A/N: Hai!
Iya, Saya tahu saya telat bikin fanficnya Lord Shen, tapi waktu nonton Kung Fu Panda 3 kemarin jadi ingat sama si merak ini, hahaha.
Saya dulu suka banget sama dia… *PelukLordShen* #DitembakPakaiMeriam
Tapi dulu saya gak tahu cara buat fanfiction makanya baru ini kesampaian buatnya…
Dan selamat membaca! Maafkan saya karena saya terlalu banyak bacot disini
.
.
.
Joy to Our WorldPresents…
His Cure
Kung Fu panda punya DreamWorks, tapi Lord Shen punya sayaaa… eh gak, becanda ding.
Warning: Typos, angst gagal, romance gagal, Author sotoy, dan lain-lain.
.
.
.
He's never felt happiness in his life, it's full with sadness, desperate, and sickness, but she's come to his life, and makes his life have changed so much better.
.
.
Pagi yang cerah di Gongmen City, seperti biasa, para penduduk Gongmen yang terdiri di kelinci, domba, antelop serta hewan lainnya itu melakukan kegiatannya.
Tidak terkecuali di kerajaan Gongmen, tampak di depan kerajaan tersebut dua burung merak pemimpin Gongmen City, Lord Baojia dan Lady Fen, sedang berbincang-bincang dengan tamu mereka dari kerajaan lain.
Sedangkan dia, hanya melihat kedua orang tuanya itu dari atas, tepatnya di balkon istana, ia kerap melemparkan pandangan kesal pada tamu-tamu itu, karena mereka, orang tuanya kerap tidak memperhatikannya, terkadang ia berpikir, apakah mereka lebih penting dari pada dirinya?
Merak putih itu pun –seperti biasa- langsung berniat masuk ke kamarnya, dengan tampangnya yang masih kesal, berencana mengurung diri sendirian seharian, lagi pula ia tak akan dibolehkan keluar.
"Shen?"
Ia menoleh, mendapati si kambing tua pengasuhnya itu berjalan mendekatinya sambil tersenyum lembut.
"Kau marah lagi dengan orang tua mu?" tanya Soothsayer –panggilan yang biasa orang gunakan padanya-
Shen mengangguk sedikit,
"Aku tahu bagaimana rasanya tidak diperhatikan Shen.. tapi mungkin mereka memang sedang sibuk, bukankah pada akhir pekan lalu mereka membawa mu jalan-jalan ke festival kota?" seperti biasa, ia mencoba menghibur.
"Itu satu tahun yang lalu…" Batin Shen, berusaha protes pada sang Soothsayer, tapi ia tidak bisa mengeluarkan suaranya.
"Ngomong-ngomong, guru mu sudah datang, dia menunggu di ruang belajar mu, ayo…." Kambing itu pun menggenggam sayap kecil Shen menuju ruang belajarnya, walaupun ia tahu moodnya sedang sangat buruk dan ia tidak ingin belajar,
Eh, lagi pula kapan Shen terlihat senang? Soothsayer hampir tidak pernah melihatnya tersenyum, yang dilihatnya adalah tatapan kesal, marah, sedih, dan yang paling sering adalah kesakitan.
Oh iya, pernah sekali, saat Raja Baojia berjanji padanya akan membawanya bermain seharian, hanya berdua, tapi karena keperluan mendadak, ia harus membatalkan janjinya, senyum Shen luntur seketika, dan sejak saat itu ia tidak pernah melihat Shen tersenyum barang sekali.
Tak apalah jika ia tidak mau tersenyum, tapi Soothsayer ingin Shen selalu sehat, tidak sakit-sakitan seperti sekarang, merak kecil albino itu memang menetas secara premature, karena itu dia sering sakit.
"Baik-baik dengan guru mu ya…." Kata Soothsayer saat mereka sampai di ruang belajar nya, ia mengelus kepala Shen dan membukakan pintu untuknya, Shen pun masuk, dimana ada seorang angsa yang tak lain adalah gurunya sudah menunggunya.
"Kasihan sekali kau Shen…." Gumam Soothsayer sambil tersenyum getir.
Entah kenapa, ia selalu takut kehilangan anak itu, karena para tabib kerajaan mengatakan bahwa ia tak akan bertahan lama di dunia ini, anak itu terlalu lemah, bahkan saat umurnya sudah 7 tahun pun ia belum bisa bicara.
Tapi ia menyayanginya, bagai anak sendiri, dan hatinya selalu berdesir saat melihat warna putih yang mendominasi pada Shen –tidak seperti raja dan ratu yang berwarna biru dan kehijau-hijauan-, putih artinya kematian.
Ia bisa saja melihat ke masa depan, apa yang akan terjadi pada Shen, apakah ia akan bertahan?
