Segalanya seperti berwarna abu-abu di hari Pemungutan. Well, bukan berarti hari lainnya dipenuhi warna-warna cerah. Distrik 12 tak pernah tampak menarik dengan warna apapun. Namun, hari ini terasa berbeda. Terasa lebih kelam, lebih suram, dan seperti tak ada lagi kebahagiaan di distrik paling miskin seantero Panem. Apa yang bisa kujelaskan tentang hari pemungutan? Atau permainan yang menjadi mimpi buruk warga distrik-distrik bernama Hunger Games? Kalaupun aku bisa, hanya akan ada dua pilihan: aku akan menjadi sangat marah pada Capitol; mencaci maki para Penjaga Perdamaian dan bersumpah akan melakukan pemberontakkan suatu hari nanti, atau aku akhirnya tersadar betapa menyedihkannya kami dan memasrahkan nasib pada hari Pemungutan, berharap bukan namaku yang terpilih.
"Berapa banyak namamu yang dimasukkan?" tanya Madge lalu menggenggam tanganku. Jemari kami bertautan, dan tangannya terasa hangat, sedangkan tanganku dinginnya bukan main. Aku menghitung dalam hati,
"Sama denganmu, Madge. Sejauh ini aku belum pernah menukar dengan tessera." 13, jumlah namaku di bola kaca yang sekarang mulai terlihat seraya kami berbaris berdasarkan tingkatan umur. Madge tertawa dengan ringan. Senang mendengarnya tertawa, meski hatiku
mendesis sedikit.
Madge Undersee adalah putri Wali Kota, aku yakin dia tidak pernah kekurangan makanan sehingga harus menukar dengan tessera. Kemungkinan namanya tertarik tergolong kecil dibanding anak-anak dari Seam yang mungkin satu orang punya puluhan nama yang dimasukkan. Dan aku pun patut bersyukur karena tidak pernah menukar namaku dengan tessera, meski tiap hari aku dan keluargaku hanya makan roti basi dan gosong yang tidak laku dijual di toko roti kami.
"Kau benar, Peet. Kuharap namamu dan namaku tidak tertarik kali ini," kata Madge.
"Kuharap begitu," aku tersenyum pada Madge, mengeratkan genggaman kami, dan dia balas tersenyum, membuatku sedikit lebih rileks. Aku dan Madge sudah berteman sejak sekolah. Dia gadis yang manis dan teman yang baik. Kami hanya sekadar teman, kurasa. Terkadang kami berjalan bergandengan tangan sepanjang koridor sekolah, saling merangkul, dan bertukar kecupan singkat di pipi. Beberapa orang menafsirkan hal yang salah atas kami, termasuk Ibuku.
"Menikahi putri Wali Kota akan membawa dampak yang baik bagi keluarga
kita," begitu kata ibuku suatu hari.
Ayah Madge naik ke podium di panggung non-permanen, dan aku menghela napasku. Sebentar lagi mereka akan memutar kembali sejarah Panem dan Hunger Games di layar super besar, dan kami akan dipaksa menonton tayangan yang sama tiap tahunnya. Aku muak, sama seperti seluruh orang. Karena aku sudah hapal semua luar kepala. Kelas sejarah mewajibkan murid mempelajari tentang sejarah Hunger Games. Seakan membaca kegelisahanku, Madge meremas tanganku pelan.
Kuperhatikan dia merogoh saku kecil di gaunnya dan mengeluarkan kantung berisi dua buah stroberi merah yang tidak terlalu besar. Lalu dia tersenyum, menempelkan telunjuknya di bibir.
"Jangan sampai ketahuan." Aku terkekeh pelan. Madge tidak bisa diprediksi.
"Happy Hunger Games, Peeta," Madge mengeluarkan stroberi itu dan memberikan satu untukku. Aku mengambilnya dengan ragu-ragu. Stroberi cukup langka buatku, buah itu hanya digunakan untuk membuat roti dan kue dan ibu melarang kami memakannya.
"Happy Hunger Games, Madge," kataku pada akhirnya. "May the odds be ever in your favor."
