Facade

Disclaimer: It's sad, but I just own the fic

Warning: DON'T LIKE, DON'T READ! Typo, OOC dan OOC, shounen ai and probably yaoi.

.

.

Enjoy!

.

.


"Love is like the truth, sometimes it prevails, sometimes it hurts." [Victor M. Garcia Jr.]


.

.


Sakura menghentikan gerakan tangannya yang hendak menarik kenop pintu. Tubuhnya terlihat menegang dan kedua matanya melebar karena terkejut saat percakapan dua orang yang ada di dalam ruangan sampai ke telinganya.

"Semua ini akan lebih mudah kalau kau tidak bersamanya, Naruto. Harus berapa kali aku memintamu untuk menjauhi lelaki itu, huh? Kenapa kau tidak mau menuruti perintahku?"

Sebelah tangan sang Haruno yang ada di samping tubuh mengepal kuat saat mendengar respon yang diberikan sahabat dekatnya. Ia tidak mengerti kenapa Naruto masih bisa tertawa pada kondisi seperti ini. Kemarahan yang sempat hilang kini kembali dirasakan gadis cantik itu.

Sakura tahu kalau Naruto bukan tipe yang senang melanggar janji tapi seperti yang banyak orang katakan, cinta bisa merubah seseorang. Ini bukan kali pertama sahabatnya itu tidak datang ke tempat dimana mereka seharusnya bertemu dua jam yang lalu dan kenyataan itu membuat emosinya terpancing—karena ia tahu siapa yang menjadi alasan Naruto tidak bisa datang untuk menemuinya.

Sakura tahu bahwa ia memiliki batasan yang tidak bisa dilewati. Sebagai seorang sahabat, sudah seharusnya ia mendukung semua keputusan yang diambil pemuda pirang itu dan ada di dekatnya kapanpun ia dibutuhkan—hanya saja, untuk satu hal ini, Sakura harus menolak keputusan sang Uzumaki dan membiarkan dirinya didorong menjauh oleh sosok yang sudah dikenalnya selama tujuh tahun itu.

Naruto yang ia kenal bukanlah sosok yang menyukai kekerasan, baik dalam bentuk verbal ataupun dalam bentuk fisik. Seburuk apapun keadaan yang ada dihadapannya, Naruto lebih memilih untuk diam dan berpikir sebelum mengatakan ataupun mengambil keputusan apapun. Setinggi apapun kemarahan yang Naruto rasakan, siswa tingkat akhir Konoha High itu lebih memilih untuk meluapkan emosi negatif itu dengan mengurung diri di dalam kamar untuk menghindari kemungkinan ia meluapkan kemarahan pada siapapun. Fakta tadi membuat Sakura hampir tidak mempercayai kemampuan pendengarannya saat mendapatkan kabar kalau Naruto terlibat perkelahian hingga membuatnya dilarikan ke rumah sakit untuk yang pertama kalinya satu tahun yang lalu.

"Untuk kali ini aku tidak akan mengalah, baachan. Selama ini aku selalu mengikuti dan berusaha memenuhi semua keinginan yang ditujukan mereka padaku, tapi kali ini aku ingin bersikap egois dan mempertahankan hubunganku dengannya."

"Kenapa kau sangat keras kepala, bocah? Aku mengatakan ini untuk kebaikanmu."

Keheningan yang melingkupi ruangan yang belum juga dimasuki Sakura nyatanya tidak berlangsung lama, karena Naruto sepertinya sudah memiliki balasan untuk dilontarkan.

"Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Kurasa itu cukup untuk digunakan sebagai alasan."

Pengakuan yang meluncur dari mulut pemuda berkulit tan itu membuat kepalan tangan Sakura makin mengerat. Setelah semua yang terjadi pada Naruto, kenapa dia masih mau mempertahankan semuanya? Setelah semua yang dilakukan pada Naruto, kenapa dia masih bisa mencintai orang itu?

"Aku tidak percaya kau bisa bersikap sebodoh ini."

Sakura memilih untuk mengambil langkah mundur dan meninggalkan koridor tempatnya berdiri. Ia tidak mau mendengarkan pengakuan ataupun penjelasan (yang menurutnya) tidak masuk akal dari seorang Uzumaki Naruto.


