The Hunger Games milik Suzanne Collins
Sebelumnya cerita ini pernah saya publish di Infantrum
Sesaat setelah Peeta memintaku untuk melanjutkan aktingku demi penonton yang telah melimpah ruah di stasiun (astaga,asal kau mau mendengarkanku sekali saja, Peeta, aku tak sepenuhnya berakting!), aku meraih tangannya yang besar dan hangat, tangan yang sejak beberapa hari belakangan tak lagi asing dalam genggamanku. Dan aku tahu keputusanku tepat untuk tak lagi bersikap angkuh di hadapannya. Karena aku memang tak bisa, tidak setelah hari demi hari yang kami lewati di hutan sepi. Tidak setelah aku melihat kaki palsu yang mulai mengetuk tangga itu. Tidak setelah aku menyadari aku bisa saja kehilangan sahabat pemberi rotiku di Hunger Games.
Kami berdua turun dari kereta dengan anggun, tangan Peeta masih meraih milikku, memastikan aku tidak tergelincir. Kami disambut dengan teriakan membahana yang tak pernah kuterima sebelumnya. Sepasang kekasih yang nyaris membuat petinggi Capitol berani membayar dokter bedah plastik terbaik di Panem untuk mengubah wajah mereka karena malu kini menjelma menjadi pahlawan di Distrik 12. Sepasang kekasih, ulangku dalam hati, tidak berani menatap mata biru Peeta di sampingku.
Saat kakiku menjejak dasar tangga, aku sadar aku sudah pulang. Pulang, kata yang rela kutukar dengan semua buruanku di Hunger Games. Menginjak tanah di Distrik 12 nampaknya masih seperti mimpi bagiku. Ya, aku pasti bermimpi, karena tangan Peeta masih menyelimuti genggamanku, masih hangat, masih menenangkan.
Aku tidak mau ini semua berakhir. Aku tahu Peeta akan melepaskan tanganku setelah tak ada yang melihat, mungkin saat kami berpisah di depan pintu rumahku. Kepalaku langsung berdenyut kala kuingat bahwa aku akan menempati rumah baru sebagai hadiah kemenangan. Apakah Peeta akan tinggal satu rumah denganku? Karena pemenang Hunger Games kali ini ada dua, mungkin akan ada dua rumah berbeda yang dibangun. Tapi menurutku itu semua sama saja. Semua akan sama seperti dulu jika Peeta dan aku akhirnya menjadi dua orang yang saling mengenal tapi tak saling mengakui keberadaan satu sama lain.
Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Peeta lebih erat sementara kami berjalan di atas karpet yang disediakan. Aku dapat menangkap raut keningnya dari ekor mataku, untuk itu aku memilih untuk menoleh dan menengadah untuk menatap langsung matanya yang tak lagi sudi menatap mataku. Iris birunya tahu bahwa aku tengah memandangnya, dan kuanggap itu sebagai tanda izin bagiku untuk berbicara.
Aku menarik napas dalam-dalam, menggenggam tangannya lebih erat, berusaha mencari ketenangan dalam kehangatan tangannya, kemudian berkata lirih, "Saat kau merasa aku harus menyudahi aktingku, janganlah tarik tanganmu. Tunda dan tunggulah sebentar. Hanya sebentar."
Kau tahu mengapa, Peeta? Karena aku sudah memilih.
.
FIN
Saya menulis ini bukan setelah menonton filmnya, tapi setelah membaca bukunya (iya, telat banget kan orz), jadi saya belum terlalu terbias dengan Peeta ^^ terima kasih sudah membaca! ^^
