It's Love

Disclemer © Masashi Kishimoto

Warning : Segala nama benda atau merk dalam fict ini tidak ada maksud untuk mengiklankan, hanya sekedar memberi nilai kemewahan pada fict ini, Wanita dalam fict ini menunjukan identitas umur, Typoo's, abal, ide pasaran, plot (?) dan banyak lagi

Character: Ino X Sai dan banyak lagi

Image bukan punya saya

.

.

.

.

Enjoy It

.

.

Siang itu di sebuah restoran mewah bernama Hortensia, tengah dipenuhi oleh orang-orang yang sebagian besarnya adalah para eksekutif muda. Beberapa dari mereka ada yang sedang mengadakan pertemuan bisnis dan hanya sebagian kecilnya yang datang untuk menyantap makan siang bersama pasangannya.

Di salah satu meja yang terletak dekat dengan jendela, sepasang pria dan wanita tampak sedang menikmati hidangan mereka dalam sunyi. Sang pria memiliki tubuh yang tegap, dibalut kemeja abu-abu dan jas slim fit berwarna hitam yang senada dengan celana kain yang digunakannya.

Setelan yang pria itu gunakan, tidak dapat menutupi otot-ototnya yang terbentuk sempurna. Karenanya, tak ayal jika beberapa pengunjung wanita, tertarik untuk melirik ke arahnya.

Dengan gerakan yang terlihat maskulin – entah karena disengaja atau tidak, pria itu menyandarkan diri sambil tetap memandang wanita di depannya dengan penuh perhatian.

Sementara wanita yang menjadi fokus pandang pria tampan di hadapannya, adalah wanita yang memiliki perawakan ideal. Rambut panjangnya yang terikat tinggi dengan warna pirang, membuatnya sekilas tampak seperti barbie.

Dalam balutan tank top hitam ditambah blezer turqoise dan skiny jeans berwarna putih, wanita itu terlihat cantik dan segar. Sungguh berlawanan dengan penampilannya, air muka wanita itu sendiri justru menunjukan kebosanan. Terlihat dari caranya yang memainkan makanannya di piring sebelum memakannya tanpa minat.

"Sepertinya, kau tidak berselara memakannya." Pria dengan rambut berwarna merah itu, memecahkan keheningan di antara mereka. "apa kau tidak menyukai makanan itu?"

Menatap sang penanya sekilas, wanita itu lantas menggeleng lemah seraya menyeruput ice lemons-nya. Tanpa mengeluarkan kata, wanita itu kembali menyantap makanannya yang tinggal setengah itu.

"Syukurlah... kau menyukainya." Pria itu kembali bersuara saat tidak mendapat reaksi balasan dari teman kencannya itu. "aku sempat bingung sebelum memilihkan makanan yang kira-kira belum sering kau makan. Dan... sepertinya, kau menyukai pilihanku.

Mendengar kalimat terakhir dari sang pria, wanita muda itu lantas memusatkan atensinya pada sang pria, dalam diam. Sehingga keheningan kembali menyapa dua pasangan yang menjadi daya tarik tatapan para pengunjung restoran.

"Tidakkah kau bosan, hn... Sasori?" Wanita yang sempat diam memperhatikan pria yang kini tengah melanjutkan makannya, tampak buka suara.

"Hn?" Pria itu mendongak dengan raut bingung. Menatap lurus iris aquamarine di hadapannya. "bosan? Bosan kenapa?"

Menggulirkan mata sejenak, wanita cantik itu kemudian meluruskan posisi duduknya. "dengar... selama ini jika kita akan makan siang, kau selalu merasa bingung dan kemudian berucap lega ketika aku mengiyakan pilihanmu, benarkan?" Wanita itu kembali diam hanya untuk memainkan gelas kosongnya.

"Lalu? Dimana sisi kebosanannya?" Pria dengan wajah seperti bayi itu, mulai terlihat sedikit gelisah dalam duduknya dan sebisa mungkin ia sembunyikan dari manik cantik di depannya.

"Tentu saja dengan kebingunganmu itu. Apa kau tidak merasa, jika selama ini kau selalu mengeluh kata bingung untuk setiap pertemuan kita?!"

Raut wajah pria dewasa itu berubah serius. "Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?!" desis pria itu pelan.

Wanita pirang itu mengangkat alisnya sejenak sebelum melepas tawa hambar. "Tidak ku sangka, kau mengerti maksudku." Ucap wanita itu tanpa tendang aling-aling.

Suasana di sekitar mereka berubah dingin, terlebih dengan raut sang pria yang perlahan menjadi mengeras. Walau begitu, sang wanita justru tetap memperlihatkan senyum hambarnya.

"Jadi, kau mau bicara apa?!"

Mendapat pertanyaan bernada agak kasar itu, sang wanita menghentikan senyum hambarnya dan menggantinya dengan tatapan menggoda. Meski yang terlihat dari iris merah itu, hanyalah tatapan penuh ejekan.