Tapi ia terlalu takut, takut akan bersedih sepanjang hidupnya jika mengetahui kenyataannya. Takut jika ia tahu ia akan kehilangan Shen dalam waktu dekat.
Sungguh, ia tidak ingin itu terjadi.
.
.
"Dia pangeran Shen kan?"
"Dia sangat pucat…"
"Dan kecil,"
"Dan putih,"
"Itu mengerikan…"
Shen berusaha tidak menghiraukan bisikan-bisikan teman-teman sekolahnya, ia mempercepat jalannya menuju Soothsayer yang sedang menunggu nya di gerbang sekolah, kalau ia tahu seperti ini jadinya, ia tidak akan mau sekolah disini, ia akan memilih tetap home-schooling walaupun itu membosankan.
"Hai pangeran kecil, bagaimana hari pertama di sekolah?" tanya Soothsayer sambil membawakan tas Shen yang berat, karena dari tadi anak itu tampak sulit mengimbangi jalannya.
Sayap Shen menggerakkan gesture 'ok'
Soothsayer tersenyum padanya, ia pun menuntun Shen naik ke kereta kerajaan yang terparkir di samping mereka.
Ia menatap Shen yang hanya termenung sepanjang jalan ke istana, ada apa? Apakah ia diejek? Atau… diganggu mungkin? Soothsayer mulai berpikir yang tidak-tidak.
Sadar kalau ada sesuatu yang salah dengan pengasuhnya, Shen menatapnya dengan tatapan yang seolah berkata 'Apa kau baik-baik saja?'
Soothsayer hanya tersenyum tipis dan membelai kepalanya, Shen pun mengangguk dan kembali melayangkan pandangannya ke jalanan Gongmen City.
"Kau sudah sepuluh tahun Shen, di mana suaramu?" batin Soothsayer cemas, tidak mungkin ia bisu, tidak mungkin, jangan sampai…
Sang peramal kerajaan itu hanya terdiam, tak lama kemudian saat mereka sudah sampai ke istana, ia mendengar suara dengkuran halus, ia tersenyum saat menoleh ke sampingnya dan mendapati si pangeran kecil sudah tertidur, tanpa kesulitan, ia menggendong tubuh kecilnya dan segera berjalan menuju kerajaan itu.
"Ah-ma,"
Soothsayer menoleh, mendapati rajanya –Lord Baojia- sudah berdiri disampingnya, merak itu menatap anaknya yang sedang di gendong olehnya dengan tatapan khawatir.
"Apa Shen pingsan?"
"Oh tidak yang mulia..," Soothsayer tersenyum. "Ia tertidur saat di perjalanan mungkin ia kelelahan…" lanjutnya.
Raja Baojia mengelus kepala anaknya, walaupun sedikit, Soothsayer bisa melihat rasa bersalah di wajahnya.
"Mungkin kami memang terlalu sibuk, sehingga ia merasa dilupakan.." gumamnya lebih kepada dirinya sendiri. Soothsayer mengangguk, karena memang itulah kenyataannya.
"Shen sering berkata pada saya yang mulia, bahwa ia sangat sedih karena anda dan Lady Fen terlihat tidak mengacuhkannya…." Ucapnya, hitung-hitung membantu Shen mengungkapkan persaannya.
Lord Baojia tampak terkejut.
"Dia 'berkata'?" tanyanya memastikan.
"Oh, bukan itu maksud saya yang mulia…." Ralat Soothsayer,
"Ia menuliskannya di kertas, lalu memberikannya pada saya…"
"Oh…" gumamnya lagi dengan nada kecewa.
"Ah-ma, apa aku bisa menggendongnya…?" pinta raja itu, tidak seperti orang lain di istana ini, ia lebih suka memanggil peramal ini dengan nama aslinya.
Soothsayer terkekeh, "Tentu saja, ia milikmu…."
.
.
'Ayah?'
Shen mengerjapkan matanya, membukanya perlahan, ia pun melihat wajah Lord Baojia yang sedang tersenyum padanya.
Tunggu, bukannya tadi ia masih di jalan?
'Kenapa?' Batinnya, akhirnya ia pun sadar kalau ia sedang digendong oleh ayahnya.
"Tidak apa-apa Shen, kau tertidur di kereta saat perjalanan pulang..," kata Lord Baojia, seolah tahu apa yang dipikirkan anaknya, mereka hampir sampai di kamarnya.
'Oh…'
"Shen?"
Shen mengerjapkan matanya, memberitahu pada ayahnya kalau ia mendengarkan.
Lord Baojia membuka pintu kamar Shen dan berjalan masuk, ia pun membaringkan pangeran muda itu dikasurnya, dan ia duduk di samping ranjangnya.
"Shen, apa ayah boleh bertanya sesuatu?" tanyanya dengan nada ragu, Shen terdiam dan menatap sang raja, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ayahnya seperti ini?
