Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi memiliki hak penuh atas Kuroko's Basket dan seluruh chara di dalamnya. Hak penuh saya hanya sebatas pada fanfiksi ini.

Pair : Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya (Akakuro)

Warning : BoyxBoy, AU(atau Modified Canon? Entahlah), OOC, typo, minim dialog, 3rd person POV.

.

.

.

Babak baru dalam kehidupan Akashi Seijuuro dimulai saat ia memutuskan kabur dari pertemuan menjemukan yang bertempat di mansion utama keluarga Akashi.

Oh, bayangkan saja. Ia harus terjebak di antara pria dan wanita dewasa beraroma menyengat, dandanan super mewah dan omong kosong setinggi langit. Sungguh menjemukan.

Seijuuro memang telah mempersiapkan mental, mengingat ia adalah anak tunggal yang kelak akan menggantikan ayahnya. Tapi entah kenapa, malam ini kejenuhannya seperti berakumulasi dan memprovokasi seluruh sel penyusun otak jeniusnya untuk bertindak diluar kebiasan yang―lumrahnya―telah terorganisir.

Yup, Seijuuro pun nekat. Ia memilih untuk mengendap melalui pintu samping dan akhirnya lolos melalui kebun belakang . Tanpa rencana mau kemana, ia pun berakhir di tempat ini, sekarang.

Taman kota.

April kelimabelas, tepat ketika lengan waktu terjulur pada angka delapan. Langit telah berubah warna. Membentangkan layar kelabu kehitaman. Bersih dari ceceran bintang.

Saat itulah, Seijuuro pertama kali melihatnya.

.

.

.

Thirty Days

By

Relya Schiffer

Chapter 1 : The First Until TheTenth

.

.

.

Hari pertama

Hal yang paling menarik perhatian bagi Akashi Seijuuro kali ini adalah biru.

Biru laut. Biru langit. Biru muda.

Aqua marine di bawah sorotan lampu temaram taman.

Dengan jarak tak lebih dari sepuluh meter, sosok itu berdiri tegak di hadapan kotak kosong yang isinya disandang di pundak. Sepasang mata terpejam dengan tangan bergerak-gerak memberi gesekan penghasil nada. Sesekali terbuka hanya untuk menatap ke langit, lalu menutup lagi. Namun cukup memberi waktu bagi lautan safir muda di dalamnya untuk berkilau ketika bertubrukan dengan siraman cahaya.

Memukau. Ibarat berlian yang tenggelam ke dasar samudra, meminta untuk diselamatkan.

Eh? Personifikasi macam apa itu?

Seijuuro ingin menertawakan dirinya yang keluar dari karakter. Dunia bisa jungkir balik jika tahu ia bertingkah seperti gadis sekolahan yang pertama kali jatuh cinta.

Hei, kenapa mengungkit soal cinta segala?

Ah, sudah. Lupakan.

Kembali fokus pada objek di depan. Yang wajah putihnya sunyi dari ekspresi.

Hantukah?

Yang benar saja.

Biarpun datar, tapi Seijuuro mampu menangkap sesuatu yang terpancar oleh wajah itu. Ia hanya belum dapat menerjemahkannya.

Mungkin, lain waktu bisa.

Hei, mengapa Seijuuro seyakin itu bisa bertemu dengannya lagi?

Ah, biarlah. Yang penting Seijuuro menyukai permainannya. Terasa masih amatir, memang. Banyak nada yang melengking tidak pada tempatnya. Namun kesungguhan dalam bermainlah yang membuat Seijuuro bertahan.

Seorang ibu melintas. Usia awal 30-an, bergandengan dengan anak kecil usia 5 tahun. Si anak terpaku sejenak, menatap pemuda biola dengan mata berbinar. Ibunya paham bahwa anaknya terpaku kagum. Dirogohnya saku dan dilemparkan sekeping logam 10 yen. Ibu dan anak berpandangan, lalu tersenyum dan pergi.

Satu kepastian melesak ke otak jenius Seijuuro mengenai sosok itu. Ada yang menggelitik sudut hatinya tentang mengapa pemuda biola menjual melodi sumbang di saat seperti ini—di tempat seperti ini.

Seijuuro ingin tahu. Sungguh sangat ingin tahu.

Karenanya, malam itu, satu jam terlewati dengan hanya duduk diam mengamati.


