"Hana Kotoba"
Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Rated : T
Warning : OOC and anything
.
.
.
Story by :
Alice Klein and Sukikawai-chan
.
.
Happy Reading :D
White Periwinkle
"Nee, melupakan sebuah kenangan itu, bagaimana rasanya?"
.
.
Kise Ryouta menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Ia mendongak, menatap ranting-ranting pohon di atasnya dengan seksama. Aah…musim dingin mulai berakhir. Titik salju yang menumpuk di antara dahan-dahan, atap rumah juga aspal jalanan mulai mencair. Sinar matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suhu di udara mulai menghangat. Suasana kehidupan mulai terasa dan berwarna. Tidak putih.
Musim semi sepertinya akan tiba.
Musim semi, Kise terkekeh geli dalam hati. Semua orang suka musim semi, Kise tahu itu. Semuanya, terkecuali dirinya. Ya, hampir semua orang tidak tahu kalau sebenarnya Kise Ryouta tidak menyukai musim semi. Ah, tidak-tidak, Kise bukannya membenci musim semi. Ia hanya tidak suka dengan serangga-serangga yang selalu hinggap pada setiap bunga dan pohon, terutama ulat bulu. Terdengar konyol, memang.
"Kenapa senyum-senyum sendiri, Kise-kun?"
Laki-laki bersurai pirang itu menoleh ke arah sumber suara. Sedikit terkejut ketika mendapati seseorang duduk di bangku taman tepat di sebelahnya. Begitu mengenali orang itu, seulas senyum lebar tersungging di wajahnya. Sudah menjadi ciri khas pemuda bermata biru langit itu datang tanpa disadari seseorang. Untuk Kise sekalipun.
"Oh! Kurokocchi! Sejak kapan ada di sini?" Kise selalu seperti itu. Tidak pernah menyembunyikan rasa senangnya ketika bertemu dengan seorang Kuroko Tetsuya. Pemuda yang kini duduk di sampingnya.
"Beberapa menit yang lalu. Tepat ketika aku melihat Kise-kun senyum-senyum sendiri," sahut Kuroko kalem. Sama sekali tidak menghilangkan raut wajah datarnya.
Kise tertawa renyah, "Aku tersenyum karena aku senang-ssu!"
Sepasang alis Kuroko terangkat, namun sama sekali tidak berniat untuk membalas atau membantah. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Tepat memandang sekumpulan anak-anak yang bermain di taman kota sore itu. Menikmati setiap detik dengan penuh keheningan.
Kuroko mendesah pelan. Jujur saja, ia sangat tidak tahan dengan hawa yang dingin. Musim semi sebentar lagi datang, tapi itu berarti musim dingin belum berakhir. Kesal karena rasa dingin yang secara perlahan merayap di sekujur tubuhnya, Kuroko mengangkat kedua tangannya, meniupnya agar uap hangat dapat menjalar ke telapak tangannya, setelah itu menggosoknya pelan. Kenapa tubuhnya selalu seperti ini ketika menghadapi hawa dingin?
Kuroko sama sekali tidak sadar kalau sejak tadi Kise tengah mengawasinya. "Kurokocchi kedinginan?"
"Eh?" kembali Kuroko meniup kedua tangannya lalu menggeleng, "Aku hanya tidak kuat dengan suhu dingin, Kise-kun." Selesai berkata seperti itu, Kuroko bangkit berdiri. Bersiap untuk pergi. "Sepertinya aku harus pulang sekarang,"
Namun tangan Kise tidak pernah menyerah untuk menggapai pergelangan tangan kecil yang terasa dingin itu. Awalnya Kise melakukannya secara refleks, tapi ia tahu kalau semua itu hanya untuk menahan langkah kaki pemuda bersurai biru tersebut.
"Aku ingin mengantar Kurokocchi,"
"Tidak perlu, Kise—"
"Tapi aku ingin mengantar, Kurokocchi-ssu!" Sela Kise kemudian, keras kepala. "Sini, kupinjamkan sakuku."
Kuroko mengangkat alis. Sebelum ia sempat bertanya apa maksud Kise, laki-laki itu menggenggam tangannya lebih erat lagi dan memasukkan tangan mereka berdua ke dalam saku jaket. Menjejalkan kedua tangan mereka dalam satu kehangatan yang sama.
"Bagaimana? Lebih hangat, bukan?"
Kise tidak perlu jawaban. Hanya melihat seulas senyum tipis di wajah datar Kuroko Tetsuya sudah menjawab segala pertanyaannya. Mereka berdua mulai berjalan beriringan. Di bawah guguran bunga yang mulai mekar dan menyatu dengan lelehan salju. Menikmati detik-detik berubahnya musim.
