Regret
DISCLAIMER : Masashi K. I do not own Naruto
RATING : T+
WARNING : AU, Crack Pair, OOC (?), Typo(s), GAJE, ABAL, No EYD, etc.
.
.
.
.
.
.
Just enjoy the story ^.^
If You Don't Like? Don't Read. Simple kan?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
[Itachi]
Aku adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir dari keluarga yang cukup terpandang dan serba berkecukupan. Pendidikanku juga cukup tinggi, kuliah S1 mengambil jurusan perfilman di San Fransisco lulus dengan nilai cum laude dalam kurun waktu 3,5 tahun. Aku memulai karirku dengan mengikuti casting pada film pendek dan langsung mendapat peran utama di film itu. Tawaran demi tawaran datang silih berganti, hingga akhirnya aku bisa menjadi aktor yang cukup terkenal di Konoha.
Saat ini aku tinggal di sebuah apartemen yang kubeli dengan penghasilanku sendiri. Kedua orang tuaku dan keluargaku sebenarnya cukup bangga dengan prestasi yang kuraih, meski sebenarnya orang tuaku lebih suka jika aku meneruskan bisnis keduanya.
Semua berjalan lancar, tidak pernah ada halangan yang cukup berarti bagiku. Selama ini hidupku berjalan sesuai yang aku mau. Tapi semua berubah semenjak kedatangan gadis itu. Hidupku tidak lagi berjalan sesuai dengan rencanaku. Ia merusak segalanya. Niatku menolongnya malah membuatku terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak aku inginkan.
Aku harus terikat dalam sebuah pernikahan.
Dalam 30 tahun hidupku, pernikahan adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan. Aku belum siap berkomitmen dalam puncak karirku. Meski keluarga besarku selalu mendesakku untuk segera menikah, tapi aku selalu mengatakan jika aku butuh waktu untuk itu. Mereka tahu watakku seperti apa, jadi mereka tidak lagi mendesakku. Tapi semua berubah sejak kedatangan gadis itu.
Sore itu, aku duduk di sebuah coffe shop menunggu salah seorang klienku untuk membicarakan kontrak kerja. Setelah setengah jam menunggu dengan seenaknya klienku itu meneleponku mengatakan membatalkan pembicaraan kontrak karena ban mobilnya meletus ditengah jalan. Aku hanya bisa mendecak kesal. Aku benci menunggu tapi aku lebih benci lagi sebuah keterlambatan dengan alasan apapun. Aku benci orang yang tidak bisa menghargai waktu. Akan kupastikan tidak akan mau lagi membicarakan kontrak dengannya.
Shit, aku mengumpat dalam hati. Hujan tiba-tiba mengguyur Konoha dengan derasnya. Jarak antara coffe shop dengan tempat parkir lumayan jauh. Double sial.
"Pa-payung tuan?"
Aku menatap gadis berkulit pucat, pakaiannnya sudah hampir basah, menawarkan tumpangan payung besar berwarna biru muda padaku. Ojek payung istilahnya.
"Hn."
Gumamanku yang dia artikan 'ya', langsung membuat wajahnya yang pucat itu tersenyum cerah seperti orang baru saja menang lotre. Aku yakin mungkin badannya yang menggigil dikarenakan belum mendapat pelanggan satu pun.
"Antar aku ke tempat parkir itu." Aku menunjuk ke arah mobilku yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Dia mengangguk.
Dia membuka payung besarnya, mengangkatnya lebih tinggi. Aku rasa dia sedikit kesulitan mengangkat payung yang sebenarnya cukup ringan bagiku. Mungkin karena dia belum makan seharian sehingga tidak ada tenaga atau karena tinggi kami berdua yang memang berbeda cukup jauh. Aku rasa tingginya hanya 165 cm.
"Biar aku saja yang bawa."
"Ta-tapi tuan…"
"Jangan membantah!" hardiku membuatnya sedikit berjengit, "Kalau kau semakin memperlambatku. Aku akan-"
"Baik Tuan! Baiklah tuan yang bawa." Potongnya dengan wajah ketakutan, membuatku menahan tawa melihat ekspresi ketakutan polosnya.
"Bagus." Aku langsung mengambil payung dari tangannya.
Dia berjalan dibelakangku sambil menundukkan pandangannya. Dilihat dari penampilannya dia tidak terlihat seperti seorang tunawisma. Maksudku, wajahnya cukup cantik, kulitnya putih bersih meski sedikit pucat. Pakaian yang dikenakannya juga bagus. Hanya saja tubuhnya terlihat kurus dan lemah.
"Berjalan disampingku atau kau akan jatuh sakit karena basah kuyup." Aku bisa melihat mulutnya yang hendak membantah tapi ia urungkan setelah melihat pandangan mengancam dariku. Dia menurut seperti kataku, berdiri disampingku.
"Terima kasih." Aku memberikan satu lembar uang 10.000 ryo padanya dan mengembalikan payungnya.
"A..ano..tapi i-ini terlalu banyak tuan. Saya ti-tidak punya kembaliannya."
"Hn, kalau begitu ambil saja kembaliannya. Aku tidak punya uang kecil."
Aku menjalankan mobil tanpa terpengaruh teriakannya yang masih menyuruhku berhenti. Ck! Benar-benar keras kepala. Dia berusaha mengejarku hanya demi uang kembalian. Waktuku terlalu berharga hanya untuk itu. Aku melirik sekali lagi ke arah spion, dalam hati aku mendesah lega karena akhirnya dia berhenti juga.