Hari kedua

Seijuuro tidak suka mengulang perkataan. Tapi rupanya mengulang perbuatan adalah suatu pengecualian. Tepat setelah makan malam bersama selesai, ia kembali menyelinap. Ia mendatangi tempat yang sama demi objek yang sama, seperti kemarin.

Seijuuro memiliki nama panggilan untuknya yang telah mengisi pemikiran Sang Akashi Muda seharian ini.

Si Biru.

Ya, Seijuuro memutuskan untuk menyebutnya Si Biru.

Malam ini Si Biru menyajikan Fur Elise gubahan Beethoven. Orang mengenalinya sebagai nada kotak musik. Seijuuro telah menguasai partiturnya sejak sekolah dasar, dengan piano.

Tak banyak perubahan hari ini. Permainan Si Biru tetap agak sumbang, yang menjadi penyebab nomor satu rumah biola di hadapannya masih kosong. Tapi ia tak menyerah. Diulanginya lagi hingga beberapa kali tiap menyentuh not terakhir.

Seniman jalanan yang luput dari perhatian.

Dalam hati Seijuuro bertanya, apakah dia benar-benar manusia? Mengapa hanya Seijuuro yang menyadari kehadirannya? Sebegitu abstraknyakah ia dari pengamatan tiap-tiap pasang mata yang melintas ?

Kembali, satu jam habis dalam sekejap.

Si Biru menghentikan aktivitas. Biola masuk ke dalam kotak dan ia melangkah pergi. Lima menit kemudian Seijuuro memutuskan untuk pulang.


Hari ketiga

Makan malam kali ini luput dari jadwal. Seijuuro dirong-rong rasa penasaran.

Sudah berapa keping yen yang berhasil dihimpun Si Biru sekarang?, itu yang ia pikirkan. Apakah masih memainkan Fur Elise? Atau pindah ke melodi lain? Apa masih bermantel coklat suede seperti dua malam lalu?

Maid dan buttler di mansion Akashi tak kuasa melarang Sang Tuan Muda. Dengan negosiasi atas dasar khawatir, Seijuuro menyetujui satu permintaan kepala maid yang telah mengurusnya sejak kecil. Syarat agar ia bisa keluar tanpa orang tuanya tahu.

Setangkup sandwich dan sekotak jus buah pun dihabiskan sambil berjalan. Abaikan soal table manner dan etika makan, Seijuuro sedang tak ingin susah payah jaga image. Ia hanya ingin secepatnya sampai di tujuan.

Seijuuro tiba lebih awal, sepertinya. Si Biru belum datang. Dengan kening berkerut heran, Seijuuro duduk menunggu. Jari mengetuk-ngetuk bangku besi, tungkai terayun—kadang menepuk tanah di bawah telapak kaki. Manik rubi menjelajah seluruh ruang pandang, menyambangi tiap pengunjung yang sesekali lewat.

Lepas 15 menit dari pukul 8, Seijuuro bersikukuh. Sepuluh menit lagi, pikirnya.

Jarum jam terus bergerak. Pengunjung taman silih berganti. Beberapa remaja perempuan yang lewat menunjukkan ketertarikan padanya, namun Seijuuro tak peduli. Fokusnya hanya tertuju pada satu titik.

Kini, 50 menit berlalu.

Seijuuro terkurung keheningan dalam diam. Tak berubah hingga lewat 10 menit kemudian. Si Biru tetap tak datang.


Hari kelima

Rasa penasaran memang benar-benar mengerikan. Baru kali ini Seijuuro mengakui kebenaran dari pernyataan yang entah dicetuskan oleh siapa tersebut.

Dua hari tak bertemu Si Biru, Seijuuro dilanda keanehan.

Tiap malam, ia bermimpi duduk di padang rumput luas, di bawah langit biru cerah tanpa awan. Lautan terhampar di hadapan, merefleksi lazuardi.

Konyol, bukan?

Mana mungkin laut dan padang rumput bisa bersebelahan? Tidak pernah tertulis dalam sejarah botani adanya rumput yang bergantung pada air asin, kan? Ataukah hanya Seijuuro yang ketinggalan perkembangan?

Ah, mustahil. Akashi tak pernah salah. Akashi sesalu benar.