.

..

-0-0-0-

..

.


Senyum yang terulas di wajah Haruno Sakura lenyap saat matanya menangkap pemandangan yang paling tidak ingin ia lihat terpampang jelas di hadapannya.

"Oh, Sakura-chan! Kau terlambat. Bukankah kemarin kau berjanji datang dua jam yang lalu?"

Dengan semua ketenangan yang ia miliki, sang pemilik nama berusaha untuk tidak melemparkan tatapan tajam kepada sosok yang duduk di sisi tempat tidur yang ditempati sahabatnya. Bagaimanapun juga Sakura tahu kalau ia tidak boleh membuat keributan di rumah sakit.

"Aku harus menggantikan Ino piket sepulang sekolah. Apa aku membuatmu menunggu, Naru?"

"Tentu. Kupikir kau tidak akan datang, jadi aku meminta Sasuke datang untuk menemaniku."

Sakura berusaha sekeras yang ia bisa untuk mengulaskan senyum. Dengan semua ketenangan yang ia miliki, putri tunggal keluarga Haruno itu melangkah dan duduk di kursi kosong yang ada di sisi lain tempat tidur sahabatnya. Ia berusaha keras untuk tidak mendengus sinis ketika melihat tangan lelaki bernama Sasuke itu digenggam oleh sebelah tangan Naruto yang masih dipenuhi lilitan perban di bagian pergelangan dan beberapa jarinya.

"Oh, apa kau sudah menyampaikan permintaanku pada Iruka sensei? Apa dia mau memberiku kesempatan mengikuti ulangan susulan?"

"Hm," Sakura mengangguk dan membalas tatapan mata sahabatnya. "Sensei akan datang ke sini dan mengawasimu langsung. Sensei juga memintaku memberitahumu kalau soal yang akan kau dapatkan berbeda dengan apa yang sudah kukerjakan, jadi kau harus belajar sungguh-sungguh."

Naruto mengulaskan cengiran lebar dan mengacungkan ibu jari, menerima kondisi yang diberikan sahabat dan guru favoritnya. Pandangannya beralih saat Sasuke melepas genggaman tangannya. Ia sedikit mendongakkan kepala untuk menatap sepasang mata beriris oniks milik kekasihnya.

"Kau mau pergi?"

"Hn."

"Sekarang?"

"Aku tidak bisa terus menemanimu di sini, Dobe. Banyak hal yang harus kulakukan."

Sakura membuang pandangan, memilih untuk tidak melihat sorot sedih dari mata sahabatnya sementara kedua tangannya yang ada di pangkuan sudah terkepal sejak Naruto mengalihkan pandangan darinya untuk menatap Sasuke.

"Kau akan datang menjengukku besok, kan?"

Dari sudut matanya Sakura bisa melihat bagaimana pandangan yang diberikan Sasuke kepada Naruto dan itu membuat ia mengeratkan kepalan tangan. Bagaimana bisa seseorang menatap kekasih mereka dengan pandangan dingin dan kosong seperti itu? Bagaimana bisa seseorang mencintai orang yang jelas-jelas tidak mempedulikan mereka seperti itu? Sakura yakin kalau memang ada yang salah dengan isi kepala Naruto.

"Aku akan memberitahumu kalau aku bisa datang."

Setelah menepuk puncak kepala si pemuda pirang, akhirnya Sakura bisa menarik napas lega karena tidak lagi ada di satu ruangan yang sama dengan orang yang tidak ia sukai. Pandangannya kini kembali tertuju pada Naruto yang masih menatap pintu kamar dengan pandangan kosong.

"Apa kau mendengar percakapanku dan Tsunade baachan kemarin, Sakura?"

Pertanyaan yang dilontarkan Naruto membuat sang gadis membulatkan mata. Darimana sahabatnya itu bisa tahu? Ia ingat kalau dirinya baru bertemu dengan Naruto satu jam setelah ia memilih pergi dari depan pintu.

"Aku tidak sengaja mendengar kalian membicarakan Sasuke," Sakura mengakui dengan nada tenang, "dan aku sependapat dengan Tsunade-san. Kau harus mengakhiri hubunganmu dengannya, Naruto."