Musim dingin dan musim semi, bukankah itu senada?
"Kise-kun," suara Kuroko memecah kehingan yang beberapa detik tercipta. Kise menoleh, menatap langsung sepasang baby blue yang selama ini dikaguminya.
"Hm?"
"Ada sesuatu di atas kepala Kise-kun,"
Kedua bola mata Kise melebar, "Eh?! Apa itu-ssu?! Apakah ulat bulu?!" panik, tentu saja. Laki-laki itu akan panik jika menemukan binatang berbulu itu hinggap di kepalanya.
"Kemari…" Kuroko meminta Kise untuk menunduk sedikit. Ia bisa merasakan tangan Kuroko yang mengusap puncak kepalanya, mengambil sesuatu. Dan begitu melihat apa yang diambil Kuroko tadi, Kise tertegun sejenak. Menatap kelopak-kelopak yang berwarna putih.
"Bunga white periwinkle," Kuroko terkekeh geli. "Ini yang ada di atas kepala Kise-kun,"
Kise mengerjapkan matanya, "Hanya bunga? Kukira ada ulat bulu-ssu!"
Kembali Kuroko terkekeh, "Ne, Kise-kun. Apa kau tahu makna dari bunga ini?"
Satu kalimat pertanyaan yang berhasil membuat penasaran Kise timbul. "Memangnya apa?"
Wajah datar itu tersenyum, "Makna dari bunga ini…"
.
"Kenapa rasanya, waktu berlalu begitu cepat ketika kita bersama?"
.
"Kise! Hoi! Kise Ryouta!"
Kedua bola mata madu itu mengerjap sebentar, terdiam sesaat, setelah itu kembali mengerjap. Dilihatnya Kasamatsu tengah melambaikan tangan tepat di depan wajahnya, meminta perhatian.
"Ah, Senpai, ada apa?"
"Kenapa bertanya?! Kau ini kenapa melamun di tengah jalan?!"
Kise tertegun. Melamun? Sejak kapan? Lalu….yang tadi itu…hanya kilasan balik masa lalunya? Aiish! Kise menggelengkan kepalanya cepat. Tidak…tidak…mengapa harus kenangan itu yang diingatnya sekarang ini?! Batinnya, kesal.
Namun semua itu kembali menghilang ketika kedua matanya menangkap sosok seseorang. Ah, itu dia. Mengapa waktunya cocok sekali. Mendapati sosok itu berjalan tidak jauh darinya kembali mengingatkan Kise akan kilasan balik yang baru saja melintas dalam benaknya.
Tanpa mempedulikan panggilan Kasamatsu, tanpa menghiraukan hawa dingin yang merayapi tubuhnya, kedua kaki Kise terus melangkah menuju sosok itu. Sosok yang kini sedang berjalan bersama para anggota tim-nya. Begitu langkahnya sudah dekat, ia langsung menarik pergelangan tangan pemuda berambut baby blue yang memang menjadi sasarannya. Sedikit terkejut ketika mendapati dirinya ditarik seseorang.
"Eh? Kise-kun?"
"Bisa ikut aku sebentar, Kurokocchi?"
Lagi-lagi Kise tidak mempedulikan semuanya. Bahkan ia tidak mendengar ketika pemain cahaya Seirin memanggil namanya kesal. Ia terus menarik lengan Kuroko untuk mengikutinya. Menjauhi kerumunan.
"Ada apa, Kise-kun?" tanya Kuroko begitu ia berada di tempat yang sepi.
"Aku sudah tahu-ssu! Makna bunga itu!"
Kening Kuroko mengerut. Tidak mengerti. Namun semua itu mulai terjawab ketika Kise merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan sesuatu. Telapak tangannya terulur di depan wajah Kuroko. Menampakan sebuah bunga kering yang mulai layu, namun masih memiliki keindahan di dalamnya.
"Bunga white periwinkle," Kise tersenyum lebar dan hangat, "Memiliki makna yang berarti memori yang membahagiakan. Memori yang selama ini aku simpan bersama Kurokocchi,"
.
"Bersamamu, membuatku melupakan semuanya."
.
Dandelion Flower
"Aku yakin suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi..."
.
.
.
Aomine Daiki mencoba membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa berat karena rasa kantuk. Pupil matanya berusaha beradaptasi dengan cahaya mentari yang masuk. Tidur di atas atap sekolah memang menyenangkan dan itu bisa dikatakan merupakan hobi dari pemuda berkulit gelap tersebut.