Kise Ryota terkikik geli mendengar curhat Sang Akashi Muda tentang mimpinya pada Midorima Shintarou di sela jam istirahat.

"Akashicchi lucu sekali-ssu. Mimpimu itu unik. Atau sebenarnya kamu sedang stress-ssu? Butuh pencerahan?"

Komentar absurd Sang Model tampan tak berkenan di hati Seijuuro. Larangan memetik anggur gratis di kebun Akashi pun membuat Ryota menangis meraung-raung dan merapalkan mantra 'Akashicchi hidoi-ssu' berulang kali. Rapalan itu baru berhenti ketika Aomine Daiki datang dan menyeretnya paksa ke lapangan basket untuk bertanding 1 on 1.

Dari balik kacamata, Midorima Shintarou kembali memfokuskan perhatian ( yang akan mati-matian disanggahnya) kepada Seijuuro. Ia sungguh penasaran, seperti apa sosok Si Biru ini sebenarnya? Begitu hebatnya sampai mampu menimbulkan pengaruh yang kentara terhadap seorang Akashi.

"Sejauh apa kau mengenalnya, Akashi?" sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Sang Shooter.

Menggeleng pelan, tirai crimson Seijuuro bergerak searah gerakan kepala.

"Aku hanya ingin mengamatinya."

"Tanpa bertanya, rasa penasaranmu tidak akan pernah tuntas-nanodayo."

Kali ini tak ada tanggapan. Shintarou mendesah pelan.

"Lalu, malam ini kau akan tetap datang ke taman itu?"

"Hm."

"Masih bersikeras menunggu?"

"Hm."

"Kau batu, Akashi."

"Kau akan menyesali ucapan itu, Shintarou."

Dipanggil nama kecilnya dengan nada tajam, Shintarou mendadak menegang. Bukan pertanda baik jika ujung tombak klan Akashi telah memanggil dengan cara 'begitu'. Karena itulah, Shintarou memilih aksi tutup mulut sebagai keputusan paling bijak.

Kendati demikian, sekilas pemikiran aneh merebak.

Mungkin, ada baiknya kalau hari ini dijadikan sebagai hari bersejarah. Bukankah tak setiap hari seorang Akashi terserang penyakit bernama gundah?


Hari keenam

Matahari bergulir ke barat dalam hitungan jam. Menanti malam seperti menghitung detik pertemuan bagi Akashi Seijuuro. Dengan jaket hangat bermerk melilit tubuh, Sang Akashi muda bersiap menghabiskan waktu di tempat biasa.

Kepala butler bertanya ia mau kemana. Dan dijawab dengan singkat.

"Aku sedang bosan. Aku ingin keluar sebentar. Sendiri."

Pertanggungjawaban pada Tuan Besar urusan nanti. Tak ada yang kuasa menahan Si Tuan Muda jika memang itu maunya.

Jeda 15 menit lebih awal, malam ini. Seijuuro menghabiskan waktunya dengan smartphone di tangan. Membaca satu per satu ocehan abnormal para kawan baiknya dalam chat conversation sosial media.

Ada Ryota yang perang mulut dengan Daiki, perkara siapa yang lebih pintar. Padahal faktanya mereka berada di level kecerdasan yang sama.

Hingga datang Murasakibara Atsushi―Si Tukang Makan―yang out of topic dan justru merekomendasikan kedai donat baru di belakang sekolah.

Shintarou hanya sesekali terlibat, itu pun karena ketiga orang terdahulu menyeret namanya. Ia mengomel kecil dan meminta agar tidak dilibatkan dalam ocehan tak berguna mereka. Bukannya memberi efek yang diharapkan, justru berujung sebaliknya. Protes Shintarou layaknya umpan untuk ikan yang kelaparan. Kicauan mereka pun kian menjadi.

Tak ayal bibir Seijuuro menggaris senyum tipis. Sungguh suatu keajaiban ia dapat awet dengan teman-temannya yang 'unik' itu sampai detik ini.

Hingga terdengarlah suaranya.

Alunan Moonlight sonata berkumandang. Lambat-lambat, lalu menguat.

Seijuuro tergetar. Tidak hanya karena partiturnya yang familiar. Ada faktor lain. Entah kenapa kali ini suara itu lebih indah terdengar. Sampai-sampai kelereng mirah delima Akashi muda dipaksa terpaku ke depan.