.
.
.
.
Aku menatap sejenak jam tangan rolex yang terpasang di tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan aku masih berada di jalanan. Setelah rapat dengan salah satu pihak manajemen majalah ternama, kemudian aku masih harus menghadiri wawancara di salah satu stasiun TV swasta. Sampai tidak terasa perutku memberontak minta diisi. Akhirnya aku putuskan mampir sebentar ke restoran fast food. Sebenarnya aku tipikal yang sangat memperhatikan kesehatan. Sebisa mungkin menjauh dari yang namanya junk food, alkohol, dan juga rokok. Tapi jika sudah dalam keadaan terdesak, aku terpaksa memakannya juga.
Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari tempat pemberhentian bus. Mata kelamku menyipit memperhatikan surai yang tidak asing lagi bagiku. Gadis pembawa payung itu lagi, gerutuku dalam hati. Aku tidak menyangka dia memang benar-benar seorang tunawisma, sampai-sampai tidur di halte bus. Aku mengedikkan bahu, itu bukan urusanku.
Mesin mobil kembali kunyalakan dan kembali melanjutkan perjalanan pulang. Aku tidak tahu apa yang membuatku kembali melirik dari spion. Kulihat ada 3 orang pria, yang kisaran usianya pasti masih baru beranjak remaja. Mendekati gadis payung itu, sambil tertawa-tawa mengejek. Aku yakin mereka yang dalam keadaan mabuk itu bisa saja berniat buruk pada gadis itu.
Sekarang aku tidak bisa tidak peduli pada keadaannya. Meski aku tidak tertarik padanya, tapi tetap saja aku membenci segala tindak kekerasan ataupun pelecehan terhadap wanita. Aku menghormati mereka layaknya menghormati ibuku sendiri.
"Mau apa kalian?"
Mereka berjengit kaget mendengar teguranku. Aku memang nekat menghampiri mereka sebelum sempat berbuat macam-macam pada gadis itu.
"Kau siapa? Jangan ikut campur!"
"Tapi kalau aku tetap mau ikut campur. Bagaimana?" aku melirik gadis payung itu nampaknya terlalu lelah sampai tidak mendengar perdebatan kami.
Ucapanku langsung memancing kemarahannya, terbukti dia langsung mengarahkan sebuah pukulan padaku. Khe, jangan remehkan kemampuan bela diriku. Aku memelintir tangannya. Kedua temannya membantunya dengan ikut melayangkan pukulan padaku. Aku mendorong pemuda yang tadi tangannya kupelintir, dan menangkis pukulan dari pemuda yang lainnya.
Kuubah gaya bertarungku. Sejak tadi aku hanya bertahan, dan sekarang aku akan habisi kalian.
BUGH
DUAGH
BRAKK
"Kyaaaa?!"
Aku menoleh kaget. Gadis payung itu terbangun dengan wajah shock dan ketakutan. Aku tidak sempat mencegahnya yang berlari ketakutan bersembunyi di belakang mobilku. Bagus. Dia pintar, jadi dia tidak akan mengganggu 'aksi'-ku.
Aku terkekeh geli melihat tingkah gadis di depanku ini. Perkelahianku sudah berakhir sejak tadi tapi dia baru memberanikan diri mengintip dari balik mobil. Dia bahkan tidak menyadari aku sudah berdiri di belakangnya.
"Apa yang kau cari?"
"Kyaaa-hmpp…hmmpp…" astaga! Apa dia hobi berteriak? Aku sampai harus membekap mulutnya itu.
"Kau sudah aman sekarang. Tenang oke?" dia mengangguk, tapi badanya masih gemetaran, perlahan kulepaskan tanganku dari mulutnya.
Dia menghela napas panjang. "Terima kasih sudah menolongku Tuan."
"Hn." Sahutku singkat. Aku kembali merapikan pakaianku. "Kenapa kau tidur di halte seperti itu? Sangat berbahaya buat gadis sepertimu."
"Itu…a..aku lelah Tuan." Aku sweatdroped dibuatnya. Jawaban macam itu?
"Maksudku, apa kau tidak punya rumah sampai harus tidur disana?" aku mencoba sabar. Dia gadis yang polos luar biasa.
Dia menunduk, hingga surai indigonya menutupi wajahnya yang pucat. Dia menggeleng lemas.
"Apa kau kabur dari rumah? Bertengkar dengan orang tua?" tanyaku bertubi-tubi.
Dia malah memalingkan wajahnya, tidak menjawab pertanyaanku. Aku hanya bisa mendengus.
Aku tahu sebenarnya ini bukan urusanku tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia di jalanan seperti ini. Bisa saja preman tadi mengganggunya lagi. Tapi harus kubawa kemana dia? Kalau ke hotel aku yakin bisa jadi skandal besar nanti.
"Ikut saja denganku. Kau bisa tinggal sementara di apartemenku." Hanya solusi ini yang terpikirkan olehku saat ini. Lagipula sepertinya gadis ini bukan fans girl-ku atau bahkan mungkin dia tidak tahu jika aku adalah public figure.
"Ta-tapi…aku ti-tidak punya cukup uang u-untuk membayar sewanya Tuan."
Aku tidak bisa menahan lagi tawaku. Hari ini dia sudah dua kali membuatku keluar dari karakterku sendiri. Memangnya siapa yang meminta uang sewa darinya?