Mungkinkah karena hobinya itu, makanya kulitnya berwarna gelap?
Dia sudah sadar sepenuhnya. Namun, tubuhnya masih berbaring dan kedua iris sapphire-nya masih menatap ke atas, ke langit. Enggan bangun, masih malas, batinnya. Matanya terus memperhatikan kanvas langit yang cerah tanpa awan. Terus memperhatikan sampai tiba-tiba sebuah perasaan sakit sekaligus rindu menyelimuti dirinya.
Langit membuatnya rindu.
Langit membuatnya teringat akan seseorang.
Langit mengingatkannya pada Kuroko Tetsuya.
Kuroko Tetsuya, mantan bayangannya dulu.
Aomine tersenyum miris. Dulu, ia yang meninggalkannya. Dulu, ia yang mencampakannya. Namun rasa rindu yang menyerangnya sangat jelas dan nyata ketika mengingat pemuda itu kembali.
Apa ini yang disebut dengan karma?
Saat sedang sibuk berpikir—walaupun sebenarnya, ia jarang berpikir karena katanya membuang-buang energi—angin berhembus dengan kencang. Menerpa permukaan wajahnya. Aomine pun refleks menutup matanya dan ketika kedua matanya terbuka kembali, dilihatnya kelopak bunga-bunga dandelionyang berterbangan memenuhi langit.
Ia tertegun.
Baginya, bunga dandelion itu bunga paling rapuh. Tertiup angin sedikit, kelopaknya langsung terbang dan pergi entah kemana. Tidak punya warna yang menarik juga tidak memiliki wangi yang harum seperti mawar atau semacamnya. Bunga yang paling tidak cocok dengan kepribadian dirinya.
Namun, itu pemikirannya dulu.
Karena setelah melihat bunga dandelion. Ia jadi kembali teringat pada sosok yang ia rindukan.
.
.
.
"Aomine-kun, apa pendapatmu soal bunga dandelion?" Kuroko membuka pembicaraan setelah sebelumnya keheningan menyelimuti mereka berdua.
Saat ini, mereka berdua sedang berjalan bersama untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Hah? Bunga dandelion? Yang mudah tertiup angin itu?" Tanya Aomine yang bingung dengan pertanyaan tiba-tiba pemuda bersurai baby blue tersebut.
Kuroko mengangguk pelan. "Iya. Menurut Aomine-kun bagaimana?" Ulang Kuroko.
Aomine berpikir sejenak. Berusaha merangkai kata-kata di kepalanya. "Menurutku, sih...dia bunga paling lemah. Tidak berwarna, tidak harum dan tidak menarik," Jawab Aomine dengan santainya.
Kuroko tersenyum tipis. "Begitu, ya..." Terdiam sebentar lalu melanjutkan, "Menurutku, justru dia bunga yang kuat. Karena dapat hidup dengan kondisi apapun juga,"
Keheningan mendominasi. Aomine tetap merasa tidak tertarik dengan topik pilihan 'bayangannya' tersebut. Untuk apa ia harus membicarakan makhluk lemah yang tidak ada sangkut paut dengan kehidupannya?
"Tapi apa Aomine-kun tahu arti sesungguhnya dari bunga itu?" Kuroko kembali membuka pembicaraan.
"Makhluk lemah tidak pantas hidup di dunia ini." Jawab Aomine datar.
Kuroko tertawa kecil. "Jawabannya khas Aomine-kun."
"Oi, jangan menertawaiku, Tetsu! Memang apa arti sebenarnya dari bunga dandelion? Jangan membuatku penasaran!" Tanya Aomine tidak sabar.
Kuroko pun berhenti tertawa dan tersenyum tipis. "Artinya adalah—"
.
.
.
Aomine menghela napas panjang. Kilasan memori itu masih tampak nyata diingatannya. Batinnya terkoyak saat kembali teringat akan hal itu. Apalagi kembali mengingat pertemuan terakhirnya dengan pemuda tersebut. Pertemuan saat Kuroko Tetsuya menjadi lawannya dalam pertandingan basket. Pertemuan dimana ia kembali menatap sepasang iris baby blue itu. Namun kini tatapan iris baby blue itu tidak sehangat dulu. Dan itu salahnya, salah keegoisannya.
'Bisakah aku kembali bertemu denganmu tanpa harus menjadi musuhmu?'
.
.
.
"—semoga kita dapat bertemu lagi suatu hari nanti."
Acacia Flower
"Keberuntungan bagiku karena bisa bertemu serta mengenal dirimu..."
.
.
.