Disana, di tempat biasa, tepat pukul delapan―Si Biru berdiri.

Ia telah kembali.

Garis yang awalnya tipis di wajah tampan Seijuuro semakin melengkung ke atas, bertambah lebar. Seiring satu kekosongan yang perlahan terisi.

Seijuuro itu jenius. Dan ia tak mungkin menyangkal kenyataan yang telah terpapar jelas, yang deskripsinya telah tertulis di kepala sejak sosok itu mengisi ruang mata.

Ia merasakannya.

Hari ini, Seijuuro belajar memahami apa yang orang katakan sebagai rindu.

Selang sejam kemudian, alunan biola berhenti. Seijuuro telah mengandaskan sekotak jus buah. Sengaja ia tinggalkan satu kotak yang lain di bangku taman, kelewat yakin Si Biru akan menemukannya.

Oh, Akashi tak pernah salah. Akashi selalu benar―kan?

Tak lagi merasa ada beban, Seijuuro melenggang pulang. Ini kali pertama ia mendahului Si Biru meninggalkan taman.


Hari ketujuh

Ekspresi serupa menempel di wajah Aomine Daiki dan Akashi Seijuuro. Kedua orang berkulit kontras itu tampak sumringah, meskipun ke-sumringah-an Seijuuro jauh lebih samar dari Daiki . Siapapun tahu mereka sedang senang.

"Kemarin aku menang 1 on 1 lagi. Jadi, hari ini aku gratis makan siang karena Kise yang bayar. Hahahaha," ceracau Daiki pada Shintarou yang bertanya perihal mood baiknya, mengabaikan bibir bebek Ryota yang merengut di samping pemuda atletis itu.

"Eeehh, Minechin sugooii," sahut Atsushi di sela kunyahan kripik. "Ne, Kisechin, besok mau 1 on 1 denganku?"―ia tak peduli pada kompetensi, jelas hanya mengejar makan gratis di sini.

"Kalau setiap kali kalah aku harus mentraktir, aku bisa bangkrut-ssu," keluh Ryota.

"Salahmu sendiri. Kau mestinya berlatih lebih giat lagi supaya bisa mengalahkan Aomine," cetus Shintarou. Tak ketinggalan dengan suffix 'Aku memberi saran bukannya aku peduli padamu-nanodayo. Aku hanya benci pada kesombongan Aomine'.

Suram di wajah Ryota hilang, berganti dengan senyum lebar. Perhatian dari seorang tsundere memang lebih manis dari gula manapun di dunia.

"Hehehe. Sankyu, Midorimacchi," Ryota cengengesan.

Jumlah korban sumringah kini bertambah satu.

"Ngomong-ngomong, Akashi―" pusat perhatian Shintarou berganti, "Kau pasti bertemu Si Biru semalam, kan?" cecarnya.

Bidak shogi di atas papan berganti petak. Seijuuro mengulum senyum tipis yang tak luput dari Si Kacamata.

"Begitulah."

"Waah, kalau begitu Akashicchi sudah tidak galau lagi, ya? Aku turut senang mendengarnya-ssu."

Lagi-lagi komentar absurd Ryota. Seijuuro hampir melontarkan larangan bagi Si Pirang untuk SPA gratis di rumahnya, kalau saja Daiki tidak terlanjur menyelak.

"Kau tidak bertanya kenapa dia tidak datang tiga hari yang lalu, Akashi?"

Seijuuro menjawab, "Tidak perlu."

Dua kata singkat. Habis perkara. Tapi empat kepala berbeda warna yakin Si Merah punya rencana.

Jam istirahat berakhir. Seijuuro pergi lebih dulu. Daiki dan Ryota kembali bertengkar kecil, tak ubahnya seperti pasangan suami istri yang ribut menentukan warna cat dinding rumah baru mereka.

Shintarou nyaris mengomel, namun langsung ditenggelamkan suara dari sosok paling jangkung yang (sangat) paling cuek di antara mereka.

"Hei, Midochin. Apa kau tidak merasakan sesuatu?"

Dua jari dibalut perban mendorong bingkai kacamata ke atas.

"Apa?"

"Akachin―sikapnya seperti dia tertarik pada Si Biru, ya?"

Pertanyaan bodoh. Kalau tidak tertarik, mana mungkin tiap hari dalam seminggu sampai datang ke tempat yang sama hanya demi mendengar permainan biola sumbang?

