Title: Ketiadaan Hansel
Rated: T
Disclaimer: kalau saya menukar semua fanfic yang saya punya, pak Horikoshi mau tidak ya ngasih Todoroki Shoto ke saya? #nggabakal
Genre: Action, romance, crime
Pairing: Human!Shoto x Vam!Deku, slight Kacchako
Warning: Shonen ai, typo(s), abal, AU, OOC (saya berharap tidak), mengandung unsur kekerasan baik verbal maupun fisik. Dan, oh! Saya juga terinspirasi sebagian dari Owari no Seraph, Twiligh, dan manga-manga lain yang berkaitan dengan vampir. Yah, bagaimanapun sayakan butuh referensi :v #buang
Oke, selamat membaca!
.
.
.
Saat itu umurku tujuh tahun.
Tersesat dalam gelapnya hutan angker berpohon lebat. Terus memaksakan langkah walau kaki bergetar menahan luka. Menulikan telinga terhadap suara lolongan serigala dan dengkingan burung hantu. Tak mempedulikan suara perut yang memecah hening diri sendiri. Aku meringis.
Aku iri dengan Hansel.
Yang mempunyai seorang Gretel dan segenggam roti.
Seperti yang diceritakan oleh ibu, Hansel dan Gretel keluar dari hutan dengan selamat setelah melawan penyi-
"Hee? Apa yang sedang dilakukan olehmu disini?"
Dan sontak aku menoleh. Demi mendengar suara asing ditelinga.
Aku melihat sesosok indah seorang lelaki. Dengan kemeja cokelat pudar yang anggun. Tersenyum indah menatapku.
...Seperti penyihir.
"Apa kau penyihir?" aku balas bertanya. Menatap serius.
Lelaki yang lebih tua dariku tersebut tertawa kecil. Menggeleng. "Aku bukan penyihir," kemudian berjongkok. Menyamakan tinggi denganku. "Sedang apa kau disini? Tersesat?"
Aku mengangguk. Lelaki di depanku tersenyum. Mengacak puncak kepalaku.
"Baiklah, mari kuantar hingga keluar dari hutan!" ia berdiri. Lalu menatapku. Meminta jawaban.
Kepalaku mengangguk sebagai respon. "Te-terima kasih. Tapi kakiku terluka,"
Lelaki itu menatap sejenak luka pada kakiku. "Hee? Hahaha, baiklah," ia memunggungiku kemudian kembali berjongkok. Memberi isyarat agar aku bisa digendongnya dipunggung.
Aku patah-patah naik. Melingkarkan kedua tanganku pada lehernya. Dan kedua tangannya menyangga tubuhku dari belakang.
Beberapa detik setelah itu, ia kembali berdiri dengan membawa beban tubuhku. Lalu berjalan menyusuri hutan.
Orang ini, seperti memiliki bau harum yang ganjil. Badannya pun tak terlalu terasa hangat. Namun terasa nyaman. Apa penyihir yang bertemu dengan Hansel juga begitu?
Terasa nyaman namun ganjil.
"Kenapa kau bisa berada di sini, sih? Bukannya kedua orang tuamu sudah sering mengatakan bahwa hutan ini dihuni moster?" ia memecah keheningan.
"Aku lelah berlatih," tanganku mencengkeram kemeja lelaki itu. "Ayahku selalu memaksaku,"
"Waah, Kau pasti jadi orang yang hebat kelak," lelaki yang ternyata mempunyai rambut dengan warna hijau tua -sinar bulan membuat warnanya jelas- itu berkata dengan suara riang.
Aku mengangguk. Lalu tanpa sadar menguap lebar. Lelah dan kantuk menerpaku.
"Mengantuk ya?" ia mendengus geli. Aku bergumam sebagai jawaban. "Tidur saja, kau pasti lelah,"
Kali ini aku menggeleng. "Aku masih ingin melihat-lihat hutan,"
Lelaki itu mendesah. "Hei, biasanya disini banyak kunang-kunang, loh!"
