Berlari.

Berlarilah.

Berlarilah dari dosa yang telah kau perbuat hari itu.

Netra biru langit yang selalu kau banggakan menampakkan ketakutan tiada tara kemudian melihat pergerakan dari makhluk di bawahmu, kau menyadari telah melakukan dosa besar.

Kakinya mundur perlahan kemudian berbalik dan berlari terbirit-birit menjauh dari daerah elit dimana setiap harinya lantunan lagu merdu dari para malaikat penyanyi bergema disana.

Takut.

Takutilah.

Lemparan batu padamu dari para penghuni daerah itu. Raungan amarah, kata-kata buruk dan umpatan, bibir yang biasanya selalu memujamu berubah menghardikmu dan memerintahkanmu untuk tak kembali kesana dan menodai daerah putih itu dengan dosamu.

Salahkan.

Salahkanlah.

Tanganmu yang tidak dapat kau kendalikan. Tanganmu yang telah menodai takdir suci dari salah seorang makhluk. Tanganmu yang telah mendetakkan kembali jantung matinya, menyalakan kembali otaknya, telah membangkitkannya kembali dari kematiannya. Bahkan membuat semua darah yang mengalir dari kepala mereka kembali masuk ke dalam tubuhnya. Otaknya yang terkena pecahan tengkoraknya kembali ke tempatnya semula.

Berteriak.

Berteriaklah.

Suara yang biasa kau gunakan untuk berkata bijak, untuk merendahkan orang lain sekarang berteriak nyaring. Mengatakan hal yang sama berulang-ulang,

"Bukan salahku! Bukan salahku! Bukan salahku!"

Sampai kakimu kelelahan, matamu memburam dan akhirnya tersandung oleh batu kecil kemudian terjatuh di atas rerumputan di tengah hutan belantara. Ditertawakan oleh pepohonan di sekitarmu, dibicarakan diantara kerumunan burung yang tengah bertengger di dahan pepohonan tersebut.

Menangis.

Menangislah.

Atas dosa yang telah kau perbuat.

Pecundang yang kabur sebelum siapapun dapat menyaksikan sosok menyedihkan dan lemahmu sekarang.

Lalu pejamkanlah matamu, demi menunggu hari dimana dosamu terhapus oleh hembusan angin menggigil ini. Temuilah kegelapan kelam tanpa setitik pun cahaya.