"Hm. Mungkin," Shintarou menggumam kecil.

Atsushi jelas tidak sadar. Shintarou telah memikirkan hal yang sama sejak Si Biru hadir dan menjadi salah satu topik obrolan mereka.


Hari kedelapan

Seniman jalanan berwarna lembut masih tak mendapat perhatian malam ini. Rumah biolanya masih melompong. Hanya berisi dua kotak jus buah : apel dan anggur.

Sekali melihat, Seijuuro mengenali brand di kedua kotak bekas itu. Ia senang karena Si Biru menerima cindera mata yang ia tinggalkan kemarin dan kemarin lusa.

Tepat pukul 9 suara biola berhenti. Seijuuro memakai jaketnya dan bersiap untuk pulang. Telah ia letakkan kotak lain bergambar strawberi di bangku taman, berniat ia tinggalkan untuk yang ketiga kalinya.

"Ano…"

Bohong besar jika Seijuuro tidak merasakan hawa tipis yang bergerak mendekat. Kemarin malam ia sempat menangkap basah lirikan sepasang safir muda ke arahnya beberapa kali. Jadi, ia bertaruh bahwa malam ini lirikan itu akan berbuah sapaan.

Dan, Seijuuro menang.

"Sumimasen."

Tersenyum kecil sejenak, Seijuuro memutar tubuh. Dalam hati memuja betapa memukau lautan safir muda di hadapannya.

Tenang. Dalam. Misterius.

Indah.

"Minuman yang Anda tinggalkan kemarin dan kemarin lusa, saya telah meminumnya."

Hampir saja Seijuuro tergelak.

Bukan karena suara lembut yang nyaris menandingi kelembutan marshmellow. Melainkan kenyataan masih adanya segelintir individu yang kelewat sopan di era modern seperti sekarang.

Anda ?

Sekali lagi―anda?

"Maaf. Apa perlu saya mengganti minuman Anda?"

Lalu―saya?

Oh, ayolah.

Ketika semua orang mengedepankan ke-aku-an, Si Biru ini justru menggunakan 'saya'. Boleh Seijuuro tertawa sekarang?

Hei, Seijuuro. Ada yang masih menunggu jawaban, lho, seseorang di dalam diri Sang Crimson berbisik. Seijuuro pun melempar senyum kecil.

"Tidak perlu. Kau tidak perlu menggantinya."

"Eh? Sungguh?"

Sumpah demi apapun. Nada terkejut sangat tidak cocok disandingkan dengan ekspresi datar. Hasilnya akan unik sekali.

"Ya. Aku memang sengaja memberikannya padamu."

"Kalau begitu, terimakasih."

Si Biru membungkuk sopan. Orang tua mana yang mampu membesarkan anak dengan tata krama kelewat sopan seperti ini? Seijuuro ingin menemui mereka untuk melamar―bukan, tapi untuk memuji.

"Tapi, saya tidak ingin berhutang. Jadi, bolehkah saya memainkan satu lagu untuk Anda sebagai ganti dari kedua jus yang Anda berikan untuk saya? Itu pun jika Anda bersedia mendengarkan permain buruk saya."

Permainan buruk, katanya.

Apa ia tahu bahwa permainan yang disebut buruk itu telah biasa menyambangi di telinga Seijuuro?

"Baiklah. Mainkan untukku. Aku akan mendengarkanmu."

Ibarat janji yang telah diikat.

Ibarat sumpah yang telah diucap.

Ibarat takdir yang telah ditulis.

Malam itu menjadi malam di mana merah dan biru saling menghapal garis wajah. Belum ada nama yang terucap, memang. Namun senyuman yang dilemparkan tak pernah salah tujuan ketika mereka harus berpisah jalan usai sonata F minor Appasionata karya Beethoven (seperti biasa) sukses menjadi backsong kisah mereka.

Dan, malam itu menjadi malam di mana alunan biola terngiang sampai ke dalam tidur seorang Akashi Seijuuro.

Ia juga bermimpi. Sebuah mimpi yang persis seperti saat ia tak bertemu Si Biru tempo hari.

Dalam mimpinya, Seijuuro masih duduk di padang rumput yang sama, menghadapi hamparan samudera yang sama dan bernaung di bawah lazuardi yang sama. Hanya satu yang berbeda.

