Yuhuy…Gimo come back!
Gimo bikin fanfict ke-dua di fandom VK ini. Saya sungguh menikmati kesunyian dari fandom ini *krik..krik..krik..* Haha, padahal fanfict pertama saya yang berjudul 'Mystery of The Silver Haired Man' belum kelar dan bingung untuk menyelesaikannya. Semakin tak jelas endingnya gimana. Bakat humor saya benar-benar garing *kriuk..kriuk..* Sudahlah jangan bertele-tele. Fanfict ini tokoh utamana Zero dan Ichiru. Keakraban mereka bikin saya deg-deg'an!
Happy reading!
The Separation
Disclaimer: Vampire Knight (c)2005 Hino Matsuri
Butiran salju melayang jatuh, memberikan warna keputihan di atas bumi. Ichiru Kiryu kecil dihampiri oleh saudara kembarnya, Zero Kiryu.
"Ichiru! Jangan main di luar rumah! Cuaca sangat dingin, kau bisa sakit." Kata Zero penuh cemas. "Kau keluar rumah bahkan lupa memakai syal dan sarung tangan? Kau selalu abaikan nasehatku!" Zero melepas syal dan sarung tangannya. Dipakaikannya pada Ichiru. "Jangan buat aku khawatir…" Ucapan Zero terputus, terbungkam oleh pelukan Ichiru yang tiba-tiba.
"Aku benar-benar menyukaimu Zero!" Ichiru melepas pelukannya lalu menatap Zero. "Seandainya badanku tak selemah ini, aku pasti bisa bermain dengan Zero sepuasnya." Kata Ichiru dengan senyum getir.
Zero menatap anak yang berwajah persis dengannya. Mengerutkan kening lalu mengelus rambut Ichiru. "Tenanglah, aku akan selalu menjagamu, Ichiru. Tak kan kubiarkan kau sakit." Zero menyapu butiran salju yang menempel di rambut Ichiru. "Ayo pulang, ayah dan ibu pasti mencemaskan kita." Zero mengenggam tangan Ichiru lalu menuntunnya ke arah rumah mereka.
Selama di perjalanan, tiba-tiba sekumpulan kelopak bunga sakura bertebaran, terbawa oleh angin musim dingin. Dengan cekatan, jari Ichiru menangkap kelopak sakura tersebut. Ichiru mengeleng-gelengkan kepalanya, mencari sumber kelopak bunga sakura itu berasal. Gelengannya terhenti, ditahan oleh sebuah pohon sakura yang sedang bermekaran. "Zero, lihatlah ke kanan. Aneh, mengapa pohon sakura itu berbunga di musim salju begini?" Tanya Ichiru penasaran.
Zero menoleh, benar yang dikatakan Ichiru. "Mungkin pohon sakura itu berbunga di luar musim, pernah ada kejadian seperti itu." Jelas Zero.
"Oh…." Gumam Ichiru. Ditatapnya kembali pohon sakura itu. Pupil mata Ichiru membesar, menangkap sesosok wanita berbaju kimono merah muda sedang terduduk di dahan pohon sakura tersebut. "Lihat Zero, wanita itu cantik sekali, tapi mengapa ia menangis?"
Zero mengamati wanita itu dalam hitungan detik. "Wanita itu Vampir."
"Benarkah? Maaf, aku tidak tahu." Jawab Ichiru dengan nada berat.
"Jangan berurusan dengan vampir, ingat pesan ayah dan ibu." Orang tua Zero dan Ichiru berprofesi sebagai vampire hunter yang terkenal.
"Aku mengerti." Wajah Ichiru memurung. Zero dan Ichiru pun melanjutkan perjalanan menuju rumah mereka.
-000-
"Zero, aku tak bisa tidur. Aku ingin tidur bersama Zero." Rengek Ichiru.
Zero terdiam lalu tersenyum. "Baik, kemarilah." Zero menggeser posisinya, menyisakan tempat untuk Ichiru.
Ichiru menyambut dengan gembira, seakan-akan ia barusan menang undian lotre. Mereka pun tertidur dengan posisi berpelukan, nampak nyenyak sekali. Tak lama kemudian ibu mereka datang untuk melihat keadaan Zero dan Ichiru. "Tidur berdua lagi? Kalian benar-benar akrab." Ibu Zero dan Ichiru tersenyum sembari menarik selimut yang turun kemudian meninggalkan mereka berdua.
Namun pada tengah malam, Ichiru terjaga dari mimpinya. Ichiru berkeringat dingin, wanita berkimono merah muda itu telah merasuk ke alam bawah sadarnya. Benar-benar mimpi yang dapat membuka luka hati Ichiru. Mungkin dengan segelas air pikiranku akan tenang, batin Ichiru. Dilihatnya wajah Zero yang terlelap, disingkirkannya tangan Zero dengan perlahan. Ichiru merangkak dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar Zero tidak terbangun. Ichiru membuka pintu kamar lalu menuruni tangan. Tiba-tiba langkahnya mati di anak tangga terakhir. Terdengar percakapan orang tuanya di ruang tamu yang letaknya sangat dekat dengan posisi Ichiru berada.
"Soal Ichiru…Ia sangat dekat dengan Zero." Kata sang ibu.
"Aku tahu." Jawab sang ayah dengan raut wajah berpikikir.
"Tapi mereka tak mungkin selalu bersama. Zero dan Ichiru sangat berbeda. Zero benar-benar cikal bakal vampire hunter yang handal, sedangkan Ichiru…" Sang ibu menghela nafas lalu menghirup nafas kembali. "Kesehatannya semakin memburuk, ia tak kan bisa menjadi vampire hunter."
