.
.
.
"Apa kau percaya adanya hantu?"
.
.
.
.
.
.
.
The Wardrobe
.
Summary: Linda sama sekali tidak menyangka sebelumnya, segala kejadian misterius nan absurd yang nantinya akan memertemukan dirinya dengan rahasia di tubuh Wammy's House, berawal dari sebuah lemari. /AU.
Disclaimer: Death Note belongs to Tsugumi Ohba & Takeshi Obata, obviously. I own nothing but this fic (and my OCs).
Genre: Mystery/Horror/Supernatural.
Rating: T (untuk amannya).
Warning: Alternate Universe, Original Character inside.
.
Chapter 1: Paranoia
.
.
.
"AAAAAAHHHH!"
Pekikan seorang anak perempuan melengking tajam menyusuri lorong-lorong. Linda mengerutkan keningnya, memandang nanar bercampur jijik kala melihat kondisi lemarinya. Sekumpulan larva berkuantitas banyak berserakan di ujung kiri bawah lemari yang mulai lapuk dan agak lembab. Beberapa telah menetas dan menjadi rayap. Sebagian bahkan telah masuk ke dalam lemari dan bertelur. Begitu cepat mereka berkembang biak.
Tak lama berselang setelah teriakan itu, Roger datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa anak lainnya.
"Ada apa?" raut wajahnya diliputi rasa was-was.
"Itu," Linda menunjuk pemandangan yang tidak mengenakan tersebut sambil berpaling ke arah lain. Perutnya terasa terlilit jika terus-terusan memandang lemarinya yang telah beralih fungsi menjadi sarang rayap.
"Euww, menjijikkan," Sophie—teman baik Linda—memasang tampang geli.
"Oh, ternyata hanya itu. Kau berteriak seperti melihat hantu saja."
Refleks, Linda mendelik ke sumber suara. Seorang bocah bersurai kemerahan berdiri di belakang Roger seraya memainkan konsol game-nya dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Kau hanya bisa berkata 'oh', sementara kaulah penyebab semua ini, Matt?" nadanya meninggi. "Aku harap kau belum lupa kalau seminggu yang lalu kau menumpahkan air pada lemariku."
Yang bersangkutan memutar bola matanya ke atas, mengingat-ingat kembali pada saat ia ke kamar Linda untuk meminjam buku seni rupa demi menyelesaikan tugas dari Miss Thompson dan tanpa sengaja menyenggol gelas di atas meja sehingga lantai di sekitar lemari menjadi basah.
"Oke, ralat. Aku tidak menumpahkan air pada lemarimu, tapi di lantai, itu pun tidak sengaja. Mana aku tahu kalau airnya merembes sampai ke lemarimu," Matt mengangkat bahu. "Lagipula, aku sudah minta maaf, kan?"
Linda mendesis. Ia baru saja akan berargumen ketika Roger dengan sigap melerai keduanya, "Sudah, sudah. Lemari ini tidak bisa dipakai lagi. Linda, datanglah ke gudang untuk mencari lemari pengganti jika kau sudah membereskan isinya."
.
.
Meskipun ruangan itu bertitel gudang, namun di dalamnya tertata rapi, bersih, dan besar. Ini kali pertama gadis berkuncir dua itu menjejakkan kakinya di tempat yang jarang dimasuki seperti gudang—tentu saja jika bukan karena ada keperluan mendesak.
"Kau bisa memilih mana yang kau suka," kata Roger, membebaskan Linda memilih sendiri.
Ia tersenyum simpul. "Terima kasih, Roger."
Matanya bergerak mengitari gudang. Ada banyak lemari berdiri di sayap kanan, sedang di sebelah kiri berjejer meja belajar dan kursi-kursi. Semuanya barang bekas peninggalan pemiliknya terdahulu, meski secara fisik masih sangat layak pakai.
Mayoritas lemari berpenampilan sama—ada beberapa yang terlihat berbeda, kemungkinan karena telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh sang empunya lemari; ditempeli stiker, dilapisi kertas kado, dan sebagainya—tapi ada juga yang berukuran lebih lebar dari yang biasanya dipergunakan oleh anak-anak panti asuhan. Kebanyakan nampak sudah cukup usang dimakan usia.
Linda berasumsi, generasi sebelumnya pasti memakai lemari jenis itu dan yang sekarang diganti lebih minimalis.