Ia memainkan sebuah biola di sana.


Hari kesembilan

Juru masak di kediaman Akashi kalang kabut. Pasalnya, Tuan Muda semata wayang mereka kembali menolak makan malam di rumah. Tanda tanya besar pun bertebaran.

Adakah yang salah dengan menunya? Apakah rasanya tidak enak? Apa juru masaknya harus diganti? Atau bahan-bahannya yang kurang segar dan perlu ditingkatkan kualitasnya?

"Tidak perlu serepot itu. Aku hanya sedang tidak ingin makan di rumah. Itu saja," Seijuuro memberi alibi ketika diajukan pertanyaan.

"Ini sudah yang kesekian kali. Kalau sampai orang tuamu tahu bahwa kau sering keluar dan tidak pernah makan malam di rumah, aku harus jawab apa, Sei-chan?" orang kepercayaan di mansion Akashi―Mabuchi Reo― yang sejatinya adalah sepupu Si Anak Tunggal hampir meraih tali ketika melihat Seijuuro telah siap di ambang pintu.

"Aku kasihan pada seluruh pelayan di sini saat diinterogasi oleh ayah dan ibumu. Sesekali kau harus melihatnya," pemuda berselisih 3 tahun lebih tua dari Seijuuro itu menambahkan.

"Anggap saja bagian dari pekerjaan mereka. Dan mereka sudah digaji untuk itu."

Reo tampak terkejut, lalu menggeleng mafhum pada kelakuan sepupunya.

Tepat seperti dugaannya, memang tak ada yang dapat Reo lakukan untuk mencegah kepergian Seijuuro. Selain memandangi sosok Si Merah yang kian mengecil ditelan batas pandang, usai mengancam akan melempar gunting pada siapapun yang berani menguntitnya.

Reo terkikik geli sendiri. Baginya tingkah Seijuuro tak jauh berbeda dengan orang yang berniat menjalani kencan rahasia.

Sesampainya di taman, Si Biru tengah menghitung penghasilan. Seijuuro duduk di tempat langganan, mengamati bagaimana jemari putih itu memindahkan kepingan uang satu per satu ke telapak tangan kiri. Tak bosan ia memandangi bagaimana angin malam memadu tarian halus surai baby blue di atas kepala Si Biru.

Indah. Memukau.

"Anda melamun?"

"Tidak. Aku mengamatimu."

Kejujuran Seijuuro membungkam bibir tipis Si Biru. Seijuuro curiga kefrontalannya telah mematahkan lidah Sang Violis manis.

Oh, ya. Si Biru memang manis. Jauh lebih manis dibandingkan isi dari empat kotak bekas jus buah yang berjajar dalam rumah biola. Menjadi penanda jumlah hari sejak mereka memulai komunikasi. Seijuuro tak pernah menyangka sampah darinya akan tetap disimpan seperti sesuatu yang―berharga?

"Arigatou gozaimasu. Saya tidak tahu mengamati adalah hobi Anda."

Rikuh, safir muda bergulir ke samping. Membuat Seijuuro gemas bukan main melihat kepolosannya.

"Ano, saya mau pulang. Apa Anda masih ingin di sini?"

Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga memang bukan kebiasaan Seijuuro. Tapi, sesekali mungkin menyenangkan jika ia mencoba.

"Berapa penghasilanmu tiap malam?"

"Eh?"

"Tiap malam, kau bermain di sini, berapa penghasilanmu?"

Bermain―tiap malam―penghasilan.

Seseorang, tolong ingatkan Seijuuro untuk lebih memilah ucapan dan menghindari kosa kata ambigu dalam percakapan.

"Tidak banyak."

"Berapa?"

Dituntut dengan nominal, Si Biru berpikir.

"Mungkin, hanya cukup membeli semangkuk ramen standar."

Begitu. Ramen standar bahkan tak cukup memenuhi kebutuhan alat tulis Seijuuro.

"Besok malam, tunggu sampai aku datang. Aku ingin kau hanya bermain untukku."

Ada keterkejutan terselip di tengah ekspresi datar.

"Eh? Kenapa?"

"Tidak ada alasan khusus. Hanya ingin kau memfokuskan perhatianmu pada biola dan aku. Akan kuhargai permainanmu lima―oh, tidak―sepuluh kali lipat. Bagaimana?"