"Kita harus segera melapor pada senat, memberitahukan bahwa Ichiru tidak bisa dipakai." Kata sang ayah serius.
Dipakai? pikiran Ichiru semakin tak karuan. Ia merasa bahwa dirinya adalah barang yang sudah tak berguna dan akhirnya akan dibuang. Hanya karena alasan itu ia harus berpisah dengan Zero? Itu adalah hal yang selama ini ia takuti melebihi apa pun. Tidak bisa bersama Zero? Apa jadinya…? Tanpa mendengar kelanjutan percakapan orang tuanya, kaki Ichiru bergerak tanpa sadar menuju pintu keluar. Ia berlari sekencang-kencangnya dengan satu tujuan 'jauh dari rumah!'
Sudah cukup jauh jarak terbentang antara Ichiru dengan rumahnya. Ichiru tak menoleh, Ia terus berlari dan berlari hingga paru-parunya terasa hampir meledak. Namun Ichiru tiba-tiba terjungkal jatuh. Kakinya teratuk batu yang terselimuti salju. Ichriru merintih, ia menengok ke belakang. Zero tak terlihat dan dada Ichiru terasa nyeri. Seandainya Zero ada, pasti Ia akan berlari ke arahku. Memarahiku dan memapahku bangun. Menanyai keadaanku dan melihat kakiku untuk mencari ada luka atau tidak. Tapi sekarang aku sendiri, ini sungguh sangat menyakitkan! Pikir Ichiru terhanyut oleh khayalannya. Nampak butiran-butiran cairan bening meluncur dari kedua mata Ichiru. Ichiru meremat salju dengan tangan kosong, terasa amat dingin. Tiupan angin dingin melintas di leher Ichiru, bulu kuduknya berdiri di sekujur tubuhnya. "Maafkan aku Zero, aku lupa memakai syal dan sarung tangan. Aku lupa bahwa kau sedang tidak bersamaku lagi." Isak Ichiru semakin menjadi-jadi. Ichiru berdiri lalu melempar salju yang ada di genggamannya. "Mengapa semua ini terasa sangat tidak adil!" Teriak Ichiru mengema di sepanjang padang salju. Ichiru mengusap air matanya lalu melanjutkan larinya yang sempat tertunda.
Sekumpulan kelopak bunga sakura menghujani tubuh Ichiru. Kesadaran Ichiru berangsur kembali, langkah larinya pun terhenti. Baru dirasakannya sakit luar biasa disekujur tubuhnya. Pertama kalinya dalam hidupnya ia berlari sejauh ini. Ichiru menghirup udara dengan cepat, mengatur nafasnya yang tersendat-sendat. Pandangannya yang sempat kabur kembali jelas. Tak jauh dari tempatnya berada, berdiri sebuah pohon sakura yang pernah ia lewati dengan Zero. Wanita berkimono merah muda itu masih dalam posisi semula. Tentu saja dalam kondisi mata bergelimang cairan bening. Ichiru memperpendek jarak dengan pohon sakura itu. Sesi Tanya jawab pun dimulai.
"Mengapa anda menangis?" Tanya Ichiru tanpa basa-basi.
Wanita berkimono merah muda itu menunduk lalu menatap Ichiru. "Seharusnya pertanyaan itu tertuju untukmu."
"Apa maksud anda?" Ichiru terlihat tidak mengerti.
Wanita berkimono merah muda itu turun lalu mendekati Ichiru. "Mengapa Kau bersedih? Sepertinya kau menyimpan luka yang tergores dalam di hatimu." Tanya wanita berkimono merah muda itu tanpa ekspresi. "Kau tahu makhluk apa sebenarnya diriku ini?"
Ichiru terdiam sejenak lalu membuka mulutnya. "Aku tahu."
"Lalu apa yang membuatmu kemari?" Wanita berkimono merah muda itu menengadahkan tangannya. Menampung setiap kelopak bunga sakura yang berjatuhan.
"Karena takdir…Takdir ini tercipta karena kita memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki lumpur penghisap kebahagiaan. Sama-sama memiliki noda hitam yang besar di hati. Kita sama-sama terbelenggu di dunia kesengsaraan ini. Mungkin bila kita bersama, rasa sakit ini akan lenyap." Bibir Ichiru dikendalikan oleh nalurinya bukan oleh logikannya.
"Begitukah? Apakah kau berjanji?" Wanita berkimono merah muda itu menarik tangannya. Menghirup aroma kelopak bunga sakura itu dengan mata terpejam, masih dengan air mata mengalir.
"Aku berjanji." Jawab Ichiru tegas.
"Siapa namamu?" Wanita itu membuka kelopak matanya. Melirik ke arah Ichiru.
"Ichiru Kiryu." Jawab Ichiru singkat.
Wanita itu tersenyum kemudian meniup kelopak bunga sakura yang ada di telapak tangannya. Kelopak bunga sakura itu kembali melayang-layang di udara. "Namaku Shizuka Hio." Kelopak bunga sakura berputar-putar mengelilingi tubuhnya seiring namanya disebut.
TO BE CONTINUED
a/n :
Bagaimana fanfict saya?
Kurang nyentuh di hati?
Atau cuma nyrempet doank?
Atau bahkan gak nyenggol sama sekali?
RnR please…
Kasih masukan biar fanfict Gimo makin bagus.
Arigato ^^
