itu sosok yang tidak suka repot dan tidak mau merepotkan diri. Tipikal lelaki keren yang hanya ada di komik daring. Ia dididik sejak masih belia menjadi anak yang disiplin dan ambisius. Belum lama ini, Jungkook meraih beasiswa kuliah pascasarjana jurusan teknik arsitektur di University of Vienna, Austria. Tanpa ragu, ia memboyong Jimin, istrinya, untuk ikut menetap di benua biru, karena tinggal sendirian akan membuatnya kesepian. Ditambah, membawa Jimin itu sama dengan membawa tukang masak sekaligus bersih-bersih.

.

.

My Sassy Boy

.

.

Jungkook dan Jimin tidak saling mencintai, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka menikah tanpa melibatkan urusan hati. Bagi para pecinta roman picisan, hubungan sakral yang resmi terdaftar di arsip negara alias pernikahan, tidak pantas dibangun tanpa perasaan. Maksudnya, perasaan kasih, sayang, dan cinta.

Meskipun demikian, Jungkook kerap menyangkal. Ia sudah menikah, dan sejauh ini tidak pernah direpotkan masalah berbau romansa. Jimin pun sama tidak pedulinya.

Kediaman mereka di Wina selalu sunyi. Jangan harap mendengar suara-suara aneh yang tiap vokalnya berakhir dengan "hhhh" mentang-mentang mereka tinggal hanya berdua di apartemen mewah, serta terikat dalam status pernikahan. Pada kenyataannya, baik Jungkook maupun Jimin masih perjaka suci sampai detik ini. Belum ada program membuat anak dan semacamnya, bahkan tidak ada pemikiran sejauh memiliki anak.

Padahal Jungkook dan Jimin bisa disandingkan dengan pasangan dewa-dewi Olympic paling termasyhur, Zeus dan Hera. Atau dewa-dewi mitologi mesir, Osiris dan istrinya Isis. Bisa juga Mark Antony dan Cleopatra yang fenomenal. Atau Romeo dan Juliet versi generasi milenial. Jungkook dan Jimin, keduanya adalah mahakarya Tuhan yang sangat memikat.

Jungkook disematkan gelar "international playboy" kebanggaannya karena beberapa alasan yang valid. Tubuhnya itu otot semua dan perutnya kotak-kotak. Tinggi semampai ideal untuk model. Kekayaan keluarganya bersaing ketat dengan raja minyak dari Arab. Ia punya dada bidang yang tercetak jelas lengkap dengan belahannya tiap ia pakai kemeja yang 3 kancing teratasnya tidak terpasang, atau kaus putih tembus pandang untuk jogging. Yang terakhir, pelengkap sekaligus penyempurna ciptaan Tuhan yang satu ini; wajah tampan ala 'supernova'* alias supermodel dipadu cassanova yang bisa membuat wanita meledak karena pesonanya.

Istrinya, Park Jimin ini tidak kalah mengagumkan. Kalau boleh dibilang, istrinya ini rakus. Dia laki-laki, tapi asetnya lebih bagus dibanding wanita tulen. Dengan tinggi pas untuk bottom, kulit putih bersih, wajah cantik manis yang jika diibaratkan dengan hiperbola; wajah yang mampu membuat angsa yang sedang terbang terjatuh**. Sekali lagi, itu versi hiperbolanya. Tapi sungguh, Jimin itu bottom idaman para top. Selain parasnya, aset terbaiknya adalah bokong bulat yang menantang untuk ditangkup. Tidak peduli seberapa longgar celana yang ia pakai, bokongnya tetap tercetak dan seakan memanggil-manggil untuk dicicip.

Jika mereka sesempurna itu, mengapa tidak buat anak saja? Perpaduan dua walking god pasti akan menghasilkan bibit unggul. Maksudnya, anak mereka pasti akan luar biasa tampan atau luar biasa cantik.