Midorima Shintarou seorang yang percaya dengan ramalan. Peruntungan baik dan buruk nasibnya dalam satu hari, ditentukan dengan benda keberuntungan atau yang biasa ia sebut sebagai lucky item.
Midorima tidak akan pernah absen untuk membawa—benda-benda yang terkadang aneh dan tidak lazim—lucky item-nya. Sekalipun Oha Asa bilang kalau lucky item-nya hari itu adalah bangkai kapal pesiar yang pernah karam karena menabrak gunung es, maka dengan sepenuh jiwa dan raganya, ia harus mendapatkan benda tersebut. Karena bagi Midorima, lucky item adalah mutlak dan absolut.
Err...lama-lama, ia jadi mirip dengan kapten tim basketnya.
Setiap hari bahkan setiap waktu, lucky item akan selalu ia bawa. Kemana pun ia pergi, lucky item-nya akan selalu menemani. Ia sangat percaya pada benda peruntungan seperti itu. Jadi, wajar saja kalau ia sangat menjaga benda tersebut agar peruntungannya nanti akan selalu baik.
.
.
.
Hari ini, Midorima datang ke gym untuk berlatih basket bersama teman-teman satu tim-nya. Rutinitas yang biasa ia lakukan setelah mengikuti pelajaran formal di sekolah.
Dan saat memasuki gym, matanya tak menangkap satu orang pun disana. Rupanya baru dia yang datang. Tumben. Padahal biasanya sang kapten selalu on time dan tidak mentoleransi kalau anggotanya terlambat.
Ah, anggap saja ini keberuntungan berkat setangkai bunga akasia putih yang menjadi lucky item-nya. Dengan begini, ia tidak akan mungkin diberi hukuman dan ditambah porsi latihannya.
Midorima berjalan menuju bangku panjang yang berada di pinggir lapangan dan berniat untuk meletakan tasnya disana.
"Selamat siang, Midorima-kun." Kata suara yang terdengar familiar di telinganya.
Pria berkacamata itu pun terlonjak kaget saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia pun mencari si pemilik suara yang ternyata sedang duduk di bangku panjang tempat ia hendak menaruh tasnya.
"K-Kuroko! S-sejak kapan kau ada disana, nodayo?!" Tanya Midorima yang masih terkejut dengan kemunculan pria yang dipanggil Kuroko tersebut.
"Sebelum Midorima-kun datang, aku sudah ada disini." Jawab Kuroko dengan ekspresi datar khas dirinya.
Coret. Berarti bukan dia yang datang pertama.
Midorima menghela napas panjang. Tipis benar hawa keberadaan pemuda ini, batinnya.
"Yang lain belum datang?" Tanya Midorima pada akhirnya.
Kuroko menggeleng pelan "Belum. Mereka masih ada keperluan masing-masing..."
Midorima mengangguk tanda mengerti. Ia pun mengambil duduk di sebelah Kuroko.
Sepi. Sunyi. Hening.
Setelah percakapan tadi, tidak ada yang berniat mengangkat suara. Mereka berdua hanya diam.
Sejak dulu, Midorima dan Kuroko memang tidak akrab. Kuroko pernah bilang kalau Midorima sulit ditebak dan hal itu membuat mereka berdua tidak cocok. Namun menurut Midorima, ketidakcocokan mereka disebabkan karena golongan darah. Orang dengan golongan darah A seperti Kuroko tidak akan cocok dengan orang dengan golongan darah B seperti dia.
Lihat saja. A dan B, dua variabel yang berbeda. Biru dan hijau, dua warna yang tidak bisa saling menyatu. Dandere dan tsun—baiklah, yang itu tidak perlu dijelaskan. Midorima tahu semua orang—termasuk Kuroko sendiri—merasa kalau mereka sama sekali tidak memiliki satu kecocokan. Dua pribadi yang tidak akan pernah menyatu. Mungkin. Jika mereka hanya melihatnya dari sudut pandang keadaan. Tapi bagi Midorima sendiri—
.
"Terkadang aku kesal terhadap diriku sendiri yang tidak bisa mengungkapkan apa yang aku pikirkan dan apa yang kurasakan ketika bersamamu,"
.
—ia tahu apa yang selama ini dirasakannya.
Mereka tidak tahu, namun Midorima tahu. Tentang bagaimana secara diam-diam—entah dalam keadaan sadar atau tidak—ia selalu memerhatikan Kuroko yang sedang berlatih. Tentang bagaimana jantungnya yang berdetak cepat ketika dirinya berada dekat dengan pemuda berambut biru muda itu. Tentang bagaimana dalam hati ia tersenyum ketika matanya mendapati sepasang baby blue itu menatap datar pada keadaan di depannya. Dan tentang bagaimana…
Perasaannya terhadap Kuroko Tetsuya.