Sebuah ide jahil terlintas dibenakku. "Hn. Kalau begitu bayar saja dengan tubuhmu."
"A-APA?!" dia langsung memandangku takut sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Kenapa?"
"Maaf Tuan. A-aku bukan wanita seperti itu. Aku ti-tidak akan melakukan hal serendah itu." Ucapnya dengan nada yang mulai meninggi. Dia terlihat sangat marah.
Aku mengangguk-angguk."Hn…jadi pekerjaan sebagai pelayan itu rendah menurutmu?"
"Eh? Ja-jadi maksud Tuan bukan menyuruhku menjual tu-tubuhku?" cicitnya dengan pipi yang memerah menahan malu. Dia sudah sangka padaku.
Aku tertawa lagi. "Penghasilanku sudah lebih dari cukup. Aku tidak perlu berbisnis haram seperti itu."
Dia membungkukan badan berkali-kali."Ma-maafkan aku Tuan…maaf sudah berpikir buruk. Dan a-aku bersedia bekerja di rumah Anda Tuan."
"Hn. Tidak usah kau pikirkan." Aku melepaskan hoodie-ku dan memberikannya pada gadis itu, "pakai itu kalau kau tidak mau badanmu membeku."
"Ta-tapi…"
"Pakai!" aku benci penolakan. Dia langsung menurutiku dengan memakainya.
"Hn. Aku perlu tahu siapa namamu sebelum mulai bekerja di rumahku."
"Hi-hinata Tuan." Jawabnya singkat.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini sudah benar atau tidak. Membawanya masuk ke dalam apartemenku, membiarkannya masuk ranah pribadiku. Padahal aku sendiri membenci privasiku jika terganggu dengan kehadiran orang lain. Selama ini pun aku memiliki maid seorang wanita berusia 57 tahun yang hanya akan datang membersihkan apartemenku saat aku sudah berangkat kerja, dan akan pulang sebelum aku kembali kesana. Tapi dengan membawanya menginap di hotel bisa jadi lebih beresiko, setidaknya jika ketahuan di apartemenku, aku bisa mengatakan jika dia maid baruku. Memang benar kan?
Sudah satu minggu ini gadis bernama Hinata itu tinggal bersamaku eh…maksudku bekerja padaku. Awalnya dia menolak menerima gaji, tapi aku menegaskan padanya jika dia hanya sementara tinggal disini sampai dia bisa mengumpulkan uang untuk mencari tempat tinggal sendiri. Dan pada akhirnya dia menurutiku.
Aku tidak menyesal harus memberhentikan nenek chiyo (maid lama) dari pekerjaannya dengan uang pesangon yang cukup besar tentunya, aku beralasan sudah saatnya dia menikmati hari tuanya. Hinata membersihkan rumah dengan baik, ditambah lagi dia sangat pandai memasak. Biasanya aku hanya akan makan diluar rumah atau ibu yang sesekali datang kemari membawakan masakan rumah. Hinata juga selalu menungguku pulang hingga larut malam, padahal sudah kubilang untuk tidak perlu menungguku tapi dia keras kepala, menurutnya sebuah pantangan seorang maid tidur lebih dulu dari pada tuannya.
Semuanya berjalan baik, sampai suatu ketika manajerku telepon di tengah malam dengan suara yang terdengar marah menuntutku untuk segera datang ke kantor ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Dalam perjalan kesana aku berpikir keras kira-kira apa yang membuat manajerku yang berperangai tenang dan bijaksana itu sampai semarah ini.
"Apa ini?!" Manajerku itu melemparkan dengan keras beberapa lembar foto di meja.
Aku mengamatinya satu per satu. Foto Hinata keluar masuk apartemenku. Aku menghela napas kasar. Sudah kuduga hal seperti ini akan terjadi. Ini sudah jelas ulah wartawan pencari gosip.
"Kau berjanji tidak akan terlibat skandal kan? Lalu apa ini?" aku mengorek telingaku. Teriakan monster kuning ini membuat telingaku berdengung.
"Astaga! Jadi kau malam – malam menyuruhku datang kemari hanya karena ini?"
"Hanya katamu?" geramnya marah.
"Ck! Dia maid-ku Minato-san."
Dia tertawa remeh. "Kau pikir mudah membodohiku? Aku tahu maid-mu adalah wanita paruh baya bernama chiyo yang berasal dari Suna. Aku belum cukup tua untuk lupa akan hal itu."
Kurasa sifat tempramental istrinya jadi menular padanya. Tapi ini juga salahku membuatnya marah. Dia hanya ingin menjaga image artis dari manajemen Jiraya's entertaintment jauh dari skandal dan gosip, hanya ada prestasi saja.
"Aku berkata jujur. Nenek Chiyo sudah berhenti, dan gadis ini menggantikannya. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan mengatasi hal ini." Aku membungkukkan badanku. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Minato adalah salah seorang yang aku hormati selain keluargaku. Dia layaknya ayah bagiku.
Minato-san menghela napas lelah. Dia berjalan mendekat pdan menepuk bahuku seraya tersenyum lembut. "Aku juga minta maaf karena membentakmu seperti tadi." Ia menjeda sesaat sebelum memasang kembali wajah kesalnya, "Jika bukan karena wartawan – wartawan sialan itu mengganggu waktu bercintaku dengan Kush"
Dia seakan tersadar dengan ucapan vulgarnya, langsung membekap mulutnya. Wajahnya jadi semerah tomat. Aku terkekeh geli. Padahal usianya lebih dewasa dibanding denganku tapi kadang tingkahnya kekanak-kanakan.