Aku berbinar. Itu menakjubkan! "Benarkah?!"
Kemudian ia bercerita tentang musim kunang-kunang yang biasanya muncul pada musim panas. Sayangnya, sekarang masih pertengahan musim semi. Aku mendengar ceritanya dengan tatapan kagum.
Detik demi detik melaju. Membiarkan aliran waktu menjadi sinkron dengan dengan jarak langkah lelaki itu. Titik-titik lampu kota mulai terlihat dari celah-celah pohon. Kami hampir keluar dari hutan.
"Apa kakak tidak takut pergi kehutan malam-malam?" aku bertanya. Berusaha melihat wajah tersebut. "Nanti ada penyihir,"
"Penyihir? Pfft-" orang itu tertawa hingga punggungnya bergetar. "Kalau ada, mungkin penyihir itu yang kumakan!"
Aku ikut tertawa.
Setelah itu kami terus bercanda hingga sampai pada perbatasan kota. Lelaki itu menurunkanku. Tersenyum.
"Setelah ini pasti ada yang menjemputmu." Ucapnya sambil menatapku. "Jadi maaf aku tak bisa mengantarmu hingga sampai kerumah,"
"Terima kasih, kak," Aku membungkuk. Hasil dari ajaran sopan santun Ibu. "Tidak masalah. Aku masih bisa jalan sendiri."
"Oh ya, omong-omong, aku belum tahu namamu," ia menatapku sambil tersenyum.
Dibawah sinaran lampu, aku dapat melihat wajahnya lebih jelas. Wajahnya kuning sedikit pucat. Dengan kornea berwarna hijau gelap. Namun-
Walaupun wajah itu mengukirkan senyum yang hangat-
"Todoroki Shoto," Aku menatapnya.
-Tapi matanya terlihat hampa.
Dan ia tertegun sejenak. Lalu tersenyum. Mengusap puncak kepalaku. "Sepertinya aku tak dapat bertemu denganmu lagi,"
"Kenapa-"
'SHOOTOOO!'
Hingga suara kakak perempuanku dari kejauhan terdengar. Membuatku menoleh.
Aku kembali memalingkan wajahku. "Kakak-"
Dan ia sudah tak ada.
.
.
.
Dunia ini terbagi menjadi dua makhluk berakal. Manusia dan vampir.
Manusia hidup ditengah-tengah cahaya. Sedangkan vampir hidup dalam bayang-bayang kegelapan.
Sayangnya, vampir tak dapat hidup berdampingan dengan manusia. Karena peringkat vampir adalah predator manusia.
Maka, manusia yang mempunyai akal dan ambisi, memutuskan membentuk satuan pembasmi vampir.
Dua ratus tahun setelah itu, keberadaan vampir semakin langka. Dikarenakan jumlahnya yang terbatas namun berumur lama. Sayangnya, keberadaan mereka semakin mengkhawatirkan. Membuat hubungan antara vampir dan manusia kian memburuk.
Dan dalam seratus tahun terakhir, keberadaan vampir semakin meresahkan. Namun jumlah mereka tak bertambah dengan drastis.
Vampir, yang sebenarnya juga bisa meminum darah lain selain manusia, merasa terganggu dengan kehadiran manusia yang begitu menyalahkan dan menyerang. Maka dalam seratus tahun terakhir itulah-
Manusia dan vampir resmi tak dapat disatukan.
.
[Tahun 20xx, Kota x, Jepang]
Seorang lelaki berumur 20 tahun berjalan tanpa ragu. Tak mengindahkan barang sedetik para wartawan yang berusaha mewawancarainya.
"Todoroki-san! Apa pendapat Anda tentang vampir?"
"Bagaimana Anda mengalahkan delapan vampir sekaligus?"
Hingga sampai lelaki berhelaian hetero setengah merah dan setengah putih itu pada mobil yang menjemputnya. Ia melirik sekilas. Berkata tegas dan dingin.
"No comment," lalu menutup kaca jendela mobil.
"Tunggu, Todoroki-san!"