Madge dan aku bersamaan memakan stroberi yang tidak terlalu manis ini tepat ketika film selesai dan Effie Trinket naik ke podium. Setelah bermonolog sebentar, Effie beralih ke dua bola kaca besar berisi nama anak-anak umur duabelas sampai delapanbelas tahun dari seluruh 12. Satu bola untuk anak perempuan dan satu lagi untuk anak laki-laki. Tingkah Effie dia buat semanis mungkin seakan dia tidak sadar bahwa hal itu sangat menjijikkan. Seakan dia tidak tahu bahwa hidup mati ratusan remaja di sini ada di tangannya. Effie memulai dari anak perempuan. Dia menarik satu kertas, meluruskannya, dan jantungku berdegup kencang. Jangan Madge, jangan Madge, jangang Madge...
"Ah, Primrose Everdeen!" Effie berseru lantang.
Aku menghembus napas lega, lalu meremas tangan Madge. Beberapa anak dari barisan depan mulai menyingkir dan gadis ringkuh dengan wajah pucat seperti mayat berjalan ke arah tangga. Kurasa aku mengenalnya, dia pasti baru 12 tahun, pikirku.
"Dia adik Katniss, temanku, ini pemungutan pertamanya," bisik Madge.
Katniss… tunggu— apa maksudnya Katniss yang kutolong beberapa tahun yang lalu?
Tetiba barisan kami terbelah dan seorang gadis berlari menuju panggung.
"Prim! Prim!" teriaknya.
"Oh Tuhan, itu Katniss," kata Madge.
Aku mencari sumber gerakan dan menyadari bahwa itu Katniss yang kukenal. Kepang rambutnya disanggul ke atas dan wajahnya adalah gambaran ketakutan.
"Aku mengajukan diri!" pekiknya saat beberapa Penjaga Perdamaian menahannya maju lebih dekat lagi. "Aku mengajukan diri sebagai peserta!"
Aku mengerti sekarang. Katniss ingin menyelamatkan adiknya. Dengan kata lain dia rela mati untuk adik perempuannya. Aku mendengus sinis, aku bertanya-tanya, apakah salah satu abangku mau menggantikan posisiku jika aku terpilih...
Wali Kota mengizinkan pengajuan itu dan drama dimulai. Prim menolak digantikan sedangkan Katniss terus memaksa. Seorang laki-laki bertubuh besar dari barisan belakang maju lalu menyeret Prim turun dari panggung. Gadis bernama Katniss itu naik dengan langkah mantap, meski wajahnya tampak pias dan dia terus menatap kerumunan seakan meminta bantuan. Namun, aku melihat kegigihan. Dan entah bagaimana aku yakin dia gadis yang tangguh. Drama berlanjut saat Haymitch Abbernathy, satu-satunya pemenang dari distrik kami, naik dalam keadaan mabuk dan mempermalukan dirinya sendiri. Effie cepat-cepat mengambil kertas pertama yang disentuhnya dari bola anak laki-laki.
Aku menahan napasku dan berusaha tetap tenang sebisa mungkin. Jangan aku, jangan aku, jangan aku...
Tapi Effie memang menyebalkan. "Peeta Mellark!"
Suaranya serasa bergaung di telingaku dan langit kurasakan perlahan runtuh menimpaku, memberikan beban sangat berat di pundakku. Madge mulai menangis, tapi aku harus maju dan aku menatapnya dengan lembut, mengatakan semua akan baik-baik saja. Dia melepaskanku dan semua berlangsung begitu cepat, aku tidak sadar sekarang aku dan Katniss berjabat tangan di hadapan seluruh Distrik 12. Menatap Katniss, berbagi kebingungan dan keterkejutan. Berharap dia tahu bahwa meski aku tidak begitu mengenalnya tapi aku yakin tidak ingin membunuhnya.
oOo
Peraturan Hunger Games sederhana, kau hanya perlu bertahan hidup di arena dengan 23 orang lawanmu dari 12 distrik di Panem. Dengan segala cara. Termasuk membunuh satu sama lain.