Aku berdehem keras seraya menyeringai padanya. "Oh…sedang mengusahakan adik Naruto rupanya."
"Ki-kita bicarakan ini lagi besok. Kau boleh pulang." Wajahnya jadi semakin merah padam.
Aku mengangkat bahu cuek. Lagipula ini bukan masalah besar. Aku berjalan keluar dan berhenti sesaat menoleh lagi ke arah Minato-san yang sedang bersiap pulang juga. "Minato-san"
Dia menatapku heran. "Ada apa? Kenapa belum pulang?"
"Maaf sudah mengganggu waktu bercintamu deng" belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, dia sudah melempar asbak ke arahku. Untung saja reflek menghindarku bagus. Aku sendiri tidak bisa menahan tawaku.
Aku mengernyit ketika mendapati pintu apartemenku terbuka. Aku heran kenapa Hinata bisa seceroboh ini membiarkan pintu apartemen terbuka lebar.
"Kau sudah pulang?"
"Ibu? Ayah?" jantungku serasa keluar dari tempatnya. Masalah apa lagi ini? "Ada apa ini?"
"Begini sambutanmu pada kedua orang tuamu?" aku sudah terbiasa dengan ucapan pedas ayahku ini.
Aku membungkuk dalam. "Maafkan aku. Selamat datang Ayah…Ibu… Aku hanya terkejut kalian berdua datang di tengah malam begini tanpa memberitahuku sebelumnya."
Ibuku menepuk sofa di dekatnya. "Duduklah nak, kami ingin bicara penting padamu."
Aku menghela napas berat, mendudukan diriku dekat ibu. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan gosip sialan itu. Tunggu apa mereka sudah bertemu Hinata?
"Apa ini ada hubungannya dengan Hinata?" aku sengaja to the point. Terlihat jelas perubahan raut wajah ayah yang mengeras dan ibu yang terkejut.
Tapi aku tidak melihat Hinata dari tadi, itu berarti mereka belum bertemu dengannya. Mungkin dia masih setia dalam alam mimpinya. Jika kalian heran kenapa ayah dan ibuku bisa masuk apartemenku dengan mudah, itu karena mereka tahu password pintu apartemenku.
"Jadi gadis itu bernama Hinata?" tanya ayahku masih tetap menghujamku dengan tatapan menusuk.
Aku mengangguk. "Aku tahu apa yang ada dipikiran kalian, karena itu lebih baik kalian mendengar penjelasan dariku lebih dulu daripada harus mempercayai gosip murahan diluar sana."
Ayah dan ibuku diam, menunggu penjelasan lebih lanjut dariku. Aku mengatakan semuanya, tidak perlu ada yang ditutupi, karena aku merasa tidak ada yang salah dengan yang kulakukan.
"Kau tahu Itachi, bahkan kakekmu dan seluruh keluarga besar kita sudah mengetahui hal ini. Dan kau juga tahu jika dalam klan kita sangat menjunjung tinggi norma kesopanan, meski Negara kita termasuk Negara bebas." Ayahku berhenti sejenak menarik napas, "Mungkin kau bisa membuat kami percaya, tapi bagaimana dengan kakekmu? Kau tahu dia kan?"
Ya, aku tahu benar watak kakekku yang tidak jauh denganku dan ayah. Keras kepala.
"Bisakah ayah membantuku menjelaskannya?" aku benci harus memohon seperti ini, tapi aku tidak punya pilihan.
Ayah menggeleng. "Aku dan ibumu tidak mungkin datang selarut ini jika bukan karena perintah kakekmu. Dan apa kau tahu apa yang dia minta?"
Aku menggeleng. Firasatku buruk mengenai hal ini.
"Dia minta agar kau menikahi gadis itu."
Aku menegakkan badanku. "Apa?" ini benar – benar gila! Yang benar saja? Menikah?
Sebisa mungkin aku berusaha menekan emosiku. "Ayah tahu aku belum siap berkomitmen. Dan yang jelas aku tidak mencintai gadis itu. Aku melakukan semua hanya karena ingin menolongnya."
"Aku akan menemui kakek sekarang juga." Aku bangkit dari dudukku tapi ibu menahanku.
Ibu menggeleng. "Ibu mohon jangan memperkeruh keadaan. Kakekmu sudah sangat marah atas berita ini. Sebaiknya kau turuti saja keinginan kakekmu."
"Tidak! Ibu ada hal yang belum aku capai, jadi aku tidak akan menikah sampai aku mencapainya." Kataku bersikeras.
Aku tahu benar siapa kakekku itu, dia tidak akan membuat keputusan sembarangan apalagi ini mengenai masa depan cucunya. Aku merasa seperti dia sudah mengenal Hinata sebelum ini.
"Itachi, dengarkan ibu. Jika kau tetap bersikeras, kakekmu tidak akan segan menggunakan cara 'paksa'."
Tenggorokanku terasa tercekat. Aku paham apa yang dimaksud ibu. Kakekku itu mantan yakuza, jika jiwa yakuza-nya sudah bangkit dia tidak akan kenal ampun. Mungkin dia tidak akan menyakitiku, tapi dia akan menggunakan semua orang yang ada hubungan dengaku. Bisa siapa saja, sahabat, rekan kerja, atau mungkin….Hinata. Sial! Kenapa aku harus peduli padanya lagi?