"Hei...apa begitukah caramu berbicara dengan teman kencanmu?"

"Aku tau kau bukan orang yang suka berbelit-belit, jadi katakan apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan."

"Baiklah." Wanita cantik itu menghela nafas sejenak sebelum melanjukan perkataannya. "sudah berapa lama kita berkencan selama ini?"

"Ng...tiga minggu, mungkin." Pria itu hanya menghandikan bahunya sebelum menatap wanita cantik itu lagi. "kenapa? Kau ingin aku meresmikan hubungan kita?"

Wanita itu mendengus pelan. "justru sebaliknya. Aku ingin mengakhirinya."

"Apa!" pria itu tampak terkejut dengan perkataan wanita di hadapannya.

"Aku kira kau cukup cerdas untuk tidak membuatku mengulang perkataanku barusan." wanita itu dengan santai menyandarkan diri tanpa peduli bahwa perkataannya telah membuat pria di depannya geram.

"Kau tidak bisa melakukan ini padaku, hime. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu." Pria itu berbisik lirih dengan penuh harap.

"Oh...begitukah. Lalu kenapa kemarin, aku melihatmu menginap di kamar yang sama dengan sekretaris seksimu itu, hm?" wanita itu menopangkan dagu dengan lengan yang diletakan di atas meja. "itukah cinta untukku?"

Pria itu diam terkejut mendengarnya. Ekspresi wajahnya diliputi oleh emosi yang masih berusaha ia tahan, walau beberapa kali suara geretakan dari gigi yang ia katupkan kuat-kuat, lolos terdengar.

"Bagaimana denganmu sendiri?!"

"Aku? Memangnya kenapa dengan diriku?" wanita itu sengaja menatap lawan bicaranya dengan sensual namun sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah seringai.

"Kemana kau selama seminggu ini? Kenapa kau sangat sulit untuk dihubungi. Bahkan ketika aku meneleponmu ke rumah, pembantumu selalu bilang kalau kau sedang sibuk atau apalah itu. Terlebih handphonemu juga jarang kau aktifkan."

"Aku sudah mengatakan padamu minggu lalu, bahwa aku memang sibuk mempersiapkan skripsiku, kau ingat?"

Pria itu mengangguk meski wajahnya masih menahan emosi. "Tentu saja aku masih ingat. Tapi masalahnya, dua hari yang lalu Kin melihatmu di diskotik." Lanjutnya dengan geram.

Wanita itu tidak berkedip mendengarnya. "oh, sekretarismu ke sana juga. Aku tidak melihatnya."

"Jadi kau memang ke sana?!"

Wanita itu mengangkat kedua bahunya. "ya, aku memang ke sana. Tapi apakah itu salah, jika aku ke sana karena ingin terbebas sebentar dari revisiku yang banyak?"

"Dengan siapa kau ke sana?!"

"Sendirian."

"Oh, ayolah!" keluh Sasori tidak percaya. "Kin bilang, kau datang bersama seorang pria. Siapa pria itu?!" lanjutnya lagi sambil berusaha menahan amarah yang sudah melampaui batas itu.

"Jadi kau lebih percaya sekretaris seksimu itu dibanding aku?" tuduh wanita itu masih dengan ekspresi santainya.

"Khe... jangan kau pikir aku tidak tahu siapa kau sebelumnya. Kau adalah seorang wanita yang tidak bisa tahan dengan hanya satu teman kencan dalam jangka waktu yang lama."

Sepasang bulu mata lentik itu mengerjap. "lalu memangnya kenapa?"

"Kenapa katamu. Kau sudah membohongiku."

"Kalau dari awal kau sudah tahu aku seperti itu, kenapa kau harus terkejut. Oh.. atau kau sengaja tidur dengan sekretarismu itu untuk membalasku?" wanita itu berucap dengan nada angkuh.

"Kin tidak ada hubungannya dengan masalah kita, jadi berhenti menyebut-nyebut dirinya dalam pembicaraan ini!" bisik sasori geram.

"Lihat, sekarang kau membelanya. Apa dia begitu hebat dalam melayanimu kemarin, sampai-sampai ka – "

'GREEKKKK'

Ucapan wanita itu terpotong begitu pria berambut merah itu berdiri dengan tiba-tiba. Membuat beberapa pasang mata yang kebetulan duduk dekat pasangan ini, menoleh ke arah pria yang tengah berdiri dengan nafas memburu.

Sang wanita justru masih terlihat santai, tidak peduli jika sorotan mata tajam dari pria yang berdiri itu mengarah kepadanya. Merasakan hawa panas yang menguar dari pasangan ini, membuat beberapa pasang mata yang semula tertuju pada mereka, menjadi mengabaikan dan seolah tidak pernah melihatnya.