Diriku sendiri bahkan tak bisa membayangkan aku akan menghunus pedang, menombak, memanah, meracuni, atau memukul seseorang sampai mati. Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Ayahku masuk, mendekatiku dan dia mengamati ruangan dimana kami berada.
"Ini ruangan termewah yang pernah kumasuki," katanya. Aku tersenyum lalu bangkit berdiri dan memeluknya.
"Maafkan aku, Ayah," kataku di dekapannya. Dia mengguncang bahuku dan melepas pelukan kami.
"Aku tak punya banyak waktu, kedua abangmu menangis seperti anak perempuan ketika kau dibawa ke gedung pengadilan ini. Dan ibumu terlihat muram, dia tak mau berbicara pada siapapun termasuk aku," ayah berhenti sebentar untuk mendesah panjang. "Percayalah Peeta, meski dia bersikap buruk padamu-well, pada kita semua- tapi dia benar-benar peduli padamu." Ada banyak hal yang perlu kuserap baik-baik dari perkataannya. Tapi, aku memutuskan untuk mengenyahkannya dari pikiranku. Karena abangku menangisiku dan bahwa ibu peduli padaku terdengar begitu jauh dari logika.
"Ada saran untukku?" tanyaku merubah topik.
"Apa, ya?" dia menggaruk dagunya dengan telunjuk. "Mungkin kau harus membuat membuat Capitol menyukaimu?" katanya membuatku tertawa.
"Yang benar saja."
Kami berdua larut dalam tawa yang singkat, sampai kami sadar akan kenyataan yang menghadang. "Dengar, nak, saranku jelas-jelas adalah usahakan agar kau tetap hidup. Tapi, yang terpenting adalah usahakan agar kau tetap menjadi dirimu sendiri."
Aku menyerap apa yang dia katakan. "Aku menyayangimu, Nak." Ayah menarikku dalam pelukannya yang erat untuk waktu yang cukup lama. "Dan, kau tahu, aku seperti punya intuisi kalau tahun ini 12 akan punya pemenang." Pintu terbuka dan Penjaga Perdamaian menarik ayah keluar. Aku ingin teriak sekuat mungkin. Aku ingin meneriakkan namanya. Aku ingin terus memeluknya. Aku tidak ingin masuk dalam permainan mematikan ini.
"I love you, Dad," aku hanya berhasil mengeluarkan bisikan. Dari balik pintu aku melihat sosok Madge yang sesunggukkan. Yakin, dia pasti menangis sejak namaku dipanggil sampai sekarang, dan tidak ada orang yang bisa menghentikannya. Oh, Madge.
Aku berlari memeluknya lalu dia mulai menangis di dadaku. Madge mendongak dan aku menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya.
"Aku mohon, jangan mati, Peeta," suaranya serak dan diselingi isakan. Oh Tuhan, Madge membuat hal menjadi lebih rumit.
"Aku akan hidup, Madge, aku akan baik-baik saja," kataku meyakinkan Madge. Lalu aku mengecup kedua pipinya dan tersenyum tulus. Tapi Madge menarik dan menciumku di bibir. Entah apa yang merasuki tubuhku, tapi aku membalas ciuman Madge. Ini bukan ciuman pertamaku, dan aku tahu ini berbeda. Bibir Madge terasa halus dan yang bisa kurasakan adalah ketulusan. Ketulusan yang menyingkirkan amarahku sejenak tadi. Ada perasaan hangat yang terasa baru, menjalar ke seluruh tubuhku. Madge, dengan segala sikapnya, membuatku tersentuh.
Dia benar-benar tulus peduli padaku. Aneh rasanya mengetahui ada seseorang yang bahkan bukan keluargamu begitu peduli. Aku menatap mata Madge dalam ketika bibir kami terpisah dan dia bernapas dengan cepat.
"Bisakah kau berjanji?" Madge bertanya saat aku mengusap air matanya dengan ibu jariku.
"Yah, tergantung," aku tersenyum menerawang. Tersirat kebingungan di wajah Madge. "Jika kau bisa berjanji juga."