Hanya dalam waktu satu malam saja hidupku berubah.
Aku pikir ini hanya masalah kecil yang sudah pasti bisa kuselesaikan tapi semua diluar kendaliku sekarang. Harusnya hari ini aku mengklarifikasi gosip murahan itu, tapi aku justru sedang mengumumkan pernikahanku. Membenarkan gadis yang tinggal denganku adalah kekasihku, dan aku akan segera menikahinya. Minato-san hanya memijat pelipisnya, ia terlihat ingin menelanku bulat-bulat. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, dia sudah mendengar penjelasan dari ibuku kenapa aku melakukan ini.
Hanya dalam waktu dua hari saja pernikahanku digelar. Ya, kakekku itu memang luar biasa. Semua ini terjadi seolah sudah dia rencanakan sejak lama. Bahkan Hinata yang awalnya menolak tegas rencana gila ini, pada akhirnya menerimanya. Aku tidak tahu apa yang pada akhirnya membuat dia menerimanya. Harusnya dia bersikeras menolak. Harusnya dia tetap pada pendiriannya.
Cih! Apa setelah menyadari jika aku adalah seorang actor dia memanfaatkan kesempatan ini untuk terus menempel padaku. Aku menyesal telah menolongnya. Seharusnya aku biarkan saja dia malam itu. Dengan begitu aku tidak perlu terlibat skandal. Tidak perlu terperangkap dalam sebuah pernikahan.
"Itachi" aku tersentak, ibuku menepuk bahuku lembut. Aku menatap sekitar, aku baru ingat jika sedang dalam gereja melangsungkan sebuah pernikahan.
"Cepat pasang cincinnya nak." Bisik ibuku mencoba mengingatkanku.
Aku memaksakan senyum di wajahku. Dan kembali menatap Hinata yang berbalut gaun pengantin berwarna putih. Tatapan matanya menyiratkan ketakutan. Entah mungkin karena sejak dia menyetujui menikah denganku, sikapku memang berubah padanya.
Dia mengulurkan tangannya dengan sedikit gemetar padaku. Dengan cepat aku memasangkan cincin di jari manisnya. Kemudian bergantian dengannya memasangkan cincin dijariku.
"Mempelai pria dipersilahkan mencium mempelai wanita." Sekarang aku ingin mencekik pendeta ini. Apa aku bisa melewati sesi ini?
Aku menatap ke arah Hinata. Aku mendengus melihat wajahnya yang sudah memerah hebat, mungkin sebentar lagi telinganya akan mengeluarkan asap. Mungkin karena ini ciuman pertamanya, jadi sampai gugup begitu.
Aku menghela napas lelah. Aku memang harus melakukannya, tidak mungkin juga kabur dari sini. Lagipula ini hanya sebuah ciuman. Aku sudah sering melakukannya dengan lawan mainku.
Aku membuka tudung gaun pengantinnya. Ia masih menundukkan wajahnya. Ck, aku jadi terpaksa mendongakan wajahnya. Dia akan memalingkan wajahnya, tapi aku mencegahnya dengan menahan tengkuknya. Enak saja mau memalingkan wajahmu dari seorang Uchiha. Mau mempermalukanku huh?
"Semangat Un!" ini pasti teriakan Deidara.
"Jangan salah sasaran Itachi!" ejekan ini sudah pasti dari Sasori maniak boneka itu.
Aku mendengus, mendekatkan wajahku pada Hinata, sampai akhirnya tidak ada lagi jarak diantara kedua bibir kami. Bibirnya lembut, aku akui itu. Bibirnya berbeda dengan para lawan mainku. Aku melumatnya lembut, memberikan acting terbaikku seperti saat sedang dalam arahan sutradara seperti biasanya. Dan suara tepuk tangan meriah para tamu jadi penghargaan buatku.
.
.
.
.
6 bulan sudah pernikahanku dengan Hinata berjalan. Aku masih mengacuhkannya, meski aku tahu dia berusaha memperbaiki hubungan kami. Dia selalu melakukan tugasnya sebagai seorang istri atau… bisa kusebut tugas seorang maid? Karena yang dia lakukan masih sama. Memasak, membersihkan apartemen, dan menyiapkan segala kebutuhanku. Kecuali satu, meski kami tidur seranjang, tidak pernah sekali pun selama 6 bulan ini aku bercinta dengannya. Perlu kutekankan sekali lagi, aku menikahinya karena paksaan kakekku.
Dia tidak hanya merubah kehidupanku, tapi juga karirku. Mereka – para penggemarku – tidak lagi penasaran tentang projek terbaruku, tapi malah penasaran tentang kehidupan rumah tanggaku. Membuatku jadi bulan-bulanan Minato-san. Oh…dan satu lagi, ayah dan ibuku terus menanyakan kapan aku akan memiliki anak. Hell! Aku tidak akan menyentuhnya.
"Hentikan Itachi, kau sudah minum terlalu banyak."
Kepalaku terasa berputar-putar, tapi aku memaksakan mendongak menatap bartender yang sudah memasang wajah masam padaku.
"Belum cukup. Lakukan saja tugasmu sebagai bartender, Sasori." Sasori mendengus keras. Aku melihat dia berbisik pada salah satu pegawainya, lalu tiba-tiba saja dia sudah berada dibelakangku.