Yang menjadi masalah utama adalah Jimin yang terlalu flat. Tidak, tidak, bukan dada apalagi bokongnya, melainkan sifatnya; dingin, tidak acuh. Dia tidak punya perasaan pada Jungkook, begitu pula sebaliknya. Tapi percayalah, tidak ada kekerasan dalam rumah tangga mereka seperti yang kebanyakan orang pikirkan mengenai pernikahan tanpa cinta. Bahkan mereka tidur di ranjang yang sama walau jarang sekali mengobrol, apalagi melakukan kontak intim.

Jimin tetap melayani Jungkook sebagai istri, namun dengan cara yang berbeda. Ia peduli pada suaminya hanya sebagai sesama umat manusia, dan tidak pakai kasih sayang. Jadi, manifestasi dari prinsipnya itu seperti pagi ini contohnya.

Jimin terbangun sendiri ketika matahari belum sanggup membakar kulit dengan radiasi. Membiarkan Jungkook mendengkur keras tanpa membangunkannya. Meski tinggal di Eropa, perut mereka tetaplah perut Asia, jadi Jimin memasak nasi, menggoreng telur orak-arik, membuatkan salad juga kopi. Tapi hanya sebatas itu saja. Telur ditelantarkan di penggorengan, nasi masih dalam penanak nasi, salad diletakkan di atas pantry, dan kopi tetap di dalam coffee maker. Jimin tidak akan repot-repot menatanya di meja makan, atau melakukan hal sederhana seperti menuangkan kopi ke dalam cangkir. Tidak, ia terlampau malas. Ia berjalan kembali ke kamar dan berniat melanjutkan tidur.

Tidak ada sapaan manis seperti 'selamat pagi'. Penggantinya, Jimin akan memberi ultimatum, "Makan semua yang kumasak, mandi dan cari uang yang benar atau aku minta cerai."

Dan kalimat itu selalu menjadi sihir paling ampuh bagi Jungkook untuk bangun, lari pontang-panting, mandi, berpakaian, dan sarapan.

Sebelum suaminya berangkat, Jimin keluar dari kamar. Berinisiatif memastikan Jungkook tidak meninggalkan laptop, dompet, atau makalah dan tugas kuliahnya. Tentu saja bukan karena peduli, tapi karena sudah pasti Jimin-lah yang akan ditelepon Jungkook pertama kali untuk membawakan barangnya yang tertinggal.

Selain itu, kontak paling mesra selama mereka hidup tiga bulan di Austria terlalu sepele; Jungkook yang mengacak rambut Jimin sebelum berangkat kuliah. Jangan berharap ada interaksi yang intens seperti peluk cium, karena kemungkinan besar Jimin akan menggigit tangan Jungkook sampai berdarah. Separah itu.

Persis dalam interval waktu setelah Jungkook memasang sepatu dan sebelum ia meninggalkan apartemen, ia selalu berpesan, "Hyung boleh jalan-jalan. Jangan lupa kunci pintu dan jendela."

"Hm."

Rangkaian rutinitas pagi yang sangat-sangat-sangat biasa.

.

.

My Sassy Boy

.

.

Hari ini adalah pembuka bulan September, yang mana berarti Jeon Jungkook berulang tahun. Jimin tidak akan ingat jika saja ibu mertuanya, alias ibu Jungkook, tidak menelepon pagi-pagi buta dan bicara dengan nada menggebu—nyaris berteriak. Sebenarnya Jimin sangat menghormati ibu mertuanya, hanya saja ia benci terbangun di tengah tidur nyenyak yang ia cintai.

"Ya, Eomeoni. Maaf, aku masih di sini. Jungkook sudah berangkat kuliah."

Jimin mengapit ponsel di telinga. Kakinya menapak menuju dapur, kemudian membuka pintu kulkas, meraih sekaleng jus jeruk untuk melegakan tenggorokan yang sedikit perih. Matanya mengerling ke arah kalender harian yang tergantung manis di dekat lemari penyimpanan, memamerkan angka '1'.