Sesungguhnya, Seijuuro tak mengenal penolakan. Salahkan ayahnya yang telah menanamkan paham absolut sejak ia kecil. Perintah berselubung penawaran seharusnya disetujui.

"Umm, baiklah. Tapi tidak perlu sepuluh kali lipat. Saya bukan pemain mahir."

"Kalau begitu, akan kuhargai sepantasnya menurutku. Jadi, berusahalah."

Senyum yang merekah bersamaan dengan determinasi tinggi dalam sorot mata sudah cukup membuat Seijuuro merasa gembira.

Ketika mereka kembali berpisah jalan di depan gerbang taman, Seijuuro sengaja berbalik setelah kakinya terayun tiga langkah.

Entah kenapa, ia merasa haus akan figur Si Biru yang kini tengah melenggang dengan langkah pasti. Menjinjing erat rumah biola dalam genggaman.

Seijuuro tak pernah tahu arah tujuannya. Tapi ia yakin, suatu hari ia akan mengetahui di mana kaki kecil nan ramping itu berujung.


Hari kesepuluh

Seijuuro bukanlah gadis belia dalam shoujo manga. Ia juga tak sudi disejajarkan dengan pemuda yang hatinya sedang berbunga. Ia hanya senang. Senang sekali. Sampai rasanya ingin mengumbar senyum kepada tiap orang yang berpapasan, jika saja tidak ingat itu adalah salah satu kelakuan pasien rumah sakit jiwa.

Ejekan meledek dijatuhkan Reo yang―untuk kesekian kali―menjadi saksi hidup betapa tampannya Akashi Seijuuro malam ini. Padahal ia hanya mengenakan pakaian standar biasa : Kaus putih ditimpa jaket kasual abu-abu , jeans hitam dan sneaker merah bergaris putih.

Orang bilang, suasana hati yang positif dapat membuat seseorang lebih cantik atau tampan berkali-kali lipat. Dan Reo harus mengakui kebenaran itu.

Lapisan aspal sepanjang perjalanan menuju taman jelas telah hapal atas jejak Akashi Seijuuro yang terekam tiap malam. Sambil melangkah ringan dengan dua minuman kemasan hangat―kali ini terdapat tulisan vanilla milkshake pada kalengnya―Sang Akashi Muda mengingat sekilas obrolan bersama teman-temannya siang tadi.

.

.

.

"Sudah ada kemajuan rupanya," Midorima Shintarou akan sampai mati mengelak bahwa ia tidak sedang memuji, tapi hanya memberi pernyataan. "Kau dan Si Biru sudah saling kenal. Minimal bertukar sapa-nanodayo."

"Aku turut senang ya, Akashicchi. Semoga kau langgeng dengannya-ssu."

Entah pemikiran ambigu apa yang ada di kepala Ryota. Namun, Seijuuro tak berniat mempermasalahkannya. Hari ini ia sedang senang. Titik.

"Ngomong-ngomong, Akashi," Daiki bersuara. "Aku penasaran dengan orang yang kau sebut Si Biru ini. Apakah dia bisa bermain basket ?" pemuda berkulit eksotis itu melahap sekaligus roti isi daging dan melempar pembungkusnya sembarangan―tepat mengenai kepala kuning Ryota.

"Aominecchi!" jerit Ryota frustasi. Tingkat keusilan ace basket sekolahnya ini membuat ia terjangkit stres berkepanjangan. Lihat saja, gerutuan Ryota hanya ditanggapi cengiran lebar.

"Benar, Akachin. Aku juga ingin bertemu dengannya," kali ini Atsushi menambahi, sembari menggilas snack di dalam mulut.

Seijuuro hanya tersenyum tipis.

"Belum saatnya."

Hanya itu. Hanya dengan dua kata itu mampu mendesak keempat pemilik surai berbeda warna untuk tidak lagi bertanya. Seijuuro lolos dari interogasi.

.

.

.

Seorang Akashi tidak didesain untuk mengungkapkan perasaan melalui kata-kata. Seijuuro pun terbiasa menyuarakan pikiran dan isi hati dengan perbuatan. Pemuda belasan tahun itu tak akan mengelak dari rasa syukur karena memiliki teman-teman yang peduli padanya. Mereka telah berjasa melukis warna di atas kanvas kesehariannya yang nyaris tertutup kesibukan menjerat.