"Todoroki-san!"
Sayangnya, mobil dengan lelaki bermarga Todoroki itu terlanjur melaju. Pergi meninggalkan selusin wartawan yang mendesah kecewa dan mengusap keringat didahi.
Lelaki dengan helaian hetero itu melirik sekilas para wartawan, kemudian menyandarkan punggungnya dengan nyaman pada jok mobil.
"Shoto-sama ingin pergi kemana?" sang supir bertanya dengan sopan. Menatap Todoroki melalui spion depan.
Todoroki mengambil minuman kaleng dari dalam ranselnya. "Menuju tempat kejadian perkara,"
Sang sopir menjawab dengan anggukan. Lalu tak bertanya kembali. Sedangkan Shoto yang juga malas melanjutkan obrolan, memilih menatap keluar jendela.
Diluar sana, banyak terpampang wajahnya. Pada papan reklame, layar televisi ukuran besar yang tengah menyiarkan berita tentangnya ditengah kota, hingga surat kabar elektronik.
Membuat Todoroki jengah.
Beritanya selalu itu-itu saja. Seorang Shoto dari keluarga Todoroki yang belum genap berusia 20 tahun namun sudah masuk dalam pasukan elit pembasmi vampir.
Todoroki mendesah dalam hati.
Kemudian menatap pantulan dirinya pada jendela mobil. Memperhatikan bekas luka bakar pada wajah sebelah kirinya. Luka itu disebabkan oleh ayahnya. Karena berontakan dirinya yang ingin menemui ibunya dan mendapat larangan tak beralasan dari ayahnya. Todoroki merasa semakin menjadi orang yang buruk.
Membuatnya jengkel terhadap berita-berita tentang dirinya.
Namun dilain sisi, sinar bulan menembus masuk dengan lembut. Todoroki memilih menatap bulan itu. Kemudian teringat sesuatu.
Seorang lelaki dengan kulit pucat. Tersenyum cerah namun dengan tatapan hampa.
Todoroki kembali mendesah dalam hati untuk yang kedua kalinya. Saat itu umurnya hanya tujuh tahun. Apa yang bisa kau harapkan dari seorang bocah dengan umur segitu?
Dan diumurnya yang ini, ia mencoba menarik tirai itu.
'Lelaki yang menolongku waktu itu adalah seorang-'
Ia kembali menatap jendela.
'Manusia, huh?'
Dan Todoroki memilih untuk menutupnya kembali.
.
"Para vampir akhir-akhir ini semakin mengganas. Dalam bulan ini saja sudah lebih dari 15 orang menjadi korban," Tsukauchi, seorang penyelidik dari kepolisian membacakan isi laporan. Kemudian menatap remaja didepannya. "Dan ini adalah mayat ke 17 bulan ini,"
Todoroki mengangguk. Menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Lalu kembali menatap dua orang onggokan mayat.
Posisinya tertelungkup bersama. Seperti barang yang sudah dibuang. Dipojok gang buntu dengan dinding tinggi. Membuat kedua mayat tersebut baru ditemukan dua hari kemudian setelah kematian.
Sang helaian hetero berjongkok, demi mengamati lebih jelas. Kedua mayat itu, yang teronggok seperti sampah, mati mengenaskan dengan wajah dan tubuh membiru. Kehabisan darah. Dengan cara yang tiba-tiba. Terlihat sangat mengerikan seperti dalam film zombi.
Todoroki menggeram saat menyadari sesuatu. Vampir yang ini benar-benar melecehkan umat manusia. Lihatlah! Pakaian korban masih tetap rapi tanpa kusut sedikitpun. Bahkan gaun putih lebar milik korban wanita tidak kotor walau posisi mereka terlihat seperti onggokan sampah. Namun pada dinding dan lantai tempat kejadian, banyak terdapat cipratan darah.
Seperti sengaja dilakukan untuk meninggalkan jejak.
Bajingan!