"Ah, aku tahu toko kue di dekat sini. Astaga, Eomeoni tidak perlu mengirimkan anak manja itu hadiah apapun."

Jimin terdiam sebentar.

"Sungguh? Aku tidak tahu apa Jungkook menyukai ide ini, tapi akan kuusahakan untuk Eomeoni."

Sedikit jeda lagi sebelum Jimin memutus sambungan telepon dan mendesah pelan. Ia bergegas meraih mantel hangat dan persenjataan lain untuk berkonfrontasi dengan suhu ekstrem yang sangat tidak Jimin sekali. Begitu dompet sudah ia kantongi, Jimin keluar dari apartemen. Menunaikan keinginan ibunda mertua tercinta; membelikan Jungkook kue ulang tahun dan datang langsung ke universitasnya. Demi Tuhan. Hari ini sungguh tidak Jimin sekali.

.

.

.

.

.

University of Vienna, Wina, Austria. Angin berembus kencang, menyambut Jimin yang baru turun dari taksi. Kedua tangannya membawa kotak berukuran 24 x 24 senti yang cukup berat, sehingga ia tidak bisa mengeratkan kedua mantelnya untuk menghalau dingin yang menggigit. Sial sekali.

Ini adalah kali pertama ia melihat langsung tempat Jungkook belajar. Universitas nomer wahid di negeri tempat Wolfgang Amadeus Mozart—komponis musik klasik Eropa—lahir dan meninggal. Jimin melangkah diapit takjub dan keterpanaan. Bangunan agung berarsitektur Eropa yang khas berdiri angkuh bak disambung-sambung. Mirip istana para putri dari animasi Disney. Memanjakan penglihatan dan memberi healing tersendiri. Sejujurnya, Jimin telah banyak melihat bangunan kuno sejak menetap di Austria, tapi kampus Jungkook sangat elegan. Tidak sama dengan bermacam kastil aristokrat yang telah ia lihat. Jimin tahu setiap bangunan memiliki filosofi masing-masing, tapi impresinya terhadap tempat ini terasa lebih istimewa. Mungkin saja alasannya adalah sebuah fakta yang telah terajut bersama takdir Jimin; Universitas Wina-lah yang secara tidak langsung memanggilnya untuk bertandang ke Eropa, menikmati hidup baru di benua para maestro musik klasik tinggal.

Kakinya melangkah menembus kerumunan manusia yang hilir mudik di koridor. Di sini ada banyak wajah dari berbagai macam ras di dunia dan tidak hanya orang Eropa. Ada orang Asia Timur seperti dirinya, orang Amerika dan orang Asia lagi. Entahlah, mungkin dari India atau Arab, Jimin kesulitan membedakannya.

Ia terus berjalan sambil menengok-nengok, seakan sedang tur sambil belajar. Lirikan penasaran tidak hanya sekali dua kali mampir, sehingga sekarang Jimin menyesali keputusan tidak matang nan konyolnya untuk menyatroni almamater megah ini, dan tersesat sambil menenteng kue sialan untuk suami sialannya.

"Cih, semua ini demi Eomeoni."

Langkah Jimin menuntunnya ke sebuah taman. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di sana, meletakkan kotak kuenya dengan hati-hati, kemudian menelepon Jungkook dengan perasaan kesal yang meletup.

Lima kali nada sambung terdengar, Jimin sudah bersiap menyumpahi bocah Jeon itu. Jungkook tetap tidak menjawab panggilannya, Jimin sungguhan memaki penuh emosi. Di tengah-tengah rasa gusar, sesosok pria jangkung tiba-tiba berdiri di depan Jimin. Memamerkan senyum yang menampilkan dua gigi taring runcing yang menarik perhatian.