Mendadak, langkah kecilnya terhenti saat berkeliling. Tiba-tiba hidungnya mengendus bau busuk yang menusuk. Linda otomatis menutup hidung. Cepat-cepat otaknya menganalisa bau tersebut.
Tercium bau seperti sampah. Bukan, bukan. Jauh lebih menyengat. Lebih mendekati bau sepotong daging amis yang telah membusuk digerogoti belatung.
Linda bergidik. 'Dari mana asal bau ini?' ia bertanya dalam hati. Diputarnya badannya ke kanan-kiri. Linda melongokkan kepala pada celah di antara dua lemari. Namun, bau itu tidak berlangsung lama sesaat setelah ia melihat satu benda.
Bola matanya terpancang pada sebuah lemari bercat gelap. Entah apa yang menarik perhatiannya akan lemari itu. Tidak ada yang spesial. Hanya saja, benda tersebut terletak di sudut kanan, terjepit di antara dinding yang dingin dan lemari berukuran serupa di depannya—nyaris tidak terdeteksi andaikan ia tidak cukup teliti.
Terkesan… diasingkan.
.
.
.
"Erm, Roger, aku rasa aku mau yang itu saja," telunjuk ramping miliknya mengarah pada lemari yang dimaksud.
Roger nampak tengah berpikir sejenak sebelum akhirnya berucap, "Baiklah."
Linda menangkap adanya keragu-raguan yang tersirat dalam ucapannya.
Sekali lagi, ia menoleh ke lemari pilihannya. Memastikan keputusannya tidak salah.
Ah, tentu saja. Memangnya apa lagi yang bisa disebabkan oleh sebuah lemari kosong? Tidak ada, bukan?
.
.
Mungkin…
.
.
Pensil kayu menari-nari tanpa ritme, menggoreskan sketsa kasar di atas kertas. Bagi Linda, menggambar adalah satu-satunya aktivitas yang paling ampuh untuk membunuh waktu atau sekedar mengusir kebosanan. Kemampuannya memvisualisasikan imajinasi liar ke dalam bentuk gambar sangat tersohor seantero panti asuhan. Dan tentu saja yang terbaik.
Linda sangat menyukai bunyi gesekan ujung pensil saat mengecup kertas putih dan bau cat minyak yang menggelitik rongga hidungnya. Adiksi yang tidak lazim.
Biasanya, gadis berambut pirang itu lebih senang berada di luar—duduk di rerumputan, sambil bersandar di pohon apel—untuk mencari objek gambar yang menarik. Alam memang paling sering menyuguhkan inspirasi baru untuknya. Meski ia sendiri bukan tipikal seniman tematik. Apa pun dapat dijadikan objek. Termasuk para penghuni panti—tanpa pengecualian.
Namun, kali ini ia sedang ingin berada di kamarnya, berlindung dari terpaan hujan deras yang memukul-mukul tanah tanpa ampun. Langit berwarna kelabu walau waktu masih menunjukkan angka satu.
Jemarinya masih sibuk bergerak ke sana ke mari, menggiring pensil tersebut berlari tak tentu arah, mengguratkan hasil abstrak. Ia bahkan tidak tahu ia sedang menggambar apa. Sebentuk perasaan tak nyaman merayapi tengkuknya.
[Dan ia tahu dari mana sumbernya.]
Perlahan, Linda mengerling sedikit. Ekor matanya menangkap sebuah benda yang berdiri kukuh di belakangnya; tidak seperti yang biasanya ditempatkan di samping meja belajarnya karena tak muat lagi.
.
.
Lemari itu.
.
.
Kepala mungilnya digelengkan. Linda kembali memusatkan perhatiannya pada kerjaannya sedari tadi.
'Ini pasti hanya firasatku saja. Mungkin karena aku lapar.'
Tangannya bergerak lebih cepat dari sebelumnya, seperti ada yang memburu.
Linda menggigit bibir bawahnya.
Coret.
Coret.
Coret.
Berhenti.
Dengan cepat, Linda menelengkan kepalanya ke belakang. Tanpa alasan yang jelas, ia melempar pandangan ke lemari itu dalam-dalam. Matanya menyipit.
Sepuluh. Lima belas. Dua puluh.