Naruto melepaskan tawa, membuat lawan bicaranya melemparkan pandangan heran. Sakura tidak menangkap hal yang lucu dari ucapan yang ia lontarkan, itulah kenapa respon yang diberikan si pemuda pirang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Aku tahu kau akan mengatakan hal yang sama, itulah kenapa aku selalu ragu untuk mengakuimu sebagai sahabatku."

Sakura harus mengakui kalau perkataan yang sampai ke telinganya itu membuat dadanya berdenyut nyeri.

"Justru karena aku sahabatmu, aku harus berkata dengan jujur dan memberitahumu kalau kau melakukan sesuatu yang salah."

"Semua orang mengatakan hal yang sama dan aku muak mendengarnya."

Jika tadi Sakura merasa dadanya berdenyut nyeri, kali ini ia merasakan dengan jelas bagaimana napasnya terputus karena ucapan sang Uzumaki. Selama mereka berteman, Naruto belum pernah mengatakan hal semacam ini padanya. Ini adalah kali pertama Sakura mendapatkan perkataan kasar dari pemilik kulit tan itu.

"Aku sudah lelah mendengar semua penilaian negatif mengenai hubunganku dan Sasuke. Aku tahu kalau memang tidak seharusnya seorang pemuda jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan pemuda lain, tapi aku sama sekali tidak bisa memilih kepada siapa perhatianku tertuju, bukan?"

Bukan itu masalahnya. Menurut Sakura, bukan itu masalah yang ada di hubungan Naruto. Ia tidak keberatan jika sahabatnya ini lebih tertarik kepada seorang pemuda, selama Naruto bisa menerima keunikannya itu dengan baik dan tidak mempedulikan opini orang-orang yang hanya bisa memberikan tatapan negatif dan tidak mempedulikan kebaikannya.

"Aku sudah lelah mendengar semua perkataan buruk mengenai hubunganku dan Sasuke. Dia memang lima tahun lebih tua dariku, tapi aku sama sekali tidak melihat masalah dari perbedaan usia kami. Diluar sana ada banyak pasangan yang memiliki jarak usia yang lebih jauh dari kami dan mereka tidak mendapatkan masalah, lalu kenapa hubunganku dipermasalahkan?"

Ini juga bukan. Sakura tidak menganggap perbedaan usia mengambil peran dalam penilaiannya mengenai hubungan yang dimiliki Naruto. Ia tidak mempermasalahkan keputusan Naruto untuk mengencani seseorang yang lebih tua ataupun lebih muda, karena baginya usia tidak seratus persen menentukan keberhasilan dari sebuah hubungan.

Permasalahan utama yang membuat dirinya keberatan dengan hubungan Naruto adalah orang yang dipilih pemuda itu untuk dijadikan kekasih. Diantara sekian banyak orang, kenapa Naruto harus menjatuhkan pilihan kepada Sasuke? Sakura benar-benar tidak mengerti.

"Kau benar-benar..." Sakura memijat sisi kepalanya, berusaha meredakan rasa sakit yang mulai ia dapatkan dari percakapan mereka. "Beritahu aku kenapa kau terus bersikeras mempertahankan hubunganmu."

"Apa yang akan terjadi jika aku memberitahumu? Aku sudah memberikan jawaban dari pertanyaan semacam itu berulang-ulang pada yang lain, tapi sampai sekarang mereka masih memintaku untuk menyudahi semuanya."

Naruto menolehkan kepala, menatap gadis yang menjadi lawan bicaranya selama beberapa saat sebelum kembali menatap pintu kamar. Ia makin menyandarkan tubuh pada tumpukan bantal yang sejak tadi menyangga punggungnya.

"Dari apa yang kau katakan sebelum ini, aku menyimpulkan kalau kau juga akan melakukan hal yang sama. Kau nyatanya tidak jauh lebih baik dari mereka yang tidak mengenalku."

Sang Haruno menggelengkan kepala, enggan menerima penilaian yang dilemparkan padanya. Uzumaki Naruto yang ia kenal tidak akan mengatakan hal menyakitkan seperti ini kepada siapapun, terlebih padanya. Kemana sahabatnya pergi?