Jimin mensyukuri spontanitasnya untuk langsung berdiri dan mengontrol rasa terkejutnya. Jika tidak begitu, bisa saja ia telah menjerit dengan tidak jantan dan mempermalukan dirinya sendiri.

"Halo, selamat pagi. Apa kau Jimin Park, istrinya Jungkook Jeon?" tanya pria itu dalam Bahasa Jerman yang fasih.

"Ya, benar. Anda siapa?"

Pria itu menghela napas lega. Jimin yakin orang ini pasti kenal dengan suaminya.

"Astaga, lega sekali menemukan orang Korea lagi di sini. Namaku Kim Mingyu, teman Jungkook. Kau pasti mencari Jungkook, 'kan?"

Mingyu berbicara dalam bahasa ibunya, Jimin jadi ikut merasa lega dan mengulas senyum kecil, "Ya, Mingyu-ssi. Apa kau tahu di mana Jungkook?"

Mingyu melirik kotak di atas bangku. Sudah pasti itu milik Jimin. Mulutnya secara otomatis membentuk huruf 'A', langsung mengerti niatan istri sahabatnya itu untuk datang ke sini, "Di perpustakaan. Aku baru saja melihatnya."

"Em... perpustakaan?"

Mingyu menunjuk ke arah bangunan tepat di seberang mereka. Bangunan dua lantai yang cukup besar dan banyak mahasiswanya.

Jimin mengangguk paham. Ia hanya perlu berjalan memotong taman ini untuk sampai ke sana, "Baiklah, aku mengerti."

"Aku bisa mengantar kalau kau mau."

Jimin menolak dengan halus. Ia tidak akan tersasar jika hanya berjalan lurus sejauh tujuh puluh meter.

"Terima kasih banyak, Mingyu-ssi. Aku bisa sendiri."

Mingyu mengendikkan bahu. Ia membungkuk kecil, dan Jimin balas membungkuk. Adat orang Korea yang Jimin rindukan. Pria itu melambai, berlalu pergi.

"Dia banyak memakai bahasa tubuh, ya." gumam Jimin sebelum ia meraih kotak kuenya dan berjalan menuju perpustakaan.

.

.

.

.

.

Mingyu berkata jujur. Jungkook terbukti berada di perpustakaan. Yang Mingyu tidak ketahui atau mungkin sengaja tidak dikatakan; Jungkook sedang dipeluk mesra oleh seorang perempuan bule berambut cokelat. Jimin berdiri di depan pintu masuk, setia dengan wajah datarnya. Memperhatikan pemandangan itu dengan khidmat dari kaca pintu. Jika kalian berpikir Jimin patah hati dan menahan tangis, seratus perseratus kalian salah. Kenyataannya, Jimin tidak terkejut. Tidak bawa perasaan. Tidak merasakan apapun.

Entah insting, entah firasat, atau entah apapun itu namanya, Jungkook tanpa sengaja menoleh. Menangkap basah Jimin yang seperti tengah menguntitnya. Apakah Jimin yang tertangkap basah atau justru ia?

Jungkook tidak melakukan satupun gestur untuk menyelamatkan harga dirinya, apalagi berusaha terlihat tidak bersalah atau melakukan pembelaan. Sebelah sudut bibirnya yang tipis terangkat. Kedua lengan yang sebelumnya menggantung, kini balas mendekap perempuan di hadapannya. Jungkook memasang tampang menyebalkan, seakan menguji Jimin. Mengolok-olok istrinya secara terselubung.

Sayang sekali, Jimin itu keras kepala seperti keledai. Tangguh, tidak memberi reaksi yang Jungkook harapkan. Jimin bahkan tidak terlihat terganggu, masih mempertahankan wajah tidak-punya-motivasi-untuk-hidup-nya. Walaupun perempuan itu mulai meraup leher Jungkook, ia tidak keberatan.

Kue yang dibawa-bawa sejak ia menginjakkan kaki di tempat ini diletakkan begitu saja di lantai. Jimin tanpa ragu-ragu melambai kecil pada Jungkook dan berlalu pergi.