Dan bukan Midorima Shintarou namanya jika ia mengatakan semua itu secara terang-terangan.
"Midorima-kun?" suara pelan yang memanggil namanya berhasil menarik Midorima ke alam sadar. "Kenapa Midorima-kun membawa bunga? Kau ingin memberikan bunga itu kepada seseorang?"
"Te-tentu saja tidak, nodayo." Kilah Midorima cepat. Mengalihkan pandangannya dari wajah Kuroko. Sejak kapan juga ia memandang pemuda itu? "Lucky item-ku hari ini adalah bunga akasia."
Kuroko mengangguk paham. "Kukira Midorima-kun ingin memberikannya pada seseorang. Padahal bunganya indah,"
Sudah cukup!
Midorima sudah tidak tahan lagi dengan perasaannya. Ia sungguh tidak mengerti.
Secepat kilat Midorima bangkit dari posisi duduknya dan berdiri tepat di depan Kuroko yang masih duduk. Kepala biru itu mendongak, menatap langsung sepasang iris hijau Midorima. Sedikit heran. Terlebih begitu tangan Midorima terulur dan benda yang sedari tadi digenggamnya terulur di depan wajah Kuroko.
"Kebetulan sekali lucky item zodiak aquarius sama seperti cancer." Ujar Midorima kalem, namun cepat-cepat ia menambahkan. "Bukannya aku ingin memberikannya padamu. Aku hanya ingin kau menyimpannya,"
Beberapa detik keheningan mendominasi keadaan. Kesal karena tidak mendapat respon, akhirnya Midorima memilih untuk meletakan bunga itu di pangkuan Kuroko setelah itu berjalan pergi ke tengah lapangan. Meninggalkan Kuroko yang masih kebingungan.
.
"Mungkin takdir yang membuat kita tidak bisa untuk melengkapi satu sama lain,"
.
"Eh? Kurokocchi dapat bunga dari siapa?" suara nyaring yang didengarnya membuat Kuroko tersentak. Hampir saja air yang sedang diminumnya kembali dikeluarkan dan membasahi wajah sang model. Saat ini istirahat sedang berjalan, untuk itu Kuroko lebih memilih kembali ke bangku panjang pinggir lapangan. Tempat di mana tas-nya tersimpan.
Mengikuti arah pandangan Kise, Kuroko melirik sekilas bunga pemberian Midorima tadi yang terselip di antara tas-nya.
"Bunga itu dapat dari Mi—"
"Uaahh! Kurokocchi mendapat bunga akasia putih! Beruntung sekali-ssu…"
Sebelah alis Kuroko terangkat, "Memangnya kenapa jika aku mendapatkan bunga itu?"
"Kurokocchi tidak tahu makna dari bunga itu?" tanya Kise kemudian. Ia terkekeh geli ketika mendapati raut polos Kuroko sambil menggeleng. Menjawab pertanyaan Kise.
Sang model itu mengambil bunga dari tas Kuroko, menarik sebelah tangan Kuroko lalu meletakan bunga itu di telapak tangannya, setelah itu menangkupkannya. Meminta Kuroko untuk menggenggamnya. Sambil menyunggingkan senyum lebar, Kise kembali berkata.
"Arti dari bunga akasia adalah cinta yang tersembunyi,"
.
"Apa jawabanmu jika seandainya kita bisa menjadi orang yang cocok?"
.
Freesia Flower
"Menjadi anak-anak itu, lebih mudah untuk mendapatkan cinta."
.
.
.
"Kurochin, aku lapar…"
Gerakan Kuroko Tetsuya untuk men-shoot bola terhenti begitu saja ketika sebuah suara malas menginterupsinya. Terlebih ketika puncak kepalanya terasa berat, membuat tubuhnya tidak bebas bergerak. Ya, siapa lagi jika bukan Murasakibara Atsushi yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan dagu diletakan di puncak kepalanya.
"Murasakibara-kun," sang pemain bayangan itu menyahut datar, "Berat…"
"Lapar…lapar…lapar…."
Menghela napas menghadapi rekan satu tim-nya itu, pemuda berambut baby blue itu berbalik, membuat orang yang berada di belakangnya tadi berdiri tegak. Sepasang iris biru mudanya menatap langsung manik violet Murasakibara. Bola basket yang berada ditangannya tadi sudah terlempar entah kemana.
"Kenapa tidak memakan snack-snack yang Murasakibara-kun bawa tadi saja?" tanya Kuroko kalem. Menghadapi laki-laki yang satu ini memang seperti menghadapi seorang anak kecil.