Kedua alis Todoroki menaut. Demi memikirkan sesuatu. Berpikir. Berpikir. Berpikir! Semua ini adalah petunjuk. Baik disengaja maupun tidak. Dalam beberapa menit, kemudian kembali berdiri. Menatap lelaki kepolisian bernama Tsukauchi tersebut.
"Ada apa, Todoroki-san?" Tsukauchi memasang raut tak mengerti.
"Hei, Tsukauchi-san, aku punya sebuah ide. Namun-" Dan tatapan manik heterochrome tersebut menjadi lebih tajam dan serius. "Bisakah kita hadapi ini hanya berdua?"
Tsukauchi merasakan hembusan angin menerpa wajahnya.
Pukul setengah dua belas malam. Angin berhembus semakin kencang. Sinar bulan menerobos masuk semakin terang. Hening. Sepi. Senyap. Para warga dan masyarakat tentu saja akan berpikir ulang jika ingin keluar pada jam ini hingga ufuk timur menjelang.
Malam adalah wilayah vampir.
Manusia, yang takut akan kegelapan hanya akan memandang dari jauh. Bersembunyi ditempat terang. Penakut? Bukan. Memang seperti itulah sifat manusia. Toh vampir juga takut pada sinar rekahan dari matahari.
Dalam gelapnya malam yang seperti itu, seseorang berlari menerobos jalanan. Mendekap jaket cokelatnya yang sudah ditutup dengan resleting. Tudung jaketnya dipakai menutup kepala. Terengah. Sesekali ia menoleh kebelakang. Demi melihat sekitar empat orang pengejarnya.
Orang itu tengah dikejar. Oleh empat orang asing –jika meraka masih bisa disebut manusia- bertudung hitam. Si jaket cokelat berbelok masuk kedalam sebuah gang.
"Dasar bodoh!" salah satu pengejar menyeringai. Menatap rekannya yang lain.
Kaki-kaki pemakai jaket tersebut mulai hilang daya. Beberapa kali hampir tersandung. Hingga korban tersebut berhenti berlari. Menatap kedepan dengan penuh ketidakpercayaan. Ia menggigil. Menulikan detak jantungnya yang berpacu dengan sangat cepat. Demi melihat apa yang berada didepannya.
Jalan buntu.
Kemudian dengan cepat pula ia menoleh kebelakang. Tersentak saat tahu vampir-vampir itu sudah lima meter dibelakangnya.
"Tidak..." jantungnya berpacu lebih cepat. Keringat menetes. "Jangan..."
"Ara~ ara~ ternyata manusia memang sebodoh ini," salah satu vampir maju selangkah dua langkah.
Manusia tersebut merespon mundur dengan jarak yang sama. "Ja-jangan mendekat!"
Membuat ketiga lainnya ikut melangkah maju. Manusia itu semakin melangkah mundur.
"Jangan, kumohon!"
Dan yang didapatinya adalah keempat vampir tersebut malah melompat hendak menyerangnya bersamaan. Manik sang jaket cokelat membulat sempurna.
"TIDAAAAAKKK!"
Dan satu suara pistol yang merobek kulit terdengar parau. Membuat satu vampir tumbang.
"Apa-" kemudian tiga lainnya berhenti. Menoleh kearah sumber tembakan.
Dalam sepersekian detik, salah satu temannya telah menjadi abu?!
"Yah, tak kusangka bahwa vampir seidiot itu,"
Lelaki itu, dengan warna manik heterochrome blue sapphire-abu-abu, yang telah menunggu dengan sabar diatas bangunan samping kanan. Menyeringai mendapati mangsanya yang tengah terjebak.
"Bangsat-"
"Are? Kan aku sudah bilang untuk tidak mendekat, tuan vampir." Manusia dengan jaket cokelat tersebut membuka tudungnya. Seorang penyelidik kepolisian.
Tsukauchi Naomasa
Vampir-vampir tersebut mendecih. Lihatlah, tepat didepan mereka dua orang manusia yang tengah diperbincangkan didunia vampir sebagai ancaman.