Sakura tahu kalau cinta memang bisa merubah seseorang, tapi kenapa perasaan itu malah merubah Naruto menjadi seperti ini? Kenapa perasaan itu malah membutakannya? Kenapa perasaan itu malah menyesatkannya?

"Dengarkan aku baik-baik, Naruto. Aku tidak peduli kalau kau tidak menganggapku sebagai sahabatmu, tapi kau harus mendengar dan membuka mata lebar-lebar! Kau mungkin mencintai Sasuke, tapi dia tidak mencintaimu! Semua orang tahu hal ini, tapi kenapa kau tidak juga menyadarinya, huh?"

Sakura berharap suaranya yang kian meninggi tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di koridor, karena ia tidak akan mau pergi sebelum pemuda yang masih menolak untuk menatapnya ini sadar.

"Bagaimana bisa kau memintaku, ataupun Tsunade-san, ataupun Namikaze-san untuk menerima orang seperti itu sebagai kekasihmu? Kau boleh saja tidak mendengar perkataanku dan Tsunade-san karena kami memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi kau harus memikirkan perasaan ayahmu. Dia lebih mengenalmu daripada kami, penilaiannya jelas lebih baik daripada kami."

Tatapan tajam yang diberikan sang lawan bicara membuat tubuh Sakura menegang.

"Jangan sebut ayahku dalam masalah ini."

Jika ada orang yang lebih keras kepala untuk menentang hubungan Naruto dan Sasuke, orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Namikaze Minato yang notabene merupakan ayah sekaligus satu-satunya orang tua yang dimiliki Naruto, mengingat Uzumaki Kushina, istrinya telah meninggal lima tahun yang lalu.

Sakura menelan ludah paksa dan berusaha keras untuk mempertahankan kontak mata dengan pemuda pirang yang selama ini ia kagumi.

"Ayahmu tidak pernah mempermasalahkan hubunganmu sebelum ini, apa kau ingat? Dia tidak pernah mengomentari hubunganmu dengan Gaara saat kita duduk di bangku junior high. Dia juga tidak mengatakan apapun saat kau dekat dengan Shikamaru beberapa saat setelah kita menjadi siswa senior high. Dia tidak pernah mencampuri urusan pribadimu sebelum ini, jadi ketika dia menentang hubunganmu dengan Sasuke, seharusnya kau tahu kalau memang ada yang salah dengan keputusan yang kau ambil!"

Sakura membulatkan mata saat sebuah tawa sinis meluncur mulus dari bibir lawan bicaranya. Setelah semua emosi yang ia luapkan, ia tentu tidak memprediksi kalau akan mendapatkan balasan semacam ini.

"Apa yang kau tahu mengenai kesalahanku, huh? Diluar penilaian dan pemikiran negatifmu terhadap Sasuke, apa yang kau tahu tentang dia? Apa yang kau tahu tentang hubungan kami?"

Sakura tidak tahu sampai kapan ia bisa menahan emosi dan juga air matanya. Mendengar perkataan semacam itu dari Naruto benar-benar menyakiti perasaannya. Kalau ada orang yang memiliki hak untuk mempertanyakan semua ini, bukankah itu adalah dirinya? Gadis berkulit putih itu mengepalkan kedua tangan dengan erat.

"Kau benar-benar sudah berubah," ungkapnya sembari menggelengkan kepala. "Benar, aku memang tidak tahu apa semua kesalahan yang kau buat. Benar, aku memang selalu berpikiran dan memberikan penilaian negatif kepada Sasuke. Benar, aku memang tidak tahu apapun mengenai hubungan kalian," Sakura menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya yang kian meluap. "Tapi kau pikir kenapa semua itu terjadi, huh? Beberapa minggu setelah kalian menjalin hubungan, kau menutup diri dariku! Apa kau tidak tahu bagaimana perasaanku karena tidak lagi mengenali sahabatku sejak saat itu?"