Madge tersenyum untuk pertama kalinya sejak dia masuk ruangan ini. Aku tersadar bahwa jarak kami sangat dekat sedari tadi, kedua lengan Madge melingkar di pinggangku dan tanganku sendiri beralih bergantian dari pundaknya lalu mengelus lembut pipinya. Ini terasa sangat familiar. Entah bagaimana dan sejak kapan aku mulai terbiasa dengan kedekatan semacam ini.
"Oke, Peet," Madge sedikit terkekeh dan aku senang mendengarnya. "Bisakah kau berjanji untuk tetap hidup?" suaranya bergetar dan dia menatapku dengan kecemasan.
Aku mengangguk dan membisikkan 'ya' dengan pelan. "Dan bisakah kau berjanji untuk tidak menangisiku selama aku pergi?" aku mencubit hidungnya dan tertawa, berusaha untuk mencairkan suasana. Tapi Madge merespon sebaliknya. Dia melingkarkan lengannya di leherku dan mengubur wajahnya di dadaku. Madge menangis sejadi-jadinya. Aku mendesah panjang. Saat aku mendorongnya sejauh lenganku dia merogoh saku gaunnya lalu menyodorkan sebuah pin perunggu. Aku mengambilnya ragu.
"That's my lucky charm," katanya sambil menghapus air matanya. "Untukmu, semoga menjadi jimat keberuntunganmu juga."
Aku hanya bisa tersenyum berterimakasih saat aku menyadari bentuk burung di pin itu. "Mockingjay?"
Madge mengangguk.
"Peeta, kau kuat, kan? Aku yakin kau bisa melempar lawan-lawanmu seperti kau melempar karung-karung tepung."
"Ya," aku setuju. "Tapi aku hanya biasa melempar karung tepung."
"Itu hal yang sama, bukan?"
Aku mengernyit memandang Madge dengan heran, bagaimana bisa dia menyamakan manusia dengan puluhan kilo tepung? Aku baru ingin mendebatnya saat dua Penjaga Perdamaian masuk dan menyeret Madge keluar. Dia meneriakkan namaku dan mulai menangis lagi. Panik menyerang diriku. Aku takut ini adalah terakhir kalinya aku melihat Madge atau ayahku. Terbersit janjiku pada Madge dan aku berteriak lantang.
"Aku akan menang, Madge! Aku berjanji!"
oOo
Aku yakin Katniss mengawasiku dengan intens. Dia duduk di sofa tepat di depanku dan dengan grogi dia meluruskan gaunnya. Sementara aku memasang pin pemberian Madge, Katniss memperhatikanku. Kurasa dia ingin mengatakan sesuatu karena mulutnya terbuka sedikit tapi dia urung bicara dan malah meremas kedua tangannya.
Aku benar-benar tidak nyaman dengan kenyataan bahwa gadis di depanku adalah lawanku di arena nanti; bahwa kami mungkin akan saling membunuh.
Dia melihat keluar jendela, menatap kosong pada jajaran pohon yang berlalu dengan cepat seraya dengan kereta yang membawa kami.
"200 mil per jam. Kita akan sampai di Capitol bahkan sebelum kita sadar," tetiba kalimatku terdengar sangat konyol bahkan di telingaku sendiri. Yep. Bagus sekali, ketika kondisi canggung seperti ini aku mengungkit kereta dan parahnya Capitol. Satu tempat yang jelas bukan tujuan yang menyenangkan bahkan kalaupun ditempuh dengan kereta super mewah ini.
Katniss memutar bola matanya dan aku menggaruk tengkukku.
"Kau sudah pernah bertemu dengannya?" tanyaku mengganti topik. Katniss, dengan wajah tanpa ekspresi memiringkan kepala dan menaikkan alis kirinya. Sebuah gestur yang kurasa artinya 'siapa maksudmu?'
"Haymitch? Dia pembimbing kita."
Katniss menatapku sekian detik tapi tidak menjawab, dia kembali melihat keluar, benar-benar mengacuhkanku.
"Fine, kalau kau tidak mau mengobrol, aku mengerti."
