Cinder. Abu. Mengapa ia harus dinamai dengan nama itu? Oh, tentu, karena ia penuh dengan abu saat diselamatkan dan tubuh manusianya diganti menjadi Cyborg. Tetapi tetap saja, mengapa mereka memberikan nama yang seperti itu padanya?

.

.

Dislcaimer: The Lunar Chronicles adalah milik Marissa Meyer, author tidak mengambil keuntungan.

Warning: oneshot drabble, post-Winter.

.

Phoenix

by Fei Mei

.

.

Bukannya tidak tahu berterimakasih karena telah diselamatkan dan dibiarkan hidup, tetapi Cinder hanya kurang senang tentang arti nama samarannya: abu. Fakta bahwa nama sebenarnya adalah Selene itu tidak membantu—seluruh dunia dan semesta telah terlanjur mengingat wajahnya dengan nama Linh Cinder. Linh Cinder, mekanis terkenal di New Beijing. Linh Cinder, si Cyborg. Linh Cinder, mantan buronan. Linh Cinder, yang ternyata adalah orang Bulan. Linh Cinder, oh, si Putri Selene yang hilang itu, ya? Dan sebagainya. Apa pun itu, bahkan ia sendiri pun lebih bisa mengingat dirinya sebagai Cinder, bukan Selene.

Gadis Cyborg itu tidak perlu menceritakan tentang ke-kurang-senang-annya akan namanya sendiri pada sang kekasih, karena Kai bisa melihat itu. Levana tidak senang akan cermin atau apa pun yang dapat memantulkan bayangan, itu karena biar ia dan semua orang lain tidak usah tahu seperti apa rupanya yang asli. Sedangkan sang keponakan, Cinder, selalu berusaha untuk tidak usah memandang api, arang, bekas bakaran, terutama abu. Abu, paham? Kai bahkan tidak perlu membuka kamus untuk tahu nama Cinder berarti abu. Dan dengan mengaitkan soal masa lalu kekasihnya, Kai paham akan perasaan gadis itu.

"Tidak apa," kata Kai suatu kali sambil tersenyum lembut. "Cinder itu memang bukan nama yang biasa diberikan pada seorang anak, tetapi maknanya bagus, kok."

Cinder menyerngit. "Abu, Kai, mananya yang bagus?"

Kai masih tersenyum, kali ini sambil membelai rambut Cinder. "Abu itu adalah artinya, yang kubilang bagus adalah maknanya. Kau penuh abu saat itu, Cinder, kau berhasil bertahan dari api dan penuh abu karenanya. Nama Cinder itu bisa jadi penghargaan tersendiri karena kau lolos dari maut. Cinder, aku pribadi bersyukur kau dinamakan itu."

"Hah?"

"Iya, sungguh," kata Kai, sempat terkekeh pelan melihat wajah bingung kekasihnya. "Jika Levana tidak merencanakan peristiwa kebakaran itu, jika tubuhmu tidak penuh dengan debu, kita tidak akan bisa bertemu. Mungkin bisa, tetapi secara diplomatik, urusan politik, dan kita tidak akan bisa seperti sekarang."

Mendengar itu, perlahan Cinder tersenyum. "Hm, mungkin nama Cinder tidak buruk juga."

Senyum Kai melebar. "Atau, aku bisa memanggilmu dengan panggilan lain kalau kau tidak suka nama Cinder." Sang gadis kembali menyerngit. "Phoenix."

"Seperti burung Phoenix?"

Kai mengangguk. "Lahir dari abu. Seperti seorang Linh Cinder, kan?" Senyum Cinder mengembang lagi.

Di situ Cinder mulai menyukai namanya. Mau Selene, Cinder, bahkan Phoenix yang sejak saat itu menjadi panggilan sayang dari Kai. Semuanya.

.

.

"Kau, Cinder, kau burung Phoenix-ku."

.

.

FIN

.

.

A/N: halo, Fei udah masuk fandom ini sejak setahun atau dua tahun yang lalu, gak pernah dapet ide untuk bikin fict-nya, tapi langsung dapat ide begini saat baca ulang novelnya terutama di Fairest.

Review?