"Apa yang kau lakukan?" hardikku ketika dia mencoba mengalungkan lenganku dibahunya.
Sasori mendecak kesal, "Apalagi? Membawamu pulang sebelum kau jatuh pingsan dan membuat skandal lagi."
Aku menyentak tanganku dengan kasar. "Aku masih ingin di sini. Aku benci harus bertemu wanita itu."
"Kau menyebut istrimu sendiri dengan sebutan 'wanita itu'?" balas Sasori terlihat tak suka. Dia menghela napas kasar, "Dengar ya Itachi, untuk menjadi egois ada batasnya. Kau menerima pernikahan ini dengan alasan melindungi karir dan teman-temanmu, tapi kau masih menyalahkan Hinata untuk hal itu?"
"Tapi ini semua memang karena dia!" aku sudah tidak bisa lagi mengontrol suaraku.
"Apa Hinata yang memaksamu menolongnya huh?!" tenggorokanku terasa tercekat.
Sasori bukan hanya seorang pemilik bar ini tapi juga sahabatku. Dia orang yang pertama tahu alasanku menikahi Hinata.
Dia kembali mengalungkan lenganku di bahunya dan membawaku keluar dari bar.
"Berhentilah lari dari masalah Itachi."
Itu kata terakhir yang di ucapkan Sasori sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku. Dan tahu-tahu aku sudah bersandar pada orang yang berbeda. Tubuhnya lebih kecil dibandingkan Sasori, dan aroma tubuhnya pun berbeda. Aroma lavender yang lembut. Ini aroma…
"Hinata?" pandanganku memang masih kabur, tapi aku yakin jika orang di sebelahku ini adalah Hinata.
"I-Itachi-kun kau sudah sadar?" perlahan dia menurunkanku ke atas ranjang.
Dalam jarak sedekat ini aromanya semakin menguat. Bukan aroma parfum, kalau parfum wanita sudah pasti akan membuatku mual. Tapi ini alami aroma yang menguar dari tubuhnya. Membuatku kecanduan.
"A-aku akan ambilkan lemon tea hangat dulu."
Aku menahannya yang beranjak pergi. Menariknya hingga terjatuh di atasku. Belum sempat menghilangkan keterkejutannya, aku sudah merubah posisinya di bawahku.
"I-Itachi-kun?!"
Dia terus memberontak tapi aku menahannya. Aku menenggelamkan wajahku di lehernya. Aromanya berasal dari sini ternyata. Tanpa bisa kukendalikan lagi, aku mengecup lehernya lama. Aku bisa merasakan denyut nadinya di lehernya yang hangat.
"Hinata, aku menginginkanmu." Bisikku tepat ditelinganya.
Ini benar-benar mengerikan.
Aku masih bisa mengingat betapa bodohnya diriku, melanggar janji yang aku buat sendiri bahwa aku tidak akan menyentuh Hinata. Aku bahkan tidak memiliki hasrat untuk bercinta dengannya selama ini. Tapi malam itu terasa berbeda, aku kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Entah itu karena pengaruh alkohol sialan itu atau aroma tubuhnya yang….. hah tidak usah diteruskan.
Dia memilih bungkam, dan aku pun begitu. Tidak ada yang membicarakan tentang malam itu sudah sejak satu bulan yang lalu. Sampai akhirnya aku mendapati Hinata pingsan di dapur saat pulang kerja. Aku panik luar biasa, dan langsung membawanya ke rumah sakit. Menunggunya diperiksa oleh dokter seperti orang bodoh, aku berjalan mondar-mandir. Suster-suster yang melihatku berbisik-bisik sambil cekikikan. Tapi aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah keadaan Hinata. Selama ini dia tidak pernah terlihat pucat seperti itu.
Apa karena terlalu lelah bekerja? Atau karena beban pikiran karena masalah pernikahan kami?
"Itachi-san"
Badanku menegang saat mendengar dokter memanggilku, menyuruhku masuk ke dalam ruangannya. Dahiku mengerut melihat ekspresi wajah dokter itu malah memasang wajah bahagia, dengan tersenyum lebar. Apa yang lucu dengan keadaan Hinata?
"Hinata sakit apa dokter?"
Dia menggeleng, masih mempertahankan senyuman anehnya, "Istri Anda tidak sakit."
"Tapi dia pingsan dan wajahnya pucat. Kau pikir aku mudah dibodohi?" selaku cepat. Suaraku memang meninggi hingga membuatnya berjengit kaget. Aku ingin dia mengerti kalau aku sedang tidak dalam mood bercanda.
"Ma-maaf Itachi-san, aku tidak bermaksud begitu. Penjelasanku belum selesai tadi." Aku diam menatapnya tajam, "Istri Anda sedang hamil, karena itu dia pingsan. Karena memforsir tenaganya berlebihan dan sedikit stress."
Apa dia bilang barusan? Aku tidak salah dengar kan?
"A…apa?" serasa ada batu yang menyangkut ditenggorokanku. Suaraku bahkan sulit keluar.
Dokter itu mengangguk antusias. Dia menunjukkan foto USG padaku. Dia terus menjelaskan dengan semangat keadaan calon anak kami.