Dua puluh detik berlalu dan ia masih bergeming, tetap menelisik lemarinya walaupun keadaannya masih sama seperti yang tadi—selain refleksi dirinya di cermin panjang yang terpasung pada sisi kanan pintu lemari.
Ia menghela napas, memutar lehernya ke depan.
Lagi, Linda menyibukkan diri mencoret-coret di atas kertas untuk menghalau pikiran irasionalnya. Hanya ada suara hujan dan sesekali petir bergemuruh yang menemaninya.
Jelas, ia berada sendirian di kamar.
Linda menggeliat di tempat duduknya. Ia tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana secara logis.
Tapi… tapi… Linda merasa ia tidak sendiri.
Dan perasaan ganjil itu terlalu jauh mengusiknya.
Pensilnya dibiarkan teronggok. Dua keping mata sewarna biji kopi memindai setiap sudut ruangan, merangkak ke langit-langit, dan bermuara pada satu titik—lemari itu, lagi.
.
.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
Tatap.
.
.
Tanpa sadar, Linda telah berdiri tepat di depan lemarinya.
Berada sedekat ini dengan benda mati tersebut, menyadarkan Linda bahwa lemari itu memang lebih besar dari perkiraannya. Cukup besar untuk memuat satu orang di dalam.
Tangannya terjulur meraih gagang pintu lemari. Linda menahan napas.
Ia menarik pelan dan—
.
.
.
.
Cklek
Pintu kamar dibuka tiba-tiba.
"Linda! Sudah waktunya makan siang. Cepatlah sebelum kau terlambat."
Tersentak, pegangannya terlepas. Seruan Sophie menyeret kesadaran Linda kembali pada tempatnya. Sophie berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Alisnya sedikit bertaut manakala temannya itu hanya mematung di depan lemari.
"Iya. Aku segera ke sana," sahutnya, kemudian berlalu meninggalkan lemari yang terkatup rapat.
.
.
Ruang makan riuh rendah seperti biasanya. Tidak ada peraturan konvensional yang melarang mereka bertukar cerita saat makan. Semuanya berkumpul dalam beberapa meja panjang, bersosialisasi satu dengan yang lain, menghangatkan suasana.
Tapi tidak kali ini bagi Linda. Semangkuk sup krim hangat tak mampu menghapus jejak kegelisahan dalam hatinya. Lamunannya masih melayang-layang entah ke mana.
"Kau makan sedikit sekali. Tidak lapar?" tanya Sophie dengan mulut yang dipenuhi makanan.
"Nafsu makanku hilang," jawabnya singkat.
Sophie memerhatikan tingkah Linda yang tidak biasanya ia jumpai. Cengiran lebar yang sering terpajang di wajahnya, kini telah memudar.
"Kau itu kenapa sih, Linda? Dari tadi kau kelihatan aneh," tanyanya penuh rasa penasaran.
Linda memainkan sendok dan garpu, menyuarakan dentingan kecil.
"Kau benar-benar ingin tahu meski ini di luar akal sehat?" Linda balik bertanya. Ekspresinya tetap datar dan tanpa nyawa.
Mendapati tanggapan absurd dari temannya, dahi Sophie mengerut. Ia sekarang malah menyesal telah bertanya. Tapi apa daya, nasi telah jadi bubur.
"Uh, yeah," Sophie menelan ludah.
Ditaruhnya kembali sendok dan garpu, berhenti mengaduh keduanya. Linda menatap lekat sepasang mata hitam jernih milik Sophie, membuat temannya itu makin keheranan.
"Sophie, aku… oke, aku tahu ini terdengar gila. Tapi—"
Linda mencondongkan tubuhnya mendekati daun telinga Sophie. Ia melirik ke kanan-kiri, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka.
Setengah berbisik, ia melanjutkan kalimatnya.
"Aku rasa lemari itu sedang mengawasiku."
.
.
.
.
Penerangan bola lampu di sepanjang koridor membantu pencahayaan di kamar itu kala malam menjemput. Tidak gelap, namun tidak pula terang. Linda menatap langit-langit kamarnya sementara ia mengingat kembali percakapan tadi siang.
.
.
"Kau tidak serius, kan? Maksudku, kau tahu, itu hanyalah sebuah lemari. Benda mati. Dan kau bilang lemari itu mengawasimu?" alis Sophie sedikit terangkat, matanya membelalak.