Murasakibara menguap malas sambil menepuk puncak kepala Kuroko, "Aku sudah menghabiskannya, Kurochin."
Kembali helaan napas panjang terdengar dari Kuroko, "Baiklah, ayo kita ke kantin."
Tidak, tidak. Murasakibara bukan seseorang yang hiperaktif seperti Kise Ryouta. Ia juga bukan seseorang yang tsundere seperti Midorima. Hal yang pertama kali dilakukannya begitu mendengar ucapan Kuroko yang mengajaknya untuk ke kantin adalah tersenyum tipis, mengacak-acak rambut Kuroko, lalu mengikuti langkah pemuda kecil itu dari balakang. Aah…padahal tubuh Kuroko lebih kecil darinya, tapi siapa sebenarnya yang memiliki sifat seperti anak kecil?
.
"Aku sulit menjadi diriku sendiri saat berada di dekatmu,"
.
"Kurochin, mau?
Kepala pemuda itu menoleh, mendapati sebuah momogi berada tepat di depan wajahnya, sama sekali tidak ada niatan untuk menerimanya.
"Tidak perlu, Murasakibara-kun. Aku sudah kenyang," tolak Kuroko halus, seulas senyum tipis tersungging di wajahnya. Mereka berdua tengah berjalan menelusuri taman belakang sekolah. Jalan alternatif agar lebih cepat untuk sampai ke gym. Oh ayolah, ini bukan sebuah drama dan cerita dalam novel. Berjalan beriringan di taman bunga hanya untuk mendapatkan kesan romantis. Di sini hanya ada Murasakibara dan Kuroko, berjalan di taman belakang sekolah. Pribadi yang bertolak belakang. Yang satu tanpa ekspresi, dan satunya lagi seperti anak kecil yang kebanyakan makan makanan manis.
Langkah Kuroko terhenti begitu Murasakibara tidak berada lagi di sampingnya. Pemuda itu berbalik, berjalan mendekat ke arah laki-laki bertubuh tinggi itu yang tengah berdiam diri di dekat salah satu kumpulan bunga. Begitu langkah Kuroko mendekat, berdiri di samping Murasakibara yang berlutut di depan kumpulan bunga itu, ia tertegun.
Ah, kebetulan sekali bunga yang sedang dipandanginya bersama Murasakibara itu berwarna ungu.
"Ne, Kurochin…" Kuroko tidak menoleh ketika Murasakibara memanggilnya, matanya tetap terpaku pada bunga-yang-entah-namanya-apa. "Kau tahu bunga ini diberi nama apa?" jari telunjuk Murasakibara terarah pada salah satu bunga.
Tidak menjawab juga tidak menyahut. Hanya gelengan kecil sebagai jawaban Kuroko atas pertanyaan Murasakibara tadi. Walaupun laki-laki itu tidak melihatnya.
Murasakibara memetik salah satu bunga. Memilihnya yang paling subur dan terlihat indah. Warna ungu yang mendominasi seluruh bunga itu. Setelah memetik, Murasakibara memutar tubuh menghadap Kuroko yang berdiri di sampingnya. Masih dalam posisi berlutut. Mensejajarkan tingginya dengan tinggi Kuroko.
"Bunga ini disebut bunga freesia," ujar Murasakibara sambil menunjukan bunga tersebut tepat di depan wajah Kuroko. Sedangkan pemuda di depannya hanya diam memerhatikan.
"Bunga freesia memiliki arti kekanak-kanakan." Terkekeh geli karena penjelasannya sendiri, Murasakibara melanjutkan. "Mirip sepertiku, bukan?"
Sebelah alis Kuroko terangkat, tersenyum tipis, lalu mengangguk. Polos.
"Kau tahu kenapa aku selalu bersikap seperti anak kecil?"
Kembali pemuda berambut baby blue itu menggeleng.
Kali ini, Murasakibara tidak menjawab langsung. Ia mengulurkan tangannya—yang masih menggenggam bunga freesia—dan menyematkan bunga itu di sela-sela telinga dan rambut Kuroko. Membuat jemarinya menyentuh langsung surai lembut birunya.
Biru dan Ungu. Dewasa dan kekanakan. Datar dan malas.
Benar-benar kontras, bukan?
"Karena dengan menjadi anak kecil…" seulas senyum simpul tersungging di wajah Murasakibara. Sebelah tangannya tadi bergerak mengelus pipi Kuroko. "Aku bisa terus mendapat perhatian dan bisa terus dekat dengan Kurochin."
.
.
.