Midorima Shintarou, Si Hijau Tsundere.

Kise Ryota, Si Kuning Berisik.

Aomine Daiki, Si Navy Blue Super Cuek.

Murasakibara Atsushi, Si Ungu Menjulang.

Dan Seijuuro berharap akan ada satu warna lagi yang dapat meramaikan palet lukisannya―Si Biru Muda.

Malam ini, tepat pukul 8, ia telah duduk manis di tempat biasa―menanti.

Ia membuat hipotesis mengenai reaksi Si Biru ketika disodorkan partitur lagu pilihannya. Terkejutkah? Kesulitankah? Bagaimana?

Sesekali rubi merah Tuan Muda Akashi mengabsen satu per satu deretan not penyusun sonata di atas kertas putih. Itu irama favoritnya. Yang akan ia hibahkan pada sosok favoritnya.

Dunia Seijuuro benar-benar telah beralih, sampai ia tak sadar betapa cepat perguliran waktu.

10 menit.

Mungkin terlambat.

20 menit.

Kenapa belum datang?

30 menit.

Kemana dia?

45 menit.

Tidak datang lagi, huh?

60 menit.

Cukup sudah.

.

.

.

Hening mengekor kala jam tangan sporty di pergelangan tangan Sang Crimson menunjuk angka sembilan. Desir angin malam menyusup pada celah jaket yang seharusnya menjadi penahan dingin.

Sementara dua kaleng vanilla milk shake teronggok bisu di atas bangku taman, menimpa selembar kertas bertuliskan not balok―kehilangan kehangatan.

Ketiadaan Si Biru selepas jarum panjang waktu melewati angka enam membuat tangan Seijuuro mengepal kuat. Gumpalan di dalam dadanya membesar, menjadi sebab utama adrenalinnya meriak. Hormon emosi di dalam dirinya bekerja lebih giat, hingga melahirkan satu ekspresi tajam melalui sepasang mata merahnya.

Seijuuro kecewa.

Rahangnya terkatup rapat. Kedua telapak tangan mengepal kuat. Rubi indahnya bersembunyi di balik poni sewarna darah.

Seijuuro bangkit berdiri, dengan kepala tegak.

Hari ini, hari yang kesepuluh. Kesampingan fakta belum adanya nama yang terucap. Satu luka kini terbuka.

Akashi Seijuuro telah merasa dikhianati.

.

.

.

***TBC***

A/N :

Holla, minna~

Purikazu, desu~

Ini bukan kali pertama saya nulis fanfic, tapi ini kali pertama saya nyebur di fandom ini. Berawal dari terjerat WB berkepanjangan selama lebih dari 3 tahun, Akakuro ternyata menjadi muse saya untuk bisa menulis lagi. /curhat/

Ah, iya, barangkali ada yang mengenal Relya Schiffer ? Hanya ingin memperkenalkan, karena Relya Schiffer dan Purikazu adalah orang yang sama. Kebodohan saya bikin akun terdahulu eror dan gak bisa dibuka. Padahal banyak multichap di sana yang belum rampung. Tehee~ :-D /plak/

Haah, saya memang selalu suck soal perkenalkan. Yoroshiku plus arigatou buat semua reader yang berkenan mampir dan atau meninggalkan jejak. Semoga Akakuro pertama dari saya ini mampu menghibur dan tidak terlalu mengecawakan.

Sampai jumpa di chapter berikutnya. Ja nee~~


Next Chapter :

Thirty Days

By

Relya Schiffer

Chapter 2 : The Eleventh Until The Twentieth

.

.

.

"Akashicchi, jangan begitu-ssu."

"Kau seperti orang yang memergoki pacarnya selingkuh-nanodayo."

.

.

"Tidak. Aku tidak mau."

"Duh! Aku jadi meragukan orientasi seksualmu, Sei-chan."

.

.

"Paksa saja dia."

"Nijimura, kau akan menyesal."

.

.

"Jadi, Tetsuya―kau?"

"Maafkan aku, Akashi-kun."

.

.

"Perkenalkan, aku Kagami Taiga."

"Aku Furihata Kouki. Salam kenal."

.

.

"Ini―apa?"

"Osteosarkoma. Stadium tiga."


^_^/