"Jadi, kita benar-benar akan berlibur, Dad?"

"Tentu saja, jagoanku."

Kim Namjoon mengangguk semangat, mengimbangi cerah senyum Yukhei yang duduk di kursi belakang mobil mereka. Lelaki kecil itu menyenandungkan lagu kanak-kanak dengan pelafalan separuh fasih. Tawa yang mereka bagi sejenak membuat Namjoon melupakan rute perjalanan panjang yang menghampar di depan.

Mereka sepakat menghabiskan satu minggu untuk sejenak melupakan pekerjaan dan tumpukkan tanggung jawab. Sebagai hadiah ujian pertama di sekolah, kata Kim Seokjin di suatu sore yang teduh.

Namjoon tidak benar-benar berniat membantah sebenarnya, hanya saja ia begitu menyukai bagaimana cara Seokjin merajuk hanya demi waktu berkumpul mereka yang terbilang jarang. Dengan satu kecupan di bibir, dan Seokjin berhasil mendapatkan apa pun yang ada di hidup Namjoon.

"Prince, sebaiknya kita berkemas untuk besok."

Kim Yukhei menatap Seokjin dengan lucu. "Kita mau pergi ke mana, Mum?"

"Ke mana pun yang kalian inginkan, Sayangku."

Itu, dan semua hangat yang berkumpul di matanya membuncah, mengalir memenuhi diri Namjoon ketika apa yang menjadi sumber hidupnya bisa ia genggam dengan pelukan.

Kenangan baik atau buruk yang terbayang dalam ingatan seseorang bagai belati bermata dua. Datang untuk menguatkan di balik perlindungan, atau pelan-pelan membunuh. Itu yang tebersit dalam benak Namjoon ketika terbangun dengan tubuh bersimbah peluh di jam dua pagi.

Mimpi buruk kah?

Warna putih dan bau desinfektan menyergapnya semudah ia menghirup napas, juga rasa sakit yang hebat. Sakit yang tak hanya menyerang kepalanya, tapi juga merayap jauh, jauh menembus dadanya. Ia merasa linglung.

Di bangsal inap itu, Kim Namjoon menjadi salah satu orang yang kehilangan. Tetapi, ia tidak tahu apa yang telah hilang dari hidupnya.

Semua perasaan takut itu perlahan berkumpul dan mendekati Namjoon, kemudian kembali pecah ketika deru langkah perawat merangsek ke arahnya. "Pasien telah sadarkan diri. Nyonya Kim, anak Anda siuman!" kalimat penuh rasa syukur itu mengudara, juga silabel feminim yang membayang di telinga.

Kim Namjoon sama sekali tidak tahu, ia tidak bisa merasakan apa-apa selain sesak yang tiba-tiba menghantam, setelahnya ia melihat gelap.

.

[saudade | NamJin's Fict | Multichapter]

.

.

.


Disclaimer : BTS milik BigHit, keluarganya, dan ARMY. Tapi Jin milik saya #dilindes Wong Yukhei milik SMEnt, keluarganya, dan NCTizen. Saya hanya meminjam dan memberikan bidak(?) takdir [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]

Warning : au, miss typo(s), chaptered, rate M for heavy plot, mpreg ofc, and other stuffs.

a/n : di warn sudah tertulis ini mpreg!AU, jadi saya nggak akan berdebat mengenai apa pun. simpelnya: suka ya silakan baca, tidak ya tinggalkan~

Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!


.

.

saudade

(at the end of my journey to find myself, I've reached the same place again

—Kim Seokjin)

a NamJin fanfiction, written by Rou

.

.


"Bertahan sebentar, oke? Aku segera ke sana."

Kim Namjoon menuruni tangga eskalator tanpa memastikan lagi angka berapa yang tertera di layar arloji pergelangan tangannya. Ini hari minggu, dan menjadi sangat janggal ketika Namjoon adalah satu-satunya entitas yang membelah lobi stasiun dengan langkah terburu di pagi yang cerah.

Sudah berapa lama ia tidak merasa sekhawatir ini? Entahlah. Andai bukan suara ibunya yang bergetar di ponsel, mungkin Namjoon akan mengabaikan kalimat permohonan pulang yang menggaung di telinga.