Vampir yang berada di posisi paling tengah mendengus geli. Kemudian menarik lepas tudung hitamnya. Memperlihatkan wajahnya dengan helaian pirang panjang yang diikat dibelakang. Vampir yang ternyata lelaki itu, mengenakan setelan kemeja cokelat pudar bergaris.
"Wah, wah... biarkan saya memperkenalkan diri," lelaki vampir itu membungkuk tinggi sembari menaruh sebelah tangannya didepan dada. Berpose sopan namun menyebalkan. "Nama saya Makidielle, seorang bangsawan,"
Lalu dua orang yang tersisa juga membuka tudungnya. Memperlihatkan sosok mereka. Seorang lelaki lain dan seorang perempuan.
Bayang-bayang bulan terlihat jelas. Purnama.
"Dan saya tidak yakin Anda akan menang melawan saya," vampir itu menyeringai. Taringnya yang tidak wajar bagi manusia berkilau dibawah sinar bulan. Seakan-akan siap menyerang.
Namun seringai itu dibalas dengan seringai yang lain. sang helaian hetero balik menyeringai. Dengan tatapan yang lebih mengerikan.
"Saa~"
Suara besi berbenturan terdengar sangat keras. Todoroki kembali menembakkan peluru yang didesain khusus untuk membunuh vampir. Namun vampir yang memperkenalkan dirinya sebagai Makidielle itu menghindar dengan gesit. Membuat pelurunya terbuang sia-sia. Dibalas dengan lemparan tiga buah pisau kecil berwarna putih. Todoroki malah berlari. Melangkah maju. Balik menyerang disela-sela menghindari tiga belah pisau beracun.
Dilain sisi, Tsukauchi berusaha mengimbangi dua vampir lainnya. Lelaki berhelaian hitam pendek tersebut menelan ludah. Iya sih, dua yang lain memang lebih lemah dibanding dengan vampir bangsawan yang dihadapi oleh Shoto. Namun bagaimanapun juga kalkulasi jumlah dengan kekuatan mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan Tsukauchi.
'Aku seharusnya memang memanggil bala bantuan,' Tsukauchi menyesal dalam hati. Terus menghindari serangan dari dua orang didepannya. Tapi jika ia memanggil bantuan, maka kasus ini akan melebar dan memakan semakin banyak korban. Vampir dari kalangan bangsawan bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi.
Lagi-lagi Tsukauchi menghela napas.
Baiklah, waktunya untuk serius. Pedang pendek milik Tsukauchi tiba-tiba terhunus maju. Salah satu vampir terkena serangan tersebut. Membuat paha sebelah kanannya terluka. Vampir sisanya menggeram, lalu bersiap menembakkan timah panas.
"Matilah-" jarak yang sempurna untuk menghabisi penyelidik didepannya. "AKH!"
Suara retakan tulang terdengar. Todoroki lebih dahulu menusuk leher bagian belakang vampir tersebut dengan pisau perak.
Vampir itu mengerang dengan keras. Kemudian menghilang menjadi abu.
Makidielle menghela napas. Tak ada penyesalan dalam raut wajahnya. Bagaimanapun hatinya telah mati.
'Bagaimana caraku untuk kabur?' ia berpikir cepat. Menentukan langkah berikutnya.
Di lain pihak, Todoroki berkali-kali menyerangnya dengan pistol. Membuat kosentrasinya terbelah menjadi dua. Meskipun Todoroki juga tak akan melewatkan kesempatan ini.
Sang helaian hetero melirik sejenak Tsukauchi, 'Bagus, ia masih bertarung,' pikirnya dalam hati.
Dengan langkah cepat, Todoroki kembali menekan pelatuk pistol tanpa henti. Membuat vampir bangsawan didepannya mendecih sebal. Balas melemparkan empat buah pisau. Todoroki jelas melangkah mundur demi menghindari serangan tersebut.
"Mundur!" vampir bangsawan tersebut melompat naik. Memerintahkan anak buahnya yang tersisa untuk mundur.