"Aku ingin tahu, bagaimana perasaanmu jika aku tidak bersikap seperti anak kecil lagi?"
Black Orchid
"Karena aku ingin kau selalu berada di sisiku,"
.
.
.
Terkadang, Akashi Seijuuro kesal mendapati suatu keadaan yang tidak ingin dilihatnya. Keadaan dimana latihan dihentikan sejenak dan mengambil waktu untuk beristirahat. Keadaan dimana semua anggota berkumpul dalam kubu yang berbeda-beda—termasuk Kiseki no Sedai. Namun bukan kubu-kubu itu yang membuatnya kesal. Satu hal yang bisa membuat kapten klub basket itu menahan gejolak amarah di dadanya adalah—
"Kurokocchi! Kau terlihat lelah-ssu!"
"Hoi, Tetsu, nice pass!"
"Kurochin ingin lollipop? Kata Midochin gula bagus untuk mengembalikan energi yang terbuang,"
"Jangan bawa-bawa namaku, nanodayo. Dari pada itu, zodiak aquarius lebih membutuhkan air yang banyak untuk mengisi kembali cairan tubuh yang menghilang. Dan itu bukan berarti aku peduli padamu,"
"Tetsu-kun! Kubawakan handuk yang dingin!"
Twitch!
—ketika sesuatu yang menjadi miliknya harus berdekatan dengan orang lain.
Well, Akashi akui, melihat sang pemain bayangan yang terus dikerumuni oleh keempat anggota lainnya ditambah sang manager, terkadang membuat dirinya kesal. Terlebih jika si model Kise Ryouta sudah melakukan kontak fisik dengan tubuh mungil itu. Sang pemain cahaya Aomine Daiki yang sudah mengacak-acak rambut baby blue-nya. Kedua lengan Murasakibara yang dengan mudahnya mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu, bahkan dengan gaya bridal style sekalipun. Si tsundere Midorima yang terkadang memberikan perhatian lebih—entah disadari atau tidak. Dan sang manager Momoi Satsuki yang terus menempel menunjukan belahan dadanya. Akashi akui,
Ia benar-benar tidak suka melihatnya!
.
"Apa yang telah menjadi milikku, tidak akan lepas dari genggamanku. Termasuk dirimu."
.
Latihan hari ini membuat Akashi lelah. Lelah fisik sekaligus lelah batin. Lelah fisik karena memang latihan fisik sangat dituntut dalam permainan basket sedangkan lelah batin karena harus melihat pemandangan yang ia tidak sukai.
Melihat Kuroko Tetsuya menjadi milik semua orang.
Kesal. Ingin sekali rasanya ia mengatakan pada semua orang kalau Kuroko Tetsuya adalah miliknya dan itu adalah mutlak. Tidak boleh ada yang menyentuh dan mendekati Tetsuya selain dia.
Egois memang kedengarannya. Tapi bukankah dalam hal perasaan, keegoisan adalah wajar?
Akashi melangkahkan kakinya keluar gym. Langkahnya sedikit disentak. Efek kesal. Ia ingin cepat pulang ke rumah dan melupakan segala hal yang terjadi hari ini. Tidur mungkin menjadi pilihan pertama atau mungkin ia membaca saja di perpustakaan pribadinya. Apapun itu yang jelas ia harus bisa menghilangkan rasa kesal pada dirinya.
Namun saat tengah berjalan, ia melihat sosok yang hari ini telah menjadi sumber kekesalannya.
Siapa lagi kalau bukan Kuroko Tetsuya.
Pemuda bersurai baby blue itu tengah mendongakan kepalanya ke atas. Ia melihat ke arah dahan-dahan pohon. Dahan pohon tersebut sepertinya menjadi inang dari suatu tanaman. Akashi mendekati Kuroko sekaligus penasaran pada apa yang dilihat oleh pemuda itu sedari tadi. Tanaman apa itu? Kenapa sepertinya dia tertarik padanya?
Merasakan ada seseorang yang mendekat, Kuroko membalikan badannya.
"Ah, Akashi-kun. Belum pulang?" tanya Kuroko halus.
Akashi menggelengkan kepalanya. "Belum," Jawabnya singkat. "Sedang melihat apa?" Tanya Akashi sedikit penasaran.
"Anggrek hitam. Kebetulan sekarang musimnya bagi anggrek untuk mekar," Jawab Kuroko.
"Hn, begitu." Tanggap Akashi dingin.
Akashi masih terdiam. Enggan melangkahkan kaki dan meninggalkan tempat itu. Ia berpikir, bukankah dengan keadaan seperti ini—hanya ada dia dan Tetsuya—ia bisa mendapatkan perhatian dari seorang Kuroko Tetsuya sepenuhnya?