Shen mengangguk sedikit, ia pun memaksakan dirinya duduk, walaupun kepalanya terasa sakit.
"Apa benar, kau merasa tidak diperhatikan oleh kami?" tanya Lord Baojia, Shen dapat melihat rasa bersalah yang terpancar dari mata ayahnya.
Shen mengambil buku dan penanya, menulis sesuatu.
'Siapa yang mengatakannya ayah?'
"Ah, itu Soothsayer…" jawabnya.
Lagi-lagi Shen terdiam, ia hanya menundukkan kepalanya, memain-mainkan ujung bajunya, ia tidak ingin bicara soal itu dengan ayahnya.
"Ayah tahu, pasti terjadi sesuatu di sekolah kan?" suara Lord Baojia kembali memecah keheningan di kamar itu, Shen tidak merespon.
"Ayah hanya ingin bilang, Ayah dan Ibu sangat menyayangi mu, walaupun kami sangat sibuk, tapi kami tetap mencintai mu, dan kami minta maaf karena itu…."
Lord Baojia meraih kedua sayap mungil anaknya, agar ia mau menatap kembali.
"Apa kau mau memaafkan kami Shen?"
Shen perlahan mengangguk, air mata langsung meluncur dari kedua mata merahnya, ternyata mereka tidak seburuk yang ia kira.
"Sudah, jangan menangis…" sang ayah mengusap air matanya, dan memeluknya.
"Hei.., minggu depan kami bebas dari pertemuan dan lainnya, apakah kau mau kita ke festival kota bersama ayah dan ibu..?" tawarnya.
Shen langsung mengangguk, ia sangat senang.
.
.
.
"Apa kau siap sekolah Shen?"
Shen langsung memakai muka suramnya, ia menggeleng dengan kuat pada ayahnya.
"Mengapa?" tanya Lord Baojia sambil mengelus kepala anaknya.
Ia kembali menulis di bukunya.
'Mereka akan membully ku seperti kemarin…' tulisnya.
Ayahnya mengangguk.
"Tapi nak, kau harus berani, jika mereka menganggu mu, tidak usah ladeni mereka, karena jika kau melakukan itu, mereka akan kembali membully mu terus menerus."
Shen mengangguk tanda mengerti, ia pun memaksakan tersenyum, ia tahu, pasti 'mereka' akan kembali mengganggunya,
.
.
.
"Hati-hati Shen, rajinlah belajar, aku akan menjemputmu saat pulang sekolah usai…"
Shen mengangguk pada Soothsayer, kambing itu pun melambaikan tangannya pada sang pangeran, dan merak putih itu berjalan dengan gontai ke sekolahnya.
"Hei, kau masih disini…?"
Tiba-tiba terdengar suara yang menakutkan dan kasar, dan ia pernah mendengar suara ini sebelumnya.
Dia baru ada disini selama semenit dan sudah diganggu, Shen mendongakkan kepalanya, mendapati kerbau bertubuh besar yang mengganggunya kemarin, ia sangat tinggi, Shen terlihat sangat kecil jika disandingkan dengannya.
Shen menggeleng ketakutan, tolonglah, ia tak ingin mencari masalah.
"Kau masih disini pangeran hantu?" tanyanya dengan suara mengejek, tak lama kemudian, teman-temannya yang sesama pembuli pun datang ke dekatnya.
"He teman-teman, lihatlah si albino ini, dia bukan apa-apa selain pecundang, aku tidak percaya ia akan menjadi raja kita nanti…" kerbau itu masih menghinanya. Teman-temannya pun tertawa dengan keras.
"Ia juga tidak pelu memakai jubah putih ke pemakaman, warnanya saja sudah melambangkan kematian…"
"Hahaha…"
"Hentikan!"
Shen menoleh, mendapati seekor merak perempuan, hampir sama dengannya, hanya saja ia berwarna biru dan hijau, ia berdiri di dekatnya.
"Kenapa kalian mengganggu pangeran?" tanya merak itu.
Kerbau dan teman-temannya tertawa,
"Itu bukan urusanmu, memangnya kenapa? Kau mau membantu si lemah ini hah?"
"Ya, kenapa? Dasar kau nematoda sial…, kau tahu tidak kalau wajah mu itu mirip sekali dengan brokoli panggang yang disiram saus tar-tar…"
Krik. Krik.
Tanpa sadar Shen menggenggam sayap merak itu, seolah mengajaknya untuk kabur saja dari situ.
Tapi merak itu hanya tersenyum padanya, seolah berkata semuanya akan baik-baik saja.
"Apakah tidak ada orang lain yang bisa kalian ganggu? Teman? Guru? Reptil beracun mungkin?" tanyanya, membuat kerbau itu marah.
"Kau tidak usah ikut campur…" ujarnya ketus.