Namun manik hetero tersebut tak ingin menyerah. Demi itu ia kembali merangsek maju. Menggenggam erat pistolnya kemudian menembak dengan cepat dan akurat. Tembakan itu, meluncur tepat kearah tubuh sang vampir bangsawan. Makidielle menoleh.
"Makidielle-sama!" namun tidak. Peluru tersebut mengenai tubuh bawahan sang bangsawan.
Tubuh perempuan vampir itu menggelepar. Merasakan panasnya peluru perak yang menembus tubuhnya. Dengan sisa kekuatan, ia mendorong atasannya. Dengan raut wajah yang mengatakan 'Pergilah!'
Makidielle mengangguk. Kemudian melompat melewati tembok tinggi. Dan sang vampir perempuan mati. Hilang menjadi abu.
Todoroki hendak mengejar. Namun tangan Tsukauchi menahannya. Demi melihat gelengan tegas pada raut Tsukauchi, Todoroki memilih mengalah.
"Bajingan," dengan tambahan kata-kata umpatan.
Malam berlalu. Kota itu, tidak berbeda jauh dengan tiga belas tahun lalu. Saat Todoroki kabur kedalam hutan. Angin menembus kota. Menubruk Todoroki yang tengah berjalan di tengah kota. Ia melirik jam tangan, pukul empat dini hari. Lelaki itu baru saja menyelesaikan laporannya atas pertarungannya beberapa jam lalu. Berharap segera pulang menuju apartemennya karena kemeja yang tengah dikenakannya saat ini sudah basah kena keringat dan darah. Namun-
Manik hetero tersebut menyempatkan diri melihat keatas. Demi sang bulan purnama yang muncul dengan eloknya.
"Purnama," ia berbisik. Menghayati setiap momen.
Berdiri di tengah trotoar, dilewati pedagang yang telah lalu lalang. Matahari memang belum muncul, namun kegiatan jual-beli sudah mulai bersiap.
Dalam setiap momen beberapa menit Todoroki dengan purnama, ia selalu mencari sosok lelaki yang telah menolongnya saat itu. Todoroki selalu mencari. Mencari. Dan mencari. Menunggu saat-saat dirinya bertemu dengan lelaki itu.
Angin kembali berhembus.
'Ada, huh? Seorang Hansel yang ingin bertemu kembali dengan Sang penyihir?'
Dan Sang Shoto memilih melanjutkan perjalanannya. Berjalan dengan langkah konstan. Menembus dinginnya udara pukul empat pagi.
[Dua hari kemudian]
Seorang perempuan berkacamata melangkah dengan konstan. Menimbulkan gema kecil dalam lorong lantai kayu. Membawa sebuah map berukuran sedang berwarna cokelat. Terus melangkahkan kakinya hingga sampai pada ruang yang dituju olehnya.
Ruang itu, sungguh besar untuk ukuran sebuah kamar. Maka empunya memilih menambahkan rak-rak buku ukuran besar, meja, dan alat-alat lain. Membuatnya menjadi semacam kantor yang ada tempat tidurnya. Bedanya, lantainya tetap beralaskan tatami -semacam tikar anyaman- dan pintunya pun pintu geser. Bagaimanapun juga ruang itu adalah salah satu bagian dari rumahnya.
Disana, seorang lelaki dengan singlet berwarna hitam tengah membaca sebuah buku diatas tempat tidur. Disebelahnya, terdapat sebuah rak yang menggantung didinding. Tempat lelaki dengan helaian hetero tersebut meletakkan secangkir kopi.
"Shoto-kun," perempuan itu memanggil. Tersenyum.
Lelaki bernama Shoto tersebut menoleh, "Kak Fuyumi? Ada apa?"
Fuyumi, nama perempuan itu, maju mendekat. Kemudian mengulurkan sebuah map yang sedari tadi dipegangnya. "Ini, misimu selanjutnya,"
"Hm?" Shoto mengangguk. Mengambil map cokelat tersebut. Kemudian membukanya.