Selama apa pun ia mengabaikan rumahnya, ia tetap tidak bisa. Ia lebih santai mengabaikan tatapan aneh sekitar mengenai piyama dan sandal yang lupa ia tanggalkan. Vokal feminim itu berbunyi dengan rapuh, dan berputar-putar seperti kaset di dalam kepalanya, betul-betul menyulut perasaan tidak enak dan firasat buruk. Pikiran Namjoon hanya bisa mencapai jaket dan dompet sebelum meninggalkan apartemen.

"Berikan aku satu tiket ke Goyang-si." Namjoon hanya melirik sekilas celah loket pembelian begitu langkahnya berhenti. Jemarinya sibuk menggeser layar ponsel tanpa benar-benar menyadari tatapan jengkel yang tertuju padanya.

Berdecak pelan, Namjoon mengulangi, "Hei, berikan aku tiket ke Goyang, kau tidak dengar, ya?" tatapan petugas loket agak sulit dibaca sampai Namjoon berniat mengulang sekali lagi, tentu dengan intonasi kekesalan dua kali lipat. "Hei! Kau tidak dengar?! Kubilang—"

"Akan lebih bijak kalau kau membaca terlebih dulu sebelum memesan, Tuan." Jung Hoseok, pendamping petugas loket yang berada di dalam ruangan itu menyahut. Namjoon berdecak sekali lagi. "Hei, terserah ada bacaan apa aku tidak peduli, segera—"

"Tulisan ini," sebuah jemari masuk ke dalam pandangan Namjoon, terulur dari sisi kanannya, mengetuk permukaan kaca. Menginterupsi tanpa dibutuhkan. "Tiket yang kaumaksud sudah habis," helaan napas kalem terlepas. "Akan ada festival kembang api nanti malam, semua orang yang antre di sini menginginkan hal yang sama denganmu. Kurasa akan lebih baik kalau kau berhenti mengomel."

Di detik itu, Namjoon sungguh-sungguh mengabaikan sepasang petugas yang sejak tadi ia pelototi. Mendengus dan melipat tangan ke dada, ia menghela napas dan bersiap. Asap imajiner penuh kemarahan sudah lebih dulu mengepul tepat di atas kepalanya. "Persetan! Kubilang aku tidak peduli!"

"Tapi kau tidak akan mendapat—

Bayangan wajah ibunya yang kesakitan melintas di matanya, membuat Namjoon kalap, dan tiba-tiba saja ia kehilangan kendali atas kedua tangannya yang sudah mencengkeram kerah kemeja lelaki yang berkata datar di hadapan. "Siapa kau, ha?! Aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan asal kau tahu!"

Satu kalimat balasan, "Aku tidak peduli."

Kemudian keributan yang tidak terencana itu terjadi. Namjoon yang sudah bersiap menghajar lelaki itu tidak kesampaian karena petugas keamanan yang entah datang dari mana tiba-tiba saja langsung menyeret tubuhnya menjauh, ia hanya bisa menggapai angin. Sementara orang-orang berkasak-kusuk menyalahkan kebodohan Namjoon yang secepatnya dibawa ke ruang khusus stasiun, mengurai keramaian yang sedetik tadi dibumbui hawa panas.

"Wah, apa-apaan orang gila tadi? Kupikir dia bakal benar-benar mengajak hyung adu jotos."

Jin Hyosang tersenyum. "Ini stasiun, Jungkook. Bukan ring tinju."

"Terserah hyung saja, aku lapar, nih. Ayo, sarapan."

Namjoon sudah menghilang dari pandangannya ketika ia sibuk dengan dirinya sendiri, memecah gelembung geming yang sejak tadi berporos, garis pandangnya turun dan menangkap sesuatu yang tergeletak di lantai. Ia sejenak berjongkok, sebuah dompet terbuka di depan matanya, menampilkan sebuah kartu identitas yang terpampang jelas: Kim Namjoon. 30 tahun. Polisi.

Ada kepahitan terasa menggerogoti kerongkongan, menahan laju saliva dan membuat pasokan udara mengering di lehernya. Ketika sebuah dehaman lolos dari balik bahunya, gelembung itu pecah. Tatapannya menemukan Jin Hyosang, berdiri tak jauh di samping Kim Jungkook yang menunggu. "Tinggalkan saja, biar petugas lain yang mengantarnya."

Ia paham betul kekhawatiran macam apa yang ia temukan dalam sorot lelaki itu. Tetapi ia tidak memiliki keinginan untuk menjawab, dan sebenarnya ia tidak membutuhkan argumen apa pun, dari siapa pun. Langkahnya terayun bungkam seraya jemarinya melesakkan ragu-ragu benda hitam segi empat itu dalam-dalam ke saku mantel. Kim Namjoon. Polisi.


saudade


"Hyung yakin akan kembali ke sana?"