Anak kami? Anakku dan Hinata? Aku tidak tahu harus berkata apa. Pernikahan ini sudah cukup membebaniku dan sekarang ditambah lagi seorang anak. Aku meremas rambutku frustasi. Aku benar-benar tidak menyangka jika efek alkohol malam itu, benar-benar membuahkan hasil. Padahal aku hanya sekali melakukannya dan itu semua diluar kendaliku.
Hinata mengulum senyum sambil terus mengusap perutnya yang masih rata. Ia terlihat begitu bahagia dengan kehadiran janin yang dikandungnya. Berbeda denganku yang sama sekali tidak menginginkan hal ini terjadi. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Memaksa Hinata menggugurkannya karena aku tidak menginginkannya? Aku memang membencinya, tapi aku bukan orang sekeji itu sampai membunuh anak tak berdosa. Apalagi jika sampai keluargaku tahu, terutama kakek, aku yakin dia tidak segan memutilasiku dan melempar potongan tubuhku ke laut, meski aku cucunya sekali pun.
Semenjak keluargaku tahu jika Hinata hamil, mereka jadi semakin overprotektif. Sekarang ada 2 orang maid yang dikirim ibu untuk membantu Hinata dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Ibu juga selalu menemani Hinata memeriksakan perkembangan kandungannya jika aku memang sedang sibuk dengan pekerjaanku.
Biasanya ibu hamil akan mengalami fase ngidam dan manja luar biasa. Dan juga perubahan mood yang tiba-tiba. Tapi Hinata tidak terlihat begitu, maksudku aku sering menanyakan padanya apa yang dia inginkan sebisa mungkin aku akan mendapatkannya tapi dia bilang dia tidak ingin apapun. Dia sama sekali tidak manja, hanya saja setiap malam saat aku sudah terlelap, diam-diam Hinata melingkarkan tangannya di pinggangku, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Terkadang dia sengaja mengarahkan tanganku ke arah perutnya yang membuncit. Aku bisa merasakannya, tapi aku diam saja selama itu tidak mengganggu tidurku.
Aku merasa sudah mencapai batasku. Perasaan nyaman pada pekerjaan yang kugeluti sudah hilang entah kemana. Kosentrasiku juga sering terpecah saat sedang syuting. Belum lagi banyak produser film malah menawariku untuk membuat film tentang kisah cintaku dengan Hinata. Heck! Yang benar saja? Aku tidak menyukai kehidupan pribadiku terusik, apalagi sampai harus diceritakan detail dan dirangkum dalam sebuah film. Terlebih lagi, aku sama sekali tidak mencintainya.
Ini sudah kesekian kalinya aku mendapati Hinata tertidur di sofa. Dulu saat dia masih menjadi maid-ku sudah sering kali melarangnya menungguku, tapi dia masih bersikeras. Dan itu terbawa hingga dia menajdi istriku saat ini. Posisi ini sama sekali tidak sehat untuk ibu hamil, aku sudah mengatakannya berkali-kali padanya, tapi dia bilang tetap ingin menungguku pulang.
"Nghh…"
Aku menoleh mendapati Hinata mengerjapkan kedua matanya. Ia terkejut melihatku menggendongnya menuju kamar kami.
"I-Itachi-kun? K-kau sudah pulang? Maaf a-aku ketiduran." Dia menundukkan wajahnya yang memerah. Mungkin dia malu karena aku menggendongnya.
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menungguku Hinata? Posisi tidur seperti itu tidak baik untuk ibu hamil. Kau lebih suka jika ibu menyalahkanku?" ucapku kesal. Aku berharap dia mengerti jika aku benci direpotkan seperti ini.
Aku meletakkan perlahan tubuhnya di ranjang. Aku sempat terkejut mendapati mata pucatnya berkaca-kaca. Selama ini aku sering berkata sinis atau terkadang membentaknya, tapi dia tidak pernah hampir menangis seperti sekarang.
Hinata cepat-cepat menyeka air matanya yang sudah siap jatuh, "A-aku minta maaf. Aku ti-tidak bermaksud begitu."
Aku mendengus keras. Mungkin ini saatnya aku mengatakannya. Dia sudah bersiap untuk tidur tapi aku memanggilnya.
"Hinata"
"Y-ya?"
Aku menelan ludah kasar. Aku sudah memikirkan keputusan ini matang-matang. Dan menurutku ini keputusan yang terbaik. Aku sudah siap mengahadapi konsekuensinya.
"Kurasa setelah anak ini lahir, kita bercerai saja." Ucapku susah payah.
Amethyst Hinata melebar, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya tapi gagal. Air mata itu jatuh lagi.
"Ta-tapi…"
Aku memegang kedua bahunya erat, "Aku tidak akan merebut anak itu. Tenang saja Hinata. Aku juga akan tetap mencukupi kebutuhannya, kau tinggal mengatakan yang kau butuhkan, sebisa mungkin aku memenuhinya. Soal keluargaku, biar aku bicara dengan mereka." aku menghela napas sejenak.
"Maafkan aku yang terlihat egois. Aku hanya merasa jika pernikahan ini diteruskan akan membuat kita berdua sama-sama tidak nyaman. Aku tidak mencintaimu dan begitu juga denganmu kan?"
Dia hanya tersenyum pahit, "Ji-jika itu yang Itachi-kun inginkan, a-aku tidak keberatan. Aku juga minta maaf telah merepotkanmu selama ini."