"Aku tidak sedang bercanda." Linda menekankan kalimatnya. Air mukanya berubah kesal. "Lemari itu seperti punya mata yang terus mengamatiku," ujarnya lagi.
Sophie memutar bola matanya. "Hmm, kalau begitu, siapa tahu di dalamnya ada makhluk-makhluk fantasi yang mau mengajakmu berpetualang di negeri antah-berantah. Kau terlalu banyak berkhayal, Linda."
Linda memalingkan wajah. "Sudahlah. Lupakan saja. Anggap saja aku tidak bilang apa-apa."
.
.
Gadis itu mendengus. Ia benar-benar kesal ketakutannya malah dijadikan lelucon oleh temannya sendiri. Meskipun ia tahu, Sophie tidaklah benar-benar sepenuhnya disalahkan. Siapa pun pasti tidak akan ada yang percaya akan apa yang diceritakannya.
Terlalu absurd. Tidak logis.
Linda berpikir, mungkin itu memang hanyalah firasatnya saja. Ia sekarang ingin tidur, melupakannya, dan bangun keesokan harinya lalu menjalani aktivitasnya sehari-hari seperti normalnya.
Matanya setengah terpejam ketika sebuah suara membuatnya kembali terjaga.
DUGH!
Linda terkesiap. Buru-buru, ia menarik selimut sampai ke puncak kepala, menutupi seluruh tubuhnya. Linda bertanya-tanya dalam hati bunyi apakah itu. Bisa saja itu adalah tikus yang berlarian di loteng.
Hening.
Dapat didengarnya degup jantungnya yang bertalu-talu tak keruan. Ia menajamkan pendengarannya.
.
DUGH!
DUGH!
.
Bunyi itu ini terdengar lebih intens dan… lebih dekat.
Tubuhnya agak bergetar. Takut, Linda menggigit jarinya pelan. Ujung jemarinya dingin dan basah karena keringat. Ia tidak berani membuka selimutnya. Paru-parunya terasa tercekat.
Cukup lama ia terdiam, menunggu kalau-kalau bunyi itu datang lagi.
Lagi-lagi hening.
Linda menghembuskan napas lega. Masih disertai rasa takut, ia sedikit menurunkan selimutnya sampai ke batas di mana sebuah lemari dapat terlihat.
.
.
.
.
.
.
Jeritannya tercekik di pangkal tenggorokan.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ia bersumpah melihat ada bola mata yang mengintip dari celah lemari itu.
.
.
.
(To Be Continued…)
.
Special Thanks: Bella Hamasaki, Eszett del Roya, Shia Zen, Nerazzuri, grimmjoe, Doppelganger's Doll, yukka-keehl, MairuLovesChocolatos, Li Chylee, Micon atas review-nya di fic sebelumnya. Dan juga untuk degaara dera atas review-nya di fic yang lain. :DD
.
A/N:
INI FIC MULTI CHAPTER PERTAMA SAYAAAA. UWOOO! #hebohsendiri
Maaf pendek. Saya paling gak bisa ngetik panjang-panjang.
Baru pertama kali bikin genre beginian. FAIL BANGET. Iya, saya tahu ;_;
Dan maaf juga bagi yang udah bosen dengan fic saya yang kebanyakan ber-setting Wammy's House ;A;. Yah, habisnya masih banyak yang bisa diangkat jadi cerita sih :|. Saya sebenernya paling malas bikin OC. Tapi kan gak lucu juga kalo panti asuhan itu isinya MMN plus Linda doang -_-
Fic ini terinspirasi dari kisah yang melegenda semasa saya masih di asrama, dulu. Dan membuat saya yang penakut ini sempat paranoid akan lemari.
Ehem, saya mau mengaku dosa (?). Fic ini saya buat tanpa tahu kelanjutannya kayak apa. Jadi, saya nggak janji bakal update cepat. Saya bahkan gak yakin bakal lanjut ._. #dibakar. Tetap saya usahakan kok.
.
Yaelah, bacotan saya jadi panjang.
Saya sangat membutuhkan komentar dari pembaca mengenai karya yang satu ini. Give me feedback, pleeeaaseee? ;;w;;
.
Edited: Terima kasih kepada Aratte atas koreksinya ;)