Melihat itu, Jungkook pun kebingungan. Apa Jimin pulang? Jungkook mendorong kasar perempuan yang hampir melepas kemejanya sendiri. Ia melangkah tergesa-gesa keluar dari perpustakaan untuk memeriksa. Jimin sudah menghilang, namun meninggalkan sesuatu. Persis di depan pintu, ada sebuah kotak yang tutupnya terbuka. Ada kue tart di dalamnya, lengkap dengan lilin berbentuk angka 2 dan 3.

Jungkook terenyuh. Seorang Jeon tidak biasa gampang prihatin begini, tapi entah mengapa ia sedikit mengasihani istrinya yang sudah ia kerjai.

"Oh, ada tulisan di atas kuenya."

'Alles Gute zum Geburtstag'

Itu berarti 'selamat ulang tahun' dalam Bahasa Jerman. Diikuti tulisan hangul yang lebih kecil dan cukup panjang.

'Makan kue ini dan cari uang yang benar, atau aku minta cerai.'

Jungkook terkekeh, merasa terhibur dengan kelakuan Jimin. Walaupun ia tidak mencintai istrinya, ia tidak mungkin menyangkal fakta bahwa Jimin itu manis dan menggemaskan, mengesampingkan raut wajahnya yang selalu datar dan tanpa ekspresi.

Sebuah kartu ucapan warna merah muda yang menempel di kotak kue berhasil merebut perhatian. Gambar tokoh kartun kelinci asal Jepang, My Melody, menghiasi bagian depan. Jungkook menaikkan sebelah alis, tidak yakin kapan istrinya mulai menyukai hal-hal girly seperti ini.

Jungkook membuka kartu ucapan. Ada deretan hangul yang ia kenali sebagai tulisan tangan istrinya.

'Kuenya sudah kuludahi. Kau bisa berbagi dengan perempuan tadi. Selamat ulang tahun, suamiku.'

Jungkook baru menyadari kehadiran cairan bening yang melumuri kue ulang tahunnya. Baunya sedikit tidak sedap, yang berarti cairan itu sungguhan air ludah.

"Dasar... istri sialan."

.

.

.

.

.

Satu kilometer dari kampus, Jimin bersin-bersin dalam taksi yang ditumpanginya untuk pulang.

Sang supir taksi yang sudah berumur dengan sopan berujar, "Semoga Tuhan memberkati."

Jimin mengucapkan terima kasih.

"Suhu udara menurun drastis sejak memasuki musim gugur. Anda sepertinya akan terkena flu."

Mendengar itu, senyum manis Jimin mengembang. Sebuah senyum tidak wajar yang membuat sang supir taksi merinding dan menggigil, padahal ia telah menyalakan penghangat mobil.

"Semoga Tuhan memberkati usiamu, Jeon Jungkook. Alles Gute zum Geburtstag."

To be continued.

.

.

.

.

.

* Ledakan bintang

** Sebuah mitologi China tentang seorang wanita bernama Wang Zhao Jun yang konon kecantikannya dapat menjatuhkan angsa-angsa yang sedang terbang.

.

.

.

.

.

Author note

Ya Tuhaaaan, dengan lancangnya aku publish ff chaptered lagi. Aku bakal berusaha sebisa mungkin menamatkan cerira ini. Harus xD

Cerita ini latarnya terinsipirasi dari 99 Cahaya di Langit Eropa, yaitu di Austira. Satu lagi, adegan hanum bawain kue ulang tahun untuk rangga yang ternyata lagi dipeluk cewe lain bikin aku tergugah. Bedanya, kalo hanum langsung marah, jimin enggak. Dia gak akan mau kalah, dan pasti ngebales jungkook wkwkwkwk.

Terima kasih banyak sudah membaca sampai bawah~

Kritik, saran, tanggapan saya terima dengan senang hati x)