Fuyumi memutuskan duduk disamping sang adik. "Hutan dibelakang kota kita, akan menjadi tempat misimu selanjutnya. Itu kata ayah. Juga disudah disetujui oleh kepolisian. Kau bisa mengajak aku atau Tsukauchi-san jika mau,"
Sang adik membaca sekilas data-data dan isi dari kertas yang diberikan oleh Fuyumi. Secara garis besar, hutan itu telah dicurigai adanya sekelompok bangsawan yang tengah mengintai para manusia.
"Kapan aku bisa memulai misi ini?" Shoto menatap sang kakak.
"Kau bisa mulai sekarang jika ingin," Fuyumi melirik jam tangannya. "Masih pukul 2 siang,"
Sang helaian hetero mengangguk. Membaca lebih teliti kertas ditangannya. Berpikir bahwa pukul 3 nanti ia bisa sekadar observasi kesana. Toh sore bukanlah pilihan yang buruk.
Akhirnya Shoto mengatakan bahwa ia akan observasi ringan satu jam lagi. Fuyumi mengangguk sebagai tanda persetujuan. Namun sayangnya perempuan itu tak bisa menemani hari ini. Karena ia harus memberikan laporannya pada pihak kepolisian tentang misinya kemarin. Shoto tersenyum simpul. Bukan masalah besar.
"Ah, jadi ingat dulu," Fuyumi tersenyum lebar. "Saat kau hilang didalam hutan itu,"
Aah, andai saja kakaknya tahu bahwa sang adik tak pernah lupa sekalipun kejadian itu.
Pukul setengah enam sore. Itulah deretan angka yang ditunjukkan oleh jam tangan sang Shoto. Membuatnya mendecih. Adanya perbaikan jalan mengharuskannya memilih jalan memutar untuk mencapai hutan berbukit dibelakang kota. Dan yang lebih membuat dirinya kesal adalah-
Ia tak bisa melewati jalan dimana dulu ia diantar lelaki berhelaian hijau tua itu.
Bernostalgia sedikit boleh kan?
Ia mendesah, menutup pintu mobilnya yang berwarna hitam legam. Well, toh pada akhirnya ia sudah berada dalam radius lima ratus meter dari pinggir hutan. Bagaimanapun ia tak boleh terlalu dekat dengan hutan tersebut.
Todoroki mengeratkan raincoatnya. Mengecek barang bawaannya, yang terutama alat pertahanan diri. Kemudian menatap dengan intens hutan didepannya.
Menghitung mundur dari 3 dalam hati. Menarik napas. Kemudian berlari dengan kencang namun tanpa suara menuju kedalam hutan.
Lelaki itu terus berlari masuk. Melewati pepohonan dengan vepat. Menghiraukan beberapa hewan kecil yang berlari ketika ia melaju. Hingga-
'Tempat ini-' Todoroki berhenti.
Ketika ia menemukan tempat dimana ia pertama kali bertemu lelaki berhelaian hijau itu.
Todoroki terengah sejenak. Bekas berlari. Kemudian melangkah maju menuju pohon terdekat. 12 tahun berlalu dan sekarang pohon itu menjadi lebih besar. Todoroki memegang batang pohon tersebut. Bernostalgia.
Dalam hanyutan nostalgianya, samar-samar ia mendengar suara langkah terburu-buru. Membuatnya menoleh.
Sekitar jarak 100 meter dari dirinya, seseorang tengah berlari tergesa-gesa menuruni bukit sembari mendekap sesuatu. Dalam beberapa belas meter kemudian, ia disusul oleh seekor kelelawar.
Todoroki terkesiap.
Kelelawar itu adalah perwujudan dari kamera milik bangsa vampir. Itu artinya-
Orang yang tengah dikejarnya adalah seorang manusia?!
Begitu tersadar, Todoroki sudah berlari mengejar. Otaknya dengan segera menyusun strategi untuk membebaskan orang itu dari kejaran kamera tanpa kerusaknya. Kerusakan pada kamera tersebut akan berdampak pada pengintaiannya.