Kim Jungkook selesai menalikan sepatu dan menarik naik risleting jaket sebelum menoleh lagi ke arah sofa. Kakaknya masih di sana, masih dengan posisi yang sama; duduk termenung menekuni sebuah dompet lusuh yang ditemukan di lobi stasiun, membolak-balik dan membaca lagi kartu dientitas di sana—selama lima belas menit penuh.

Ia bisa melihat keruh mendiami wajah kakaknya. Terdorong rasa khawatir, Jungkook mendekat, bersimpuh dan mengambil lengan kakaknya lembut. "Aku tahu apa yang Hyung pikirkan. Tetapi, kita bisa melupakan hari ini, oke? Hyung hanya tanpa sengaja melihatnya, bertemu dan menemukan dompet orang itu. Kita anggap tidak ada yang benar-benar ingin ini terjadi, bagaimana?"

Jungkook mengambil napas, "Hyung?" ia mengulang, tapi tak ada reaksi. "Seokjin-Hyung?"

Kalimat penuh tekanan itu berhasil membuat kakaknya menoleh, dan Jungkook tersenyum atas respons tersebut. "Sudahlah, Hyung. Jangan dipikirkan," Jungkook tersenyum sebelum menepuk bahu kakaknya sok dewasa. "Akan aku bawakan oleh-oleh kalau pulang nanti, oke?"

Atas sikap jenaka adiknya itu Kim Seokjin tersenyum, menunda sesuatu dalam pikirannya. Ia beranjak dari duduknya untuk melepas mantel dan mengaitkan pada hanger. Gusakan sayang ia daratkan di kepala Jungkook. "Jangan pulang terlalu malam, awas saja."

Jungkook mengangguk antusias, mengacungkan bujarinya ke arah sang kakak. "Aku berangkat, Hyuuung!" Kakaknya hanya menjawab dengan gumamam sebelum punggungnya berlalu. Jungkook menggunakan kesempatan itu untuk menatap lama-lama postur kakaknya, yang sesekali terlihat rapuh tapi juga kuat di waktu yang sama. Ia tahu benar seberapa kuat punggung itu mencoba bertahan selama ini, dari kehilangan-kehilangan juga rasa takut, tetapi perasaan bukanlah sesuatu yang bisa bersembunyi, ia bergerak sebebas angin.

Jungkook meraih dompet dari atas meja dan menatapnya sejenak, lalu kembali melirik kakaknya. Hidup sungguh seguyon ini, batinnya sebelum melangkah keluar melewati pintu.


saudade


"Di mana kau?"

Suara Jin Hyosang menggaung di ujung sambungan, menghentikan langkah Seokjin sebelum benar-benar mencapai pintu utama kepolisian daerah. Seokjin tersenyum datar, hapal mati nada khawatir lelaki itu untuknya, tetapi ia bukan lagi remaja yang pantas menerima perlaku berlebihan atas dirinya sendiri.

"Aku hanya mengantar kemudian pulang. Aku janji."

"Jin?"

"Aku janji, Hyosang. Aku akan langsung ke rumah sakit setelah mengembalikan. Tidak lebih, oke?"

"Kau di mana? Aku antar, oke?"

Pernyataan final, dan Seokjin tidak memiliki kesempatan menolak. Sambungan terputus sebelum ia memberikan jawaban. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunggu.

Waktu telah mengajarkan banyak ke dalam hidupnya. Sekalipun ia tahu bahwa hidup gemar bercanda, Kim Seokjin tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada yang tanpa sengaja terjadi di dunia ini.

Tetapi Seokjin dan pemikirannya bukan sesuatu yang bisa dipisahkan. Ia telah mengatakan kepada Hyosang untuk tidak betul-betul menyusulnya, tetapi sekeras apa pun Seokjin melarang, lelaki itu sudah lebih dulu berdiri di hadapannya, tersenyum lebar.


saudade


"Aku minta maaf," suara Hyosang menggema dengan tegas di ruangan itu, mengawali. Meskipun ia merasa semua itu tak perlu, namun hanya dirinyalah satu-satunya kemungkinan yang bisa bicara sebebas ini dengan lawan bicaranya sekarang. Walau seingatnya, kata tersebut lebih bijak apabila Namjoon yang mengucapkan. Tetapi melihat lelaki itu menatapnya sengit sejak mereka berhadapan, Hyosang tidak memiliki basa-basi lebih baik selain ini.