Belum sempat aku membalasnya, Hinata sudah berbaring membelakangiku. Di satu sisi aku merasa lega bisa mengatakan semua ini, tapi di sisi lain aku juga merasa bersalah. Namun ini begini lebih baik daripada segala semakin bertambah runyam.
Dua hari sejak saat itu sikap Hinata berubah drastis terhadapku. Dia memang masih menyiapkan segala keperluanku, tapi tidak ada lagi sapaan hangat. Dia juga tidak lagi menungguku pulang. Aku tidak merasa kecewa atas sikapnya, memang ini yang kuinginkan.
Pagi ini terasa berbeda untukku. Aku merasa begitu berat meninggalkan rumah entah mengapa kedua mata kelamku terus memperhatikan Hinata. Dari dia bangun tidur, menyiapkan sarapan untukku, mengantarku ke pintu depan. Ia menyadari tatapan anehku sepertinya, tapi dia memilih untuk tidak berkomentar.
Hingga saat aku tengah di lokasi syuting iklan, Aku mendapat telepon dari salah seorang maid-ku mengabarkan kalau Hinata jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat. Jadi firasatku pagi tadi benar, karena itu aku berat meninggalkan rumah.
Saat itu juga aku lansung meninggalkan lokasi syuting, tidak mempedulikan teriakan Minato-san dan tatapan heran kru syuting. Sesampainya di rumah sakit aku sudah mendapati ayah, ibu, kakek, bahkan Sasuke – adikku – yang sedang kuliah di luar negeri ada di sana. Aku tidak sempat bertanya bagaimana dia sudah berada di Jepang. Pikiranku tengah kalut memikirkan keadaan Hinata yang menurut informasi dari ibu, kalau Hinata terpaksa harus melahirkan bayinya di usia yang baru 8 bulan lebih.
Sudah 4 jam lebih aku berdiri menatap pintu ruang IGD itu. Kedua kakiku terasa kebas tapi aku tidak peduli. Aku akan terus menunggu sampai dokter itu keluar membawa berita baik padaku. Hingga aku mendengar dengan jelas suara tangis bayi yang begitu kencang. Jantung serasa melewatkan detakkannya, nafasku pun terasa tercekat, sulit aku menggambarkan bagaimana rasanya saat itu.
"Selamat Itachi. Kau sudah jadi seorang ayah sekarang." Kakekku menepuk pundakku pelan. Ia tersenyum bangga padaku.
Ibuku menghampiriku, memelukku erat dengan air mata haru mengalir dari kedua matanya. "Itachi, kau seorang ayah saat ini. Terima kasih kau sudah memberikan ibu cucu nak."
"Selamat kak…" Sasuke mengulum senyum padaku.
Aku hanya memaksakan senyum di wajahku. Ada yang aneh. Seharusnya setelah tangis bayi itu, dokter akan segera keluar dengan memberikan selamat lalu menyuruhku masuk. Tapi aku menunggu hampir 30 menit dokter itu tak kunjung keluar juga. Ada apa ini?
KLEK
Onyx-ku melebar ketika melihat dokter yang menangani Hinata keluar. Aku melesat kearahnya dan memburunya dengan banyak pertanyaan, "Dok, bagaimana keadaan istri dan anakku? Anakku sehat kan? Dia laki-laki atau perempuan?"
Dokter itu tersenyum. Aku tahu itu senyum paksa. "Anak Anda lahir selamat dan sehat. Dia laki-laki."
Belum pernah aku merasa selega ini, keluargaku ikut bahagia mendengarnya.
"Tapi…"
Dahiku mengerut, "Tapi apa?"
Dokter itu tampak susah payah menyampaikan sesuatu. Dia menunduk padaku, "Maaf, Hinata-san tidak dapat kami selamatkan. Pendarahannya sangat parah"
Apa katanya? Hinata tidak terselamatkan? Meninggal?
Telingaku terasa berdengung. Aku tidak lagi mendengar apa yang dia ucapkan. Dan langsung menerobos masuk ke dalam ruangan itu, meski beberapa petugas belum memperbolehkanku masuk.
Aku melihatnya. Hinata. Istriku. Wajahnya terlihat lelah. Dia tersenyum dalam tidurnya. Hinata memang lebih cantik saat tersenyum tapi aku membenci senyumnya saat ini.
"Hinata" panggilku lirih. Kubelai wajahnya yang basah dengan keringat, "Hi..Hinata bangunlah. Kenapa kau tidur lagi? Seharusnya saat ini kau memberikan ASI untuk anak kita."
Tanganku bergetar saat menyentuh tubuhnya yang terasa dingin. Aku menunduk, berbisik ditelinganya untuk menyuruhnya membuka mata. Tapi aku tidak mendapat respon apapun.
Tidak. Bukan pergi seperti ini yang kuinginkan. Aku hanya memintanya pergi dari…..
"Hinata bangun kataku! Jangan keras kepala!" teriakku frustasi.
Aku melangkah keluar menyeret paksa dokter yang menanganinya. "Lakukan sesuatu! Jangan diam saja, brengsek?!"
Sasuke menarik tubuhku yang nyaris menyakiti dokter itu. Ibu memelukku sambil menangis, "Hentikan nak. Jangan seperti ini, ibu mohon."
"Tidak Ibu! Hinata…" air mataku tidak bisa kutahan lagi, ibuku mempererat pelukannya, "Dia…tidak boleh pergi seperti ini bu…"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continue
A/N :
Next Chap Hinata POV