Tidak. Dia bukan anak yang kurang perhatian. Dia sudah cukup mendapatkan perhatian dari keluarganya. Namun perhatian yang ia inginkan dari Kuroko Tetsuya sangat berbeda dari perhatian yang sering ia dapatkan selama ini. Dan itu yang Akashi inginkan. Akashi ingin Kuroko memperhatikannya.
"Tetsuya,"
Kuroko kembali menoleh ke arah Akashi. "Ada apa, Akashi-kun?"
Akashi menatapnya. Iris biru langit bertemu dengan mata heterochrome sang emperor.
"Sejujurnya, aku kurang suka melihatmu dekat dengan yang lain,"
To the point. Akashi memang tidak suka bertele-tele. Langsung saja ke intinya dan semua orang sudah tahu akan hal itu.
Kuroko menatap Akashi dengan pandangan bingung. "Maksud Akashi-kun apa?"
Akashi mendecakan lidahnya. "Aku tidak suka melihatmu terlalu dekat dengan yang lain karena kau itu milikku, Tetsuya."
Kuroko terdiam sejenak mendengar pernyataan Akashi. Akashi tidak suka melihatnya akrab dengan yang lain. Apa Akashi cemburu?
Kuroko tersenyum tipis. Lalu terkekeh pelan.
Akashi menjadi kesal melihat respon Kuroko pada perkataannya tadi. "Kenapa kau malah tertawa, Tetsuya?!"
Kuroko pun berhenti tertawa. Namun senyum tipis masih tersungging di wajahnya.
"Maafkan aku, Akashi-kun. Hanya saja, mendengar perkataan Akashi-kun tadi, aku merasa kalau ini kebetulan," kata Kuroko
Giliran Akashi yang terlihat bingung "Kebetulan apanya?"
"Arti bunga anggrek hitam yang kebetulan aku lihat tadi, sepertinya sangat cocok dengan kepribadian Akashi-kun,"
Akashi terdiam.
"Apakah Akashi-kun tahu apa arti dari anggrek hitam?" Tanya Kuroko.
Akashi menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak tahu."
Kuroko tersenyum lalu membalikan badannya untuk melihat kembali anggrek hitam tersebut.
"Arti sesungguhnya dari anggrek hitam adalah kekuasaan dan perasaan yang absolut."
.
"Berilah jawaban atas perasaanku yang tercipta hanya untukmu."
.
Akashi tertegun. Sepasang matanya menatap sang pemain bayangan dengan lekat-lekat. Heterochrome bertemu dengan baby blue. Rasanya seperti dunia hanya milik mereka berdua. Hingga semua itu terjadi begitu saja juga cepat.
Akashi semakin mendekat ke arah Kuroko, berhenti tepat di samping pemuda itu, mengulurkan tangan dan memetik bunga yang berada tidak jauh darinya. Memetiknya dengan pelan juga anggun. Persis seperti bentuk bunganya. Indah namun absolut. Berdiri di tingkat teratas dari bunga yang lainnya. Cantik serta egois.
Begitu bunga itu terlepas dari dahannya. Seulas senyum sinis tersungging di wajah sang Emperor's eye, ia mendekatkan bunga itu di depan bibirnya, lalu berkata,
"Kau benar..." bunga anggrek itu menyentuh pelan bibirnya, beberapa detik setelah itu, ia mengulurkan bunganya tepat di depan wajah Kuroko. "Perasaanku padamu memang seperti anggrek hitam ini. Absolut."
.
"Dan aku tidak akan pernah melepaskanmu. Selamanya."
.
.
.
A/N :
Suki : Gyaaa! Alice, nani kore?!
Alice : Aiissh...tentu saja ini adalah fanfic collab pertama kita.
Suki : Ini drabble-ssu!
Alice : Iya, iya, drabble. Tapi Suki, awalnya kulihat banyak sekali typo ketika Suki yang mengetik. *yandere mode on*
Suki : Eh? *ngejauh dari Alice* Go-gomen...kebiasaan...hehe...
Alice : Makanya jangan meninggalkan typo!
Suki : Gyaaa! Maaf, maaf... *pundung di pojokan*
Alice : Ehem! Minna, terima kasih bagi yang sudah membacanya sampai akhir. *nyengir* Ngomong-ngomong, apa anggrek bisa tumbuh di Jepang?
Suki : Lupakan saja yang itu *kibas-kibas tangan* Iya minna! Makasih sudah membaca! :D Dan terakhir...
Alice & Suki : Review please! XDD