"Bagaimana kau membayar semua ini?" Namjoon menimpal, gestur kokohnya selalu mampu mengintimidasi siapa pun. Ia berjalan melewati pintu besi dan menempati salah satu kursi kosong, beberapa orang di sana mengangguk hormat kepada Namjoon, membuat Hyosang mendengus.

"Kau yang memulai, oke?" Hyosang berjalan pelan, mengekor, upaya mengatur ketenangan dalam nada suaranya dan duduk dengan jarak normal yang bisa diambilnya dari Namjoon. "Kalau kau tidak menyerang duluan, mungkin tidak seharusnya kau ada di sini."

"Seharusnya? Ini memang tempatku, omong-omong."

Nada angkuh itu lagi, serius, Hyosang tidak menyukainya. Tidak sama sekali. Tetapi memikirkan kemungkinan Seokjin dan laki-laki ini bertemu, menerbitkan kecemasan baru di hatinya. Dan ia sama sekali tidak suka gagasan itu. Hyosang berdecak pelan sambil melipat kaki, "Aku sudah minta maaf, dan ini gantinya," Sebuah amplop ia lemparkan cuma-cuma ke hadapan Namjoon. "Apa lagi?"

Namjoon terlihat agak berpikir sebelum pandangannya jatuh ke benda persegi di antara mereka. "Kenapa juga dompetku bisa ada padamu?"

"Terima kasih kembali." Hyosang membalas lirikan sengit Namjoon dengan raut datar, "kalau sudah selesai, aku pergi." Ia baru akan beranjak ketika Namjoon menyeru kepadanya.

"Kenapa hanya kau?" Namjoon berdiri di sampingnya.

Langkah Hyosang terhenti, ia menoleh heran. "Apa?"

"Seseorang yang menunggu di luar sana, dia datang bersamamu, kan? Kenapa hanya kau yang masuk?"

Hyosang mengerjap. Keadaan itu sama sekali tidak ia prediksi sebelumnya. Namjoon melihat Seokjin? "Apa maksudmu?"

Namjoon menghela napas sebelum menjawab, "Aku juga tidak tahu dia siapa, tapi aku merasa pernah melihatnya. Jadi mungkin, kau bisa mengajak temanmu masuk supaya aku bisa yakin apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau tidak."

Tidak, sama sekali tidak. Hyosang mendengus pendek, ia menatap Namjoon dengan tatapan yang sulit Namjoon uraikan, seperti sebuah kemarahan, juga ancaman. "Kekasihku tidak suka tempat seperti ini. Jadi aku tidak akan mengajaknya masuk, tidak peduli siapa pun yang memintanya."

"Aa, begitu. baiklah. Terima kasih—

"Hyosang."

"—Terima kasih, Hyosang-ssi," agaknya kekesalan Namjoon sudah menguap karena sekarang ia menyerahkan selembar kartu nama ke hadapan Hyosang. "Ini tidak berarti aku akan membantumu atau apa, tetapi anggap saja sebagai ucapan terima kasih kembali. Adil?"

"Cukup adil," imbuh Hyosang. "Dan kau bisa gunakan itu sebelum jam sembilan malam."

Sesegera mungkin Hyosang mengayun kaki, kegugupannya merambat turun dengan cepat, secepat keinginannya untuk langsung membawa Seokjin jauh-jauh dari tempat itu. Ia tidak bisa terus-menerus mempertaruhkan kemungkinan lain di sini. Namun, "Hei, Namjoon-ssi," ada sesuatu yang telah ia sepakati dengan Seokjin sebelum ini, Hyosang butuh meraup udara banyak-banyak sebelum mengatakannya. "Seokjin-ku menitip ucapan terima kasih untukmu."

Hyosang mengayun langkah keluar, dengan cepat. Meninggalkan Namjoon yang mengerjap tidak paham. Ucapan terima kasih untuk apa?

Di depan pintu ruang tunggu, kedua tangan Seokjin mengepal kuat-kuat. Hatinya bersungguh-sungguh, tekun merapal doa bahwa ia tak akan pernah lagi berurusan dengan lelaki itu. Tidak bahkan hanya sekadar mendengar suaranya.

Tidak akan lagi, Kim Namjoon.


(tbc)