Aku bersandar lelah pada sandaran sofa. Mengikuti Katniss memandangi jajaran pohon. Aku kemudian merasa bosan dan memejamkan mata, baru menyadari betapa letihnya diriku, badaniah dan rohaniah. Aku bangkit berdiri memutuskan untuk tidur.
"K-kau mau kemana?"
Tunggu— apa aku baru mendengar suara Katniss?
"Tidur," jawabku singkat.
"Oh," Katniss kembali meremas tangannya dan melakukan hal-hal kecil untuk terlihat sibuk. Aku memperhatikannya dengan heran. Apakah dia cemas? Takut? Well, aku pun begitu, tapi dia seperti tidak mengerti bagaimana cara mengungkapkannya. Atau mengatasinya.
"Kau tidak merasa lelah, eh?"
Katniss mendengus, "Pastinya," dia menjawab dengan cepat. Aku mulai tertarik, mungkin Katniss bosan terus menerus menutup mulutnya.
"Kau takut?"
"Tidakkah kau?"
Entah bagaimana, tapi aku merasa kesal pada jawaban Katniss.
"Well," aku kembali duduk. "Aku takut, Katniss. Aku amat sangat takut sampai aku tidak bisa melihat telingaku sendiri." Katniss mengerutkan dahinya tampak tidak mengerti leluconku. Mungkin memang itu tadi tidak lucu.
"Ap-apa yang kau takutkan?"
Aku terkekeh. Hhh. Apa itu? Apa dia tidak tahu apa yang harus ditakutkan oleh aku dan dia saat ini? "Well, banyak hal."
"Seperti?" dia mulai berani manatap mataku.
"Mungkin kau harus menghentikan pertanyaan retorismu itu."
Katniss mengernyit dan dia mendengus lemah, "Aku pun takut, kau tahu. aku melakukan ini demi adikku tapi jika pada akhirnya aku akan mati, err, entahlah, semua ini terasa sia-sia."
"Maka kau harus hidup, Katniss." dia terpaku sebentar, merapihkan untaian rambutnya ke belakang telinganya.
"Itu artinya aku harus membunuhmu."
"Tidak juga, selain kau, ada 22 orang lain yang mau melihatku mati, benar?"
Katniss mengangguk setuju dan diluar harapanku, dia tersenyum. Akhirnya aku memanfaatkan kesempatan ini untuk meneliti Katniss. Ya, aku mengenalnya, sekitar 5 tahun lalu Katniss yang ringkih dan matanya memancarkan keletihan terus menarik perhatianku. Aku bersimpati, karena ayahnya baru meninggal dan kemungkinan besar dia tidak punya cukup makanan di rumah. Tapi, lebih dari itu, aku kenal Katniss yang bernyanyi di depan kelas saat hari pertama sekolah, Katniss yang kuberi roti hangus di tengah hujan, Katniss yang membuatku dipukuli oleh ibu setelah itu, Katniss yang menjual tupai buruannya pada ayah, dan Katniss yang selalu kuperhatikan di sekolah. Ya, aku tidak mengenalnya secara individual: bagaimana sikapnya, kesehariannya. Tapi, entah kebetulan atau apa, aku dan Katniss dihubungkan dengan berbagai macam kondisi dan peristiwa. Seperti sekarang. Hunger Games membawaku bisa mengobrol dengannya untuk pertama kali.
"Tapi, Peeta," dia membawaku kembali ke realita, dua mata abu-abunya menatapku tajam. "Aku tidak ingin membunuhmu, kau tahu?"
Aku mencari di matanya dan tidak menemukan apa-apa selain kejujuran. Seakan dia punya sinar yang bisa membekukan tubuhku namun di lain sisi menghangatkanku. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Aku yakin. Tapi, otakku berkata aku pernah disini sebelumnya. Sebuncah perasaan yang sudah pernah kueksplor. Perlahan aku sadar. Ya, aku merasakannya lagi. Perasaan yang sama. Pada Katniss. Saat aku mendengarnya bernyanyi. Dan aku yakin. Tak pernah seyakin ini.