Membenarkan ikatan dasi yang serasa mencekik lehernya, pria itu kemudian duduk kembali, masih dengan amarah yang belum reda. Setidaknya pria itu harus dapat mengendalikan emosinya di tempat umum jika tidak ingin harga sahamnya turun karenanya.

"Baiklah." Pria itu mendesah keras sambil mengusap wajah gusar. "aku akui kalau aku salah karena tidur dengan Kin, dan kau juga tidak berada di pihak yang benar, jadi lebih baik kita lupakan masalah ini."

"Setuju." Jawaban dari wanita itu membuat sang pria menerbitkan senyum lega.

"Tapi aku tetap ingin mengakhiri hubungan ini"

"Apa?!" pria itu terlewat terkejut mendengarnya, sungguh hari ini jantung sang pria benar-benar di uji berkali-kali oleh wanita cantik di hadapannya.

"Jangan lakukan ini padaku, hime. Aku benar-benar minta maaf dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Jadi aku mohon, jangan akhiri hubungan ini karena aku benar-benar menyayangimu."

"Oh..." wanita itu mendesah pelan. "aku juga menyayangimu, Sasori. Tapi..." wanita itu kini menatap pria yang sedang cemas itu dengan sendu. "aku telah terpikat dengan pria lain. Memang dia tidak sekaya kau, tapi ia selalu tahu apa yang ingin aku makan dan tidak membosankan jika diajak jalan."

"Kau..." Sasori tampak tercekat mendengarnya. "kukira selama ini kita bisa cocok satu sama lain."

"Maafkan aku Sasori, karena nyatanya aku bosan denganmu dan aku tidak punya pilihan lain selain mengatakannya."

"Jadi semua berakhir begini saja?!"

"Jangan mempersulit keadaan Sasori. Kau pria yang baik, tampan dan juga kaya, jadi kau tidak akan kesulitan mendapatkan penggantiku."

"Aku tidak mau! aku tidak mau wanita lain selain kau."

"Jangan keras kepala Sasori. Aku menyayangimu dulu dan sekarang aku sudah mempunyai penggantimu yang saat ini tengah menunggu di luar."

"Apa!"

"Itu benar. Aku memintanya menjemputku saat kita mulai makan yang sangat membosankan ini." Wanita itu melirik jam tangannya. "dan aku sudah membuatnya menunggu terlalu lama. Jadi, selamat tinggal Sasori."

Wanita itu sudah berdiri dan akan membalikan tubuhnya yang seksi, jika saja tangan kekar milik pria bernama Sasori itu tidak menahan lengannya. "kali ini kau menang dalam menyakiti aku yang mencintaimu. Tapi ingatlah jika suatu saat nanti, kau akan kalah dari rasa cinta itu sendiri!"

"Jika aku jadi kau, aku lebih baik menutup mulut dari pada membicarakan hal konyol seperti itu. Kau tentunya tahu bukan, dalam lingkungan dunia kita, cinta itu hanyalah alasan untuk mendapatkan yang kita inginkan."

Setelah berkata begitu, wanita cantik itu menghentakan lengannya sehingga membuat tangan kekar yang menahan barusan, terlepas begitu saja. Kemudian dengan penuh keanggunan, wanita itu melangkah keluar restoran mewah itu diiringi oleh tatapan menggoda dari kaum adam yang melihatnya.

Memang hal semacam ini sudah biasa baginya. Dimana pun ia berada, pasti banyak pria yang tertarik padanya. Karena bagaimana pun juga, wanita ini beruntung terlahir memiliki kelebihan dalam tubuh dan wajahnya tanpa harus bersusah payah melakukan make over pada dirinya.

Sepeninggalan wanita cantik barusan, pria itu masih diam di tempat duduknya. Sasori memandang nanar wanita yang kini berada di luar restoran dari balik kaca. Ia masih memandang wanita yang tengah menghampiri seorang pria jangkung yang baru saja keluar dari mobil sport berwarna kuning menyala.

"Kau benar-benar wanita brengsek, Ino." umpatnya sebelum melempar beberapa lembar uang ke meja dan berlalu pergi dari restoran.


Hola... Minna...

bagaimana dengan fict ini? ini pertama kalinya saya membuat fict dengan karakter Sai dan Ino

jujur saja ya... diantara beberapa fict yg ada, hanya sedikit yang membuat Sai Ino sbg karakter utama

padahal kalo menurut saya pribadi, mereka juga gak kalah romantis dengan couple lainnya...

jadi... berakhirlah dengan membuat fict dengan karakter mereka disini... ini masih prolognya, niatnya sih di publish setelah menamatkan Waiting to you...

tapi karena belum nemu ide lagi dalam melanjutkan, terpaksa di publish lebih awal, tapi tenang aja

fict ini tidak akan mengganggu kelanjutan fict yg lain...

Jadi...bagaimana dengan fict ini, Minna?

Lanjut... atau ditahan dulu nih?