Lepas sudah. Setelah percakapan mereka selesai, Sakura tidak tahu apalagi yang tersisa dari hubungannya dan Naruto.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini," Sakura kembali menggelengkan kepala. Kali ini ia sudah bangun dari kursinya. "Lihat lebam di pipi dan sobekan di ujung bibirmu. Lihat kedua lenganmu yang masih diperban. Lihat semua yang kau dapatkan karena Sasuke, Naruto. Kenapa kau tidak bisa menyadarinya juga? Dia melukaimu! Dia bukan lelaki yang pantas kau cintai!"

Sakura memang terkejut saat pertama kali mendengar kalau Naruto masuk rumah sakit karena berkelahi. Ia lebih terkejut saat melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari kata baik—dengan lebam di beberapa bagian tubuh dan juga dua tulang rusuk yang patah. Seperti yang terjadi kemarin, ia juga tidak sengaja mendengar percakapan sebelum masuk ke kamar rawat. Bukan percakapan antara si pemuda pirang dan dokternya, tapi antara pemuda itu dan kekasihnya.

"Bukankah aku sudah memintamu untuk menjauhiku? Apa yang tidak kau pahami dari perintahku itu, Dobe?"

"Dan apa kau pikir aku akan menjauhimu setelah hal ini terjadi? Berhenti lari dariku. Aku mencintaimu dan aku tidak peduli dengan semua hal yang bisa terjadi selama aku bisa bersamamu."

"Aku hanya akan melukaimu, Naruto."

"Kau tidak melukaiku, Sasuke."

"Stop make a fool of yourself."

"I will never stop and you know that."

Sebelumnya Sakura hanya pernah mendengar istilah Stockholm Syndrom dari buku dan artikel yang tidak sengaja ia baca dan ia tidak pernah mengira kalau ia akan melihat fenomena psikologi itu langsung di depan matanya.

Selama Naruto menjalin hubungan dengan Sasuke, Sakura tidak tahu sudah berapa kali ia melihat sahabatnya itu terluka—terkadang hanya berupa lebam, terkadang berupa luka sobek, dan yang paling parah adalah luka yang membuatnya dilarikan ke rumah sakit seperti sekarang—dan semua hal itu terjadi tiap kali Naruto bertemu dengan Sasuke.

Sakura memang tidak mendengar langsung mengenai rencana kedua pemuda itu saat akan berkencan, tapi Sasuke adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Naruto membatalkan semua janji yang sebelumnya dia buat. Sasuke adalah alasan tunggal yang bisa membuat Naruto tidak mempedulikan hal lain dan selalu menyempatkan diri untuk mengosongkan jadwal agar mereka bisa bertemu. Sasuke selalu menjadi penyebab Naruto berlari meninggalkan sekolah beberapa detik setelah jam pelajaran selesai tanpa mempedulikan dirinya.

Sakura mengerti kalau memang tidak mudah bagi sahabatnya untuk bisa bertemu dengan kekasihnya, mengingat Sasuke selalu menghabiskan hampir semua waktunya di kantor tempatnya bekerja. Semua kelas tambahan dan juga kursus yang dilakukan Naruto juga membuat kesempatan mereka untuk bertemu semakin tipis, itulah kenapa pemuda pirang itu tidak pernah bisa menahan diri untuk tidak berlari menemui Sasuke saat lelaki itu memberitahu kalau ia memiliki waktu luang.

Mungkin Naruto memang tidak pernah menceritakan apapun padanya, tapi sedikit banyak Sakura bisa menangkap bagaimana hubungan mereka berjalan—sekaligus bagaimana Naruto terus membiarkan luka demi luka ia dapatkan di hari setelah pertemuannya dengan Sasuke.

"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padamu agar kau mengerti. Aku tidak ingin kehilanganmu sebagai sahabatku, tapi kurasa akan lebih baik jika aku tidak melihat wajahmu untuk beberapa waktu."


.

.

TBC

.

.


A/N: ohohoho, akhirnya saya bisa menuangkan ide yang terus berputar di kepala saya ini ke dalam sebuah fic. Awalnya saya berniat untuk membuat fic ini sebagai sebuah oneshot, tapi karena terlalu panjang, jadi saya putuskan untuk membaginya menjadi dua bagian. So... review for the first part? ^^