Akhirnya sebuah ide terlintas dalam benak Todoroki. Lelaki itu langsung berlari lebih cepat. Mendahului seseorang itu tanpa mendekat kearahnya. Kemudian memberikan isyarat, 'Ikuti aku tanpa ketahuan'
Seseorang dibelakang kanan Todoroki yang jelas bingung, namun mengangguk perlahan, memutuskan ikut. Membuatnya terus berlari menuruni bukit.
Hingga jejeran pohon terakhir, seseorang itu kehilangan sosok Todoroki. "Bagaimana ini?" ia berbisik panik. Demi melihat kelelawar itu masih mengejar.
Beberapa detik setelah itu ia keluar dari dalam hutan. Sampai kelelawar itu keluar menyusul, sebuah lampu sorot terarah pada kamera tersebut. Membuatnya berdiam karena tertusuk cahayanya.
Seseorang itu melihat dan berhenti berlari. Menghela napas lega. Namun, sebuah tangan yang kokoh menariknya.
"Kita harus pergi, lampu sorot itu hanya akan menahannya hingga beberapa menit!" Todoroki terus berlari sembari menarik orang dibelakangnya.
Mereka terus berlari hingga tak menyadari bahwa matahari sudah hampir terbenam.
Akhirnya mereka memasuki area 'milik' manusia. Dan dalam jarak seratus meter kurang dari perbatasan, Todoroki menarik orang itu menuju sebuah pohon lalu memakaikannya jaket milik sendiri. Kemudian menaruh kedua lengannya disamping orang tersebut. Tudung merah dari baju orang itu membuatnya tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Tatap aku," ujar sang helaian hetero.
Lalu Todoroki mendekatkan wajahnya hingga hidungnya menempel pada wajah orang didepannya. Terlihat seperti menciumnya namun tak menempel. Manik Todoroki tetap awas melirik arah kamera itu akan datang. Benar saja, sepersekian detik berikutnya kamera tersebut datang. Todoroki menempelkan tubuhnya lebih dekat.
"Hnng!" membuat orang didepannya merasa sesak dan tidak nyaman.
Kamera itu berhenti.
Todoroki bersiap menanti resiko dan hasil dengan berdebar.
Beberapa detik terlewat.
Namun akhirnya kelelawar itu berputar dan kembali memasuki hutan.
Hingga benar-benar merasa aman, sang manik hetero melepaskan dirinya pada orang didepannya.
Dan tersadar atas apa yang dilakukannya-
"Maaf, kau pasti kaget." Todoroki segera menjauh. "Well, daerah sini terkenal karena hal seperti ini, jadi-"
Tanpa disangka, orang itu menggeleng. "Terima kasih,"
Lalu menurunkan tudungnya. Menatap Todoroki.
Todoroki membulatkan maniknya. Begitu pula dengan orang didepannya.
Orang itu. Seseorang dari 13 tahun lalu. Yang selalu berada dalam otak Todoroki. Membuatnya tak dapat melupakan lelaki itu. Helaian hijau tuanya. Kulit kuning pucatnya. Manik hijau yang senada. 12 tahun Todoroki menunggu.
Dan sekarang? Ia kembali. Muncul dihadapannya.
"Kau-" Sang manik hetero terkesiap.
"Todoroki..." orang didepannya menahan napas.
"Shoto-kun,"
Dengan kurang ajarnya, BERSAMBUNG :v
A/N
Hola-hola, saya kembali~ terima kasih telah membaca fic ini #membungkuk yaaah, bagaimanapun, sepertinya fic ini chapnya bakal dikit, kok. Paling Cuma sekitar 3 atau 4 aja. Semoga waktu chap terakhir, sampe di deadlinenya OF_ATODODEKU ya?
Saya juga sangat berterima kasih pada Rinadesu yang mengeditor dan memberikan saya suntikan semangat.
Well, saya sangat mengharapkan review, terutama kritik dan saran dari Anda sekalian para penghuni fandon BnHA #buang
Asheera W
Mind to RnR?