"Kalian itu yang pecundang, kalian lima, dan dia seorang saja, apa itu sebanding?, kalian juga tahu kalau fisik kalian lebih kuat dari dia, kau sungguh menyedihkan…" balas si merak dengan nada menghina.
Kerbau itu menatap tajam pada mereka berdua, sebelum akhirnya ia mendengus dan mengajak teman-temannya pergi tanpa berkata apa-apa.
"Terima kasih…" kata Shen sambil tersenyum pada si merak perempuan itu.
"Sama-sama pangeran…" balasnya sambil menunduk hormat.
Tunggu, dia bisa bicara?
Shen benar-benar terkejut, untuk sesaat ia merasa tubuhnya benar-benar membeku, suara benar-benar keluar dari tenggorokannya! Sungguh sebuah keajaiban!
"Pangeran, kau tidak apa-apa…?" ia menggoyangkan tangannya di depan wajah Shen.
"I..iya, aku tidak apa-apa…" ucapnya gugup, merasa masih asing dengan hal ini, berbicara.
"Jika mereka mengganggumu lagi.., kau bisa meminta pertolonganku.., aku akan siap membantumu…" katanya, ia mulai berjalan menjauhi Shen.
"Aku harus pergi sekarang pangeran, daa…" ia pun melambaikan tangannya.
Tiba-tiba teringat sesuatu.
"Hey, t-tunggu! Siapa namamu…?" panggil Shen.
Merak perempuan itu kembali mendekati Shen.
"Namaku Ying yang mulia, eh tunggu bukan itu, Hue? Chun? Namaku siapa…" gumamnya pelan sambil memasang pose berpikir.
Dia bisa lupa namanya sendiri?!
"Maaf pangeran, otakku ini memang sudah tidak berfungsi dengan baik, dengan kata lain agak 'geser' dari tempatnya, aku sering lupa segala hal, bahkan namaku sendiri…" katanya sambil tertawa garing.
"Oh iya! Sekarang aku ingat.. anda bisa memanggil ku Lei," ia tersenyum lebar.
Shen menatapnya aneh, tapi tak terlalu memusingkannya, bagaimana pun anak ini sudah menyelamatkannya.
"Dan aku…"
"Lord Shen iya kan…?" potongnya sambil kegirangan.
Shen menggeleng, "Aku belum menjadi raja kok, tidak perlu memanggil ku dengan sebutan seperti itu…" balas Shen merendah.
"Tapi kedengarannya keren sekali kan…" ia menyengir, Shen tersenyum sependapat dengan Lei.
"Oh iya pangeran, ngomong-ngomong, anda kelas berapa?" tanya Lei.
"Aku… kelas 4-1…"
"Oh berarti kita sekelas dong! Kenapa aku tidak melihat anda sebelumnya ya..!" serunya heran.
"Aku baru saja masuk, sebelumnya aku sekolah dirumah…"
"Maksud anda di istana kan?"
"Haha, iya.."
"A-apakah itu berarti kita bisa berteman Lei?" tanya Shen gugup, ia memang tidak pernah menanyakan seseorang untuk menjadi temannya, karena ia terlau takut.
"Wah, tentu saja dong, tapi.. apa pangeran mau berteman dengan rakyat biasa seperti ku?" Lei tampak ragu.
"Ayah dan ibu pernah bilang, kalau semua makhluk itu sama saja derajatnya, jadi kenapa tidak…?" balas Shen.
"Anda sangat rendah hati pangeran…" puji Lei, membuat Shen bersemu.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel sekolah yang sangat nyaring.
"Ayo pangeran! Kita masuk kelas…"
.
.
.
"Deshi memang seperti itu pangeran, ia merasa paling kuat di sekolah ini, sudah banyak murid yang ia ganggu…" kata Lei.
Saat itu mereka berdua sedang makan siang bersama, karena Shen tidak nyaman terus diperhatikan di kantin, mereka pun memutuskan makan di belakang sekolah,
"Jadi kerbau itu namanya Deshi?"
"Iya…"
"Karena itu lah, aku sering sebal sama budi daya ternak lele di China, eh tunggu.. kita sedang membicarakan apa sih?" tanya Lei yang penyakit lupanya sepertinya kambuh.
Andai Shen sedang tidak makan, pasti ia sudah tertawa terbahak-bahak.
"Ngomong-ngomong Lei, kau tinggal dimana..?" tanya Shen.
Lei menggelengkan kepalanya,
"Aku tidak tinggal dimana-mana,"
"Maksudnya…?"
"Ceritanya panjang…" balas Lei singkat,
Shen hanya tersenyum, pasti ia lupa dimana rumahnya, pikr Shen.
"Aku harus mengundangnya ke istana…" batin Shen senang.
.
.
.
Tbc.
LET ME KNOW WHAT YA THINK ABOUT THIS BY LEAVE A REVIEW!
